• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi peresepan pada pasien hepatitis B kronis di instalasi rawat inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Evaluasi peresepan pada pasien hepatitis B kronis di instalasi rawat inap RSUP DR. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 - USD Repository"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

i SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Florencia Abon Wenge NIM: 058114151

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

EVALUASI PERESEPAN PADA PASIEN HEPATITIS B KRONIS DI

INSTALASI RAWAT INAP RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

PERIODE 2005-2007

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Florencia Abon Wenge NIM: 058114151

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(3)
(4)
(5)

v

faith, ‘cos impossible is totally

nothing in HIM, keep moving forward

^^v

Dedicated for :

God Almighty Jesus Christ,

Beloved

Babe and Emak

,

Neetnot and

kakak

Yanti

All members of Wenge Clan in

Nusantara

Those who I cherish deeply in

my heart

My future patients

‘n all my lovely friends

“But the LORD said to Moses, “Now you shall see what I will do t Pharoah; for with a strong

hand he will send them out, and with a strong hand he will drive them out of his land”.

(6)
(7)

vii

mukjizat dan cintaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Peresepan Pada Pasien Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada program studi Ilmu Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, dorongan, kritik dan saran sampai terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada :

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi dan dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam penyusunan skripsi terutama selalu meyakinkan penulis agar cepat menyelesaikan skripsi.

2. Ipang Djunarko, S.Si., Apt. selaku dosen penguji dan dosen matakuliah Farmakoterapi III yang telah memberikan ilham dan pencerahan dalam penyusunan skripsi kepada penulis terutama saat kuliah mngenai hepatitis. 3. dr. Fenty, MKes, Sp.PK. selaku dosen penguji serta telah memberikan saran,

masukan dan kritik dalam proses penyusunan skripsi ini.

(8)

viii

5. Keluarga besar, Babe dan Mak Nyak, terima kasih untuk cinta, motivasi, dan dukungannya. Kalian adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan dalam hidupku. Terima kasih telah membuat hidupku sangat berwarna.I luv u both. 6. Nita dan Kak Yanti, terima kasih ya buat doa dan motivasinya buat aku lulus

cepat. Terutama terima kasih buat dukungan dananya.

7. Keluarga besar di Flores, Kakek dan Nenek, Tante Nela, para sepupuku, terutama buat Memi, Edo, Ina, para keponakanku. Terima kasih untuk doa, dan liburan yang menyenangkan. Kalian adalah salah satu motivasiku.

8. Keluarga besar di Tanah Betawi, para sepupuku, Ketua Suku, Kak Polin, Fina, Kak Lia, Kak Ima, Franz, akhirnya selesai juga ya, jalan-jalan dan harus traktir aku lagi lho, kali ini tenang saja, aku tidak akan bawa skripsiku lagi. 9. Komsel dan area STTNas, DenQ, NgelQ, YunQ, Ita, TiaQ, Ratna, Lina, FloQ,

Qla, kak Nad, mbak Pie, kak Dewi, para brothersterima kasih untuk doa dan kebersamaan selama ini. Tidak ada tempat ternyaman selain bersama kalian. 10. Sahabat-sahabatku diJogja, FanQ, SarQ, Sephin, Aline. Terima kasih untuk

kebersamaan kalian selama ini. Terima kasih sudah belajar menerima diriku apa adanya. Ayo berjuang untuk menjadi apoteker yang luar biasa!

11. Teman-teman kosku, Maria, Ti2k, Mon2, Tia, Noni, Ratna, Kak Alya, Irin, Indy, Jenny, Kak Vini, Kak Agar, Kak Ganda, Kak Dewi, Fira. Terima kasih telah membuat kos serasa rumah dan senantiasa menyemangatiku. Semangat!! 12. Yoppi, yang selalu memberikan motivasi, doa dan semangat serta selalu

(9)

ix

Lia, Shinta, terimakasih ya buat setiap proses yang kita lalui selama ini. 15. Mbak Tisom, Sella, K Ita, Dr. Hendra dan para rekan sejawat selama

pengambilan data di ICM, ayo selesaikan datanya!! Reunian ya di ICM?! 16. Aswatiku : Monchu dan Corry, aku tetap ketuanya kan? “keluargaku di

Farmasi”: Papa Ronz, Om DonQ, Uncle E, Bibi Wisly, Putih, Bombay dan Cucu. Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu. 17. Kak ivon, Tami, Bamby, Widdy, dan semua teman seperjuanganku selama

pembuatan skripsi. Terimakasih ya buat dukungan dan motivasinya, percaya kalau tidak ada yang mustahil bersamaNya. Semangat!!!!bisa…bisa….bisa….. 18. Radio Impact, 100,5 FM, radio yang selalu menemani dan memotivasiku apalagi saat begadang mengerjakan tugas, terima kasih telah mengisi hari-hariku dengan lagu-lagu pemotivasimu.ImpactFM,im more than winner!!! 19. Semua orang yang telah membuat hidupku begitu berwarna, terima kasih telah

membuat hidup ini menjadi lebih hidup dan menarik setiap harinya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat menambah ilmu pengetahuan.

(10)
(11)

xi

dapat menjadi kronis sehingga berkembang menjadi sirosis dan kanker hati yang lazimnya berakhir pada kematian. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pasien yang meliputi usia, jenis kelamin, komplikasi terjadinya sirosis, dan pola pengobatan, serta mengevaluasi kerasionalan peresepan pada pasien hepatitis B kronis dengan mengacu pada keenam parameter dalam Drug Therapy Problems yaitu terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahan terapi obat, obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah,adverse drugreaction dan dosis terlalu tinggi yang merupakan masalah-masalah yang dapat timbul selama pasien diberi terapi di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007.

Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Instrumen penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medis pasien hepatitis B kronis.

Jumlah kasus yang dianalisis sebanyak 21 kasus. Kasus terbanyak adalah pasien yang berumur ≥30 tahun (95,2%), dengan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (81,0%) di mana sudah mengalami komplikasi sirosis hati dekompensata (47,6%). Pada penelitian ini digunakan 11 kelas terapi obat di mana tiga kelas terapi terbanyak adalah obat gizi dan darah (100%), obat saluran cerna (69,6%), dan obat infeksi (66,7%). Jenis Drug Therapy Problems yang terjadi yaitu terapi obat tanpa indikasi sebanyak 2 kasus (9,5%), perlunya tambahan terapi obat sebanyak 18 kasus (85,7%), obat yang tidak efektif sebanyak 4 kasus (19,0%), dosis terlalu rendah sebanyak 5 kasus (23,8%), adverse drug reaction sebanyak 11 kasus (52,4%) dan dosis terlalu tinggi sebanyak 7 kasus (33,3%).

(12)

xii

ABSTRACT

According to WHO, Indonesia is classified as a country with high endemicity of hepatitis B virus. Hepatitis B can be chronic and become to cirrhosis that eventually will lead to hepatocellular carcinoma which may lead to death. The goals of this study are to identify the characteristic of the patients such as the age, the gender, the complication of cirrhosis, to determine medical pattern, and to evaluate the prescribing rationality to chronic hepatitis B in relevance to six categories in drug therapy problems such as unnecessary drug therapy, needs additional drug therapy, ineffective drug, dosage too low, adverse drug reaction and dosage too high which are the problems occured as the patients is being treated at the instalation ward of the RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta period 2005-2007.

This study is done in a non experimental way research plan descriptive evaluative research which have retrospective characteristic. The instrument of this study is medical record of hepatitis B.

All case which analized is 21 cases. The most frequency case patients than 30 years old (95,2%), the most gender is male (81,0%), which is patients with cirrhosis liver decompensata (47,6%). This study used 11 drug class therapy which is three most drug class therapy are nutrition and blood medicine (100%), gastrointestinal system disorder medicine (69,6%), and infection medicine (66,7%). The type of drug therapy problems that happened which is unnecessary drug therapy are 2 cases (9,5%), needs additional drug therapy are 18 cases (85,7%), ineffective drug are 4 cases (19,0%), dosage too low are 5 cases (23,8%), adverse drug reaction are 11 cases (52,4%) and dosage too high are 7 cases (33,3%).

