• Tidak ada hasil yang ditemukan

Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi. Dr. Wahyudi SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Judul Buku: Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi. Dr. Wahyudi SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

0

(2)

SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA TEORI DAN IMPLEMENTASI

Dr. Wahyudi

Judul Buku:

Sistem Silvikultur di Indonesia Teori dan Implementasi

Ditulis Oleh: Dr. Wahyudi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Tahun 2013

Diterbitkan Oleh:

Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya

Jl. Yos Sudarso, 73111, Palangka Raya, Indonesia Telepon: +62 81521560387, +62 85347153484 Email: isanautama@yahoo.com

ISBN 978-602-98568-0-4

Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Ketentuan Pidana Pasal 72 (ayat 2):

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3)

KATA PENGANTAR

Indonesia sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia sudah selayaknya memiliki sistem silvikultur untuk mengelola hutan produksi secara lestari. Sistem silvikultur Tebang Habis dengan Permudaan Buatan telah diterapkan di Pulau Jawa sejak jaman kolonial Belanda dan masih dipakai hingga saat ini untuk mengelola hutan tanaman sedangkan sistem silvikultur Tebang Pilih untuk mengelola hutan alam baru dimulai tahun 1972 dan senantiasa mengalami perubahan seiring perkembangan kehutanan dan kebijakan pemerintah.

Buku “Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan Implementasi“ ini disusun berdasarkan teori dan praktek silvikultur yang didapatkan dari penerapan sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI), Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ), Tebang Habis dengan Permudaan Buatan (THPB), sistem Agroforestry, Tebang Jalur Tanam Indonesia (TJTI) serta plot penelitian Tebang Rumpang yang menghasilkan draft system silvikultur Tebang Pilih Tanam Rumpang (TPTR). Tahapan kegiatan dalam setiap sistem silvikultur dalam buku ini diuraikan secara lengkap menggunakan petunjuk teknis sesuai dengan sistem masing-masing dengan tujuan memberi pengetahuan dan bekal bagi para pembaca tentang praktek beberapa sistem silvikultur yang pernah dan sedang diimplementasikan di lapangan. Meskipun beberapa tahapan kegiatan tersebut sudah tidak dianjurkan dengan alasan efisiensi dan efektifitas, namun relevansi dan urgensi tahapan tersebut masih sangat terasa dan masih penting untuk diketahui, khususnya bagi para praktisi dan rimbawan dalam melakukan pengelolaan hutan secara bijaksana sesuai sifat dan kondisi ekosistemnya.

Penulis juga menyadari bahwa buku ini masih banyak kekurangan. Untuk itu saran dan kritik sangat diharapkan untuk perbaikan pada edisi mendatang. Akhirnya dengan segala keterbatasan yang ada, penulis berharap, semoga buku ini bermanfaat bagi kita. Terima kasih.

Penulis,

Dr. Wahyudi

(4)

SAMBUTAN

Saya sangat mengapresiasi buku berjudul “Sistem Silvikultur di Indonesia, Teori dan Implementasi” yang ditulis oleh Dr. Wahyudi.

Tulisan ini merupakan salah satu dari 100 karya tulis yang lulus dan mendapat pembiayaan dari Dirjen Dikti tahun 2014 melalui Program Hibah Penulisan Buku Ajar Perguruan Tinggi. Sebagai reviewer, saya mendapat kesempatan untuk membaca dan terlibat dalam pembahasan buku ini.

Buku ini sangat baik dibaca oleh para pihak yang ingin menambah ilmu pengetahuan dan teknologi serta praktek silvikultur di hutan produksi Indonesia.

Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas,M.Sc F.Trop Ketua Program Studi Silvikultur, IPB

SAMBUTAN

Buku ini berusaha menghimpun sistem-sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan pada hutan Indonesia, mulai dari sistem Tebang Pilih Indonesia tahun 1972 sampai sistem Tebang Jalur Tanam Indonesia yang disusun tahun 2014. Pada beberapa bagian, penulis juga menyertakan perhitungan untuk memprediksi sediaan hutan pada siklus tebang berikutnya berdasarkan model dinamis yang berkembang dalam ekosistem hutan. Suatu usaha yang baik. Buku ini dapat menjadi bagian dari referensi buku kehutanan kita.

