• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Tinjauan Pustaka

3. Hipertensi

3.5 Penatalaksanaan Hipertensi

Penurunan tekanan darah tinggi hingga di bawah 140/90 mmHg dapat mengurangi segala komplikasi yang mungkin terjadi. Terdapat dua jenis penatalaksanaan penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi yaitu penatalaksanaan farmakologis dan penatalaksanaan non farmakologis (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

3.5.1. Penatalaksanaan Farmakologis

Penataksanaan farmakologis yaitu penatalaksanaan dengan menggunakan obat-obatan kimiawi (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Ada berbagai macam jenis obat anti hipertensi pada penatalaksanaan farmakologis, yaitu:

a. Diuretik

Diuretik dapat meningkatkan kadar garam dan air yang dikeluarkan ginjal dari tubuh. Aksi ini mengurangi volume darah yang dipompa oleh jantung setiap denyutan. Tekanan darah kemudian secara perlahan-lahan mengalami penurunan karena hanya ada fluida sedikit di dalam sirkulasi dibandingkan dengan sebelum menggunakan diuretik (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

Diuretik juga menurunkan kandungan sodium di dalam pembuluh darah. Keberadaan sodium yang terlalu tinggi dalam darah cenderung mempersulit aliran darah (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Dengan demikian tekanan darah akan turun akibat berkurangnya curah jantung dan resistensi perifer serta diikuti oleh vasodilatasi perifer dan berkurangnya volume cairan interstisial yang mengakibatkan berkurangnya kekakuan dinding pembuluh darah dan bertambahnya daya lentur (compliance) vaskular (McGowan, 2001; Dekker, 1996; Ganiswara, 1995 dalam Fitriani, 2005).

b. Penghambat adrenergik (β-bloker)

Beta-bloker menghambat aksi noradrenalin dan adrenalin pada reseptor beta, mengurangi kekuatan dan mempercepat kontraksi jantung dan menurunkan sekresi renin oleh ginjal sehingga terjadi pengurangan tekanan darah (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Bloker yang berbeda menurunkan renin dengan tingkatan berbeda pula (Goodfriend, 1983).

Beta-bloker bekerja melalui beberapa cara. Beta-bloker dapat bekerja secara langsung dengan mengurangi kegiatan memompa otot jantung dan denyut jantung serta kontraktilitas miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung dan jumlah darah yang dikeluarkan jantung. Dengan demikian aliran darah akan

berkurang dan mengakibatkan penurunan tekanan darah. Cara lain yaitu dengan menghambat pelepasan norephinephrin melalui hambatan reseptor para sinaps dan menghambat sekresi renin melalui hambatan reseptor β1 di ginjal serta efek sentral yang dapat menurunkan tekanan darah (Dekker, 1996 ; Ganiswara, 1995). c. Angiotensin Converting Enzym (ACE) Inhibitor

Obat ini bekerja melalui penghambatan aksi dari sistem renin- angiotensin. Efek utama ACE inhibitor adalah membatasi efek enzim pengubah angiotensin (angiotensin-converting enzyme) sehingga produksi angiotensin II menurun. Kondisi ini akan menurunkan perlawanan pembuluh darah dan menurunkan tekanan darah sehingga meringankan kerja jantung. ACE inhibitor dapat mengurangi fungsi ginjal dan menyebabkan akumulasi potasium apabila terjadi penurunan fungsi ginjal (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

d. Antagonis Kalsium (Calcium Antagonist)

Antagonis kalsium dapat mengendurkan otot-otot di dalam dinding pembuluh darah, menurunkan perlawanan terhadap aliran darah dan tekanan darah. Antagonis kalsium bertindak sebagai vasodilator atau pelebar. Meskipun demikian, antagonis kalsium berbeda dari vasodilator lainnya.

Antagonis kalsium sebagian menghambat isyarat dari saraf ke jantung. Pengurangan ini akan meningkatkan laju denyut jantung yang biasanya terjadi dengan vasodilator lainnya tetapi tidak dengan antagonis kalsium. Antagonis kalsium memiliki efek diuretik meskipun hanya sedikit (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

e. Vasodilator

Vasodilator mengendurkan otot-otot pada dinding pembuluh darah. Pembuluh darah dikendurkan dan daya tahan fluida di dalamnya diturunkan. Selain menurunkan tekanan darah, vasodilator memiliki beberapa efek lain yang cenderung mengurangi kemampuan mengendurkan pembuluh darah yaitu menyebabkan ginjal menahan sodium dan air sehingga terjadi peningkatan jumlah sodium dan air di dalam tubuh serta menyebabkan jantung berdenyut lebih cepat dan lebih kuat (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

Vasodilator biasanya tidak digunakan sendiri. Obat ini sering digunakan bersama dengan beta-bloker dan diuretik untuk mengatasi efek samping vasodilator pada ginjal dan jantung (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

Semua obat-obat di atas bertambah manfaatnya jika ditunjang oleh pengobatan nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup (Dekker, 1996). 3.5.2. Penatalaksanaan Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis atau penatalaksanaan tanpa menggunakan obat-obatan kimiawi. Penatalaksanaan hipertensi dengan nonfarmakologis terdiri dari berbagai macam cara modifikasi gaya hidup untuk menurunkan tekanan darah yaitu seperti di berikut ini :

a. Mempertahankan Berat Badan Ideal

Kelebihan berat badan sampai mencapai 30-40% dari berat ideal cenderung mudah terserang stroke yang biasanya diawali dengan penyakit hipertensi jantung atau ginjal (Irawan & Mulyadi, 1998). Penurunan berat badan diikuti penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik ( Stamler dkk., 1980; Tuck

dkk., 1981 dalam Kaplan & Stamler, 1994). Penurunan berat badan hingga 10% dapat secara bermakna menurunkan beberapa faktor resiko penyakit kardiovaskular (Kaplan & Stamler, 1994).

Beberapa cara untuk mempertahankan berat badan ideal adalah diet rendah lemak namun kaya serat dan protein serta adanya aktivitas fisik yang nyata (Kaplan & Stamler, 1994).

b. Kurangi asupan natrium (sodium)

Tekanan darah dapat meningkat bila asupan garam meningkat. Meskipun demikian, efeknya secara keseluruhan hanya sedikit, khususnya pada tekanan diastolik. Perubahan diet yang normal adalah dengan mengurangi asupan garam dan dapat menurunkan tekanan darah rata-rata 2 sampai 3 mmHg (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003).

c. Latihan aktivitas fisik secara teratur

Peningkatan aktivitas fisik dan kapasitas latihan dapat mencegah hipertensi dan menurunkan resiko kematian (Blair & Church, 2004 dalam Kaplan, 2006). Insidens hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah pada mereka yang melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam perminggu daripada mereka yang kurang aktif (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Latihan olahraga teratur pada penderita hipertensi dengan takaran yang tepat selama 3-5 kali seminggu dapat menurunkan tekanan sistolik 8-10 mmHg dan diastolik 6-10 mmHg (Radmarssy, 2007).

d. Batasi konsumsi alkohol

Minuman keras khususnya yang berkadar alkohol tinggi sangat membahayakan bagi sirkulasi darah otak. Sebab alkohol mengandung unsur yang

bersifat membakar sehinggga menimbulkan panas dan menyebabkan tekanan darah meningkat (Irawan & Mulyadi, 1998). Para peminum berat mempunyai resiko mengalami hipertensi empat kali lebih besar daripada mereka yang tidak minum minuman beralkohol (Radmarssy, 2007).

e. Makan K, Ca, Mg yang cukup dari diet

Individu yang mengonsumsi makanan berkadar potasium tinggi memiliki tekanan darah yang lebih rendah (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Pertahankan asupan diet potassium (>90 mmol (3500 mg)/ hari) dengan cara konsumsi diet tinggi buah dan sayur dan diet rendah lemak dengan cara mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak total (Kaplan, 2006). Kalium dapat menurunkan tekanan darah dengan meningkatkan jumlah natrium yang terbuang bersama urine.

Diet kaya potasium sangat penting bagi orang yang mengonsumsi diuretik untuk mengatasi tekanan darah tinggi karena pil tersebut menghabiskan potasium di dalam darah (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Dengan setidaknya mengonsumsi buah-buahan sebanyak 3-5 kali dalam sehari, seseorang bisa mencapai asupan potassium yang cukup (Radmarssy, 2007).

f. Hindari stres

Peningkatan aliran darah ke otot-otot rangka dan penurunan aliran darah ke kulit, ginjal, dan saluran pencernaan merupakan respon tubuh terhadap stres (Hayens, Leenen, & Soetrisno, 2003). Usahakan dapat tidur dan beristirahat secukupnya untuk mempertahankan kondisi badan, karena tekanan darah menurun pada waktu tidur, lebih rendah dari pada waktu siang hari (Dekker, 1996).

Stres akan menimbulkan respon ‘’fight or flight’’. Flight merupakan reaksi isotonik tubuh untuk melarikan diri, dimana terjadi peningkatan sekresi adrenalin ke dalam sirkulasi darah yang akan menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan tekanan darah sistolik, sedangkan fight merupakan reaksi agresif untuk menyerang yang akan menyebabkan sekresi noradrenalin, renin angiotensin sehingga tekanan darah meningkat baik sistolik maupun diastolik (Idrus, 2006).

Semua penatalaksanaan ini bertujuan untuk menurunkan tekanan darah dengan mengurangi jumlah darah, kegiatan jantung memompa, dan mengerutnya dinding-dinding pembuluh nadi halus sehingga tekanan pada dinding-dinding pembuluh darah berkurang dan aliran darah menjadi lancar sehingga tekanan darah akan menurun (Dekker, 1996).

Dokumen terkait