• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM BIOGRAFI M. QURAISH SHIHAB DAN KITAB

A. Penafsiran M. Quraish Shihab terhadap Ayat-Ayat Zikir dan Syukur

72

mengingat Allah yakni “

رِويًيَ مذۡعف

”, manusia diperintahkan untuk mengingat-Nya dengan lidah, pikiran, hati dan anggota badan.

Mengingat Allah melalui lidah ditunjukkan dengan sikap menyucikan dan memuji-Nya. Mengingat Allah melalui pikiran dan hati, ditunjukkan dengan sikap perhatian terhadap tanda-tanda kebesaran-Nya. Sedangkan mengingat Allah melalui anggota badan ditunjukkan dengan jalan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Kemudian pada redaksi selanjutnya

مِيَمًيَمذعأ

”, M. Quraish Shihab menjelaskan dalam Tafsir Al-Mishbah jika zikir dengan lidah, pikiran, hati dan anggota badan dilakukan niscaya Allah ingat pula kepada hamba-Nya, maka Allah akan selalu bersama hamba-Nya saat suka dan duka.

Hal ini ditunjukkan sebagai bentuk penghiburan Allah kepada hamba-hamba yang senantiasa mengingat-Nya.1

Berdasarkan penafsiran di atas, dapat disimpulkan bahwa mengingat Allah dengan lidah, pikiran, hati dan anggota badan lebih diutamakan sebelum mengingat nikmat-Nya. Ia pun akan mengingat hamba yang mengingat-Nya dengan lidah, pikiran, hati dan anggota badan, sebagai bentuk penghiburan Allah kepada hamba yang senantiasa mengingat-Nya.

b. QS. Al-A'rāf [7]:201 نغ

َ وَ ُُ زِوْ يِ وُْ اُ غ

ْزاغ

َ ا وَ َُل

ُغ

ذغَ زُ يٰوٰ لّْا غُ زِّ فٌىٕ ِِ وَُْ لَغِ اغْزا اوْغْلَا غَوْ زِل

ّا ل

َ زا

“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, jika mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan,

1 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 1, (Jakarta : Penerbit Lentera Hati, 2005), h. 362.

mereka pun segera ingat (kepada Allah). Maka, seketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).”

Dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan mengenai ayat di atas, yakni perintah mengingat Allah untuk berlindung dari godaan-godaan setan. Perintah itu demikian, karena itulah cara yang paling tepat menghadapi rayuan setan, dan itulah hal yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang bertakwa. Ketika orang-orang bertakwa merasa was-was, mereka mengingat Allah, mengingat permusuhan setan terhadap manusia dan kelicikannya, mengingat dampak buruk yang diakibatkannya, maka ketika itu juga dengan cepat bagaikan “tiba-tiba” sebagaimana dipahami dari kata (

ۙعذرِعف

)

fa’iżā “maka ketika itu juga,” mereka melihat dan menyadari kesalahan-kesalahannya.2

Kata (

فئاط

) ṭā’if dalam ayat di atas dari kata (

فاط

),

atau ṭāfa yang berarti berkeliling. Sehingga kata (

فىِٕلط

) ṭā’if

dalam ayat di atas dipahami sebagai bisikan setan yang mengitari pikiran seseorang sebelum ia berhasil mempengaruhi manusia. Berkeliling dalam pengertiannya serupa dengan seseorang atau sesuatu yang berkeliling mengitari suatu tempat sebelum mendapat izin atau kesempatan untuk masuk ataupun turun. Dalam perumpamaan lain yakni seperti pesawat terbang yang berkeliling di udara sebelum mendapat izin untuk mendarat, atau burung yang berkeliling di udara sebelum terjun

2 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 5, h. 357.

menerkam mangsanya, bahkan dahulu masyarakat Arab sebelum menuju ke tempat kediamannya di Mekah terlebih dahulu berthawaf di Ka’bah.3

Dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa godaan setan yang disebutkan pada ayat tersebut belum sampai pada tingkat merayu orang-orang bertakwa untuk melakukan hal-hal yang sangat buruk. Godaan tersebut baru sampai pada upaya menciptakan suasana untuk bertindak negatif seperti perasaan was-was. Hal ini telah cukup memberi kesan bahwa setan selalu mengitari manusia bertakwa sekalipun. Ia menunggu kesempatan hingga ia berhasil membuat manusia melahirkan tindakan negatif. Namun pada orang-orang bertakwa, ketika setan mengitarinya mereka langsung sadar akan bahaya yang mengancam mereka dan dengan segera mengingat Allah. Ketika itu pula benih tindakan negatif yang berusaha ditabur oleh setan segera punah dan tidak menghasilkan buah.4

