• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV INTERPRETASI AL-SYA’RAWI DAN M. QURAISH

B. Penafsiran Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī

ٍِّْْبكم ٍّنااخُدُِّ ُءىااماسلا ىِتْاتَ امْوا ي ْبِقاتْرَااف

١٠

ٌْْيِلاا ٌُّ ااذاع ااذٰه ۗاساانلا ىاشْغا ي ﴾

١١

اانا ُّارَ ﴾

انْوُ نِمْؤُم انَِّا اُّ ااذاعْلا ااناع ْفِشْكا

١٢

“Tidak ada tuhan selain Dia, Dia yang menghidupkan dan mematikan. (Dialah) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu dahulu. Tetapi mereka dalam keraguan, mereka bermain-main. Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, lenyapkanlah azab itu dari kami. Sungguh, kami akan beriman.” (Qs.

al-Dukhān [44]: 8-12)

B. Penafsiran Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī

يُْيُ اوُه الَِا اهٰلِا ٓالَ

ُتْيُِيُاو

ۗ

اِْْلاواْلَا ُُُْكِٕىاَٰا كُّ ارَاو ُُْْكُّارَ

٨

Menurut al-Sya’rāwī, Allah SWT menginginkan dari kita selalu mengaitkan perkataan kita dengan perbuatan kita. Kalimat lā ilāha, lafaz al-ilāh mengandung makna Dia yang sebenarnya berhak disembah, karena orang-orang yang menyembah berhala juga menamakan tuhan mereka ālihah (Tuhan). Ālihah tersebut adalah tuhan-tuhan yang mereka sangkakan dan mereka gambarkan, akan tetapi tuhan-tuhan tersebut adalah tuhan yang batil begitu juga penamaannya batil. Karena al-ilāh merupakan Tuhan yang sebenar-benarnya patut disembah yang memiliki jalan dan diperkuat dengan bukti-bukti (dalil).1

1 Muḥammad Mutawalli Sya’rāwī, Tafsīr Sya’rāwī (Mesir: Akhbār al-Yaum, 1991), 13985.

Adapun tuntunan mereka merupakan tuntunan yang tidak memiliki dalil. Mereka hanya beribadah sesuai dengan yang dikehendaki diri mereka sendiri dari keberpalingan dari agama sehingga jikalau mereka menyembah berhala, tidak ada beban dan cara tertentu untuk beribadah bagi mereka.2

Agama sebagaimana yang kami katakan, adalah fitrah manusia. Fakta dan percobaan yang ditetapkan dengannya. Maka ketika sempitnya jalan bagi manusia sehingga menyebabkan kafir, mereka berkata, “wahai Tuhan, kami berlindung kepada yang disembah dengan sebenar-benarnya dan tidak memperdaya dirinya, karena kekuatan yang turun kepadanya, dia mengetahui bahwa tidak dapat disingkap kecuali oleh Allah.3

Karena itu, mereka tidak mengatakan, “Wahai Lata, Wahai Uzza” tetapi untuk penyesalan ketika Allah menyingkap dan melepaskan beban mereka, seperti tuhan yang mereka sembah kepada apa yang mereka adakan. Banyak ayat al-Qur’an yang berbicara terkait makna ini, sebagaimana firman Allah SWT,

هِبْناِلِ انَّااعاد كركضلا انااسْنِْلَا اسام ااذِااوْۢ

ْواا

اًدِعااق

ْواا

اًمكِٕىااق

ۚ

اامالا ف

اشاك

اانْفْ

ُهْناع

هارُض

ٗ

ارام

ْناااك

ْالّ

ٓاانُعْداي

ٰلِا

ٍّ رُض

هاسام

ٗ

ۗۗ

اكِلٰذاك

انِ يُز

اِْْفِرْسُمْلِل

اام

اْوُ نااك

انْوُلامْعا ي

.

(

١٢

)

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu darinya, dia kembali (ke jalan yang sesat), seolah-olah dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya. Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang yang melampaui batas apa yang mereka kerjakan.”

Setelah berfirman, lā ilāha illā huwa (tidak ada tuhan kecuali Dia), Allah SWT mendatangkan bukti (dalil) dengan firman-Nya, yuḥyi wa yumīt (yang menghidupkan dan mematikan). Karena urusan menghidupkan dan

2 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13985.

mematikan adalah urusan Allah Yang Maha Esa, tidak ada perdebatan terkait hal ini. Orang-orang yang bersenang-senang dengan kehidupan tidak akan mengganggu kesenangan mereka, kecuali mereka melihat kematian di sekitar mereka, mereka akan berkeliaran dan di ambang keputusasaan atas sesuatu yang menimpa mereka.4

