• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SITUASI POLITIK

A. Pemuda dan Revolusi

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan oleh Ir Soekarno, di jalan Pegangsaan Timur 56 pada hari Jumat Legi, 17 Agustus 1945, pukul 10.00. Dalam waktu singkat, berita tentang proklamasi kemerdekaan menyebar ke berbagai daerah. Penelitian George Mc. T Kahin1 dan Ben Anderson2 menunjukkan bahwa pusat daya dorong kekuatan revolusi dalam tahap pertama dari perjuangan untuk merebut kemerdekaan itu terutama terletak, bahkan dengan tingkat yang paling menentukan, adalah di tangan pemuda. Peranan pokok angkatan muda, pada permulaan revolusi nasional Indonesia tahun 1945, adalah kenyataan politik yang paling menonjol pada zaman itu.3 Bagi Belanda yang

1

George MT Kahin, 1995, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik, Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Jakarta: UNS dan Pustaka Sinar Harapan.

2

Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hlm. 4.

3

Ada banyak kajian yang mengulas tentang Revolusi Kemerdekaan Indonesia khususnya di seputar peristiwa proklamasi dengan sekian kontroversinya. Historiografi yang sering dijadikan referensi adalah desertasi Ben Anderson yang berjudul Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946,3 desertasi George Mc. Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia,3 Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 19453. Gambaran situasi sosial masyarakat masa itu dapat dilihat dalam Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Kisah Pemberontakan Madiun September 1948.3 Penulisan pada masalah di sekitar proklamasi kemerdekaan di tahun 1945 dalam bab ini akan dititikberatkan pada beberapa hal yang mengakibatkan kabinet presidensil Soekarno dan Hatta jatuh, sehingga memungkinkan Syahrir dan Tan Malaka mempunyai peran yang lebih besar dan menentukan.

sedang berusaha datang kembali dan Inggris serta bagi masyarakat Indo dan Tionghoa, kata pemuda, yang dulu “biasa saja” dengan cepat memperoleh pancar cahaya yang menakutkan dan kejam.4

Keputusan Pemerintahan Sukarno untuk tetap mempertahankan birokrat-birokrat yang dahulu bekerja kepada Pemerintaan Hindia Belanda dan kemudian Jepang, mendapat kritik dari para pemuda atau para pemimpin gerakan di Jakarta seperti Syahrir, dan kemudian Tan Malaka, dan bahkan direspon dengan revolusi sosial di beberapa daerah. Hingga pada bulan November dan Desember revolusi di wilayah pedesaan memasuki suatu tahapan yang lazim dikenal sebagai ‘revolusi sosial’.

Kedatangan pasukan-pasukan pertama Sekutu justru meningkatkan ketegangan di Sumatera dan Jawa dan mendorong tokoh-tokoh di daerah untuk diragukan kesetiaanya kepada perjuangan nasional. Atas nama ‘kedaulatan rakyat’ para pejabat pemerintahan, kepala-kepala desa, dan anggota-anggota polisi yang kesetiaannya disangsikan, atau yang dituduh melakukan korupsi, pencatutan, atau penindasan selama pendudukan Jepang dilawan oleh para pemuda.5

Bagi Soe Hok Gie, ada suatu dorongan intuisi yang kuat sekali pada pemuda-pemuda bahwa mereka adalah pembebas penderitaan rakyat.6 Dalam suasana psikologis ini, kita dapat mengerti mengapa lagu Darah Rakyat menjadi

4

Ben Aderson. loc. cit

5

Lihat Ben Aderson, op.cit., hlm.. 23, Bandingkan dengan Soe Hok Gie, op..cit. hlm. 45.

6

begitu cepat tersebar setelah dinyanyikan pada bulan September 1945 di lapangan Ikada.7 Seolah-olah ada identifikasi diri antara lagu tadi dan cita-cita mereka.8

Darah rakyat masih berjalan. Menderita sakit dan miskin. Pada datangnya pembalasan. Kita yang menjadi hakim. Hayo, Hayo bergerak sekarang. Kemerdekaan tlah datang. Merahlah panji-panji kita. Merah warna darah rakyat(2x). Kita bersumpah kepada rakyat. Kemiskinan pasti hilang. Kaum kerja akan memerintah. Dunia baru tentu datang.“9

Di ibu kota naluri politik pemuda yang ”beringas” berawal dari ketidaksesuaian pandangan di hari-hari menjelang proklamasi yang berujung dengan penculikan Soekarno dan Hatta yang dilakukan oleh para pemuda yang didukung oleh Sapoe Mas, satu grup PETA (Pembela Tanah Air) yang berbasis di Rengas Dengklok. Ketidaksesuaian para pemuda dengan Sukarno berlanjut. Dalam persiapan proklamasi, para pemuda sangat kecewa dengan Soekarno dan Hatta karena melibatkan para perwira Jepang terlibat pembuatan teks proklamasi dan mengabaikan teks proklamasi yang dibikin oleh para pemuda. PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) juga disebut oleh para pemuda sebagai boneka Jepang karena para pemuda mempunyai sikap agar proklamasi dipisahkan dengan segala kelembagaan produk Jepang.10

7

Ibid.

