Noor Ifah
1. Pendahuluan 1 Latar Belakang
4.2 Penanganan Terhadap Politik Uang dan Kendala yang Dihadapi
Berbagai bentuk pelanggaran politik uang sebagaimana telah diuraikan dalam subbab sebelumnya di atas, secara normatif seharusnya dapat ditangani berdasarkan peraturan perundangan yang ada. Akan tetapi tidak sedikit kasus-kasus yang terjadi itu tidak tersentuh hukum. Dalam Pilkada Tahun 2015, misalnya, tak ada satupun calon yang tersangkut kasus politik uang dikenai sanksi pembatalan. Dari puluhan kasus yang dilanjutkan ke
kepolisian, hanya 3 perkara yang diproses sebagai pidana umum (Kompas,com, 2016)
Jika dianalisis secara mendalam, terdapat beberapa faktor mengapa banyak kasus politik uang yang seakan “menguap” begitu saja atau lolos dari jerat hukum. Pertama, masyarakat menganggap politik uang sebagai sesuatu yang wajar dan bahkan ditunggu-tunggu dalam setiap perhelatan Pemilu. Hasil survei dari sejumlah lembaga survey bahkan menunjukkan, mayoritas publik mengaku bersedia menerima pemberian uang dari para caleg, pasangan calon atau partai politik. Berdasarkan data survei yang diperoleh dalam salah satu penelitian yang dilakukan oleh Founding Father House (FHH) Indonesia menunjukkan bahwa 71 persen masyarakat menerima uang atau barang yang diberikan dari calon kepala daerah, tim sukses atau relawan. Sementara, 29 masyarakat memilih untuk menolak. Angka tersebut terbilang cukup besar, karena lebih dari setengah masyarakat dapat dianggap turut menyukseskan praktik politik uang. Dari 71 persen itu, 80 persen masyarakat memilih untuk diberikan uang ketimbang barang seperti kebutuhan bahan pokok. Karena sebagian besar masyarakat Indonesia berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. (Sindonews.com, 14 Februari 2017).
Hampir senada dengan hasil survey FFH, hasil survey dari lembaga survei Indikator yang dilakukan pada Pemilu 2014 mencatat sebanyak 41,5 persen pemilih di Indonesia menganggap politik uang sebagai hal yang wajar. Data tersebut juga mengungkapkan tidak ada perbedaan gender laki-perempuan, desa-kota, semua sama sikapnya dalam menilai politik uang. (kumparan.com, 2017)
Sedangkan survey Indikator pada bulan Mei 2017 di wilayah Jawa Timur, menemukan bahwa toleransi masyarakat Jawa Timur atas praktek politik uang cukup tinggi, yakni sebesar 41 persen. Di sisi lain, meskipun sebanyak 59 persen tidak menganggap wajar adanya fenomena politik uang, namun hanya 6 persen saja yang akan menolak uang dari pemberian calon tersebut. (tribunnews. com, 2017)
Hasil survey yang menunjukkan kecenderungan masyarakat untuk mentolerir praktek politik uang tersebut tentu saja sangat memprihatinkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendidikan pemillih perlu lebih ditingkatkan, terutama dengan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai bahaya dari politik uang. Bagaimanapun juga, efek dari politik uang sangatlah merugikan karena praktik ini sama saja dengan tidak menghargai pemilih, dan dapat dipastikan, kelak jika para calon yang dipilih dari hasil poltik uang tersebut akan cenderung tidak bertanggungjawab karena merasa sudah terlegitimasi dengan membeli suara secara tunai dari para pemilihnya.
Kedua, tidak ada keberanian dari
masyarakat atau pihak yang menemukan kasus politik uang untuk menjadi saksi ketika diproses secara hukum. Mereka enggan melaporkan karena tidak ada jaminan perlindungan. Mereka lebih memilih menghindari resiko dibanding harus repot menghadapi akibat yang mungkin timbul dari melaporkan ke pihak berwenang.
Ketiga, pendekatan dan cara
pengawasan yang dilakukan Bawaslu maupun Panwaslu banyak dinilai kurang proaktif atas kasus-kasus yang terjadi.