Jadi, Allah SWT datang kepada orang-orang yang mencintai-Nya, yang berkuasa atas hidup dan matimu adalah Allah SWT. Karena itu, tidak pantas kamu lalai terhadap-Nya, atau berpaling dari manhaj dan jalan-Nya kepada jalan yang lain.5

Firman-Nya, yuḥyī wa yumīt (yang menghidupkan dan mematikan) terjadi dengan perbuatan kepada yang lain. Jika yang berkaitan dengan sifat-Nya, bahwa Dia Maha Hidup dan Maha Terus-menerus Mengurus (makhluk-Nya). Sebagaimana firman-Nya pada ayat Kursi,

.ُمْوك ياقْلا كياْلْاا ۚاوُه الَِا اهٰلِا ٓالَ ُٰ للّاا

“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya),” (Qs. Al-Baqarah[2]: 255)

Sebagian ulama berpendapat bahwa al-ḥayyu (Maha Hidup) merupakan nama Allah yang paling agung, karena ia merupakan asal, sedangkan semua sifat yang lain atau nama yang lain merupakan cabang darinya. Sebagian ulama juga berpendapat bahwa al-ḥayyu adalah nama yang paling agung dalam hal pemberian anugerah, sedangkan Allāh adalah nama yang paling agung dalam hal ubudiyah (penyembahan). Karena makna kalimat Allāh adalah yang disembah dan ditaati di dalam setiap perintah-Nya.6 Dan selalu ditaati setiap perintah-Nya. Jadi, ketika Anda meminta kepada Allah, kamu katakan, “bismillāh” (dengan nama Allah),

4 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13986.

5 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13986.

maknanya adalah dengan nama Allah saya menerima amal ini, karena amal membutuhkan kekuatan, dan membutuhkan akal untuk berpikir sebelum memulai pekerjaan tersebut, begitu juga butuh akan hikmah.7

Semua hal ini dari manakah mendapatkannya? Dari Allah, karena Dia adalah Zat yang terkumpul sifat kesempurnaan pada-Nya, dan mengalirkan kepadamu dari sifat-sifat-Nya. Karena itu, wajib memohon pertolongan dan tawakal kepada-Nya. Orang yang berkata bahwa nama yang paling agung (al-ḥayyu) dia melihatnya dari perspektif anugerah, sedangkan yang berkata nama yang paling agung adalah Allāh karena melihatnya dari perspektif kewajiban.8

Firman Allah SWT, rabbūkum wa rabb ābā’ukum al-awwalīn ((Dialah) Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu dahulu). Allah SWT dalam ayat ini ingin berdebat dangan orang-orang kafir yang sezaman dengan Rasulullah Saw, karena mereka berkata,

َ

ن ْو ُدَتق ُّم ْم ِه ِرْ ثٰا ىٰٓلَع اَّنِا َّو ٍة َّمٰ ا ىٰٓلَع اَن َءۤاَبُ ا ٓاَن ْد َج َو اَّنِاٰ

٢٣

“Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.” (Qs. al-Zukhruf[43]: 23 )

Karena itu, Allah SWT ingin memperlihatkan kedustaan mereka di dalam ungkapan ini. Jikalau mereka pengikut perbuatan nenek moyang mereka, maka mereka akan mengikuti jalan Nabi Adam as. Akan tetapi mereka ragu terhadapnya dan mereka menyimpang dari petunjuknya sampai berubah ucapan agamanya. Begitu banyak rasul yang datang untuk memberikan petunjuk kepada mereka.9

7 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13987.

8 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13987.

ُْْه ْلاُّ

ْيِف

انْوُ باعْلا ي ٍّ كاش

٩

“Tetapi mereka dalam keraguan, mereka bermain-main.” (Qs. al-Dukhān[44]: 9)

Pada ayat ini Allah SWT menetapkan dan mensifati bahwa mereka dalam keraguan atas agama Allah, dan mereka bermain-main. Artinya mereka tidak sungguh-sungguh pada masalah ini. Seandainya mereka disifati dengan salah satu sifat pada ayat di atas (ragu dan bermain-main) maka sudah cukup untuk menunjukkan jauhnya mereka dari hamparan iman.10

Ayat hum fī syaqq (mereka dalam keraguan). Kita akan mengetahui makna syaqq, kami katakan: sesungguhnya hubungan aqliyah dalam memutuskan hukum ada enam hubungan. Di antaranya dengan al-‘ilm (ilmu): yaitu mempertimbangkan gugatan atau perkata yang menguatkan fakta. Al-jahl (kebodohan): yaitu mempertimbangkan gugatan atau perkara yang bertentangan dengan fakta. Al-taqlīd (bertaklid): yaitu mempertimbangkan gugatan atau perkara tetapi tidak dapat menunjukkan dalil atasnya, seperti anak kecil yang bertaklid kepada bapaknya mengatakan, “Allah Maha Esa” tetapi anak kecil tersebut tidak mengetahui dalilnya. Al-syak (keraguan): yaitu ada dua perkara yang sama yang tidak dapat dikuatkan salah satunya dengan yang lain, jika Anda menguatkan salah saatunya, maka penguatan itu berdasarkan sangkaan. Sedangkan yang ditarjih adalah sebatas angan-angan.11