Penutup ayat ini yang menyatakan (

عّسويًرْسْمَ سِيه ۙعذراعف

)

fa’iżā hummubṣirūn/maka ketika itu juga mereka melihat telah menambah makna-makna yang tidak tertuang pada redaksi awal ayat ini. Redaksi tersebut menginformasikan bahwa godaan setan membutakan dan menutup serta mengunci mati mata hati, sebaliknya ketakwaan kepada Allah, pengawasan serta rasa takut pada murka dan siksa-Nya, demikian juga hal-hal yang menghubungkan hati manusia dengan Allah dan

3 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 5, h. 358.

4 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 5, h. 358.

menyadarkan dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya, kesemuanya mengingatkan orang-orang bertakwa, dan apabila mereka mengingat, maka terbuka mata hati mereka, serta tersingkap apa yang menutup mata mereka. Sesungguhnya rayuan setan adalah kebutaan, dan mengingat Allah adalah penglihatan. Godaan setan adalah kegelapan, dan mengarah kepada Allah adalah cahaya. Bisikan setan, disingkirkan oleh takwa, karena setan tidak punya kuasa terhadap orang-orang bertakwa. Demikian lebih kurang Sayyid Quthub.5

Berdasarkan penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengingat Allah merupakan cara yang paling tepat dalam menghadapi godaan setan, yakni godaan berupa perasaan was-was ataupun kegelisahan yang mampu menutup mata hati manusia. Dan inilah hal yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang bertakwa.

c. QS. Al-Ra’du [13]:28

ُُ وُْ

ُُ

ْو

ْا يّىى غَ وٰغَ ز ل

ّا زَو

ُ زذزِ ٓغ

ّغ ا ز ل

ّا زَو

ُ زذزِ وْ ُُُُ وُُُُْ يّىى غَ وٰغَ غَ ا وُُْ غِي ا غَوْ زِل

ّا

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, bahwa hanya dengan mengingat Allah hati akan selalu tenteram.”

M. Quraish Shihab menjelaskan dalam kitab Tafsir Al-Mishbah terkait ayat di atas yang menjadi pelengkap bagi ayat sebelumnya. Yakni orang-orang yang mendapat petunjuk Ilahi dan kembali menerima tuntunan-Nya, adalah orang orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram setelah sebelumnya bimbang dan ragu. Dalam hal ini, ketenteraman yang bersemi

5 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 5, h. 358-359.

di dada mereka itu disebabkan karena żikrullāh, yakni mengingat Allah, atau karena ayat-ayat Allah, yakni al-Qur an yang sangat mempesona kandungan dan redaksinya.6

Pada mulanya, kata (

ًَذ

) żikir yang tercantum pada ayat di atas memiliki arti “mengucapkan dengan lidah”, hingga kemudian makna ini berkembang menjadi "mengingat".

Mengingat sesuatu seringkali menggerakkan lidah untuk menyebutnya. Demikian juga menyebut dengan lidah dapat menggerakkan hati untuk mengingat lebih banyak lagi tentang apa yang disebut-sebut itu. Ketika sesuatu diingat dalam bentuk menyebut, maka apa yang disebut itu pastilah namanya. Oleh karena itu ayat di atas dipahami sebagai menyebut nama Allah.

Selanjutnya penyebutan nama sesuatu akan berkaitan erat dengan sifat, perbuatan maupun peristiwa yang berkaitan dengannya. Maka pada pemahamannya, menyebut keagungan Allah, surga atau neraka-Nya, rahmat dan siksa-Nya atau perintah dan larangan-Nya dan juga wahyu-wahyu-Nya tercakup ke dalam makna żikrullāh.7

Beberapa ulama berbeda pendapat terkait apa yang dimaksud dengan żikrullāh dalam ayat ini. Ada yang memahaminya dalam arti Al-Qur’an, karena memang salah satu nama Al-Qur'an adalah al-Żikr. Namun pendapat ini lebih sesuai untuk menjadi jawaban terhadap keraguan kaum musyrikin serta permintaan mereka mendatangkan ayat/bukti kebenaran Rasul saw. Ada juga yang memahaminya dalam arti

6 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 6, h. 599.