Prof. Dr. Ir. Samuel A. Paembonan, MSc Guru besar silvikultur, Universitas Hasanuddin

(5)

SAMBUTAN

Paradikma baru pengelolaan hutan adalah kembali pada alam (back to nature). Prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield principles) yang diterapkan tahun 80-an sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan kehutanan saat ini.

Pengelolaan hutan harus bertumpu pada kelestarian ekosistem hutan (sustained forest ecosystem) karena pohon merupakan bagian dari ekosistem itu sendiri.

Buku ini menjelaskan tentang praktek silvikultur di Indonesia yang disertai dengan pengenalan dasar-dasar dan teori tentang silvikultur menggunakan paradikma baru dalam pengelolaan hutan, sehingga pembaca dapat mengetahui secara baik tentang pelaksanaan sistem silvikultur di hutan Indonesia. Saya mengucapkan selamat kepada penulis yang telah menghimpun pengetahuan silvikultur dalam buku ini.

Prof. Dr. Ir. Nina Mindawati, MS

Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... iii

SAMBUTAN ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I. PENDAHULUAN... 1

II. KEBIJAKAN DAN SISTEM SILVIKULTUR... 8

A. Sejarah dan Kebijakan ... 8

B. Pengertian Sistem Silvikultur ... 17

C. Landasan Sistem Silvikultur ... 23

D. Beberapa Sistem Silvikultur ... 38

III. PERTUMBUHAN DAN HASIL ... 43

A. Pertumbuhan Pohon... 44

B. Perhitungan Hasil... 50

C. Pemodelan Dinamika Hutan ... 54

D. Analisis Finansial Proyek Kehutanan ... 71

IV. TEBANG PILIH INDONESIA ... 76

A. Pengertian dan Dasar TPI ... 76

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPI ... 77

C. Evaluasi Sistem TPI... 81

V. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA ... 85

A. Pengertian dan Dasar TPTI... 85

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTI ... 87

C. Evaluasi Sistem TPTI ... 115

VI. TEBANG PILIH TANAM JALUR... 123

A. Pengertian dan Dasar TPTJ ... 123

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTJ... 125

C. Evaluasi Sistem TPTJ ... 129

VII. TEBANG PILIH TANAM INDONESIA INTENSIP ... 140

A. Pengertian dan Dasar TPTII ... 140

B. Tahapan Kegiatan Sistem TPTII... 141

C. Evaluasi Sistem TPTII ... 148

(6)

VIII. TEBANG RUMPANG... 154

A. Pengertian dan Dasar TR ... 154

B. Tahapan Kegiatan Sistem TR ... 157

C. Evaluasi Sistem TR... 162

IX. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN BUATAN ... 163

A. Pengertian dan Dasar THPB... 163

B. Tahapan Kegiatan Sistem THPB ... 164

C. Evaluasi Sistem THPB... 174

X. TEBANG HABIS DENGAN PERMUDAAN ALAM ... 176

A. Pengertian dan Dasar THPA... 176

B. Tahapan Kegiatan Sistem THPA ... 177

C. Evaluasi Sistem THPA ... 179

XI. AGROFORESTRY ... 181

A. Pengertian dan Dasar Agroforestry ... 181

B. Hubungan Agroforestry dengan Bidang Lain ... 187

C. Desain Agroforestry... 190

XII. MULTISISTEM SILVIKULTUR ... 196

A. Pengertian dan Dasar Multisistem Silvikultur... 196

B. Pelaksanaan Multisistem Silvikultur... 198

DAFTAR PUSTAKA... 209

LAMPIRAN. ... 222

DAFTAR ISTILAH ... 225

DAFTAR TABEL Nomor Halaman Teks 1. Kerapatan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon pada hutan bekas tebangan ... 13

