• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Impor Gula

Dalam dokumen Pada industri kimia Di Kabupaten Bogor (Halaman 38-51)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3. Perkembangan Impor Gula

Kebutuhan konsumsi gula nasional terutama dipenuhi oleh produksi gula dalam negeri. Selama ini kekurangan gula untuk konsumsi diperoleh melalui impor. Dalam rangka memenuhi kebutuhan gula dalam jangka panjang, program nasional adalah melakukan swasembada pangan melalui peningkatan produksi yang diharapkan diperoleh dari kenaikan produktivitas serta melalui perluasan areal pada lahan yang produktif.

Mulai tahun 1981 sampai tahun 1998, tataniaga gula dilakukan oleh Bulog, mulai dari proses pembelian produksi gula dalam negeri, distribusi gula, sampai proses impor. Peran Bulog sangat dominan sehingga dapat dianggap sebagai praktek monopoli, sehingga muncullah Letter of Intent dengan IMF yang menghasilkan keputusan yang menetapkan penghapusan monopoli Bulog.

dengan tidak adanya monopoli Bulog, baik untuk pasar dalam negeri maupun sebagai importir, tergantung pada kekuatan permintaan dan penawaran. Pada saat harga di pasar dunia turun, maka pengaruhnya segera terasa di pasar dalam negeri disamping faktor musim giling. Harga yang rendah di pasar dunia mendorong masuknya gula impor dan bersaing dengan gula produksi dalam negeri.

Tabel 4. Perkembangan Impor Gula Tahun 1997-2007

Gula Putih Pertumb. Gula Rafinasi Pertumb Gula Mentah Pertumb Tahun

(Ton) (%) (Ton) (%) (Ton) (%) 1997 598 472 577 346 679 1998 844 851 0.41 109 141 -0.81 12 139 16.87 1999 1 186 452 0.40 587 373 4.38 379 328 30.25 2000 989 298 -0.17 430 558 -0.27 118 663 -0.69 2001 1 025 980 0.04 239 801 -0.44 18 688 -0.84 2002 618 643 -0.40 304 560 0.27 47 360 1.53 2003 452 509 -0.27 467 357 0.53 77 337 0.63 2004 459 265 0.01 577 114 0.23 83 411 0.08 2005 875 427 0.91 702 412 0.22 284 455 2.41 2006 793 147 -0.09 570 376 -0.19 112 632 -0.60 2007 1 887 160 1.38 710 025 0.24 375 602 2.33 20081) 380 225 -0.80 593 710 -0.16 44 659 -0.88 Sumber : Diolah dari Departemen Perdagangan, 2009

Keterangan : 1) Bersifat sementara

Sasaran pengembangan industri gula yang sedang diprogramkan pemerintah dalam rangka mewujudkan swasembada gula meliputi 3 tahap (Departemen Pertanian, 2007), yaitu: (1) sasaran jangka pendek (2006-2009) meliputi rehabilitasi dan ekspansi peningkatan kapasitas giling PG serta rehabilitasi tanaman dan perluasan ke luar Jawa, (2) sasaran jangka menengah (2010-2014) meliputi pembangunan PG baru dan pengembangan industri berbasis tebu, dan (3) sasaran jangka panjang (2015-2025) meliputi mempertahankan swasembada gula, memposisikan sebagai eksportir gula, pengembangan industri produk

pendamping gula antara lain bahan bakar nabati (biofuel), penyedap masakan atau MSG, pakan ternak dan lain-lain.

2.2. Kebijakan Pemerintah dalam Industri Gula

Telah diketahui bahwa sejumlah industri gula di Indonesia terutama yang berstatus BUMN berkinerja rendah dan tidak efisien yang ditunjukkan oleh menurunnya tingkat produktivitas tebu maupun rendemennya. Berbagai faktor mempengaruhi inefisiensi ini berkaitan erat dengan kebijakan politik dan ekonomi makro maupun ekonomi mikro dan manajemen pabrik. Sampai dengan tahun 2005, pemerintah pernah menerapkan berbagai kebijakan, yang secara langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh terhadap industri gula Indonesia. Kebijakan pemerintah tersebut mempunyai dimensi yang cukup luas, dari kebijakan input dan produksi, distribusi dan kebijakan harga (Tabel 5).