Bawaslu/Panwaslu cenderung bertindak apabila ada laporan dari pemilih atau masyarakat, pemantau atau peserta Pemilu daripada bertindak aktif dengan mendatangi lokasi kejadian begitu ada pemberitaan. Akibatnya, banyak kasus politik uang yang tidak tertangani dengan cepat. Meski hal ini tidak dapat digeneralisir, mengingat ada pula sejumlah kasus politik uang yang tertangani karena peran aktif pengawas. Hal ini bisa jadi dikarenakan terbatasnya jumlah Sumber Daya Manusia dalam Bawaslu. Apalagi jika dibandingkan dengan rasio jumlah kasus-kasus penyalahgunaan uang dan kekuasaan yang muncul dan harus ditangani dengan cepat. Selain itu, para petugas pengawas secara umum juga tidak memiliki kemampuan investigasi yang memadai, kurang pengetahuan dan ketrampilan dalam merespon kasus-kasus poltik uang yang dilaporkan masyarakat. Upaya pemerintah untuk mengantisipasi kelemahan ini dengan membentuk Sentra Gakkumdu sebenarnya patut diapresiasi. Sentra Gakkumdu adalah wadah bersama 3 unsur antara pengawas pemilu, kepolisian, dan kejaksaan untuk menangani tindak pidana pemilu. Sentra Gakkumdu yang akan mengolah laporan masyarakat yang mengandung Tindak Pidana Pemilu. Fungsi Sentra Gakkumdu yang utama adalah melakukan gelar perkara untuk menemu-kenali unsur-unsur tindak pidana pemilu dan bukti-bukti yang harus dikumpulkan. Selain itu fungsi sentra gakkumdu untuk membantu pengawas pemilu dalam membuat kajian tindak pidana pemilu. Namun demikian, selama ini Sentra Gakkumdu dalam penyelesaian perkara pemilu/pilkada dinilai masih tidak efektif, karena unsur Bawaslu, kejaksaan dan kepolisian di
Sentra Gakkumdu seringkali berbeda pendapat dalam menentukan delik/ jenis pelanggaran. Selain itu, dari sisi pengaturan larangan, Undang-Undang Pilkada Nomor 8 Tahun 2015 memang mengatur larangan calon dan/atau tim kampanye untuk memberikan uang atau materi lain untuk mempengaruhi pemilih. Namun, aturan itu tak disertai penjelasan soal pembuktian, pengadilan yang bertugas memproses, dan kerangka waktu penyelesaian perkara. Kita bisa berharap hal ini akan berubah seiring dengan ditetapkannya UU Pilkada terbaru Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Perubahan penting di dalam UU Pilkada yang terbaru (UU Nomor 10 Tahun 2016) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu adalah sudah diaturnya politik uang sebagai tindak pidana Pemilu dan sanksi pidana penjara dan denda bagi politik uang. Pasal-pasal tersebut, antara lain : Pasal 515 (denda dan pidana penjara bagi siapa saja yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih), Pasal 519 (denda dan pidana penjara bagi siapa saja yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memperoleh dukungan pencalonan DPD), Pasal 523 (denda dan pidana penjara bagi siapa saja yang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu dan kepada pemilih), serta Pasal 548 (denda dan pidana penjara bagi siapa saja yang menggunakan anggaran pemerintah, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, pemerintah desa atau sebutan lain dan badan usaha milik desa untuk disumbangkan atau diberikan kepada pelaksana kampanye).
Selain itu, perubahan yang sangat progresif adalah keberadaan Sentra Gakkumdu menjadi satu atap dengan pengawas pemilu, disertai dengan penguatan kewenangan Bawaslu untuk memutus kasus pelanggaran Pemilu.
Di Pasal 93, selain bertugas mengawasi semua tahapan pemilu dan mencegah terjadinya praktik politik uang, Bawaslu juga bertugas mengawasi netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri), mengawasi pelaksanaan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pengadilan, keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas ASN, anggota TNI, dan anggota Polri, serta menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu kepada DKPP. Kemudian, di Pasal 95 disebutkan wewenang Bawaslu. Tak hanya memeriksa dan mengkaji, Bawaslu juga berhak memutus pelanggaran administrasi, pelanggaran politik uang, dan penyelesaian sengketa pemilu. Bawaslu bahkan berhak memberikan rekomendasi kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan terhadap netralitas ASN, anggota TNI, dan anggota Polri.