(13)

xiii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……… iii

HALAMAN PENGESAHAN………..………. iv

HALAMAN PERSEMBAHAN………..………..…… v

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vi

PRAKATA………..………..……… vii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………..……….. x

INTISARI………..………..……….. xi

ABSTRACT………..………..……… xii

DAFTAR ISI………..………..………. xiii

DAFTAR TABEL………..………..………. xvii

DAFTAR GAMBAR………..………..……… xxi

ABBREVIATIONS………..xxii

BAB I. PENGANTAR………….………. 1

A. Latar Belakang………. 1

1. Perumusan masalah………2

2. Keaslian penelitian……… 3

3. Manfaat penelitian………. 3

B. Tujuan Penelitian………. 4

1. Tujuan umum……….4

(14)

xiv

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………... 5

A. Anatomi dan Fisiologi Hati………..5

B. Hepatitis B………... 6

1. Definisi……….. 6

2. Etiologi……….. 6

3. Perjalanan alamiah penyakit……….. 7

4. Epidemiologi……….……….9

5. Cara penularan………... 10

6. Patogenesis……….11

7. Penampakan klinis hepatitis B kronis…….. ……….12

8. Diagnosis………... 13

9. Pencegahan……… 15

C. Penatalaksanaan Terapi Hepatitis B Kronis……… 15

1. Tujuan terapi………. 15

2. Sasaran terapi……… 16

3. Outcome……… 16

4. Algoritma terapi……… 16

5. Strategi terapi………. 18

6. Informasi kelas obat……….. 19

D. Drug Therapy Problems……….. 21

1. Peresepan yang tidak rasional………21

(15)

xv

A. Jenis dan Rancangan Penelitian………...25

B. Definisi Operasional……… 25

C. Subyek Penelitian……….28

D. Bahan Penelitian……….. 28

E. Lokasi Penelitian………..29

F. Tata Cara Penelitian……….29

1. Tahap perencanaan…….………29

2. Tahap pengambilan data……….... 29

3. Tahap penyelesaian data……… 30

G. Tata Cara Analisis Hasil……….. 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 34

A. Karakteristik Pasien Hepatitis B Kronis………. 34

1. Berdasarkan kelompok usia……….. 35

2. Berdasarkan kelompok jenis kelamin……… 36

3. Berdasarkan terjadinya komplikasi……….. 36

B. Pola Pengobatan Pasien Hepatitis B Kronis……… 36

1. Obat yang bekerja pada saluran cerna……….. 38

2. Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler.. 39

3. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan………. 40

(16)

xvi

5. Obat yang bekerja sebagai analgesik………. 41

6. Obat-obat hormonal……….……….. 42

7. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi………...43

8. Antineoplastik dan imunomodulator……..………44

9. Obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi……….44

10. Obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah…..……… 45

11. Obat system hepatobilier………46

C. KajianDrug Therapy Problems(DTPs)………..47

1. Dosis terlalu rendah ……….. 69

2. Obat yang tidak efektif ………..70

3. Dosis terlalu tinggi………...70

4. Terapi obat tanpa indikasi………..70

5. Adverse Drug Reaction………...71

6. Perlu tambahan terapi obat……….72

D. Rangkuman Pembahasan………. 72

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………... 75

A. Kesimpulan……….. 75

B. Saran……… 76

DAFTAR PUSTAKA……… 77

(17)

xvii

berdasarkan Kelompok Usia di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

2005-2007……… ……... 35 Tabel III Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronis

berdasarkan Jenis Kelamin di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

2005-2007……… 36 Tabel IV Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronis

berdasarkan Komplikasi Sirosis di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

2005-2007………... 36 Tabel V Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Hepatitis B Kronis

yang Dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP.

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007... 37 Tabel VI Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang

Bekerja pada Sistem Saluran Cerna yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode

2005-2007... 38 Tabel VII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang

Bekerja pada Sistem Kardiovaskuler yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronidi Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007...39 Tabel VIII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang

Bekerja pada Sistem Saluran Pernapasan yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007...40 Tabel IX Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang

Bekerja pada Sistem Saraf Pusat yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007... 41 Tabel X Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Analgesik

yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito

Yogyakarta Periode 2005-2007... 41 Tabel XI Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Infeksi

(18)

xviii

di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode 2005-2007... 42 Tabel XII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat

Hormonal yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007... 43 Tabel XIII Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Gizi dan

Darah yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode 2005-2007... 44 Tabel XIV Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Otot

Skelet dan Sendi yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007... 44 Tabel XV Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang

Bekerja pada Sistem Hepatobilier yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007... 45 Tabel XVI Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat

Antineoplastik dan Imunomodulator yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007...46 Tabel XVII KajianDTPs Kasus 1 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...48 Tabel XVIII KajianDTPs Kasus 2 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...49 Tabel XIX KajianDTPs Kasus 3 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...50 Tabel XX KajianDTPs Kasus 4 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...51 Tabel XXI KajianDTPs Kasus 5 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...52 Tabel XXII KajianDTPs Kasus 6 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...53 Tabel XXIII KajianDTPs Kasus 7 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

(19)

xix

Tabel XXVI KajianDTPs Kasus 10 Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...57 Tabel XXVII KajianDTPs Kasus 11 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...58 Tabel XXVIII KajianDTPs Kasus 12 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...59 Tabel XXIX KajianDTPs Kasus 13 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...60 Tabel XXX KajianDTPs Kasus 14 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...61 Tabel XXXI KajianDTPs Kasus 15 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...62 Tabel XXXII KajianDTPs Kasus 16 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...63 Tabel XXXIII KajianDTPs Kasus 17 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...64 Tabel XXXIV KajianDTPs Kasus 18 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...65 Tabel XXXV KajianDTPs Kasus 19 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...66 Tabel XXXVI KajianDTPs Kasus 20 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...67 Tabel XXXVII KajianDTPs Kasus 21 Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjiyo Yogyakarta

Periode 2005-2007...68 Tabel XXXVIII KasusDTPsDosis Terlalu Rendah pada

Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

(20)

xx

Tabel XXXIX KasusDTPsObat Yang Tidak Efektif pada Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007...70 Tabel XXXX KasusDTPsDosis Terlalu Tinggi pada

Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007... 70 Tabel XXXXI KasusDTPsTerapi Obat Tanpa Indikasi pada

Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP

Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007... 70 Tabel XXXXII KasusDTPs Adverse Drug Reactionpada

Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap

RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007... 71 Tabel XXXXIII KasusDTPsPerlu Tambahan Terapi Obat

Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap

(21)

xxi

(22)

xxii

ABBREVIATIONS

1. ADR :adverse drug reaction 2. AFP : alfa fetoprotein 3. ALP : fosfatase alkalis 4. ALT : alanine transamonase 5. anti HBc : antibodi HbcAg 6. anti Hbe : antibodi HbeAg 7. anti HBs : antibodi HbsAg

8. APTT :activated partial thromboplastine time 9. ARF :acute renal failure

10. AST :aspartate transaminase 11. BAB : buang air besar

12. BAK : buang air kecil

13. BANN : batas atas nilai normal 14. Bil. : bilirubin

15.BP :blood pressure 16. CaCO3 : kalsium karbonat 17. dbn : dalam batas normal 18.CKD :chronic kidney disease

19. CM : compos mentis

20. DL : diagnosa lain

21. DNA :deoxyribose nucleid acid 22.DTPs :drug therapy problems 23. DU : diagnosa lain

24.e o 2dd u e ODS :eye ointment 2 de die usus externa optic dextra sinistra

25.ec :et causa

26. EPS : enteral protein susu 27.FDA :food and drug association 28. GGT : gama glutamil transferase 29.GNC :glomerulonephritis chronic 30. HBcAg :hepatitis B core antigen 31. HBeAg :hepatitis B envelope antigen 32. HBIg :hepatitis B imunoglobulin 33. HBsAg : hepatitis B surface antigen 34. HMRS : hari masuk rumah sakit