Diantara berbagai kebijakan produksi dan kebijakan input, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975, pada tanggal 22 April 1975. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi gula serta pendapatan petani tebu. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula.

Pada awal tahun 1990-an, kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi luas areal, produktivitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah mengeluarkan Inpres No. 5/1997, yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan dan

koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana, 2000). Namun Inpres tersebut dicabut dengan Inpres No 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No. 12/1996.

Selain kebijakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula dalam negeri. Beberapa kebijakan terpenting adalah Kepmenperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi memberi monopoli pada Bulog untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk mengimpor gula. Ketika harga gula dalam negeri terus merosot pada pertengahan tahun 2002 dan tekanan produsen semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya pada Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT). Saat liberalisasi perdagangan diberlakukan tahun 1998, gula impor masuk ke pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah. Hampir seluruh negara penghasil gula utama melakukan intervensi dalam berbagai bentuk kebijakan dengan intensitas berbeda-beda, antara lain dalam bentuk subsidi input (kredit), jaminan harga pembelian, tarif dan kuota impor.

Intervensi ini juga diterapkan di Indonesia melalui pengaturan tarif atau bea masuk yaitu Kepmenkeu No.324/KMK.01/2002. Tujuan dari kebijakan tersebut diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan ini ditempuh pemerintah untuk mencukupi

kekurangan gula. Gula yang diimpor IP hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Kepmenperindag No.643/MPP/Kep/ 9/2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3 100 per kilogram. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga dalam negeri sehingga memperbaiki pendapatan produsen. Kebijakan tersebut direvisi dengan Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula, yang mewajibkan IT untuk menyangga harga di tingkat petani pada tingkat Rp 3 410 per kilogram. Pada bulan Mei 2005, harga ditingkat petani yang merupakan harga minimum dengan mekanisme dana talangan oleh investor ditetapkan Rp 3 800 per kilogram.

Estimasi total impor gula Indonesia saat ini bervariasi mulai dari 450 ribu ton (gula putih, versi DGI), lalu 1.8 juta ton (gula mentah, versi AGRI) dan 2.4 juta ton (gula total, versi Departemen Pertanian Amerika Serikat-USDA). Walaupun demikian, volume impor gula di atas sebenarnya tidak terlalu besar dibandingkan estimasi produksi gula dunia tahun 2007/2008 yang tercatat 167.1 juta ton (Arifin, 2008).

Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah kebijakan protektif, salah satunya soal tataniaga impor gula. Pemerintah telah menetapkan tarif Rp 550 per kilogram (gula mentah) dan Rp 700 per kilogram (gula putih). Tahun 2002, kebijakan ini dikombinasikan dengan kuota impor yang diberikan kepada IT dan IP lewat Kepmenperindag No 643/MPP/Kep/9/2002, tentang Tataniaga Impor

Gula (TIG). Ini membuat Indonesia melangkah pada kebijakan tariff rate quota (TRQ).

Tabel 5. Perkembangan Kebijakan Pergulaan Indonesia

Nomor

SK/Keppres/Kepmen Perihal Tujuan

Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971

Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula

Menjaga kestabilan pasokan gula sebagai bahan pokok

Surat Mensekneg No. B.136/ABN SEKNEG/ 3/74, 27 Maret 1974

Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP

Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP Inpres No. 9/1975, 22

April 1975

Intensifikikasi tebu rakyat (TRI)

Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu Kepmen Perdagangan

dan Koperasi No. 122/ Kp/III/81, 12 Maret 1981

Tataniaga gula pasir dalam negeri

Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani

Kepmenkeu No. 342/KMK.011/1987

Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor

Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik

UU No. 12/1992 Budidaya tanaman Memberikan kebebasan pada petani untuk menanam komoditas sesuai dengan prospek pasar

Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997

Program pengembangan tebu rakyat

Pemberian peranan kepada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas Inpres No. 5/1998, 21

Januari 1998

Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997

Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992

Kepmen perindag No. 25/MPP/Kep/1/1998

Komoditas yang diatur tataniaga impornya

Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang

Kepmenhutbun No. 282/Kpts- IX/1999, 7 Mei 1999

Penetapan harga provenue

gula pasir produksi petani

Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi

Kepmenperindag No. 363/MPP/ Kep/8/1999, 5 Agustus1999

Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen Kepermenindag No. 230/MPP/ Kep/6/1999, 5 Juni 1999 Mencabut Kepmenperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999

Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri.

