• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penawaran Gula

Dalam dokumen Pada industri kimia Di Kabupaten Bogor (Halaman 83-92)

memaksimumkan fungsi utilitas adalah sebagai berikut:

IV. METODE PENELITIAN

4.3. Model Ekonometrika

4.3.2. Penawaran Gula

Penawaran gula dalam penelitian ini merupakan penjumlahan dari produksi gula dalam negeri dan jumlah impor atau pengadaan dari luar negeri. Stok gula tidak dimasukkan sebagai peubah eksogen karena pengadaan stok hanya untuk pengadaan di gudang Bulog saja. Sebagai negara net importir, jumlah ekspor Indonesia sangat kecil sehingga dalam penelitian ini dianggap nol, sehingga persamaan penawaran gula Indonesia adalah sebagai berikut:

SGt = PRODGt + IMTt ………..….………..…..(4.5)

dimana :

SGt = penawaran gula (000 ton)

PRODGt = produksi gula (000 ton)

IMTt = impor gula total (000 ton)

Swasembada gula Indonesia memang tidak dapat dipertahankan, ditandai dengan produksi yang tidak dapat mengimbangi jumlah permintaan dalam negeri yang terus meningkat telah menyebabkan pemerintah mengambil suatu kebijakan dalam upaya pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri dengan melakukan impor. Impor gula Indonesia dirumuskan menjadi satu persamaan identitas dan dua persamaan struktural yaitu impor gula yang langsung dikonsumsi oleh masyarakat dan impor gula permintaan khusus industri makanan dan minuman (gula rafinasi), persamaan dapat diformulasikan sebagai berikut:

IMTt = IMt + IMRt………..………..……..(4.6)

dimana :

IMt = impor gula (000 ton)

Gula putih dan gula rafinasi adalah dua jenis produk gula hampir sama dimana yang membedakan adalah mutu serta kualitas, sehingga dalam penelitian ini dianggap sama atau homogen. Masing-masing impor gula dipengaruhi oleh:

IMt = c0 + c1HGWRt +c2HECRt + c3 PRODGt + c4 SDGRTt +

c5 SDGIt + c6 NTKRt + c7 TIMt + c8IMt-1 + μ3 ……....(4.7)

dimana :

IMt = impor gula (000 ton)

HGWRt = harga riil impor gula (US$/kg)

HECRt = harga riil gula eceran (Rp/kg)

PRODGt = produksi gula (000 ton)

SDGRTt = perubahan permintaan gula rumahtangga (000 ton)

SDGIt = perubahan permintaan gula industri (000 ton)

TIMt = tarif impor (%)

IMt -1 = impor gula tahun sebelumnya (000 ton)

μ3 = peubah pengganggu

Tanda parameter pendugaan yang diharapkan : c2,c4,c5 >0; c1, c3 ,c6, c7 <0; 0<c8<1.

Impor gula rafinasi pada mulanya diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan industri terutama makanan dan minuman yang memerlukan kualitas gula yang bermutu tinggi. Namun dengan semakin meningkatnya pendapatan masyarakat, permintaan gula dengan mutu lebih baik diperkirakan cenderung meningkat. Diduga impor gula rafinasi ini dipengaruhi oleh harga impor gula rafinasi, harga gula eceran, nilai tukar, tarif impor dan permintaan gula oleh industri makanan dan minuman tahun sebelumnya. Sehingga persamaan impor gula rafinasi diformulasikan sebagai berikut:

IMRt = d0 + d1HRWRt +d2 HECRt +d3 DGIRt-1 + d4 NTKRt +

d5 TIMRt + d6IMRt-1 + μ4 …………..………..(4.8)

dimana :

IMRt = impor gula rafinasi (000 ton)

HRWRt = harga riil impor gula rafinasi (US$/kg)

HECRt = harga riil gula eceran (Rp/kg)

DGIRt-1 = permintaan gula rafinasi industri sebelumnya (000 Ton)

NTKRt = nilai tukar rupiah (Rp/US$)

TIMRt = tarif impor gula rafinasi (%)

IMRt -1 = impor gula rafinasi tahun sebelumnya (000 ton)

μ4 = peubah pengganggu

Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah : d2,d3>0; d1,d4,d5 <0;

0<d6<1.