35. HSMRS : hari sebelum masuk rumah sakit

36. Inf. : infus

37. Inj. : injeksi

38. MSMRS : minggu sebelum masuk rumah sakit 39. Prot. : protein

40. PTT : prothrombin partial time 41. RKH : rendah karbohidrat

42. RM : rekam medis

(23)

xxiii

49. SGPT : serum glutamik pyruvik transaminase 50. t.a.k : tidak ada kelainan

51. TKTP : tinggi kalori tinggi protein 52. Unconj. : unconjugated

(24)

1 BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan tingkat endemisitas virus hepatitis B yang tergolong tinggi menurut pembagian World Health Organization (Anonim, 2002). Penyakit hepatitis B dapat menjadi kronis sehingga berkembang menjadi sirosis dan kanker hati yang lazimnya berakhir pada kematian (Soemoharjo, 2008). Hati merupakan organ metabolisme utama, maka gangguan faal hati akan menyebabkan menurunnya kemampuan eliminasi obat-obat yang mengalami metabolisme hepatal sehingga perlu dilakukan penyesuaian dosis (Anonim, 2008 e). Dalam peresepan bagi pasien hepatitis B kronis diperlukan kerasionalan peresepan yang meliputi kriteria menurut Cipolle dan Strand (2004) antara lain adanya terapi obat tanpa indikasi, indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, ketidakefektifan pemilihan obat, dosis yang kurang, terjadinyaadverse drug reaction, dan dosis yang berlebih dalam penggunaan obat di RSUP Dr. Sardjito pada periode 2005-2007. Penanganan penderita hepatitis B kronis harus dilakukan dengan benar untuk meminimalkan berkembangnya penyakit tersebut menjadi sirosis dan kanker hati (Anonim, 2002).

(25)

Di Indonesia juga marak ditemukan penggunaan obat yang tidak rasional seperti pemakaian beberapa obat sekaligus yang memiliki indikasi yang sama dan pemakaian obat yang sebenarnya tidak diperlukan (Sabrina, 2008).

Adapun pemilihan RSUP Dr. Sardjito sebagai tempat penelitian dikarenakan lebih banyak kasus hepatitis B kronis dibanding di rumah sakit lain karena RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit rujukan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah bagian Selatan, selain itu RSUP Dr. Sardjito merupakan rumah sakit umum pendidikan kelas A yang sudah menyediakan pelayanan kesehatan spesialistis dan sub spesialistis (Anonim, 2008 d).

1. Perumusan masalah

Masalah yang dapat dirumuskan mengenai kerasionalan peresepan pada pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta adalah :

a. bagaimana karakteristik kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 yang meliputi usia, jenis kelamin dan terjadinya komplikasi sirosis?

b. bagaimana pola pengobatan kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007?

c. bagaimana Kajian Drug Therapy Problems yang terjadi pada kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007, yang meliputi:

1) apakah ada terapi obat tanpa indikasi?

(26)

3

4) apakah dosis yang diterima pasien kurang? 5) apakah terjadiadverse drug reaction? 6) apakah dosis yang diterima pasien berlebih? 2. Keaslian penelitian

Berdasarkan penelusuran penulis, penelitian mengenai hepatitis B sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti lain dengan judul sebagai berikut:

a. Kajian Drug Related Problems(DRPs) pada Kasus Hepatitis B Non Komplikasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari-Juni 2007 (Primawati, 2008).

b. Faktor Resiko Seropositif HBsAg Pada Tenaga Kesehatan di RSUP Dr. Sardjito (Gugun, 2007).

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Primawati berbeda dalam hal subjek dan lokasi penelitian sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gugun berbeda dalam hal subjek dan rancangan penelitian.

3. Manfaat penelitian

a. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai evaluasi dan bahan masukan untuk meningkatkan mutu pengobatan pada pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

b. Manfaat teoritis

(27)

B. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui kerasionalan peresepan pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.

2. Tujuan khusus

Adapun tujuan khususnya yaitu :

a. mengetahui karakteristik kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007 meliputi usia, jenis kelamin dan komplikasi terjadinya sirosis.

b. mengetahui pola pengobatan kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.

c. mengetahui Kajian Drug Therapy Problems yang terjadi pada kasus hepatitis B kronis pada Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007, yang meliputi:

1) mengetahui adanya terapi obat tanpa indikasi

2) mengetahui adanya indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi 3) mengetahui adanya ketidakefektifan dalam pemilihan obat. 4) mengetahui adanya dosis yang kurang.

(28)

5 BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Hati

Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh, rata-rata sekitar 1500 gram, atau 2,5% berat badan pada orang dewasa normal. Permukaan superior hati berbentuk cembung dan terletak di bawah kubah kanan diafragma dan sebagian kubah kiri. Bagian bawah hati berbentuk cekung dan merupakan atap ginjal kanan, lambung, pankreas, dan usus. Hati memiliki 2 lobus utama, kanan dan kiri (Price dan Wilson, 1994). Permukaannya dilintasi oleh berbagai pembuluh darah yang masuk-keluar hati. Hati mempunyai dua jenis persediaan darah, yaitu yang datang melalui arteri hepatika dan yang melalui vena porta (Pearce, 2008).

(29)

Pembuluh darah pada hati adalah arteri hepatika, yang keluar dari aorta dan memberikan seperlima darahnya kepada hati. Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior, mengantarkan empat perlima darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya 70% sebab beberapa O2 telah diambil oleh limpa dan usus. Darah vena porta ini membawa kepada hati zat makanan yang telah diabsorpsi oleh mukosa usus halus. Vena hepatika mengembalikan darah dari hati ke vena kava inferior. Di dalam vena hepatika tidak terdapat katup. Maka terdapat empat pembuluh darah utama yang menjelajahi seluruh hati, dua yang masuk, yaitu arteri hepatika dari vena porta dan dua yang keluar, yaitu vena hepatika dan saluran empedu (Pearce, 2008).

B. Hepatitis B

1. Definisi

Hepatitis merupakan istilah yang secara umum menunjukkan adanya inflamasi pada hati (Anonim, 2002). Hepatitis secara klinis digolongkan menjadi Hepatitis A (VHA), Hepatitis B (VHB), delta Hepatitis (VHD), Hepatitis C (VHC), dan Hepatitis E (VHE). Virus hepatitis G juga telah diuraikan, walaupun perannya secara klinis masih belum jelas (DiPiro et al., 2005). Hepatitis B kronik adalah adanya persistensi virus hepatitis B lebih dari 6 bulan yang masih disertai dengan viremia (Soemoharjo, 2008).

2. Etiologi

(30)

7

mengandung antigen permukaan (HBsAg) (Anonim, 2002). Dalam nukleokapsid didapatkan kode genetik virus hepatitis B yang terdiri dari DNA untai ganda dengan panjang 3200 nukleotida (Soemoharjo, 2008). Antigen permukaan (HBsAg) terdiri atas lipoprotein dan menurut sifat imunologik proteinnya VHB dibagi menjadi 4 subtipe yaitu adw, adr, ayw dan ayr. Subtipe ini secara epidemiologis penting, karena menyebabkan perbedaan geografik dan rasial dalam penyebarannya. Virus hepatitis B mempunyai masa inkubasi 45-80 hari, rata-rata 80-90 hari (Siregar, 2008).