Kepmenkeu No. 324/KMK.01/2002

Perubahan bea masuk Peningkatan efektivitas bea masuk Kepmenperindag No.

643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

Tataniaga impor gula Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen

Kepmenperindag No. 527/MPP/Kep/9/2004:

Penyempurnaan tataniaga impor gula

IT wajib menyangga harga di tingkat petani dan impor dilakukan bila harga minimum Rp 3 410

Sumber: Susila, 2005

Dalam keputusan ini juga diatur jenis impor gula yang meliputi raw sugar, refined sugar dan plantation white sugar, serta membatasi IT hanya lima perusahaan juga dikritik karena potensial merupakan bentuk terselubung dari praktik monopoli. Posisi IT yang merupakan produsen gula, potensial menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan sebagai produsen dengan pedagang.

Seperti diketahui, inti TIG sebenarnya mengatur pemasukan impor gula (waktu, jumlah dan tujuan), baik impor gula mentah maupun gula putih. Impor gula mentah hanya bisa dilakukan IP yang diakui oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri yang direkomendasi oleh Dirjen Industri Kimia, Agro dan Hasil Hutan Depperindag dan Dirjen Bina Produksi Perkebunan Deptan. Waktu impor (pengapalan) gula, jumlah dan jenis gula yang diimpor dibatasi. Gula mentah tak boleh langsung diperjualbelikan di pasar. Impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh IT gula yang ditunjuk oleh Dirjen Perdagangan Luar Negeri Depperindag yang minimal 75 persen bahan bakunya bersumber dari petani tebu.

Melalui kinerja usahatani tebu, upaya intervensi melalui kebijakan tataniaga dan langkah revitalisasi industri gula di dalam negeri outcome yang diharapkan bahwa target swasembada gula bisa dipenuhi. Berbagai kebijakan di atas dapat

dipetakan seperti disajikan pada Gambar 3. Dalam memasuki era liberalisasi, pemerintah telah memasukkan gula ke dalam highly sensitive list. Ini berarti untuk

AFTA liberalisasi ditunda sampai 2010 yang berarti gula impor tetap dikenakan bea masuk sampai 2010. Impor juga harus dilakukan pada saat giling atau ketika

stok tidak cukup, dan tidak ditujukan pada sentra penghasil gula utama (Jawa dan Lampung). Lahan HGU Lahan Sewa Lahan Petani Lahan Petani Pasar White Sugar PG Rafinasi Raw Sugar Impor Pabrik Gula Bank TRI Mandiri Kemitraan (PG sbg Avalist) Kebijakan Harga Kebijakan Impor dan

Tarif Bea Masuk

Sistem TRI 5/1998 Sistem TRI INPRES 9/75

Kebijakan Kredit

Sistem Bagi Hasil Pola Kemitraan

Kebijakan Pemanfaatan Dana dan Bea Masuk Impor

K ebi ja ka n I m p o r da n T ar if B ea M as uk R eh ab il ita si P ab rik G u la P en in g k ata n P ro d u k ti v ita s L ah an K ebi ja ka n P em as ar an

Sumber : Departemen Pertanian dan Lembaga Penelitian IPB, 2002 Gambar 3. Kebijakan Pergulaan Nasional

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai komoditas gula terutama gula putih di Indonesia telah banyak dilakukan. Hal ini disebabkan gula merupakan komoditas strategis dihubungkan dengan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Beberapa hasil

mengenai gula putih ini diperlukan untuk mengkaji secara mendalam mengenai gula rafinasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan dalam penyusunan model bagi industri gula rafinasi.