2. Persyaratan batas diameter, rotasi, jumlah dan diameter pohon inti sistem TPI ... 78

3. Syarat pelaksanaan sistem TPI dan pedo- Man TPI hasil revisi tahun 1980 ... 82

4. Perbedaan tahapan sistem TPTI tahun 1989 dan 1993... 86

5. Thally sheet kegiatan PAK ... 90

6. Thally sheet kegiatan ITSP ... 93

7. Thally sheet kegiatan Penebangan ... 99

8. Perbandingan sistem RIL dan konvensional pada kegiatan eksploitasi hutan... 100

9. Thally sheet kegiatan perapihan... 102

10. Thally sheet kegiatan ITT ... 105

11. Thally sheet kegiatan tempat kosong dan kurang permudaan... 106

12. Thally sheet kegiatan pembebasan I ... 107

13. Thally sheet kegiatan pengadaan bibit ... 109

14. Thally sheet kegiatan pengayaan/rehabilitasi... 111

15. Thally sheet kegiatan pemeliharaan ... 112

16. Thally sheet kegiatan pembebasan II dan III ... 113

17. Thally sheet kegiatan penjarangan I, II, III ... 115

18. Tahapan kegiatan TPTJ... 125

19. Dampak pemanenan pada jalur antara sistem TPTJ... 130

20. Beberapa jenis pohon yang muncul pada daerah terbuka bekas penebangan ... 139

(7)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Teks

1. State of the art sistem silvikultur... 6

2. Sebaran kawasan hutan alam yang pernah dan sedang dibebani konsesi ... 11

3. Tegakan Eucalyptus pellita di Kalsel... 43

4. Areal bekas tebangan sistem TPTI... 44

5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbu- han pohon... 46

6. Kurva pertumbuhan pohon, CAI dan MAI ... 49

7. Contoh penataan areal kerja hutan tanaman... 53

8. Model pertumbuhan tanaman meranti ... 58

9. Struktur diameter tanaman meranti ... 59

10. Model perkembangan semai pada hutan alam setelah penebangan... 65

11. Diagram alir stok pohon berdasarkan fungsi kerapatan tegakan... 70

12. Contoh penataan seluruh areal kerja pada sistem TPTI... 89

13. Contoh label pohon tebang, pohon inti dan pohon dilindungi ... 92

14. Penandaan dan penempelan label pohon... 92

15. Pengangkutan kayu bulat ... 95

16. Pengukuran jaringan jalan menggunakan theodolit ... 96

17. Tempat pengumpulan kayu ... 98

18. Posisi petak ukur sesuai tingkat pertumbuh annya pada kegiatan ITT... 104

19. Kegiatan ITT... 105

20. Persemaian tempat memproduksi bibit ... 109

21. Hasil kegiatan penanaman Shorea spp... 110

22. Posisi jalur bersih dan jalur antara pada sistem TPTJ... 128

23. Tingkat penutupan tajuk pada sistem TPTJ ... 131

24. Kurva sigmoid, CAI dan MAI pada meranti... 133

25. Respon pertumbuhan volume pada Shorea leprosula terhadap pemanenan ... 135

26. Kuvio dengan bestek yang jelas pada sistem Tebang Rumpang... 161

27. Pembibitan sistem THPB di tempat terbuka ... 168

28. Pengangkutan bibit ke lokasi penanaman ... 169

29. Pengolahan lahan secara mekanis ... 170

30. Penyiapan lahan secara kimia ... 171

31. Hutan tanaman dibuat dengan sistem THPB (a) tanaman sungkai (b) tanaman ampupu ... 172

32. Pemanenan Acacia mangium secara manual ... 173

33. Sistem mekanis penuh dalam pemanenan hasil hutan kayu ... 174

34. Agroforestry: tanaman pokok (jati) dengan tanaman semusim (jagung) ... 183

35. Sistem agroforestry: tanaman keras melin- dungi tanaman semusim dari angin/ badai ... 184

36. Rehabilitasi lahan dengan agroforestry ... 187

37. Sistem agroforestry mengoptimalkan peng- gunaan lahan ... 192

38. Menugal. menyemai benih padi gogo diantara tanaman sengon ... 193

39. Tanaman padi gogo berdampingan dengan tanaman sengon... 194

40. Kawasan hutan produksi terfragmentasi ... 197

41. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan sistem TPTI di PT GM... 199

42. Respon perkembangan kerapatan pohon masak tebang terhadap pemanenan sistem TPTJ di PT GM... 201

43. Tanaman sengon dibangun pada lahan kosong dalam kawasan hutan produksi ... 202

44. Sistem agroforestry tanaman sengon dan padi gogo... 204

45. Lereng Gunung Tambora di Sumbawa merupakan hutan alam monokultur yang dikelola menggunakan sistem TJTI ... 205

46. Tanaman meranti merah umur 20 tahun pada sistem TPTR ... 207

(8)