7 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 6, , h. 599.

zikir secara umum, baik berupa ayat-ayat Al-Qur’an maupun selainnya, bahwa zikir mengantar kepada ketenteraman jiwa apabila zikir itu dimaksudkan untuk mendorong hati menuju kesadaran tentang kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Bukan sekadar ucapan dengan lidah.8

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan terkait kata (

عاعۙ

)

alā, yakni suatu kata yang digunakan untuk menegaskan redaksi kepada yang diajak bicara terkait apa yang akan diucapkan. Dalam ayat ini, redaksi yang ditegaskan yakni tentang dzıkrullāh yang melahirkan ketenteraman hati.9

Pada kata (

ِّئَطت

) taṭma'innu/menjadi tenteram pada ayat di atas, bentuk kata kerja yang digunakan ialah bentuk kata kerja masa kini. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kata tersebut pada ayat ini bukan bertujuan menggambarkan terjadinya ketenteraman pada masa tertentu, tetapi ketenteraman yang bermakna kesinambungan dan kemantapannya. Ayat al-Ra’duini adalah ketenteraman dalam menyebut nama Allah yang rahmat-Nya mengalahkan amarah-Nya, yang rahmat-Nya mencakup segala sesuatu. Dimana ayat ini menggambarkan gejolak hati orang-orang beriman berupa ketenteraman jiwa ketika mereka mengingat rahmat dan kasih sayang Allah.10

8 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 6, h. 600.

9 M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 6, h. 600.

10M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 6, h. 601.

Berdasarkan penafsiran di atas, dapat disimpulkan bahwa żikrullāh atau mengingat Allah yang dilakukan dengan pengucapan lidah dan mengingat segala sifat rahmat serta kasih sayang-Nya, akan menumbuhkan ketenteraman jiwa dalam hati orang-orang yang beriman.

d. QS. Az-Zumar [39]:23 غَوْ زِل

ّا ُ

ُ وُْ

ُ ُُ ُُوْ زِ يَ زَ غّوْغَ رغْزِاغَلِ الَزِا غّغَيِ الْيَزُ زِوّ زِغَو

ْا غُ غَ وْغ ا غ

َ لُغْ ُ ل

ّغ ا ز ل

ّا ى غُِ

ُ غَزَْ زي ل

ّا زَو

ُ زْ ىي

ِ زا وْ ُُُُ وُْ

ُُ

ُ غَ وُُُْ وُْ ُ

ُ ُُ ُّوْ زُغَ لُْث وْ ُُلُغۙ غَوْ غّوْ غَ

ضُاغ

ُ وُ زِ هٗغ

ّ اغَغ

َ ُ ل

ّا زِزِوْيّ وُ غِ غَ ُُاا غَلّ وُ غِ هُزِ وْ زِوَغّ

“Allah telah menurunkan perkataan yang terbaik, (yaitu) Kitab (Al-Qur’an) yang serupa (ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang.) Oleh karena itu, kulit orang yang takut kepada Tuhannya gemetar. Kemudian, kulit dan hati mereka menjadi lunak ketika mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah tidak ada yang dapat memberi petunjuk.“

Pada ayat sebelumnya, redaksi ayat diakhiri dengan uraian tentang orang-orang yang membatu hati mereka terhadap żikrullāh. Sedangkan pada ayat di atas menjelaskan tentang Al-Qur’an serta dampak yang dirasakan terhadap orang-orang yang hatinya terbuka. Ayat di atas menyatakan: Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu firman-firman-Nya yang diturunkan secara bertahap sedikit demi sedikit dan terhimpun dalam kitab agung yakni Al-Qur’an yang serupa mutu ayat-ayatnya. Kesemuanya tersusun menjadi puncak kesempurnaan Al-Qur’an yang dipenuhi dengan beragam keterangan-keterangan, yang kendati pun berulang-ulang,

namun ia tidak juga membosankan pendengar dan pembacanya.

Kemudian setelah berlalu sekian lama, kulit dan hati mereka menjadi lunak dan tenang, dimana hati mereka cenderung kepada żikrullāh, mengingat Allah, sehingga hati mereka terbuka dan mampu menerimanya dengan penuh suka cita.11

Kata (

اهاشََ

) mutasyābihan dalam ayat di atas

bermakna serupa. Makna ini terambil dari kata (

هْك

) syabiha.