Gambar 2. Virus Hepatitis B (Anonim, 2008 c) 3. Perjalanan alamiah penyakit

(31)

besar pasien dewasa dapat sembuh seutuhnya dari infeksi VHB, tetapi sekitar 5-10% tidak dapat sembuh dan berkembang menjadicarrier asimptomatik atau berkembang menjadi hepatitis kronis yang dapat berlanjut menjadi sirosis dan/atau kanker hati (Anonim, 2002). Ada 4 fase penting dalam perjalanan penyakit hepatitis B kronik, yaitu :

a. fase imunotoleransi (immune tolerance)

Ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar VHB DNA yang tinggi, kadar ALT yang normal dan gambaran histologi hati yang normal atau perubahan minimal.

b. fase imunoaktif /fase hepatitis kronik HBeAg positif (immune clearance) Ditandai dengan keberadaan HBeAg, kadar VHB DNA yang tinggi atau berfluktuasi, kadar ALT yang meningkat dan gambaran histologi jaringan hati yang menunjukkan peradangan yang aktif.Outcome dari fase ini adalah terjadinya serokonversi HBeAg menjadi anti HBeAg.

c. faseinactive carrier

Ditandai dengan HBeAg yang negatif, anti-HBe positif, kadar VHB DNA yang rendah atau tidak terdeteksi (<100.000 IU/mL), gambaran histologi hati menunjukkan fibrosis hati yang minimal atau hepatitis yang ringan. d. fase reaktivasi/fase hepatitis kronik HBeAg negatif

(32)

9

4. Epidemiologi

Virus Hepatitis B berjangkit di seluruh dunia. Tingkat carrier HBsAg tertinggi berada di negara berkembang yang masih primitif atau negara dengan fasilitas medis yang masih minim. Menurut tingginya prevalensi infeksi VHB, WHO membagi dunia menjadi 3 macam daerah yaitu :

a. daerah endemisitas tinggi

Penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%. Daerah endemisitas tinggi meliputi Afrika, negara Asia sebelah timur India termasuk Cina, pulau-pulau di Lautan Pasifik, Lembah Amazon, daerah pesisir Artik, sebagian negara Timur Tengah, Asia Kecil dan Kepulauan Karibia serta Asia Tenggara termasuk Indonesia.

b. daerah endemisitas sedang

Didaerah endemisitas sedang penularan yang terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 2-10%. Daerah endemisitas sedang meliputi Eropa Selatan, Eropa Timur, sebagian Rusia, sebagian negara Timur Tengah, Asia Barat, India, Jepang, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan

c. daerah endemisitas rendah

(33)

Barat, sebagian Rusia, dan sebagian Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru (Soemoharjo, 2008).

Di Indonesia, tingkat endemisitas daerah Indonesia bagian Timur lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia bagian Barat dimana subtipe yang banyak didapatkan adalah subtipeadw (Soemoharjo, 2008).

5. Cara penularan

Ada 2 jenis cara penularan infeksi VHB, yaitu penularan horisontal dan vertikal. a. Penularan horisontal

1) penularan melalui kulit

Terbagi menjadi 2 yaitu penularan melalui kulit melalui yang disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral) misalnya melalui suntikan, transfusi darah atau pemberian produk yang berasal dari darah dan tato. Kelompok kedua adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit, dan radang kulit.

2) penularan melalui selaput lendir

Selaput lendir yang dapat menjadi tempat masuk infeksi VHB adalah selaput lendir mulut, mata hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lendir genitalia.

b. Penularan vertikal

(34)

11

6. Patogenesis

Pada manusia, hati merupakan target organ bagi HVB. Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Dalam sitoplasma VHB melepaskan mantelnya, sehingga melepaskan nukleokapsid. Selanjutnya nukleokapsid akan menembus dinding sel hati. Di dalam inti asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan berintegrasi; pada DNA tersebut. Selanjutnya DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru dan kemudian terjadi pembentukan virus baru (Siregar, 2008). Jadi, sebenarnya virus yang ada di dalam tubuh penderita ini dibuat sendiri oleh hepatosit penderita yang bersangkutan dengan genom VHB yang pertama sebagai cetak biru (Soemoharjo, 2008).

Virus ini dilepaskan ke peredaran darah, mekanisme terjadinya kerusakan hati yang kronik disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Siregar, 2008). Pada kasus-kasus hepatitis B akut respon imun tersebut berhasil mengeliminasi sel hepar yang terkena infeksi VHB sehingga terjadi nekrosis sel-sel yang mengandung VHB dan terjadi gejala klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Pada sebagian penderita respon imun tersebut tidak berhasil menghancurkan sel-sel yang terinfeksi sehingga VHB tersebut tetap mengalami replikasi (Soemoharjo, 2008).

(35)

nekrosis sehingga infeksi VHB dapat menjalar ke sel lainnya. Pada pengidap HBsAg asimtomatik respon imun tersebut sama sekali tidak efektif sehingga tidak ada nekrosis sel hati yang terinfeksi dan virus tetap mengadakan replikasi tanpa adanya gejala klinik (Soemoharjo, 2008). Infeksi VHB dapat menjadi hepatitis kronis kemudian berkembang menjadi sirosis, dan akhirnya menjadi kanker hati, yang biasanya terjadi setelah jangka waktu 30 sampai 50 tahun (Anonim, 2002).

7. Penampakan klinis hepatitis B kronis

a. Tanda dan gejala

1) mudah letih, ansietas, anoreksia, danmalaise

2) asites, jaundis, pendarahan variseal, dan ensefalopatik hepatik yang merupakan manifestasi dari sirosis dekompensasi

3) ensefalopati hepatik yang berhubungan dengan hipereksitabilitas, gangguan mental, bingung, obtudansi (kesadaran berkabut), yang pada akhirnya koma

4) muntah dan kejang b. Pemeriksaan fisik

1) sklera ikterik, kulit dan sekresi

2) menurunnya bowel sounds, meningkatnya lingkar abdominal dan terdeteksinya gelombang cairan

3) asterixis(gangguan motorik) 4) angiomata spider(vaskular spider) c. Pemeriksaan laboratorium

(36)

13

2) peningkatan intermitent transaminase hepatik (ALT dan AST) dan DNA VHB>105kopi/ml

3) biopsi hati untuk mengklasifikasikan menjadi hepatitis kronis persisten, hepatitis kronis aktif dan sirosis

Hepatitis B kronik dapat terjadi walaupun tanpa penampakan tanda dan gejala, serta pemeriksaan fisik seperti diatas (DiPiroet al., 2005).

8. Diagnosis

Diagnosis pasti hepatitis B dapat diketahui berdasarkan pemeriksaan laboratorium seperti dibawah ini:

a. HBsAg (Hepatitis B Surface Antigen) yaitu suatu protein yang merupakan selubung luar partikel VHB. HBsAg yang positif menunjukkan bahwa pada saat itu yang bersangkutan mengidap infeksi VHB (Soemoharjo, 2008). Bila HBsAg menetap setelah lebih dari 6 bulan artinya hepatitis telah berkembang menjadi kronis (Sari, 2008).

b. Anti-HBs merupakan antibodi terhadap HBsAg. Anti-HBs yang positif menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan telah kebal terhadap infeksi VHB baik yang terjadi setelah suatu infeksi VHB alami ataupun setelah dilakukan imunisasi hepatitis B (Soemoharjo, 2008).

(37)

keadaan infeksius dapat menularkan penyakitnya baik terhadap orang lain, maupun ibu ke janinnya (Sari, 2008).

d. Anti-HBe (antibodi HBeAg) Positifnya anti-HBe menunjukkan bahwa VHB ada dalam fase nonreplikatif (Soemoharjo, 2008).

e. HBcAg (antigen corehepatitis B) merupakan antigen core (inti) VHB yang berupa protein dan dibuat dalam inti sel hati yang terinfeksi VHB. HBcAg positif menunjukkan keberadaan protein dari inti VHB (Sari, 2008).

f. Anti-HBc (antibodi terhadap antigen inti hepatitis B). Antibodi ini ada 2 tipe yaitu IgM anti-HBc dan IgG anti-HBc. IgM anti-HBc tinggi artinya infeksi akut, IgG anti-HBc positif dengan IgM anti-HBc yang negatif menunjukkan infeksi kronis atau pernah terinfeksi VHB (Sari, 2008).

Gambar 3. Grafik Petanda Serologi Hepatitis B Kronis (Anonim, 2008 f) 9. Pencegahan

a. Imunisasi pasif

(38)

15

secara cepat meskipun hanya untuk jangka waktu yang terbatas (3-6 bulan). Pada orang dewasa, HBIg diberikan dalam waktu 48 jam pasca paparan VHB. Pada bayi dari ibu pengidap VHB, HBIg diberikan seyogyanya bersamaan dengan vaksin VHB disisi tubuh berbeda dalam waktu 12 jam setelah lahir. Bila HBsAg ibu baru diketahui beberapa hari kemudian, HBIg dapat diberikan bila usia bayi ≤ 7 hari. HBIg tidak dianjurkan untuk diberikan sebagai upaya pencegahan pra-paparan namun hanya diberikan pada kondisi pasca paparan (profilaksis pasca paparan).

b. Imunisasi aktif

Tujuannya adalah memotong jalur transmisi melalui program imunisasi bayi baru lahir dan kelompok risiko tinggi tertular VHB. Tujuan akhirnya adalah menyelamatkan nyawa minimal 1 juta jiwa/tahun, menurunkan risiko karsinoma hepatoseluler, dan eradikasi virus (Lesmana, 2006).