Keempat, Problem banyaknya kasus
politik uang yang tidak bisa ditindaklanjuti karena rumusan delik dan limitasi waktu bisa ditindaklanjutinya secara pidana sebelum ditentukan sebagai kadaluarsa. Dalam Undang-Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 maupun Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota disebutkan bahwa kasus pidana pemilu sudah harus dilaporkan paling lama tujuh hari
setelah temuan. Hasil penyidikan disertai berkas perkara harus diserahkan kepada penuntut umum paling lama 14 hari kerja terhitung sejak laporan diterima. Batasan waktu itu jelas menyulitkan Bawaslu untuk mengumpulkan alat bukti yang selanjutnya diserahkan kepada kepolisian sebagai bahan penyidikan.
Di tingkat kepolisian waktu penyidikan itu juga menjadi kendala untuk menuntaskan penyidikan sehingga aturan itu paling banyak dijadikan alasan penghentian penanganan kasus pidana. Dengan batas waktu yang singkat tindak lanjut indikasi pidana pemilu, sulit dilakukan secara optimal. Di sisi lain, tantangan lain yang dihadapi Bawaslu dalam mengusut pidana pemilu seperti politik uang adalah waktu laporan yang dibatasi 60 hari sebelum waktu pencoblosan, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016. Padahal seperti yang selama ini kita yakini, “serangan fajar” seringkali muncul menjelang masa pencoblosan.
Kelima, Syarat penindakan politik uang
juga harus dilakukan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM). UU Nomor 10 Tahun 2016 memang mengatur sanksi administrasi pembatalan pasangan calon bagi yang terbukti melakukan politik uang (menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya) untuk memengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih. Namun, ketentuan itu mengandung pemberatan syarat sebab sanksi administrasi pembatalan pasangan calon hanya bisa dilakukan atas pelanggaran politik uang yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (vide pasal 135A ayat (1)). Frasa “dan” menunjukkan sifat kumulatif dalam pelanggaran dimaksud. Penjelasan
pasal 135A ayat (1) menerjemahkan “terstruktur” sebagai kecurangan yang dilakukan aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau bersama-sama. “Sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Dan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.
Jika merujuk definisi pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif itu bisa disimpulkan sepanjang politik uang tidak dilakukan aparat struktural, tidak direncanakan matang, atau tidak luas pengaruhnya, calon yang melakukan politik uang tidak bisa dibatalkan kepesertaannya. Alias ada ruang toleransi, bahkan bisa disebut legalisasi politik uang sepanjang tidak terstruktur, sistematis, dan masif. Hal ini, tentu saja pada akhirnya menumbuhkan ambiguitas serta makin menumpulkan upaya pencegahan dan penegakan hukum atas tindak pidana politik uang dalam Pemilu itu sendiri. Selain itu, pembuktian menjadi lebih rumit karena penindakannya harus melibatkan aparat penyelenggara negara.
5. Simpulan
Politik uang merupakan pemberian uang atau barang supaya di saat pemilu seseorang menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu. Praktek politik uang merupakan salah satu bentuk pelanggaran Pemilu yang dapat mengancam kualitas dan integritas dari Pemilu itu sendiri, karena hasil Pemilu yang diwarnai politik uang bukanlah Pemilu yang jujur dan adil, melainkan hasil manipulasi yang mencederai asas-asas demokratis dan
tidak sesuai dengan kedaulatan rakyat. Tidak dapat dipungkiri, politik uang dilakukan hampir di setiap daerah di Indonesia. Pemberitaan tentang politik uang tak pernah berhenti seakan sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat dan dianggap sebagai hal yang wajar bahkan ditunggu-tunggu dalam setiap Pemilu.
Berdasarkan pola-pola praktik politik uang dalam Pemilu dan penanganannya di Indonesia yang selama ini masih lemah, ada beberapa rekomendasi yang dapat diajukan agar praktek politik uang dapat dicegah : Pertama, perlu adanya peningkatan pendidikan pemilih agar para pemilih dalam Pemilu memiliki kesadaran kritis supaya tidak mudah disuap dengan pemberian “uang, barang, materi apapun atau hal-hal sejenis” yang dimaksudkan untuk membeli suara pemilih, baik pada masa kampanye, hari tenang, bahkan pada saat hari pencoblosan.
Kedua, pemilih harus didorong
agar menjadi pemilih yang berani, kritis dan aktif, dengan ikut serta mengawasi jalannya Pemilu. Hal ini didukung dengan era keterbukaan saat ini, di mana peran media sosial sangat luar biasa. Pemilih harus didorong untuk berani melaporkan jika ada pelanggaran Pemilu. Pemilih dapat memantau dan mengawasi jalannya Pemilu melalui update kabar seputar Pemilu dan menginformasikan berbagai temuan pelanggaran Pemilu secara langsung kepada pihak-pihak yang berwenang melalui media sosial.