Makna serupa yang dimaksudkan dalam ayat di atas yakni keserupaan dalam mutunya, sehingga sangat sulit membedakannya. Penggunaan kata tersebut juga dilukiskan dalam Al-Qur’an dalam surah Ali-Imrān [3]:7, namun makna keserupaan yang terkandung di dalamnya menimbulkan kesamaran dalam membedakan karakteristiknya masing-masing.

Pada ayat tersebut terdapat dua bagian yang Allah lukiskan dalam ayat-ayat Al-Qur’an, yakni yang pertama (

ِْم

) muḥkam

yakni jelas maknanya, dan yang kedua (

تاهاشََ

) mutasyābihāt yakni yang samar maknanya sehingga dapat menimbulkan kerancuan bagi pembaca yang tidak mantap pengetahuannya.

Muḥkam (

ِْم

) tercakup dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang cukup banyak, sedangkan (

تاهاشََ

) mutasyābihāt tidak.

Selanjutnya pada kata (

ِاَّ

) maṡāniya adalah bentuk jamak

11M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 12, h. 217.

dari kata (

ةينَّ

) maṡniyah atau (

َّّّ

) muṡannā yang terambil dari

kata (

يننإ

) itsnain yakni dua. Dengan demikian kata tersebut berarti dua-dua atau berganda. Maksudnya adalah berulang-ulang.12

Ketika berbicara tentang (

باََ

) kitāban, ayat di atas menggunakan bentuk tunggal. Hal ini wajar karena merujuk kepada Al-Qur’an yang memang hanya berjumlah satu. Namun ketika berbicara tentang pengulangannya, ia menggunakan bentuk jamak. Penggunaan bentuk jamak sangat tepat karena hal ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah perincian ayat-ayat kitab itu.13

Selanjutnya kata (

ًُّشقت

) taqsya‘irru terambil dari kata

(

ةًًُُشَ

) qusya‘rirah yang bermakna kakunya kulit dengan sangat keras akibat rasa takut atau dingin. Dalam ayat di atas, penggunaan kata ini bermaksud untuk menjelaskan gemetar dan rasa takut yang timbul dalam diri seseorang karena mendengar atau membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Ini karena ketika itu jiwanya mengarah kepada ayat-ayat tersebut, sambil menyadari kelemahannya di hadapan Allah yang menurunkan

firman-12M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 12, h. 217-218.

13M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 12, h. 218.

firman itu, dengan segala keagungan dan kebesaran yang dapat muncul dalam benaknya.14

Kata (

يلت

) talīn terambil dari kata (

يْ

) līn yang berarti lemah lembut. Yang dimaksud adalah ketenangan dan kegembiraan menerima tuntunan Al-Qur’an. Kelemah-lembutan itu dilahirkan oleh ayat-ayat yang memberi harapan, serta menjanjikan curahan rahmat. Juga setelah pembaca dan pendengarnya menyadari betapa sempurna sifat-sifat Allah, yang antara lain menegaskan bahwa “Rahmat-Ku mengalahkan amarah-Ku.”15

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan bahwa ketika ayat di atas menguraikan tentang rasa gentar, yang disebutnya hanya kulit. Sedangkan ketika berbicara tentang ketenangan dan kelemah-lembutan hati, pembicaraan tersebut menggabungkan pembahasan kulit bersama hati. Menurut Ibn

‘Asyur, hal ini karena bergetarnya kulit adalah satu kondisi sementara, yang tidak terjadi kecuali karena rasa takut yang menyelubungi hati. Dari sini kata hati tidak perlu disebutkan.

Adapun ketenangan kulit, maka ini adalah kondisi yang normal.

Kulit yang tadinya gemetar, bila hati telah tenang akan kembali normal. Ketiadaan getar, dapat terjadi akibat kelengahan atau karena melupakan dan tidak berarahnya pikiran dan hati ke arah yang semestinya. Dari sini perlu disebut peranan hati untuk menekankan bahwa ketiadaan getar itu, bukan disebabkan oleh kelengahan. Penggalan ayat di atas dengan menyebut hati,

14M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 12, h. 218.