C. Penatalaksanaan Terapi Hepatitis B Kronis

1. Tujuan terapi

a. Tujuan utama

Untuk mengeliminasi atau menekan secara permanen VHB sehingga akan mengurangi patogenitas dan infektivitas, dan akhirnya menghentikan atau mengurangi nekroinflamasi (Lesmana, 2006).

b. Tujuan jangka pendek

1) Mengurangi inflamasi hati

(39)

3) Menghilangkan VHB-DNA (dengan serokonversi HBeAg ke anti-HBe pada pasien HBeAg positif) dan normalisasi ALT pada akhir atau 6-12 bulan setelah akhir pengobatan (Lesmana, 2006).

c. Tujuan jangka panjang

1) Mencegah terjadinya hepatitis flare yang dapat menyebabkan dekompensasi hati, perkembangan ke arah sirosis dan/atau hepatoselular karsinoma, dan pada akhirnya memperpanjang usia (Lesmana, 2006). 2. Sasaran terapi

Sasaran terapi hepatitis B kronis adalah virus hepatitis B, VHB-DNA, serokonversi HBeAg ke anti-HBe (pada pasien HBeAg positif), normalisasi ALT (Lesmana, 2006).

3. Outcome

a. Mengembalikan pasien seperti keadaan awal b. Mencegah perkembangan menjadi infeksi kronis c. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

d. Memperkecil penularan infeksi e. Menormalkan kadar aminotransferase f. Menghentikan replikasi virus padahost g. Membasmi virus (DiPiroet al., 2005). 4. Algoritma terapi

(40)

17

kali BANN: terapi dengan lamivudin atau interferon α-2β terbatas pada pasien dengan nekroinflamasi signifikan pada biopsi hepar. Pasien sebaiknya memantau kadar ALT setiap 3-6 bulan.

Gambar 4. Algoritma Terapi Hepatitis B Kronis(DiPiroet al., 2005). b. Pasien VHB kronis dengan HBeAg negatif: hanya pada pasien dengan

(41)

c. Pasien yang memberikan respon yang gagal pada pemberian interferonα-2β dan memiliki ALT>2 kali BANN, VHB DNA>105 kopi/ml, atau pada biopsi memperlihatkan hepatitis yang sedang sampai berat dapat diterapi dengan lamivudin.

d. Pasien yang telah mengalami sirosis dekompensata: interferon α-2β seharusnya tidak digunakan dan penggunaan lamivudin dapat dipertimbangkan.

e. Pasien dengan status HBsAg carrier inaktif : tidak ada indikasi terapi (DiPiroet al., 2005).

5. Strategi terapi

a. Terapi non farmakologis

Obat herbal digunakan sebagai terapi umum dibanyak belahan dunia dan telah dipelajari secara mendalam di China. Pada percobaan metaanalisis telah diidentifikasikan bahwa bufotoxin dan kurorinone dihubungkan dengan peningkatan serokonversi HBeAg dan pembersihan VHB DNA. Evaluasi lebih lanjut terhadap senyawa aktif ini sebagai terapi alternatif masih diperlukan, namun senyawa aktif tersebut tidak langsung direkomendasikan untuk penggunaan rutin (DiPiroet al., 2005).

b. Terapi farmakologis

(42)

19

merupakan faktor yang mempengaruhi pemilihan obat pada pasien (DiPiro et al., 2005).

6. Informasi kelas obat

a. Interferon

Interferon-α2b merupakan interferon yang telah diterima penggunaannya oleh FDA sebagai terapi penanganan pada VHB kronis (DiPiro, 2005). Beberapa khasiat interferon adalah khasiat antiviral, imunomodulator, antiproliferatif, dan antifibrotik. Interferon tidak memiliki khasiat antiviral langsung, tetapi merangsang terbentuknya berbagai macam protein efektor yang mempunyai khasiat antiviral (Soemoharjo, 2008). Interferon-α2b sebaiknya diberikan secara injeksi subkutan sebanyak 5 juta unit/hari atau 10 juta unit 3x/minggu pada dewasa. Pada anak-anak, dosisnya sebesar 6 juta unit/m2 3x seminggu secara injeksi subkutan dan direkomendasikan sampai maksimum 10 juta unit per dosis. Pada pasien VHB dengan HBeAg positif sebaiknya diterapi selama 16 minggu, sedangkan pada pasien dengan HBeAg negatif diterapi selama 12 bulan (DiPiroet al., 2005). b. Lamivudin

(43)

Lamivudin mempunyai efek samping yang rendah dibandingkan

interferon-α2b. Efek samping yang umumnya terjadi seperti fatigue, nausea, dan vomiting, sakit kepala, batuk, dan diare. Lamivudin digunakan dalam tablet atau suspensi per oral pada dosis 100 mg sehari sekali (DiPiroet al., 2005). Strategi pengobatan yang tepat adalah pengobatan jangka panjang karena khasiatnya meningkat bila diberikan dalam waktu yang lebih panjang. Namun, strategi terapi berkepanjangan ini terhambat oleh munculnya virus yang kebal terhadap lamivudin, yang biasa disebut mutan YMDD. Bila terjadi kekebalan terhadap lamivudin, analog nukleosid yang lain masih dapat digunakan misalnya adefovir dan entecavir (Soemoharjo, 2008). c. Adefovir dipivoxil

(44)

21

dan keamanan penggunaan dalam jangka waktu yang sangat panjang (Soemoharjo, 2008).

d. Entecavir

Entecavir adalah suatu analog nukleosida guanosin yang berkhasiat menghambat ketiga langkah transkripsi balik pregenom RNA oleh enzim DNA polimerase, yaitu priming, sintesis untai DNA negatif dan sintesis untai DNA positif. Entecavir telah terbukti efektif untuk hepatitis B kronik baik pada HBeAg positif maupun pada HBeAg negatif serta penderita yang terbukti mengalami kekebalan terhadap lamivudin. Dosis entecavir yang dianjurkan pada penderita dewasa baru adalah 0,5 mg sehari sedangkan untuk penderita yang pernah mendapakan lamivudin tetapi tetap mengalami viremia selama minum obat, atau yang memang telah terbukti mengalami kekebalan terhadap lamivudin, dosis yang dianjurkan adalah sebesar 1 mg setiap hari (Soemoharjo, 2008).

D. Drug Therapy Problems

1. Peresepan yang tidak rasional

(45)

dampaknya yang merugikan. Secara umum patologi peresepan ini lebih dikenal sebagai peresepan yang tidak rasional (irrational prescribing) atau peresepan yang tidak benar (in appropriate prescribing) (Anonim, 2008 a).

2. TerminologiDrug Therapy Problems

Drug Therapy Problems (DTPs) adalah suatu permasalahan atau kejadian yang tidak diharapkan yang dialami pasien selama proses terapi obat, yang secara sehingga mengganggu tujuan terapi. Drug Therapy Problems dapat muncul pada setiap tahap proses pengobatan. Setiap praktisi tenaga kesehatan bertanggungjawab untuk membantu pasien dalam hal mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah yang dialami pasien. Drug Therapy Problems merupakan tanggungjawab utama dari seorang praktisi farmasi.

Praktisi pharmaceutical care menggunakan istilah problem untuk menunjukkan peristiwa yang berhubungan atau disebabkan oleh terapi obat yang mempengaruhi pemeriksaan, pengobatan, atau pencegahan. Drug Therapy Problems merupakan masalah klinis, dan harus dapat diidentifikasi dan diatasi dengan cara yang serupa terhadap masalah-masalah klinis lainnya.Drug Therapy Problemshanya istilah yang digunakan pada pasien, bukan pada obat ataupun praktisi medis.