Salah satu penelitian yang berkaitan dengan analisis kebijakan pemerintah pada industri gula dilakukan oleh Hadi dan Nuryanti (2005), dengan menggunakan pendekatan model keseimbangan parsial, meneliti mengenai dampak penerapan kebijakan proteksi yang berupa kebijakan tarif dan nontarif (pengawasan dan pembatasan impor) terhadap perekonomian gula nasional di tingkat makro agregat dan tingkat mikro usaha tani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan proteksi yang telah dilakukan pemerintah telah berhasil secara signifikan menurunkan impor dan meningkatkan harga gula dalam negeri, produksi, surplus produsen dan pendapatan perani. Artinya kebijakan ini mampu secara efektif mendorong perkembangan industri gula nasional.

Berkaitan dengan kebijakan proteksi, Susila dan Sinaga (2005) telah menganalisis beberapa kebijakan mencakup: (1) kebijakan produksi yang difokuskan pada kebijakan subsidi pupuk, (2) kebijakan harga fokus pada kebijakan jaminan harga (harga provenue), dan (3) kebijakan perdagangan yang difokuskan pada kebijakan tarif impor dan tariff-rate quota, periode waktu tahun 1972-2003 dengan menggunakan analisis simulasi kebijakan model ekonometrik industri gula nasional. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa dalam situasi perdagangan yang distorsif, kebijakan yang berkaitan dengan harga output lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan yang berkaitan dengan input. Berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor, tariff-rate quota dan subsidi input adalah pilihan kebijakan yang efektif. Namun Widiastuty (2001) yang

meneliti mengenai kebijakan tarif impor dengan mengunakan analisis regresi dan analisis surplus produsen, menemukan bahwa dengan adanya kebijakan tarif maka hanya menguntungkan pemerintah, produsen gula, dan produsen pengimpor gula saja tetapi merugikan konsumen. Dalam penelitiannya Widiastuty tidak mengikutsertakan variabel impor dalam model penawarannya.

Berkaitan dengan perdagangan bebas atau liberalisasi perdagangan, Ernawati (1997) meneliti mengenai keragaan pasar gula indonesia dan melakukan simulasi dampak kebijakan liberalisasi perdagangan gula dunia dengan beberapa skenario yaitu menurunkan marjin pemasaran, harga provenue dan harga gula dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi gula meningkat karena meningkatnya luas areal tanam, bukan karena produktivitas. Stok gula secara nyata dipengaruhi oleh stok tahun lalu dan besarnya produksi. Impor gula dipengaruhi oleh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, jumlah populasi, dan pendapatan per kapita. Hasil penelitian ini diperkuat oleh Ismail (2001), bahwa peningkatan daya saing industri gula nasional perlu dibuat program untuk menjamin optimalisasi dalam budidaya dan efisiensi pabrik gula dan bukan memperluas areal tanam.

Penelitian yang dilakukan Abidin (2000) menggunakan persamaan simultan dan dinamis dengan metode Two Stage Least Squares telah menganalisis dampak liberalisasi perdagangan terhadap keragaaan industri gula dalam negeri. Model industri gula Indonesia menggunakan data sekunder time series sejak tahun 1969- 1997, disusun dengan mengkaitkan pasar internasional dengan pasar dalam negeri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) di negara eksportir, tingkat produksi menjadi pertimbangan yang utama dalam mengekspor, sedangkan di negara

importir adalah harga impor dan tingkat konsumsi, (2) intervensi pasar negara eksportir dan importir akan mempengaruhi harga dunia, (3) adanya kebijakan kemandirian produksi gula dalam negeri penting di era liberalisasi perdagangan, dan (4) akses kredit, penerapan teknologi, dan perluasan areal menjadi penentu keberhasilan keragaan industri gula dalam negeri.

Paulino dan Thirwall (2004) mengkaji mengenai dampak dari liberalisasi perdagangan pada kegiatan ekspor, impor dan neraca pembayaran dengan menggunakan data panel dari 22 negara. Temuannya menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan yang telah dijalankan oleh negara tersebut tidak hanya mendorong kegiatan ekspor mereka, tetapi juga meningkatkan impor sehingga memperburuk neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Hal ini mengindikasikan bahwa liberalisasi perdagangan memiliki dampak positif dan negatif pada suatu negara tergantung bagaimana negara tersebut mengelola sumberdaya yang ada. Pengaruh untuk Indonesia terutama setelah pembentukan AFTA dalam hubungannya dengan negara Asean menurut Pasadilla (2006), bahwa setelah terbentuk perdagangan bebas antar negara Asean, volume perdagangan antar negara Asean relatif kecil, total impor Asean menurun yang lebih disebabkan penurunan impor dari negara di luar Asean, sementara peningkatan ekspor sebagian besar terjadi penurunan ekspor ke negara luar Asean.