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropika terluas di dunia setelah Brasilia di Amerika Selatan dan Zaire di Afrika sekaligus menyimpan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi setelah Brasilia. Berdasarkan batas geografis, hutan tropika terletak antara 23½o LU sampai 23½o LS, yang dicirikan dengan lanskap yang selalu hijau (evergreen), intensitas cahaya matahari merata sepanjang tahun serta curah hujan yang relatif tinggi. Dalam rentang batas tersebut, dapat dijumpai beberapa formasi hutan tropika seperti hutan pantai (coastal) atau hutan bakau (mangrove forest), hutan gambut (peat forest), hutan rawa (swam forest), hutan dataran rendah (low land forest), hutan dataran tinggi (high land forest) dan hutan pegunungan (mountain forest). Pada mosaik hutan daratan dengan formasi edafis yang khas (sand soil)sering dijumpai formasi hutan kerangas (heath forest) dan pada formasi klimatis yang khas terdapat hutan musim (monsoon forest) dan sering terbentuk tegakan yang menggugurkan daur daun (deciduous forest).

Sejak tahun 2000 sampai tahun 2009, luas kawasan hutan di Indonesia dilaporkan 120,35 juta ha yang menempati lebih dari 60 % luas daratan Indonesia (Balitbanghut 2008). Namun berdasarkan hasil penataan kawasan hutan tahun 2010 tercatat luas kawasan hutan sebesar 137,6 juta ha (Ditjen BUK 2011).

Berdasarkan UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan di Indonesia dibagi menjadi tiga berdasarkan fungsinya, yaitu fungsi perlindungan, fungsi konservasi dan fungsi produksi. Kawasan hutan produksi, baik hutan produksi tetap maupun hutan produksi terbatas, dikelola melalui sistem konsesi hutan berdasarkan azas kelestarian ekosistem hutan (sustainable forest management) dan azas manfaat yang meliputi aspek produksi, ekologi dan sosial.

Pengelolaan hutan alam produksi dengan sistem konsesi dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan

Alam (IUPHHK-HA) (dulu bernama Hak Pengusahaan Hutan – HPH) dilakukan sejak awal tahun 70-an dengan berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan. PP ini lahir sebagai penjabaran dari UU Nomor 1 tahun 1967 , UU Nomor 5 tahun 1967 dan UU Nomor 6 tahun 1968. Sistem silvikultur yang dipergunakan pertama kali adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPI) berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal (SK Dirjen) Kehutanan Nomor 35/KPTS/DD/1/1972 tanggal 13 Maret 1972. Pada tahun 1989 sistem TPI diganti dengan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Pada tahun 1997 dikeluarkan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dalam skala uji coba dan pada tahun 2005 dikeluarkan sistem yang hampir sama yaitu Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII).

Beberapa sistem silvikultur lain yang pernah diterapkan secara terbatas dalam skala uji coba pada beberapa izin konsesi hutan alam adalah Tebang Jalur Tanam Indonesia (1993), Tebang Jalur Tanam Konservasi (1994), Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur (1997), Tebang Rumpang dan Bina Pilih. Sistem silvikultur agroforestry banyak diterapkan di dalam dan di luar kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat setempat sedangkan sistem silvikultur yang bersifat perlindungan dan konservasi alam diterapkan dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi.

Kawasan hutan produksi yang tidak produktif berupa hutan rawang dan semak belukar dapat dibangun hutan tanaman menggunakan sistem silvikultur tebang habis perbuatan buatan (THPB) sedangkan pada padang alang-alang dan tanah kosong dapat dilakukan reboisasi.

Sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan yang terencana dan sistematis mengenai kegiatan pengelolaan hutan yang terdiri dari beberapa kegiatan teknis seperti pembibitan, penanaman, perawatan dan pemanenan. Kegiatan ini semakin berkembang dengan adanya pengendalian hama terpadu, pemuliaan pohon, rekayasa tapak, pengelolaan struktur dan

(9)

komposisi tegakan dan lain-lain. Sistem silvikultur juga pernah mengakomodasi kepentingan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu bulat, secara berlebihan sehingga mengedepankan prinsip kelestarian hasil hutan (sustained yield principle). Prinsip ini terbukti kurang sesuai sehingga perlu diganti dengan prinsip kelestarian hutan (sustained forest management)yang mengedepankan aspek ekosistem setempat.