(46)

23

3. Kategori dan penyebab umumDrug Therapy Problems

Seperti kebanyakan masalah klinis yang biasa terjadi, DTPs tidak dapat dipecahkan atau dicegah apabila penyebab dari masalah tersebut tidak diketahui. Hal ini penting untuk diidentifikasikan dan dikategorikan tidak hanya pada DTPs, tetapi juga penyebab lain yang serupa. Praktisi dapat memecahkan atau mencegah terjadinya DTPs. Penyebab umum terjadinya DTPs dirangkum pada tabel I (Cipolle dan Strand, 2004).

Tabel I. KategoriDrug Therapy Problems (Cipolle dan Strand, 2004). DTPs Penyebab Umum

Terapi obat tanpa indikasi

Tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan untuk menghilangkanadverse reactionyang berhubungan dengan pengobatan lain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkan masalah.

Perlu tambahan terapi obat

Kondisi terapi yang memerlukan terapi inisiasi obat,pencegahan terapi obat diperlukan untuk mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek adiktif. Obat yang

tidak efektif

Obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif terhadap masalah medis yang dialami,kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat, bentuk sediaan obat tidak sesuai,

obat tidak efektif terhadap indikasi yang dialami. Dosis

terlalu rendah

Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan, interval dosis terlalu rendah untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia, durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan.

Adverse Drug Reaction

Obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor resiko, interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, adanya regimen dosis atau berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi, obat kontraindikasi terhadap faktor resiko.

Dosis terlalu tinggi

Dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi karena hasil dari reaksi toksik dari obat, dosis obat diberikan terlalu cepat.

Kepatuhan pasien

(47)

E. Keterangan Empiris

(48)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi peresepan pada pasien hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subjek menurut keadaan apa adanya (in nature), tanpa adanya manipulasi atau intervensi peneliti (Pratiknya, 2001). Penelitian merupakan rancangan deskriptif evaluatif dikarenakan data yang diperoleh dari lembar rekam medis kemudian dievaluasi berdasarkan studi pustaka, dan dideskripsikan dengan memaparkan fenomena yang terjadi, yang kemudian ditampilkan dalam bentuk tabel. Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang digunakan diambil dengan melakukan penelusuran terhadap dokumen terdahulu yaitu berupa rekam medis pasien hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP. Dr. Sardjito periode 2005-2007.

B. Definisi Operasional

(49)

2. Kasus adalah banyaknya perawatan yang dilakukan oleh pasien hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.

3. Resep adalah kumpulan permintaan tertulis dari dokter kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita hepatitis B kronis dalam satu kali periode perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007

4. Lembar rekam medis adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang memuat data mengenai karakteristik pasien meliputi identitas, diagonosis, anamnesis, pemeriksaan jasmani, hasil laboratorium, daftar pemberian obat, rencana pengelolaan dan catatan perkembangan, rekam catatan keperawatan serta ringkasan pemeriksaan pada kasus hepatitis B kronis yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.

5. Karakteristik pasien hepatitis B kronis adalah penggolongan pasien yang telah terdiagnosis hepatitis B kronis berdasarkan umur, jenis kelamin dan komplikasi sirosis pada saat pasien dirawat di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.

6. Pola pengobatan pasien hepatitis B kronis adalah penggolongan obat yang digunakan pasien hepatitis B kronis menjadi beberapa kelas terapi berdasarkan buku acuan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008.

(50)

27

8. Peresepan obat tidak rasional adalah peresepan yang tidak sesuai dengan parameter yang mengacu pada Drug Therapy Problems yang meliputi kriteria yaitu adanya terapi obat tanpa indikasi, indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, ketidakefektifan pemilihan obat, dosis yang kurang, terjadinya adverse drug reaction, dosis yang berlebih, dan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat.

9. Terapi obat tanpa indikasi, meliputi tidak adanya indikasi medis yang valid untuk terapi obat yang digunakan saat itu, banyaknya pemakaian banyak obat untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal, kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan untuk menghilangkan adverse reaction yang berhubungan dengan pengobatan lain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok yang menyebabkan masalah.

10. Indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, meliputi kondisi terapi yang memerlukan terapi inisiasi obat, pencegahan terapi obat diperlukan untuk mengurangi resiko berkembangnya penyakit baru, kondisi medis yang memerlukan farmakoterapi tambahan untuk mencapai sinergisme atau efek adiktif.

(51)

12. Dosis yang kurang, meliputi dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan, interval dosis terlalu rendah untuk dapat menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia dan durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan.

13.Adverse drug reaction, meliputi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, obat yang lebih aman diperlukan terhadap faktor resiko, interaksi obat menyebakan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan besarnya dosis, adanya regimen dosis atau berubah sangat cepat, obat menyebabkan alergi dan obat kontraindikasi terhadap faktor resiko.

14. Dosis yang berlebih, meliputi dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi karena hasil dari reaksi toksik dari obat dan dosis obat diberikan terlalu cepat.

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah kasus yang dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007. Jumlah kasus dalam penelitian ini sebanyak 21 kasus.

D. Bahan Penelitian

(52)

29

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito, Jalan Kesehatan No. 1 Sekip Yogyakarta

F. Tata Cara Penelitian

Jalannya penelitian meliputi tiga tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pengambilan data dan tahap penyelesaian data.

1. Tahap perencanaan

Dimulai dengan penentuan dan analisis masalah yang akan dijadikan bahan penelitian kemudian mengurus perijinan untuk melihat lembar rekam medis pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2005-2007.

2. Tahap pengambilan data

(53)

Dari keduapuluh satu kasus hepatitis B kronis tersebut kemudian data rekam medis masing-masing kasus ditulis ke dalam lembar pencatatan. Data yang dikumpulkan meliputi identititas, diagnosis, anamnesis, pemeriksaan jasmani, hasil laboratorium, daftar pemberian obat, rencana pengelolaan dan catatan perkembangan, rekam catatan keperawatan dan ringkasan pemeriksaan.

3. Tahap penyelesaian data

a. Pengolahan data

Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel kemudian dideskripsikan. Tabel data berisi mengenai karakteristik pasien yang dikelompokkan berdasarkan usia, jenis kelamin dan komplikasi sirosis, pola pengobatan yang menampilkan distribusi kelas terapi, dan kajian mengenai Drug Therapy Problems yang dijabarkan menggunakan metode SOAP (Subjective,Objective,Assessment,Plan).

b. Evaluasi data

(54)

31

Esophageal Varices In Cirrhosis:An Randomized Controlled Trial (RCT). Evaluasi yang dilakukan secara kasus per kasus.

G. Tata Cara Analisis Hasil

Analisis data dilakukan dengan melihat karakteristik pasien berdasarkan usia, jenis kelamin dan komplikasi sirosis. Pola pengobatan pasien hepatitis B kronis dibagi menjadi 11 kelas terapi, kemudian terbagi ke dalam masing-masing golongan obat, kelompok obat, nama zat aktif dan jenis obat. Kajian Drug Therapy Problems menggunakan metode SOAP pada masing-masing kasus, kemudian dibuat rangkuman pembahasan Drug Therapy Problems, di mana pada tabel tersebut dijabarkan nomor kasus, jenis obat, penilaian, dan rekomendasi terhadap Drug Therapy Problems yang terjadi. Pada analisa kerasionalan pada penelitian ini parameterDrug Therapy Problems yang digunakan hanya sebesar 6 parameter tanpa mengikutsertakan kepatuhan pasien hal ini disebabkan karena adanya keterbatasan dalam penelitian sehingga hanya mampu mengamati keenam parameter lainnya yang termasuk dalam kategori Drug Therapy Problems. Untuk tata cara analisa hasil dilakukan sebagai berikut :

1. Karakteristik pasien

(55)

b. Persentase jenis kelamin dikelompokkan menjadi kasus dengan jenis kelamin laki-laki dan wanita, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap kelompok jenis kelamin dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

c. Persentase terjadinya komplikasi sirosis dikelompokkan menjadi kasus dengan sirosis dan belum sirosis, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap kelompok dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

2. Persentase kelas terapi obat pada masing-masing tahun dikelompokkan menjadi 11 kelas terapi, dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap kelas terapi per tahun dengan jumlah keseluruhan kasus pada tahun tersebut kemudian dikalikan 100%. Persentase total kelas terapi dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap kelompok kelas terapi dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

3. Persentase total jenis zat aktif yang digunakan pada masing-masing kelas terapi dihitung dengan cara membagi antara jumlah kasus pada tiap jenis zat aktif dengan jumlah keseluruhan kasus kemudian dikalikan 100%.