8

Untuk kajian soal lagu-lagu dalam revolusi dapat dibaca Wisnu Mintargo, 2003, ”Lagu Propaganda dalam Revolusi Indonesia 1945 – 1949”, Humaniora Volume XV. Yogyakarta: Gajah Mada Pers.

9

Soe Hok Gie, loc.cit.

10

Soekarno bersedia melaksanakan proklamasi dengan jaminan bahwa pejabat-pejabat militer Jepang akan mengizinkan proklamasi kemerdekaan. Ketika teks

proklamasi sedang dibikin, pembantu Laksamana Maeda yang lain yaitu Nishimura bersama Sukarni dan Sayuti Melik bergerak ke penjuru kota Jakarta agar para pemuda yang telah bersiaga tidak membikin tindakan. Pembikinan teks proklamasi dilangsungkan di rumah Laksamana Tadashi Maeda, kepala Bukanfu (Kantor Penghubung

Ketidakpercayaan kepada Pemerintahan Soekarno semakin menjadi ketika Pemerintah tidak bersikap tegas kepada Jepang dan kehadiran tentara Sekutu11 (Inggris-yang membawa serta serdadu India dan Gurkha – serta Australia) yang disertai para serdadu NICA (Netherlands Indie Civil Administration/Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) dan serdadu KNIL (Koninjklijk Nederlands Indisch Leger/Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda) yang masih setia kepada kerajaan Belanda, padahal pertempuran melawan kaum imperialis ini telah berkobar di sepanjang pulau Jawa dalam kurun waktu September hingga Desember 1945, seperti di Bandung, Semarang, Magelang-Ambarawa, dan peristiwa dramatik di Surabaya, dan juga di berbagai tempat di Indonesia lainnya. Semua pertempuran tersebut bukanlah kebijaksanaan pemerintah tetapi lebih merupakan cerminan radikalisme para pemuda guna mempertahankan senjata-senjata, gedung-gedung dan alat-alat transportasi yang telah mereka rebut dari tentara pendudukan Jepang untuk mengisi kemerdekaan.

Di Jakarta, rapat raksasa di lapangan Ikada pada tanggal 19 September 1945, dijaga secara ketat oleh miiter Jepang, karena atas permintaan Inggris, Jepang tidak mengizinkan acara itu karena dikhawatirkan akan mengganggu ketertiban. Diperkirakan 20.000 orang hadir, Soekarno dan Hatta hadir. Soekarno

Rikugun/Angkatan Darat dan Kaigun/Angkatan Laut Jepang). Lihat Sidik Kertapati, 2000, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Penerbit Pustaka Pena, hlm. 78.

11

AFNEI/Allied Forces-Netherlands East Indie (Pasukan Sekutu Hindia Timur Belanda) di bawah komando Sir Philip Christison.

hanya berbicara beberapa menit, itu pun hanya menghimbau supaya rakyat bubar dan patuh kepada perintahnya.12

Itulah masa dimana pemuda bergerak dengan penuh keberanian. Itulah revolusi pemuda dalam sejarah republik ini. Para pemudalah yang memelopori tindakan-tindakan konsolidasi RI, merebut gedung- gedung pemerintah, pabrik-pabrik, perkebunan dan gudang-gudang militer.

Kebangkitan revolusi fisik di daerah yang dimotori para pemuda ini berawal dari Surabaya, bukan di Jakarta. Empat hari setelah proklamasi, para pekerja di perusahaan penyulingan minyak telah membentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI).13 Di Surabaya juga, Sumarsono dan Ruslan Wijaya membentuk Angkatan Muda pada 25 Agustus. Tindakan mereka menginspirasi para pemuda lain di kota-kota lain dengan menduduki kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan yang dulu dikuasi Jepang. Bendera Merah Putih mulai dikibarkan di tempat-tempat itu bersama gelora pekik Merdeka.14 Surabaya di bulan September dimeriahkan dengan berbagai aksi pemuda yang semakin memuncak dan lahir berbagai organ dan laskar kepemudaan.

Semangat yang berkobar itu juga mempengaruhi bidang-bidang lain di luar politik termasuk dalam bidang seni dan sastra. Gelora pemuda ini sungguh

12

Tan Malaka hadir dalam peristiwa besar itu sebagai bagian dari massa. Lihat: Harry A. Poeze, 1995, Pergulatan Menuju Republik, Tan Malaka 1925-1945. Jakarta: Grafiti, hlm. 212.

13

G. Moedjanto, 1988, Indonesia Abad Ke-20 (1); Dari Kebangkitan Nasional hingga Linggajati. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 141 – 180.

14

menginspirasi para penyair muda angkatan ’45.15 Untuk menggambarkan situasi revolusi sosial para pemuda waktu itu, sastra zaman ini sangat kuat menampilkannya16 seperti puisi-pusi karya Chairil Anwar17 atau roman karya Idrus yang berjudul Surabaya.18

Dokumen terkait