4.3.3.Permintaan Gula

Konsumsi atau permintaan gula di dalam negeri terdiri dari permintaan gula oleh rumahtangga sebagai konsumsi langsung (final demand), permintaan gula untuk industri makanan dan minuman sebagai salah satu input produksi dan permintaan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman sebagai salah satu input produksi yang disebut konsumsi tidak langsung (intermediate demand). 1. Permintaan Gula Rumahtangga

Tingkat permintaan terhadap suatu barang sangat dipengaruhi oleh harga barang itu sendiri dan harga barang substitusinya. Selain itu juga dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat dan jumlah penduduk. Gula merah dan gula rafinasi

dianggap sebagai barang substitusi untuk gula yang biasa dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Persamaan permintaan gula rumahtangga dirumuskan:

DGRTt = e0 + e1HECRt + e2HGMRt + e3 HRWRt + e4SPDBKAPt +

e5Tt + e6DGRTt-1 +μ5 ………...(4.9)

dimana:

DGRTt = permintaan gula oleh rumahtangga (000 ton)

HECRt = harga riil gula eceran (Rp/kg)

HGMRt = harga riil komoditas gula merah (Rp/kg)

HRWRt = harga riil impor gula rafinasi (US$/kg)

SPDBKAPt= perubahan PDB riil per kapita (Rp/kap/tahun)

Tt = tren waktu proksi dari selera konsumen

DGRTt-1 = permintaan gula rumahtangga tahun sebelumnya (000 ton)

μ5 = peubah pengganggu

Tanda parameter pendugaan yang diharapkan: e2, e3, e4, e5>0 ; e1<0; 0<e6<1.

2. Permintaan Gula Industri Makanan dan Minuman

Industri makanan dan minuman dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu industri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan baku produksi makanan atau minuman olahannya, dan yang menggunakan gula rafinasi dengan mutu dan kualitas yang ketat.

DGIt = f0 + f1HECRt + f2HRWRt + f3SPDBIt + f4Tt + f5DGIt-1

+μ6…………..………..…(4.10)

dimana:

DGIt = permintaan gula industri makanan minuman (000 ton)

HRWRt = harga riil impor gula rafinasi (US$/kg)

SPDBIt = perubahan PDB riil industri makanan minuman (Rp/thn)

Tt = tren waktu proksi dari selera konsumen

DGIt-1 = permintaan gula industri makanan dan minuman tahun

sebelumnya (000 ton) μ6 = peubah pengganggu

Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah: f2, f3, f4 >0 ; f1 <0; 0<f5<1.

3. Permintaan Gula Rafinasi Industri Makanan dan Minuman

Permintaan gula rafinasi untuk bahan baku industri makanan dan minuman dipengaruhi oleh harga impor gula rafinasi. Harga gula rafinasi domestik untuk series data tidak tersedia. Semakin berkembangnya industri makanan dan minuman yang berbahan baku gula rafinasi yang semakin meningkat, dapat dilihat dari semakin meningkat Produk Domestik Bruto (PDB) industri. Komposisi atau persentasi gula rafinasi sebagai bahan baku industri makanan dan minuman dapat dilihat pada Tabel 4. Persamaan permintaan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman dirumuskan sebagai berikut:

DGIRt = g0 + g1 HRWRt + g2HOPRt+ g3 HECRt+ g4 PDBIt-1 +

g5 Tt +g6DGIRt-1+μ7 ……….(4.11)

dimana:

DGIRt = permintaan gula rafinasi industri makanan minuman

(000ton)

HRWRt = harga rill impor gula rafinasi (US$/kg)

HOPRt = harga output industri (US$/kg) HECRt = harga riil gula eceran (Rp/kg)

PDBIt-1 = PDB riil industri makanan dan minuman tahun sebelumnya

Tt = tren waktu proksi dari selera konsumen

DGIRt-1 = permintaan gula rafinasi industri makanan dan minuman

tahun sebelumnya (000 ton) μ6 = peubah pengganggu

Tanda parameter pendugaan yang diharapkan adalah: g2, g3, g4, g5 >0; g1<0;

0<g6<1. Sehingga dapat diperoleh persamaan permintaan total setara gula:

DGt = DGRTt + DGIt + DGIRt………..……...……..(4.12)

dimana:

DGt = permintaan gula total (000 Ton)

DGRTt = permintaan gula oleh rumahtangga (000 Ton)

DGIt = permintaan gula oleh industri makanan minuman (000 Ton)

DGIRt = permintaan gula rafinasi oleh industri makanan minuman

(000 Ton)

4.3.4.Harga Gula Eceran

Harga gula eceran yang dimaksud dalam penelitian ini adalah harga gula putih dalam negeri di tingkat konsumen. Pangsa impor Indonesia sekitar 3.57 persen dari impor gula dunia memposisikan Indonesia sebagai negara kecil dalam perdagangan gula dunia, maka Indonesia bersifat price taker (Susila dan Sinaga, 2005). Dengan demikian diduga harga gula eceran dipengaruhi pula oleh gula dunia, selain oleh harga di tingkat produsen, harga impor gula rafinasi, permintaan gula tahun sebelumnya, selisih penawaran gula dan harga gula eceran tahun sebelumnya.