Ketiga, penyelenggara Pemilu harus
pro-aktif dalam menyikapi atau merespon laporan kasus-kasus politik uang. Dalam hal ini, peran Sentra Gakkumdu yang kini melekat pada Bawaslu juga harus ditingkatkan, terutama dalam menyamakan pemahaman dan pola penanganan politik uang sebagai salah satu tindak pidana pemilu, sehingga diharapkan dengan penegakan hukum yang tegas, akan berefek pada penurunan praktek politik uang.
Keempat, terkait limitasi masa
daluarsa pelaporan politik uang, harus diperpanjang sampai dengan hari H pemungutan suara, di mana sebelumnya sesuai Perbawaslu Nomor 13 Tahun 2016 diatur batas waktu pelaporan adalah 60 hari sebelum pemungutan suara, mengingat bahwa politik uang justru sering terjadi menjelang maupun saat hari H pemungutan suara.
Kelima, syarat dapat ditindaknya
politik uang berupa terpenuhinya unsur TMS (Terstruktur, Masif dan Sistematis) menurut hemat penulis perlu dipertimbangkan kembali oleh para pembuat kebijakan negeri ini. Mengingat, akan sangat sulit upaya pembuktian agar suatu kasus politik uang dapat dikategorikan sekaligus ke dalam 3 unsur tersebut. Hal ini juga akan makin menambah daftar panjang kasus-kasus poltik uang yang tidak tertangani atau tidak tersentuh hukum.
DAFTAR PUSTAKA
ACE Electoral Knowledge Network, (2013), The ACE Encyclopaedia : Electoral Integrity, ACE Electoral Knowledge Network.
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (2014), Improving
Electoral Practices : Case Studies and Practical Approaches, Stockholm:
International IDEA.
Partnership for Governance Reform (Kemitraan), (2014), “Integritas Pemilu 2014 : Kajian Pelanggaran, Kekerasan, dan Penyalahgunaan Uang pada Pemilu 2014”, Kemitraan, Jakarta.
Partnership for Governance Reform (Kemitraan), (2011), “Seri Demokrasi Buku 13 : Menjaga Integritas Pemungutan dan Penghitungan Suara”, Kemitraan, Jakarta. Rifa’I, Antulian. DR. S.H, M.Hum, (2004), “Politik Uang Jalan Pemilihan Kepala Daerah”,
Jakarta: Ghalia Indonesia.
The Report of the Global Commissions on Elections, Democracy and Security, (2012),
Deepening Democracy : A Strategy for Improving the Integrity of Elections Worldwide.
Gatra, Sandro (2016, Maret, 3). Mahar Politik, Serangan Fajar dan Suap. Kompas. Diakses dari http://nasional.kompas.com
Hermansyah, Heriyanto (2016, Juni 19). Kemesraan Sentra Gakkumdu. Kompas. Diakses dari http://www.kompasiana.com
Hersubeno, Arief, (2017, April, 17). Uang dan Politik dalam Pilkada DKI 2017. Kumparan. Diakses dari https://kumparan.com
Harunsyah, Moch, (2017, April, 19). Modus Politik Uang di DKI, Bagikan Kopi Sampai Kirim Sapi. Liputan 6. Diakses dari http://pilkada.liputan6.com Ramdhani, Dian (2017, Februari 14), Bawaslu Temukan 600 Kasus Poltik Uang
Selama Masa Pilkada 2017. Sindonews. Diakses dari https://nasional. sindonews.com
Ramdhani, Dian (2017, Februari 17). Pilkada Serentak 2017, Politik Uang Diprediksi Kian Marak. Sindonews. Diakses dari https://metro.sindonews.com
Sawitri, Angelina Anjar (2015, Desember, 9). Pilkada Serentak, Politik Uang Ditemukan di 27 Daerah. Tempo. Diakses dari https://tempo.co
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Peraturan Bawaslu Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi terkait Larangan Memberikan dan/Atau
Menjanjikan Uang Atau Materi Lainnya Yang Dilakukan Secara Terstruktur, Sistematis dan Masif Dalam Pemilihan Gubernur dan Walikota.
Dinati, F.H.
Vol.3 No. 3 2017, Hal. 421-435