15M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 12, h. 218.

bertujuan menekankan bahwa hati yang bersangkutan terjaga dan sadar menyangkut ayat-ayat yang didengar atau dibacanya dan itulah yang mengantar kepada ketenangan dan hilangnya getaran kulit serta rasa takut.16

Berdasarkan penafsiran ayat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik berupa Al-Qur'an, yang serupa mutu ayat-ayatnya lagi berulang-ulang. Dimana kulit orang-orang yang takut kepada Allah, gemetar karena besarnya rasa takut kepada-Nya.

Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah, bukan sebagai hilangnya rasa takut kepada-Nya melainkan timbulnya ketenangan yang datang dari mengingat-Nya. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemimpin pun.

2. Syukur

a. QS. Al-Baqarah [2]:152

ࣖ زَ وَ َُُ

ُو

ُغَ ٓغ

ّ غَ وْ زِ ا وَ َُُ

ُ وْا غَ وُْ

ُ وَُ

ُْوغ ا ا وْ زِ وَ َُُ

ُْاو غ

َ

“Maka, ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu.

Bersyukurlah Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”

Dalam kitab Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat di atas memiliki arti bahwa Allah memerintahkan manusia untuk mensyukuri nikmat-Nya setelah

16M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 12, h. 218-219.

mengingat diri-Nya. Pada redaksi

“رّويًيف مْعت عاعو رِ سۙويًيْمكلعو”

,

Allah memerintahkan manusia untuk bersyukur kepada-Nya dengan hati, lidah dan perbuatan pula, sehingga niscaya Allah akan tambah pula nikmat-nikmat-Nya kepada hamba yang bersyukur. Kemudian Allah memerintahkan manusia untuk tidak mengingkari nikmat-Nya agar siksa-Nya tidak menimpa sesiapa yang ingkar setelah Ia turunkan nikmat-Nya.17

Berdasarkan penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setelah mengingat Allah, hendaknya manusia bersyukur dengan hati, lidah dan perbuatan sehingga niscaya akan Allah tambah pula nikmat-nikmat-Nya kepada hamba yang bersyukur.

Allah juga memerintahkan manusia untuk tidak mengingkari nikmat-Nya agar tidak datang kepadanya siksa setelah Ia turunkan nikmat-Nya.

b. QS. Āli-Imrān [3]:145 ا غَو

ْ يّّا غُا غْغ ث و

ُ زَيّ وُ غِ غَ ۗ ل

ً لُ غؤ يِ الْي

َ زُ ز ل

ّا زَو

ْ زازِ ٓل

ّ زا غَ وْ َُغَ وَغا ضٍوُغْزْ غَاغُ اغِغَ

غُوّزَ زُ لّْا ىزُ وْغْ غَ غَ ا غَوْ زِ هُزَوؤُْ زَ غَ زِي

ٓو

ّا غُا غْغ ث و

ُ زَيّ وُ غِ غَنا غَوْ زِ هُزَوؤُْ

“Setiap yang bernyawa tidak akan mati, kecuali dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Siapa yang menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu dan siapa yang menghendaki pahala akhirat, niscaya Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu. Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”

Ayat di atas memiliki kesinambungan terhadap ayat sebelumnya, dimana ayat ini dapat dipahami sebagai lanjutan

17M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 1, h. 362.

kecaman terhadap mereka yang kocar kacir setelah mendengar isu wafatnya Rasul saw. Mereka dikecam karena melupakan dan lengah terhadap janji Allah yang menegakkan bahwa Yang Maha Kuasa itu akan memelihara Rasul-Nya dan akan mengalami sesuatu yang menghambat suksesnya risalah beliau sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya: “Wahai Rasul, sampaikanlah (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir’’ (QS. al-Mā’idah [5]:

67). Dalam ayat di atas perintah menyampaikan risalah dibarengi dengan jaminan pemeliharaan dari gangguan manusia yang dapat menghambat tugas tersebut. Ayat ini dapat juga merupakan kecaman kepada mereka, karena tidak bertahan menghadapi serangan orang-orang musyrik karena khawatir gugur di medan juang, padahal kematian tidak akan menjemput kecuali seizin Allah dan Allah pun telah menentukan waktunya bagi masing-masing.18

Selanjutnya bila ditinjau dari segi bahasa, firman-Nya pada redaksi : (

ّاَاَو

) wa mā kāna pada mulanya berarti tidak biasa atau tidak wajar. Ketika kata itu dikaitkan dengan kematian satu jiwa yakni pada redaksi (

توت ّأ سفنْ

) linafsin an tamūt, maka secara harfiah terjemahannya adalah “Tidak wajar satu jiwa mati . . . ” Redaksi ini menimbulkan pertanyaan, terkhusus bila disambung dengan redaksi selanjutnya.