HECRt = h0 + h1HPRt+ h2HGWRt +h3 HRWRt +h4 DGt-1 +h5SSGt +

dimana:

HECRt = harga riil gula eceran (Rp/kg)

HPRt = harga riil gula di tingkat produsen (Rp/kg)

HGWRt = harga riil impor gula (US$/kg)

HRWRt = harga riil impor gula rafinasi (US$/kg)

DGt-1 = permintaan gula tahun sebelumnya (000 ton)

SSGt = perubahan penawaran gula (000 ton)

HECRt-1 = harga riil eceran tahun sebelumnya (Rp/kg)

μ8 = peubah pengganggu

Tanda parameter pendugaan yang diharapkan: h1,h2,h3, h4>0; h5<0; 0<h6<1.

4.4. Identifikasi dan Pendugaan Model

Salah satu yang menentukan metode pendugaan model adalah identifikasi model. Identifikasi model ditentukan atas dasar order condition sebagai syarat keharusan dan rank condition sebagai syarat kecukupan. Identifikasi model struktural berdasarkan order condition menurut Koutsoyiannis (1977) adalah:

(K-M) > (G-1) dimana:

K = total peubah dalam model (peubah endogen dan peubah predeterminan)

M = jumlah peubah endogen dan eksogen yang termasuk dalam satu persamaan tertentu dalam model

G = total persamaan dalam model, banyaknya jumlah peubah endogen dalam model

Berdasarkan hasil perhitungan order condition diatas, akan ditentukan metode pendugaan model untuk mendapatkan seluruh nilai dan koefisien-

koefisien model. Bila hasil perhitungan order condition ternyata model over- identified atau (K-M) > (G-1), maka untuk mendapatkan nilai penduga-penduga (estimator) yang unbiased, consisten, dan valid, lebih efisien bila menggunakan metode Two Stage Least Squares (2 SLS) . Sedangkan bila model ternyata model ditemukan under identified ((K-M) < (G-1)) atau exackly identified ((K-M) = (G- 1)) maka metode pendugaan yang dipergunakan adalah Three Stage Least Squares (3 SLS). Kedua metode pendugaan ini merupakan metode pendugaan yang relatif baik untuk model simultan yang bersifat linear.

Dari spesifikasi model yang telah ditentukan dapat diketahui bahwa total persamaan sebanyak 13, yang terdiri dari 8 persamaan struktural dan 5 persamaan identitas. Dengan jumlah peubah endogen yang diduga sebanyak 8 persamaan dan jumlah peubah predeterminan 41, serta jumlah peubah dalam satu persamaan berkisar 5-8, maka hasil identfikasi dalam model ini menunjukkan bahwa setiap persamaan struktural adalah over identified untuk dapat menduga parameter- paremeternya sehingga pendugaan parameternya menggunakan metode 2 SLS. Setelah model diidentifikasi maka tahap selanjutnya adalah melakukan pendugaan model dengan menggunakan prosedur SYSLIN sehingga diperoleh hasil apakah seluruh parameter memberikan koefisien parameter pendugaan yang sesuai dengan harapan yang didasarkan pada konsep teori, fenomena dan pengalaman empiris. Untuk menguji apakah ada autocorrelation dalam model dilakukan dengan menggunakan Durbin-Watson, tetapi karena seluruh persamaan struktural mengandung peubah beda kala (lag) maka uji statistik yang dapat digunakan adalah uji statistik durbin-h. Bila statistik h lebih besar dari nilai kritis distribusi normal, maka model tidak mengalami autocorrelation.

[

]

{

(

)}

0.5 1 * 5 . 0 1 ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ − − = VarBarth T T DW h dimana:

h = angka statistik durbin-h T = jumlah pengamatan contoh

Var Barth = varian dari koefisien peubah bedakala endogen DW = nilai statistik Durbin Watson

Untuk mengetahui dan menguji apakah peubah bebas (independent variable) secara bersama-sama berpengaruh signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas (dependent variable), maka pada setiap persamaan digunakan uji statistit F. Sedangkan untuk menguji apakah masing-masing peubah bebas berpengaruh signifikan atau tidak terhadap peubah tak bebas dilakukan uji statistik t.

Penggunaan program SAS atau program aplikasi lain, hasil uji statistik t bisa dilihat dari nilai nilai probabilitas ρ. Nilai probabilitas ρ ini merupakan probabilitas ρ untuk uji dua sisi (two tails test), sementara pada penelitian ini hipotesis parameter pendugaan yang diharapkan searah maka probabilitas ρ menggunakan uji satu sisi (one tail test). Untuk itu, jika ingin melakukan uji hipotesis satu sisi dan arah parameter pendugaan yang dihasilkan sesuai dengan hipotesis maka nilai probabilitas ρ dibagi dua. Sebaliknya bila arah yang dihasilkan berlawanan dengan hipotesis, maka hasil uji hipotesis satu sisi adalah satu dikurangi dengan nilai probabilitas ρ yang telah dibagi dua (UCLA Academic Technology Services, 2009; Widarjono, 2007).

Dalam dokumen Pada industri kimia Di Kabupaten Bogor (Halaman 83-92)

Dokumen terkait