Maka jika al-syak (keraguan) jika menyamakan antara kekafiran dengan iman, dan seandainya mereka hanya berada dalam keraguan yang disertai dengan yal’abūn (bermain-main). Maka jika mereka berada di

10 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13988.

dalam keraguan dan bersungguh-sungguh dalam pencarian dan berharap dapat sampai kepada kebenaran, akan tetapi mereka bersenda gurau dan bermain-main, tidak akan bertaut pada mereka untuk sampai kepada kebenaran.12

Kemudian Allah SWT berfirman,

ٍِّْْبكم ٍّنااخُدُِّ ُءىااماسلا ىِتْاتَ امْوا ي ْبِقاتْرَااف

١٠

ٌْْيِلاا ٌُّ ااذاع ااذٰه ۗاساانلا ىاشْغا ي ﴾

١١

اانا ُّارَ ﴾

انْوُ نِمْؤُم انَِّا اُّ ااذاعْلا ااناع ْفِشْكا

١٢

“Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih. (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, lenyapkanlah azab itu dari kami. Sungguh, kami akan beriman.”

Allah SWT menjelaskan bahwa orang-orang musyrik tersebut tidak pernah meninggalkan keraguan dan kedustaan mereka kepada Rasulullah Saw. Orang-orang yang bersenda-gurau dan bermain-main bagi mereka pada suatu hari akan dihukum. Allah SWT berfirman, fa irtaqib maksudnya adalah tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas, yaitu kabut yang nyata dan tebal.13

Menurut Mutawalli al-Sya’rāwī, dukhān adalah gas yang saling memasuki dan memenuhi atmosfir atau udara, seperti kabut yang kita lihat di pagi hari. Tebalnya sampai menutup pengelihatan, karena masuk menghamburkan yang menyebabkan tersumbat celah yang sampai kepada mata. Kemudian menyebabkan udara menjadi sempit pada pernafasan. Apabila Anda tidak dapat melihat yang disertai dengan sempitnya pernafasan, maka Anda akan temukan penderitaan yang pedih yang tidak dapat ditanggung manusia.14

12 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13988.

13 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13989.

Ada juga yang mengatakan bahwa dukhān di sini adalah tanda kegersangan yang ditimpakan kepada mereka dan kekeringan yang diturunkan kepada mereka. Karena ketika kedustaan mereka sudah keterlaluan kepada Rasulullah Saw dan semakin membahayakan dan menyakiti Rasulullah Saw dan sahabatnya, maka Rasulullah Saw mendoakan mereka, “

ْدُدْشا اُْهاللا

اكاتاأْطاو

ااهْلاعْجا اُْهاللا اراضُم ىالاع

اِْنِس

افُسوُي ِنِِساك

.

“Ya Allah keraskanlah sikaan-Mu atas suKu Mudlar dan timpakanlah kepada mereka musim paceklik sebagaimana terjadi di zaman Yusuf.”

Maka ditimpakan kepada mereka pacekelik dan kekeringan sehingga mereka memakan bangkai dan anjing yang sudah mati. Bahkan sampai mereka memakan al-‘alhaz, yaitu bulu domba atau bulu onta yang bercampur dengan darah kering. Sehingga kemudian mereka merengek dan pergi kepada Rasulullah Saw dan meminta Rasulullah Saw mendoakannya kepada Allah agar terangkat apa yang ditimpakan kepada mereka.15

Allah SWT telah menampakkan kepada Rasul-Nya kedustaan mereka. Maka sekalipun azab tersebut diangkat dari mereka maka mereka akan kembali lagi kepada sedia kala, yaitu kekafiran dan kedustaan.16

Adapun makna yugsyī al-nās (yang meliputi manusia) adalah mengepung dan menutupi mereka. Hāżā ‘ażābun ‘alīm (ini adalah azab yang pedih), karena menyebabkan pengelihatan terhalang dan menyempitkan pernafasan, maka mereka berteriak, rabbanā aksyif ‘annā al-‘ażāb innā mu’minūn (Ya Tuhan kami, lenyapkanlah azab itu dari kami. Sungguh, kami akan beriman). Dan Allah mengetahui bahwa mereka berdusta di dalam ungkapan mereka yang seperti ini.17

15 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13990.

16 Muḥammad Mutawalli al-Sya’rāwī, Tafsīr al-Sya’rāwī, 13990.

Dokumen terkait