(56)

33

Drug Therapy Problems akan dijabarkan pada Assessment yang kemudian akan dipecahkan melaluiPlan.

5. Kajian Drug Therapy Problems kemudian dirangkum, yaitu dengan mengelompokkan kasus yang terjadi pada keenam parameter Drug Therapy Problems beserta jenis obat dan zat aktifnya disertai penilaian dan rekomendasi terhadap terjadinyaDrug Therapy Problems.

H. Kesulitan Penelitian

Dalam pengambilan data pada penelitian ini penulis menemui beberapa kesulitan, antara lain sulitnya membaca tulisan dokter atau perawat yang ada di lembar rekam medis mengenai perawatan yang diterima pasien dan tulisan nama jenis obat yang diterima pasien. Penggunaan istilah medis yang tidak lazim digunakan juga sulit dimengerti oleh penulis karena tidak sesuai dengan istilah yang berlaku didunia internasional. Kesulitan tersebut dapat diatasi dengan bertanya kepada dokter pembimbing medis, dosen pembimbing skripsi, dosen farmasi Sanata Dharma maupun rekan sejawat yang bersama penulis juga sedang meneliti di Instalasi Catatan Medis RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.

(57)

34

Penelitian mengenai kerasionalan peresepan pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 dilakukan dengan menelusuri kasus pasien rawat inap yang terdiagnosis penderita hepatitis B kronis, baik yang didiagnosis dalam diagnosis utama maupun diagnosis lain. Kasus hepatitis B kronis pada penelitian ini yang tergolong dalam diagnosis utama sebanyak 4 kasus sedangkan dengan diagnosis lain sebanyak 17 kasus.

Hasil penelitian mengenai kerasionalan peresepan pasien hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 dibagi menjadi 3 bagian yaitu karakteristik pasien hepatitis B kronis, pola pengobatan pasien hepatitis B kronis, dan kajianDrug Therapy Problems (DTPs) dan kemudian akan dirangkum pada akhir pembahasan. Karakteristik kasus hepatitis B meliputi kelompok usia, jenis kelamin dan terjadinya komplikasi sirosis. Pola pengobatan kasus hepatitis B kronis meliputi kelas terapi beserta golongan obat pasien selama dirawat di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007 dan kajian keenam parameter Drug Therapy Problems (DTPs) dijabarkan melalui metode SOAP serta dirangkum dalam bentuk tabel berdasarkan kategoriDTPs yang terjadi pada masing-masing kasus.

A. Karakteristik Kasus Hepatitis B Kronis

(58)

35

distribusi berdasarkan kelompok jenis kelamin dimaksudkan untuk mengetahui perbandingan jumlah pasien laki-laki dan wanita yang menderita hepatitis B kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito periode 2005-2007.

Berdasarkan kelompok umur, kasus hepatitis B kronis digolongkan menjadi 2 kelompok usia, yaitu kelompok <30 tahun dan≥30 tahun.

1. Berdasarkan kelompok usia

Tabel II. Distribusi Jumlah Kasus Hepatitis B Kronis berdasarkan Kelompok Usia di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Kelompok Usia

(tahun) 2005 (n=7)

2006 (n=2)

2007 (n=12)

% total

<30 - 1 - 4,8

≥30 7 1 12 95,2

(59)

2. Berdasarkan kelompok jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, kasus hepatitis B kronis di RSUP Dr. Sardjito pada tahun 2005-2007 lebih banyak terjadi pada laki-laki yaitu sebesar 81,0% sedangkan pada wanita sebesar 19,0%.

Tabel III. Distribusi Kasus Hepatitis B Kronis Berdasarkan Jenis Kelamin di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Jenis Kelamin 2005

(n=7)

2006 (n=2)

2007 (n=12)

% total

Wanita 3 ─ 1 19,0

Laki-laki 4 2 11 81,0

3. Berdasarkan terjadinya komplikasi sirosis

Tabel IV. Distribusi Kasus Hepatitis B Kronis Berdasarkan Jenis Kelamin di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Komplikasi 2005

(n=7)

2006 (n=2)

2007 (n=12)

% total Sirosis dekompensata 3 - 7 47,6 Belum sirosis 4 2 5 52,4

Komplikasi yang dialami pasien adalah sirosis dekompensata di mana gejala dan tanda yang muncul lebih jelas, seperti keluhan asites, ikterus atau muntah darah. Pasien biasanya baru diketahui menderita hepatitis B kronis setelah muncul gejala dan tanda tersebut.

B. Pola Pengobatan Pasien Hepatitis B Kronis

(60)

37

obat, nama zat aktif dan jenis obat. Pembagian kelas terapi dalam penelitian ini berdasarkan pustaka acuan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000 dan MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 7 2007/2008, yang disajikan pada tabel V.

Tabel V. Distribusi Kelas Terapi Obat Kasus Hepatitis B Kronis yang Dirawat di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Persentase (%) tiap tahun No. Kelas Terapi

2005 (n=7)

2006 (n=2)

2007

(n=12) 2005 2006 2007

% total 1 Obat saluran cerna 4 2 10 57,1 100,0 83,3 76,2

2 Obat kardiovaskuler 5 - 6 71,4 - 50,0 52,4 3 Obat saluran pernapasan 5 1 5 71,4 50,0 41,7 52,4 4 Obat sistem saraf pusat 2 - 3 28,6 - 25,0 23,8 5 Obat analgesik 2 2 6 28,6 100,0 50,0 47,6 6 Obat infeksi 4 2 8 57,1 100,0 66,7 66,7

7 Obat-obat hormonal 1 - 7 14,3 - 58,3 38,1 8 Obat gizi dan darah 7 2 12 100,0 100,0 100,0 100,0

9 Obat otot skelet dan sendi - - 1 - - 8,3 4,8 10 Obat sistem hepatobilier 2 2 7 28,6 100,0 58,3 52,4 11 Antineoplastik dan

imunomodulator - 1 - - 50,0 - 4,8

(61)

1. Obat yang bekerja pada saluran cerna

Tabel VI. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem Saluran Cerna yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah kasus Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005

n=7

hidroksida Farmacrol® - 1 - 9,5 rebamipide Mucosta® - - 1 4,8

Antasida

esomeprazole Nexium® - - 2 9,5

ranitidin 1 - 4 Acran® 1 -

-Radin® 1 2

-Ant. reseptor H2 ranitidin

Rantin® - - 1

47,6

Ulsidex® - - 2 Khelator dan

senyawa kompleks sukralfat Inpepsa® - - 1 14,3

pantoprazol Pantozol® - 1 1 9,5 omeprazole - 1

(62)

39

pengeluaran tinja dari kolon dan rektum. Pencahar osmotik bekerja dengan cara menahan cairan dalam usus secara osmosis atau dengan mengubah penyebaran air dalam tinja. Laktulosa adalah disakarida semisintetik tidak diabsorpsi dari saluran cerna. Senyawa ini menyebabkan diare osmotik dengan pH tinja yang rendah, dan mengurangi proliferasi organisme penghasil amonia (Anonim, 2000).

2. Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler

Tabel VII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem Kardiovaskuler yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi

Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Golongan Kelompok Zat aktif Jenis Obat 2005

n=7 Alfa bloker terazosin Hytrin® 1 - - 4,8

irbesartan irbesartan 1 - - 4,8 valsartan Aprovel® - - 1 4,8

Antagonis reseptor

angiotensin II telmisartan telmisartan - - 1 4,8 Obat anti

hipertensi

ACEI lisinopril Noperten® - - 1 4,8

Golongan nitrat isosorbid mononitrat ISMN - - 1 4,8 nifedipin Adalat oros® 1 - - 4,8 Golongan

antagonis kalsium amlodipin Tensivask® 1 - - 4,8

propranolol propranolol 1 - 5 28,6

bisoprolol 1 -

-Diuretika kuat furosemid Lasix® 4 - 1 23,8

Aldacton® 1 -spironolactone 1 - 3 Carpiaton® - - 2

Diuretika Diuretika hemat

kalium spironolakton

Letonal® - - 1

38,1

Antiplatelet Clopidogrel Plavix® - - 1 4,8

Ditranex® - - 1

(63)

cara memblok reabsorbsi sodium pada tubulus kolektivus (Walker dan Edwards, 2001). Indikasi propranolol adalah untuk terapi hipertensi yang efektif walaupun mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti (Anonim, 2000). Obat antihipertensi golongan β-bloker dapat mengurangi curah jantung, mengubah kepekaan refleks baroreseptor, dan memblok adrenoreseptor perifer. Selain itu, propranolol dapat digunakan untuk pencegahan pendarahan varises esofageal dan pendarahan gastrik pada hipertensi portal (Anonim, 2000).

3. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernapasan

Tabel VIII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat pada Sistem Saluran Pernapasan yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat

Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005

n=7 2006

n=2 2007 n=12

% total Antiasma dan

bronkodilator

Bronkodilator antimuskarinik

ipratropium bromida Atrovent® - - 1

4,8 Kortikosteroid - budenosid Pulmicort® - - 1 4,8

Oksigen - oksigen oksigen 4 - 3 33,3

- asetilsistein Fluimucil® - 1 2 14,3

Mukolitik

- ambroxol ambroxol 1 - 1 9,5

levodropropizine Levopront® - 1 - 4,8

Antitusif dan

ekspektoran Antitusif dekstrometorfan dekstromethorfan 1 - 2 14,3

(64)

41

Dekstrometorfan merupakan antitusif untuk menekan rangsang batuk yang tidak produktif.

4. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat

Tabel IX. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat yang Bekerja pada Sistem Saraf Pusat yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat

Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005

n=7 ondansetron Invomit® - - 1 4,8

Obat mual dan vertigo

-metoklopramid Sotatic® 1 - - 4,8

Golongan yang digunakan pada sistem saluran pernapasan adalah golongan obat mual dan vertigo dengan zat aktif yang terbanyak digunakan adalah domperidon. Domperidon dapat mengatasi gejala mual dan muntah yang sebagian besar dialami oleh pasien hepatitis B kronis. Domperidon tidak mudah melewati sawar darah otak sehingga tidak menimbulkan reaksi distonia dan sedasi (Anonim, 2000).

5. Obat yang bekerja sebagai analgesik

Tabel X. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Analgesik yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005

n=7

acetylcysteine Sistenol® 2 2 2 28,6

parasetamol parasetamol - 1 1 9,5

asam mefenamat 1 - -asam mefenamat

Mefinal® - - 1 9,5

Analgesik non-opioid

-metamizole natrium Novalgin® 1 - - 4,8

(65)

Dua golongan obat yang digunakan sebagai analgesik pada terapi pasien hepatitis B kronis adalah golongan analgesik non-opioid dan golongan antimigren. Pada golongan analgesik non-opioid, zat aktif terbanyak yang digunakan adalah kombinasi antara parasetamol dan n-acetylcysteine yang memiliki indikasi untuk meringankan batuk berdahak dan menurunkan demam pada flu, sakit kepala dan nyeri. N-acetylcysteine telah digunakan selama beberapa dekade dan telah terbukti berfungsi sebagai antidot pilihan pada terapi yang menggunakan parasetamol (acetaminophen) yang menginduksi terjadinya hepatotoksistas (Algren, 2008). Asam mefenamat merupakan analgesik kelompok AINS namun sifat antiinflamasinya rendah. Pada kelompok profilaksi migren, zat aktif yang digunakan adalah flunarizin yang berfungsi sebagai profilaksis migren, pengobatan gangguan serebral dan vestibular perifer (Anonim, 2000).

6. Obat-obat hormonal

Tabel XI. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Hormonal yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito

Yogyakarta Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005

n=7

2006 n=2

2007 n=12

% total Antidiabetik Insulin suspensi netral

isophane

Insulatard®

- - 3 14,3

Somerol® - - 1

metil prednisolon

metilprednisolon - - 2 14,3 Kortikosteroid Antiinflamasi

sistemik

prednison prednison 1 - - 4,8 Hormon lain - oktreotid Sandostatin® - - 1 4,8

(66)

43

digunakan adalah metil prednisolon. Pada golongan antidiabetik kelompok obat yang paling banyak digunakan adalah insulin sebagai terapi pada pasien diabetes melitus tipe I (tipe diabetes melitus yang tergantung insulin). Insulatard®merupakan jenis insulin yang mula kerjanya dalan waktu singkat (1/2 jam) dan durasinya sedang yaitu sebesar 24 jam. Komposisi Insulatard®adalah berupa suspensi netral isophane dari monokomponen insulin manusia dan merupakan rekombinan DNA asli.

7. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi

Tabel XII. Golongan, Kelompok, Zat Aktif dan Jenis Obat Infeksi yang Digunakan pada Terapi Kasus Hepatitis B Kronis di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta

Periode 2005-2007

Jumlah Kasus Golongan Kelompok Zat Aktif Jenis Obat 2005

n=7 amoksisilin amoxicillin 2 - - 9,5 Penisillin Amoksisilin

dan asam klavulanat

Augmentin® - - 1 4,8

sefotaksim cefotaxime 2 - 2 19,0

Biotriax® - - 1 ceftriaxone 2 - 4 Triject® - - 1

seftazidim ceftazidime 1 - - 4,8 Aminoglikosida gentamisin Garamycin® 1 - - 4,8

Makrolid azitromisin azitromicin - - 3 14,3 Antibiotik lain kolistin Colistine® 1 - 1 9,5

siprofloksasin ciprofloksasin - 1 - 4,8 Antibiotik/antimikroba

Kuinolon

gatifloksasin gatifloksasin 1 - - 4,8 rifampisin rifampisin - - 1 4,8 isoniazid INH - - 1 4,8 Antimikobakteri Tuberkulostatik

etambutol etambutol - - 1 4,8 Antijamur - Ketokonazol ketokonazol - - 1 4,8 Antivirus - entecavir Baraclude® - - 1 4,8

Gambar

Gambar 1. Hepar (Anonim, 2008 b)
Gambar 2. Virus Hepatitis B (Anonim, 2008 c)
Gambar 3. Grafik Petanda Serologi Hepatitis B Kronis (Anonim, 2008 f)
Gambar 4. Algoritma Terapi Hepatitis B Kronis (DiPiro et al., 2005).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan sumber pengetahuan baru dalam upaya menstimulasi dan meningkatkan kemampuan mengenal bentuk

yang berjudul ” Uji Aktivitas Antioksidan Menggunakan Radikal 1,1-Difenil-2- Pikrilhidrazil (DPPH) dan Penetapan Kandungan Fenolik Total Fraksi Etil Asetat

Odd Parity bit adalah bit tambahan yang diberikan untuk membuat jumlah bit ‘1’ pada.. urutan data yang disertainya menjadi ganjil, sedangkan Even Parity Bit adalah

Dalam konteks penilaian hasil belajar, depdiknas ( 2003 ) mengemukakan prinsip-prinsip umum penilaian adalah mengukur hasil-hasil belajar yang telah ditentukan dengan jelas dan

Pembuatan permen soba dengan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii merupakan penelitian utama dengan perlakuan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii 30%, 40%

1) Perkebunan Kelapa Sawit adalah segala kegiatan pengelolaan SDA, SDM, sarana produksi, alat dan mesin, budidaya, panen, pengolahan, dan pemasaran terkait

Tahap keempat jika Kabag telah menyetujui jadwal yang dibuat Administrasi, Kabag Labkom akan meminta Administrasi membuat undangan Rapat Evaluasi Masalah untuk seluruh

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja