• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

C. Penatalaksanaan Terapi Hepatitis B Kronis

secara cepat meskipun hanya untuk jangka waktu yang terbatas (3-6 bulan). Pada orang dewasa, HBIg diberikan dalam waktu 48 jam pasca paparan VHB. Pada bayi dari ibu pengidap VHB, HBIg diberikan seyogyanya bersamaan dengan vaksin VHB disisi tubuh berbeda dalam waktu 12 jam setelah lahir. Bila HBsAg ibu baru diketahui beberapa hari kemudian, HBIg dapat diberikan bila usia bayi ≤ 7 hari. HBIg tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai upaya pencegahan pra-paparan namun hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (profilaksis pasca paparan).

b. Imunisasi aktif

Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program imunisasi bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular VHB. Tujuan akhirnya adalah menyelamatkan nyawa minimal 1 juta jiwa/tahun, menurunkan risiko karsinoma hepatoseluler, dan eradikasi virus (Lesmana, 2006).

C. Penatalaksanaan Terapi Hepatitis B Kronis 1. Tujuan terapi

a. Tujuan utama

Untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB sehingga akan mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi (Lesmana, 2006).

b. Tujuan jangka pendek

1) Mengurangi inflamasi hati

3) Menghilangkan VHB-DNA (dengan serokonversi HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan (Lesmana, 2006).

c. Tujuan jangka panjang

1) Mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau hepatoselular karsinoma, dan pada akhirnya memperpanjang usia (Lesmana, 2006). 2. Sasaran terapi

Sasaran terapi hepatitis B kronis adalah virus hepatitis B, VHB-DNA, serokonversi HBeAg ke anti-HBe (pada pasien HBeAg positif), normalisasi ALT (Lesmana, 2006).

3. Outcome

a. Mengembalikan pasien seperti keadaan awal b. Mencegah perkembangan menjadi infeksi kronis c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

d. Memperkecil penularan infeksi e. Menormalkan kadar aminotransferase f. Menghentikan replikasi virus padahost g. Membasmi virus (DiPiroet al., 2005). 4. Algoritma terapi

a. Pasien VHB kronis dengan HBeAg positif : ALT>2 kali diatas BANN atau pada biopsi memperlihatkan hepatitis sedang sampai berat maka pengobatan dapat diinisiasi dengan lamivudin atau interferon α-2β. ALT>2

17

kali BANN: terapi dengan lamivudin atau interferon α-2β terbatas pada pasien dengan nekroinflamasi signifikan pada biopsi hepar. Pasien sebaiknya memantau kadar ALT setiap 3-6 bulan.

Gambar 4. Algoritma Terapi Hepatitis B Kronis(DiPiroet al., 2005). b. Pasien VHB kronis dengan HBeAg negatif: hanya pada pasien dengan

ALT>2 kali BANN, VHB DNA>105 kopi/ml, atau pada biopsi memperlihatkan hepatitis yang sedang sampai berat sebaiknya diterapi dengan lamivudin atau interferonα-2β.

c. Pasien yang memberikan respon yang gagal pada pemberian interferonα-2β

dan memiliki ALT>2 kali BANN, VHB DNA>105 kopi/ml, atau pada biopsi memperlihatkan hepatitis yang sedang sampai berat dapat diterapi dengan lamivudin.

d. Pasien yang telah mengalami sirosis dekompensata: interferon α-2β

seharusnya tidak digunakan dan penggunaan lamivudin dapat dipertimbangkan.

e. Pasien dengan status HBsAg carrier inaktif : tidak ada indikasi terapi (DiPiroet al., 2005).

5. Strategi terapi

a. Terapi non farmakologis

Obat herbal digunakan sebagai terapi umum dibanyak belahan dunia dan telah dipelajari secara mendalam di China. Pada percobaan metaanalisis telah diidentifikasikan bahwa bufotoxin dan kurorinone dihubungkan dengan peningkatan serokonversi HBeAg dan pembersihan VHB DNA. Evaluasi lebih lanjut terhadap senyawa aktif ini sebagai terapi alternatif masih diperlukan, namun senyawa aktif tersebut tidak langsung direkomendasikan untuk penggunaan rutin (DiPiroet al., 2005).

b. Terapi farmakologis

Terapi lini pertama yaitu antara interferon-α2b dan lamivudin, tergantung kategorisasi spesifik populasi pasien dengan melihat HBeAg yang positif dan kadar ALT. Faktor-faktor seperti keparahan panyakit, sejarah kekambuhan, fungsi hepar, biaya dan efek samping obat serta pilihan pasien

19

merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan obat pada pasien (DiPiro et al., 2005).

6. Informasi kelas obat a. Interferon

Interferon-α2b merupakan interferon yang telah diterima penggunaannya oleh FDA sebagai terapi penanganan pada VHB kronis (DiPiro, 2005). Beberapa khasiat interferon adalah khasiat antiviral, imunomodulator, antiproliferatif, dan antifibrotik. Interferon tidak memiliki khasiat antiviral langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antiviral (Soemoharjo, 2008). Interferon-α2b sebaiknya diberikan secara injeksi subkutan sebanyak 5 juta unit/hari atau 10 juta unit 3x/minggu pada dewasa. Pada anak-anak, dosisnya sebesar 6 juta unit/m2 3x seminggu secara injeksi subkutan dan direkomendasikan sampai maksimum 10 juta unit per dosis. Pada pasien VHB dengan HBeAg positif sebaiknya diterapi selama 16 minggu, sedangkan pada pasien dengan HBeAg negatif diterapi selama 12 bulan (DiPiroet al., 2005). b. Lamivudin

Lamivudin (Epivir-VHB,3TC) merupakan analog nukleosida (DiPiro et al., 2005). Lamivudin bekerja dengan menghambat enzimreverse transcriptase yang berfungsi dalam transkripsi balik dari RNA menjadi DNA yang terjadi dalam replikasi VHB. Lamivudin menghambat produksi VHB baru dan mencegah terjadinya infeksi infeksi hepatosit sehat yang belum terinfeksi, tetapi tidak mempengaruhi sel-sel yang telah terinfeksi (Soemoharjo, 2008).

Lamivudin mempunyai efek samping yang rendah dibandingkan

interferon-α2b. Efek samping yang umumnya terjadi seperti fatigue, nausea, dan vomiting, sakit kepala, batuk, dan diare. Lamivudin digunakan dalam tablet atau suspensi per oral pada dosis 100 mg sehari sekali (DiPiroet al., 2005). Strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka panjang karena khasiatnya meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang. Namun, strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD. Bila terjadi kekebalan terhadap lamivudin, analog nukleosid yang lain masih dapat digunakan misalnya adefovir dan entecavir (Soemoharjo, 2008). c. Adefovir dipivoxil

Adefovir dipivoxil adalah suatu analog nukleotida oral yang merupakan analog adenosin monofosfat yang menghambat enzim reverse transcriptase. Mekanisme khasiat adefovir dipivoxil hampir sama dengan lamivudin. Pada saat ini, adefovir dipivoxil baru digunakan pada kasus-kasus yang kebal terhadap lamivudin. (Soemoharjo, 2008). Dosis yang dianjurkan adalah sebesar 10 mg/hari. Efek samping penggunaan adefovir dipivoxil jika digunakan pada dosis tinggi yaitu 30 mg/hari atau lebih dapat mengakibatkan gagal ginjal (DiPiro et al., 2005). Keuntungan penggunaan adefovir adalah lebih jarang terjadi kekebalan dan kekebalan terjadi setelah pemakaian yang lebih lama dibandingkan dengan lamivudin. Kerugiannya adalah harga yang lebih mahal dan masih kurangnya data mengenai khasiat

21

dan keamanan penggunaan dalam jangka waktu yang sangat panjang (Soemoharjo, 2008).

d. Entecavir

Entecavir adalah suatu analog nukleosida guanosin yang berkhasiat menghambat ketiga langkah transkripsi balik pregenom RNA oleh enzim DNA polimerase, yaitu priming, sintesis untai DNA negatif dan sintesis untai DNA positif. Entecavir telah terbukti efektif untuk hepatitis B kronik baik pada HBeAg positif maupun pada HBeAg negatif serta penderita yang terbukti mengalami kekebalan terhadap lamivudin. Dosis entecavir yang dianjurkan pada penderita dewasa baru adalah 0,5 mg sehari sedangkan untuk penderita yang pernah mendapakan lamivudin tetapi tetap mengalami viremia selama minum obat, atau yang memang telah terbukti mengalami kekebalan terhadap lamivudin, dosis yang dianjurkan adalah sebesar 1 mg setiap hari (Soemoharjo, 2008).

D. Drug Therapy Problems

Dokumen terkait