Pada dua dasawarsa pertama semenjak sistem konsesi hutan alam dibuka, kepentingan pemanfaatan hasil hutan kayu telah memenuhi sasarannya sampai mengantarkan Indonesia sebagai penghasil kayu bulat terbesar di dunia, menjadi pemasok 79 persen kebutuhan tropical hardwood dunia dan eksportir plywood terbesar di dunia. Pada akhir tahun 80-an sektor kehutanan menyumbang devisa terbesar setelah migas. Pada masa itu produksi kayu bulat Indonesia pernah mencapai 25-27 juta meter kubik per tahun.

Keberhasilan pemanfaatan hasil hutan kayu dari hutan alam rupanya tidak diikuti dengan keberhasilan regenerasi hutan.

Laju kerusakan hutan (forest degradation) dan perubahan hutan (deforestation) di Indonesia terus meningkat dan mencapai puncaknya pada masa reformasi digulirkan sebagai imbas dari eforia masyarakat. Hutan tropis Indonesia mengalami deforestasi sebesar 1,8 juta ha/tahun (1995-1997) sampai 2,8 juta ha/tahun (1997-2000). Indonesia pernah tercacat sebagai negara dengan laju kerusakan hutan tercepat didunia (Global Forest Resources Assessment (GFRA 2005) dan menyandang predikat sebagai negara penghasil gas rumah kaca (CO2) terbesar ke-3 di dunia.

Kerusakan hutan di Indonesia disebabkan banyak faktor yang saling berkaitan, diantaranya konversi hutan untuk berbagai kepentingan di luar sektor kehutanan seperti perkebunan, pertambangan, areal pemukiman, pertanian dan lain-lain.

Faktor lainnya adalah kebakaran hutan (forest fire) dan lahan, penebangan liar (illegal logging), perambahan hutan, perladangan berpindah (shifting cultivation), kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan yang masih “miskin”,

lemahnya kelembagaan, koordinasi dan konsolidasi, lemahnya pengawasan dan evaluasi, lemahnya penegakan hukum (low enforcement), ketimpangan antara kemampuan suplai kayu bulat dengan kapasitas terpasang industri pengolahan kayu, penebangan lebih besar dari riap hutan, konsesi hutan, lesunya pembangunan hutan tanaman, pungutan liar dan lain-lain.

Faktor lain yang perlu mendapat perhatian adalah sistem dan teknik silvikultur yang digunakan dalam mengelola hutan.

Para ahli kehutanan menilai sistem silvikultur yang pakai untuk mengelola hutan di Indonesiadi sudah cukup baik, namun dalam tahap pelaksanaan di lapangan terdapat pergeseran atau penyimpangan dari ketentuan yang termuat dalam sistem itu sendiri. Banyak pula yang berpendapat masih terdapat kelemahan dalam sistem silvikultur kita. Sistem TPI dirasakan masih terlalu sulit dalam aplikasinya karena menggunakan beberapa pilihan teknis limit diameter berdasarkan kondisi hutan yang tidak mudah dipraktekan di lapangan serta aspek pembinaan hutan yang masih belum memadai dibanding kegiatan pemungutan hasil hutan kayu. Kelemahan sistem TPTI terletak pada aspek pengawasan (controlling) dan indikator keberhasilan regenerasi hutan, baik dari tegakan tinggal (residual trees) maupun hasil penanaman perkayaan (enrichment planting). Melimpahnya permudaan alam sering dijadikan alasan untuk mengabaikan kegiatan penanaman pengayaan di lapangan. Sistem kubikasi yang diterapkan dalam kegiatan eksploitasi hutan membawa dampak yang kurang baik pada tegakan tinggal. Para penebang sering memilih pohon- pohon yang besar dan bernilai tinggi dengan meninggalkan jenis yang kurang dikenal (lesser know species) serta pohon- pohon cacat, seperti growong, terpuntir, luka dan sebagainya.

Akhirnya komposisi tegakan tinggal akan lebih banyak terisi oleh pohon-pohon berkualitas lebih rendah dan cacat.

Dikhawatirkan, regenerasi hutan berikutnya didominasi bibit- bibit yang berasal dari tegakan yang berkualitas rendah tersebut sehingga teknik ini dapat menyebabkan degradasi genetik tegakan.