Penelitian mengenai industri gula rafinasi belum banyak dijumpai. Tjokrodirdjo (1999) meneliti mengenai kemampuan industri gula dalam negeri menghasilkan gula mutu tinggi yang diperoleh dengan proses rafinasi, untuk mencukupi kebutuhan industri makanan dan minuman yang terus berkembang.

Teknologi yang tepat dan kesesuaian teknis dan pemasaran produknya merupakan hal penting yang harus dibenahi.

Moss dan Schmitz (2002) meneliti mengenai integrasi vertikal dan kebijakan perdagangan pada industri gula di Amerika Serikat (AS). Tingkat integrasi vertikal antara gula mentah dan gula rafinasi tidak hanya ditentukan oleh biaya atau harga transaksi seperti pada teori integrasi tetapi juga adanya dipengaruhi oleh sewa ekonomi pada tiap saluran di tingkat pemasaran. Pemberian kebijakan berupa kuota impor yang ketat oleh pemerintah untuk mencegah masuknya gula ke dalam negeri mempunyai resiko munculnya freer trade yang berdampak pada industri gula di AS (mulai dari produksi, pengolahan, dan proses rafinasi). Perusahaan/produsen yang berintegrasi dengan pabrik produksi tidak terlalu terpengaruh dibanding yang tidak terintegrasi. Industri gula dengan tingkat integrasi vertikal yang tinggi lebih mampu mengatasi masalah pergulaan seperti impor gula.

Soebekty (2005) menganalisis struktur dan kinerja industri gula rafinasi Indonesia dengan menggunakan pendekatan Structure-Conduct-Performance (SCP) serta perumusan kebijakan dilakukan dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil penelitian diperoleh bahwa industri gula rafinasi termasuk dalam struktur pasar oligopoli dengan perilaku yang mengarah pada praktek kolusi. Kebijakan yang dianggap perlu menjadi prioritas pemerintah dalam mewujudkan industri gula rafinasi yang efisien berupa optimasi pabrik, penerapan kuota impor, penurunan bea masuk raw sugar, dan memperketat perijinan dan pengawasan.

Munir (2006) melakukan studi kasus di PT Angel Products, salah satu pabrik gula rafinasi terbesar, dan menganalisis mengenai aspek pemasarannya dimana dengan tingkat kualitas gula rafinasi yang lebih baik daripada kualitas gula putih, memiliki prospek yang cukup baik, sehingga diharapkan mampu menggeser konsumsi gula putih oleh masyarakat maupun industri penggunanya. Pasar gula rafinasi juga masih mengandalkan pasar industri makanan dan minuman skala menengah dan besar. Pasar industri kecil dan rumahtangga belum tergarap karena adanya ketentuan pemerintah terhadap gula rafinasi dibatasi hanya untuk industri.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penggunaan metode yang sama untuk menduga peubah yang sama pada periode waktu dan lokasi yang berbeda akan menghasilkan nilai estimasi parameter yang berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain terletak pada lokasi penelitian, alat analisis, pembahasan dan periode penelitian. Lokasi penelitian dilakukan di Indonesia dengan periode waktu 1980-2007, dengan menggunakan persamaan simultan, dalam pokok bahasan tersebut belum pernah ada penelitian sejenis yaitu membahas industri gula rafinasi. Pembahasan lebih berfokus pada permintaan dan penawaran serta faktor-faktor yang mempengaruhi dengan menggunakan alat analisis yang sesuai. Dengan demikian maka dipandang perlu untuk melakukan pengkajian yang berkelanjutan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi pergulaan di Indonesia.

Dalam dokumen Pada industri kimia Di Kabupaten Bogor (Halaman 38-51)

Dokumen terkait