• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

D. Pemurnian dan Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis 10

kelarutan, kemurnian zat yang diperiksa dan pelarut harus benar-benar terjamin karena adannya sedikit pengotor dapat menyebabkan terjadinya variasi hasil (Jenkins, G.L., Knevel, A. M., Digangi, F.E., 1965).

Tabel I. Istilah kelarutan menurut Farmakope Indonesia IV Istilah Kelarutan Jumlah bagian pelarut (ml)

yang digunakan untuk melarutkan 1 bagian zat

(gram) Sangat mudah larut Kurang dari 1

Mudah larut 1 sampai 10

Larut 10 sampai 30

Agak sukar larut 30 sampai 100

Sukar larut 100 sampai 1000

Sangat sukar larut 1000 sampai 10.000 Praktis tidak larut Lebih dari 10.000

(Dirjen POM RI, 1995)

D. Pemurnian dan Pemeriksaan Kemurnian Senyawa Hasil Sintesis 1. Rekristalisasi

Pemurnian padatan dengan rekristalisasi didasarkan pada perbedaan kelarutannya dalam pelarut atau campuran pelarut (Anwar, Pranowo, dan Wahyuni, 1994). Rekristalisasi merupakan proses pemurnian suatu zat padat dengan cara melarutkan zat tersebut dengan pelarut panas kemudian didinginkan. Dengan pemanasan maka kelarutan akan meningkat dan ketika didinginkan kelarutan akan berkurang secara cepat dan senyawa mulai mengendap dalam bentuk kristal (Bresnick, 1996).

Tujuan yang paling utama dari rekristalisasi adalah untuk mengkristalkan kembali suatu senyawa dalam bentuk kristal yang baik, bukan dalam bentuk endapan yang halus yang dapat menarik kotoran karena permukaannya yang luas. Maka untuk menghindarkan adanya kotoran yang mengganggu proses rekristalisasi, pengotor harus larut dalam pelarut untuk rekristalisasi agar pengotor tidak akan ikut mengkristal (Bresnick, 1996).

Metode rekristalisasi ada beberapa macam dan digunakan sesuai dengan kondisi atau sifat dari zat yang akan direkristalisasi. Beberapa metode rekristalisasi tersebut antara lain adalah :

a. Mengkristalkan kembali secara langsung dari cairan pelarut. Metode ini dilakukan dengan melarutkan zat ke dalam suatu pelarut kemudian disaring dan dikristalkan dengan cara didiamkan pada suhu dingin.

b. Mengkristalkan kembali dengan asam dan basa. Prinsip dari metode ini adalah pembentukan kristal dengan menetralkan sifat senyawa. Senyawa yang sesuai direkristalisasi dengan metode ini adalah senyawa-senyawa yang bersifat asam atau basa. Senyawa yang bersifat asam dilarutkan dalam natrium hidroksida atau amonium hidroksida encer kemudian direkristalisasi dengan mentralisir pelarut. Senyawa yang bersifat basa dilarutkan dalam asam klorida atau asam sulfat kemudian direkristalisasi dengan menetralisir pelarut.

c. Mengkristalkan kembali secara presipitasi dengan pelarut kedua. Metode ini merupakan cara yang paling sederhana dengan hasil yang tidak memuaskan karena kristal yang dihasilkan pada umumnya masih mengandung pengotor. Cara

12

melakukan metode ini adalah dengan melarutkan senyawa yang akan direkristalisasi dalam suatu pelarut, kemudian dipilih pelarut kedua yang bercampur sempurna denagn pelarut pertama namun tidak dapat melarutkan senyawa yang direkristalisasi. Zat akan mengendap setelah penambahan pelarut kedua pada pelarut pertama.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu pelarut agar dapat digunakan untuk merekristalisasi dengan hasil yang optimal. Pelarut yang baik untuk merekristalisasi adalah :

a. Dapat melarutkan senyawa dalam jumlah banyak pada pemanasan suhu tinggi dan sedikit melarutkan pada pemanasan suhu rendah.

b. Harus dapat melarutkan pengotor dengan segera pada temperature rendah atau tidak sama sekali dapat melarutkan atau hanya dapat sedikit melarutkan.

c. Dapat menghasilkan bentuk kristal yang baik dari senyawa yang dimurnikan serta mudah dipisahkan dari bahan utama (mempunyai titik didih yang relatif rendah). d. Pelarut dengan cara bagaimanapun tidak boleh bereaksi dengan senyawa yang

direkristalisasi (Reksohadiprojo, 1996).