18M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 2, h. 233-234.

Pertanyaan ini seperti “Apakah ada yang wajar atau tidak wajar untuk menentukan datangnya kematian? Adakah pilihan bagi seseorang menyangkut kematian?” Tentu saja jawabnya:

“Tidak ada!” Jika demikian, apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan mengapa redaksi ayat itu berbunyi seperti itu?” Maka pertanyaan ini dijawab oleh Syekh Mutawalli al-Sya‘rawi sebagai berikut: “Seandainya ada seseorang yang akan membunuh dirinya, maka dia tidak akan mati sekalipun usahanya telah maksimal, kecuali Allah telah mengizinkan hal itu terjadi dengan memberikan perintah kepada malaikat maut untuk mencabut nyawanya. Kalau yang mau membunuh diri saja tidak dapat mati kecuali seizin-Nya, maka terlebih kepada mereka yang memelihara dirinya. Hal tersebut demikian, karena ajal telah ditentukan Allah, dan dengan demikian, tidak wajar seseorang menghindar dari peperangan karena takut mati.19

Redaksi selanjutnya mempertegas pembicaraan mengenai larangan menghindar dari peperangan karena takut mati, yakni pembicaraan mengenai motivasi. Dalam hal ini, terdapat dua motivasi dari dua pihak yang berbeda, yakni motivasi bagi orang-orang yang mundur dari perang Uhud yang berupa keinginan meraih materi, Sedangkan motivasi bagi orang-orang yang bertahan melanjutkan perjuangan ialah mengharapkan ganjaran Ilahi. Dengan dua motivasi yang berbeda inilah, maka ditegaskan-Nya pada redaksi selanjutnya bahwa barang siapa menghendaki dengan usahanya, pahala

19M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 2, h. 234.

dunia saja tanpa menghendaki pahala akhirat, niscaya Kami berikan kepadanya sebagian pahala dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi siapa yang Kami kehendaki. Kata sebagian dipahami dari (اهنم) minhā. Dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, maka Kami berikan pula kepadanya pahala akhirat sebagai anugerah dari Kami atas upaya menggunakan nikmat yang telah Kami berikan kepadanya sesuai dengan apa yang Kami gariskan, dan memang Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.20

Lebih rinci lagi, ayat ini dijelaskan maknanya oleh QS.

al-Isrā’[17]: 18-19: “Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (dunia), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orangyang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya Jahannam; dia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang dia adalah mukmin, m aka mereka itu adalah orang-orangyang usahanya dibalas dengan baik.”

Hal ini berarti bahwa kesuksesan duniawi dapat diraih oleh orang-orang yang tidak beriman, tetapi sukses itu tidak terlepas dari kehendak Ilahi juga, yang telah menetapkan sunnah-sunnah-Nya, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang berlaku umum bagi siapa pun dalam kehidupan dunia ini.

20M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 2, h. 235.

Namun, sukses tersebut hanya bersifat sementara selama di dunia dan tidak akan berlanjut hingga kemudian hari.21

Ayat ini bukan berarti bahwa yang menghendaki pahala duniawi tidak akan memperoleh pahala ukhrawi, jika ia berusaha ke arah sana. Cukup banyak ayat yang menunjukkan bahwa selama dia berusaha untuk seimbang maka keduanya dapat diraih oleh seorang muslim.22

Berdasarkan penafsiran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya, sekalipun orang tersebut bunuh diri, kecelakaan atau ikut serta dalam peperangan. Selanjutnya Allah menjelaskan dalam redaksi berikutnya bahwa manusia bebas memiliki motivasi apapun atas usahanya beserta setiap akibat yang akan dipetiknya. Yakni barang siapa menghendaki pahala dunia saja tanpa menghendaki pahala akhirat, niscaya Allah berikan kepadanya sebagian pahala dunia itu apa yang Ia kehendaki.

Dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, maka Allah berikan pula kepadanya pahala akhirat sebagai anugerah dari-Nya atas upaya penggunaan nikmat yang telah Ia berikan kepadanya sesuai dengan apa yang Ia gariskan, dan memang Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

21M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 2, h. 235.

22M. Quraish Syihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Jilid 2, h. 235.