(10)

Untuk meningkatkan transparansi kegiatan regenerasi hutan serta meningkatkan pertumbuhan tanaman, diperkenalkan sistem TPTJ. Namun sistem ini dinilai beberapa pihak masih mengandung kerawanan karena adanya variasi lebar jalur tanam, yang menerapkan tebang habis, sehingga dikhawatirkan mengurangi keanekaragaman jenis di areal tersebut serta dapat disalah gunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Sistem TPTII hanya menerapkan satu cara saja dalam pembuatan jalur tanam dengan lebar 3 meter serta jalur antara 17 meter.

Adanya titik-titik kelemahan semacam ini dijadikan alasan untuk mengganti sistem silvikultur yang satu dengan lainnya, meskipun sistem silvikultur lama belum pernah tuntas sampai satu siklus tebang atau akhir daur. Namun demikian ada baiknya apabila kita tetap mengkaji kembali semua sistem silvikultur yang pernah dan sedang diterapkan di hutan Indonesia untuk mendapatkan akumulasi historis ilmu pengetahuan dan teknologi kehutanan yang bermanfaat dalam melangkah ke depan serta mengambil pelajaran berharga dari pengalaman masa lalu.

Pembangunan hutan tanaman seharusnya dilakukan pada kawasan hutan tidak produktif, yaitu semak belukar, padang alang-alang dan lahan kosong. Namun banyak kasus di lapangan menyalahi ketentuan tersebut. Pembangunan hutan tanaman yang memerlukan dana besar sering dijadikan alasan untuk mengambil hasil hutan kayu melalui tebang penyiapan lahan sebelum penanaman itu dilakukan. Mereka lupa bahwa kondisi tanah di hutan tropis yang marginal rentan terhadap pencucian hara dan erosi, sehingga sangat cepat mengalami degradasi kesuburan. Tanaman biasanya tumbuh subur pada 3 sampai 5 tahun pertama, setelah itu mengalami staknasi disebabkan minimnya unsur hara tanah yang tersisa.

Menurut Wasis (2006), telah terjadi penurunan kualitas tempat tumbuh sebesar 26,6% di hutan tanaman yang berdampak pada penurunan pertumbuhan diameter sebesar 19,8%; biomassa sebesar 16,8% dan volume batang sebesar 19,0%. Hal ini

disebabkan adanya penurunan pH tanah C organik, N, Ca dan Mg.

Pemanfaatan dana reboisasi dinilai belum efektif untuk menunjang kegiatan reboisasi itu sendiri, terutama dalam mengatasi peningkatan jumlah kawasan hutan yang tidak produktif dan lahan kosong. Dalam banyak kasus pemanfaatan dana yang berasal dari kayu bulat hutan alam ini sering menyimpang dari tujuan semula, bahkan pernah dipergunakan untuk hal-hal diluar sektor kehutanan seperti pembangunan pabrik pesawat terbang di Bandung dan pembukaan lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah.

Gambar 1. State of the art penerapan sistem silvikultur pada hutan produksi

Target pembangunan hutan tanaman industri sebesar 6 juta ha pada tahun 1990 hanya terealisasi 2-3 juta ha (berdasarkan

Tropical Forest Landscape

Wet Land Dry Land

Mangrove Peat Swamp Low Land High Land Mountain Heath Monsoon Forest Forest Forest Forest Forest Forest Forest Forest

Protection Production Conservation

Forest Forest Forest

Berhutan Tidak

produktif

Kawasan Kawasan Kawasan Semak be

lindung produksi non produksi lukar,alang-

alang, lahan

Sistem Lestari Degradasi kosong

Silvikultur

TPI, TPTI, Hutan

TPTJ,TPTII tanaman

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pertumbuhan Meranti Merah ( Shorea leprosula Miq.) pada Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur di Areal IUPHHK-HA

Mempelajari struktur dan komposisi tegakan pada areal bekas tebangan dan kegiatan penjaluran dengan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) yang

Tanaman Shorea leprosula Miq dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) (Studi Kasus di Areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur Kalimantan Barat) adalah

Tebang Pilih Indonesia (TPI - SK Dirjen Kehutanan No. 485IKpts-1111989) adalah sistem silvikultur yang ditujukan untuk hutan hujan tropika Indonesia yang sebagian

Pengaruh pelaksanaan sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) terhadap sifat fisik dan kimia tanah, antara lain terjadi peningkatan kerapatan limbak, penurunan sifat

Berdasarkan Pedoman TPTII (2005), sistem TPTII adalah regime silvikultur hutan alam yang mengharuskan adanya tanaman pengkayaan secara jalur pada areal pasca penebangan tebang