2. Pemeriksaan Titik Lebur

Titik lebur adalah proses perubahan fisika pada suhu tertentu yang mengakibatkan padatan mulai berubah menjadi cair pada tekanan atsmosfer. Jika suhu dinaikkan, molekul senyawa akan menyerap energi, sehingga bila energi yang diserap cukup besar maka akan terjadi vibrasi dan rotasi dari molekul tersebut. Bila

suhu tetap dinaikkan terus maka molekul akan rusak dan berubah menjadi cairan (Bradstatter, 1971).

Pemeriksaan titik lebur dapat memberikan informasi mengenai kemurnian dari suatu produk hasil sintesis. Ketajaman jarak lebur senyawa merupakan criteria kemurnian suatu senyawa. Pada umumnya suatu senyawa dinyatakan murni bila jarak leburnya tidak lebih dari 2°C. Rentangan lebih besar dari harga ini dapat dikatakan senyawa kurang murni (MacKenzie, 1967).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi titik lebur senyawa padat, antara lain adalah :

d. Ikatan antar molekul. Semakin kuat ikatan antar molekul dari suatu senyawa, maka akan semakin besar energi yang diperlukan untuk memecahnya dan dengan kata lain titik lebur akan semakin tinggi. Ikatan yang dimaksud adalah ikatan hidrogen dan ikatan Van der Waals.

e. Kesimetrian. Apabila suatu molekul senyawa merupakan suatu senyawa yang simetri, maka energi yang akan diserap akan lebih banyak sehingga semakin simetri suatu senyawa, akan semakin tinggi pula titik leburnya. f. Ukuran molekul. Molekul yang berukuran lebih besar pada umumnya melebur pada suhu yang lebih tinggi.

g. Polimorfisme. Suatu senyawa terkadang memiliki beberapa bentuk kristal dan dalam hal ini akan memberikan titik lebur yang berbeda-beda (Bradstatter, 1971).

14

h. Adanya pengotor. Adanya pengotor menyebabkan titik lebur menjadi lebih rendah atau lebih tinggi dari bahan yang murni, sehingga hal tersebut akan menyebabkan peleburan yang tidak nyata (Reksohadiprodjo, 1996).

3. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

Metode ini menggunakan dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak yang memiliki kepolaran yang berbeda. Fase gerak akan bergerak naik melalui fase diam oleh karena gaya kapilaritas. Berdasarkan hal tersebut dapat dinyatakan jarak rambat senyawa pada fase diam (Rf) dapat digunakan sebagai cerminan polaritas suatu senyawa (Bresnick, 1996).

Metode ini digunakan untuk mengetahui apakah senyawa hasil sintesis sudah terbentuk atau belum (analisis secara kualitatif) (Gasparic and Churacek, 1978). Senyawa hasil sintesis ditotolkan pada plat KLT silika gel GF254 dan dielusi bersama dengan pembanding starting material, yaitu 1,3 sikloheksanadion dan 4-klorobenzaldehid. Terbentuknya senyawa baru diindikasikan ketika pada totolan senyawa hasil sintesis menunjukkan Rf yang berbeda dengan Rf starting material. Dalam pengidentifikasian bercak yang ada pada lempeng KLT dapat dilakukan dengan menempatkan lempeng KLT di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm (Bresnick, 1996).

4. Gas Chromatography-Mass Spectra (GC-MS)

Kromatografi gas merupakan instrumen analitis yang memberikan informasi baik kualitatif maupun kuantitatif mengenai komponen suatu sampel. Sedangkan spektroskopi massa merupakan suatu instrumen yang dapat memberikan informasi mengenai bobot molekul suatu senyawa.

Metode kromatografi gas dan spektrometri massa memberikan keuntungan saat keduanya digunakan secara bersamaan. Proses pemisahan dilakukan oleh kromatografi gas, sedangkan proses identifikasi dan kuantitatif dilakukan oleh spektrometri massa. Keuntungan dari kromatografi gas-spektrometri massa antara lain adalah metode ini dapat digunakan untuk hampir semua jenis analit, memiliki batas deteksi yang rendah, dan memberi informasi penting tentang spektra massa dari suatu senyawa organik (Dean, 1995).

Dokumen terkait