• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencapaian Kemampuan Literasi Dasar dalam Konteks Keluarga

Perspektif emergent literacy telah menggantikan perspektif reading readiness dalam memandang kemampuan literasi anak dewasa ini. Dengan demikian maka orangtua sudah dapat mulai memberikan rangsangan dan pembelajaran terkait kemampuan literasi dasar sejak dini usia. Perkembangan kemampuan ini terjadi secara berkelanjutan yang dapat dijelaskan dengan tinjauan kognitif, sosial-kultural, serta integrasi keduanya.

Tinjauan kognitif menjelaskan proses peningkatan kemampuan bahasa dan literasi dasar sebagai faktor internal anak. Perkembangan bahasa mendasari kemampuan literasi, semakin kaya kosa kata bahasa semakin mudah anak memaknai tulisan, mengerti artinya, dan semakin cepat belajar membaca. Kosa kata pada anak berkembang sebagai hasil interaksi potensi biologis dan proses belajar. Proses belajar terjadi melalui pengalaman belajar atau pembelajaran sehingga anak memiliki kesempatan melakukan koneksi syaraf. Pada sistem otak terjadi asosiasi antara kata dan makna yang dipelajarinya.

Setiap anak memiliki potensi bawaan untuk menguasai kemampuan ini namun potensi ini tetap memerlukan peran lingkungan untuk mendukung optimalisasi perkembangannya. Anak membutuhkan pengalaman belajar yang diciptakan dalam interaksi dengan lingkungan agar memungkinkan terjadi proses konstruktif membentuk pemahaman baru untuk membangun skema kognitifnya. Dalam kognitif anak terjadi koneksi atau asosiasi antara beberapa objek atau pengalaman.

Tinjauan kognitif lebih menekankan kemampuan literasi dasar sebagai hasil dari berbagai komponen keterampilan/skill kognitif seperti kesadaran fonologis, pengetahuan huruf, kecepatan membaca urutan huruf. Keterampilan ini dapat

50

diperoleh dengan pengajaran oleh orangtua atau guru. Oleh karena itu sangat penting proses pengajaran bagi anak. Pemahaman dengan dasar kognitif ini memberi implikasi pada cara pandang atau keyakinan orangtua tentang bagaimana cara yang benar mengembangkan kemampuan literasi anak. Mereka menjadi lebih berorientasi pada mengajarkan langsung komponen keterampilan, lebih berperan akitif sebagai pemberi pengetahuan dan anak lebih berperan sebagai penerima pengetahuan. Selanjutnya anak diarahkan untuk melatih keterampilan ini dengan aktivitas terkait baca-tulis sambil duduk di meja menghadapi buku dan alat tulis.

Tinjauan sosial-kultural menjelaskan perolehan kemampuan bahasa dan literasi dasar terjadi dalam konteks kehidupan sehari-hari yang bermakna melalui keterlibatan aktif dalam aktivitas yang nyata dalam lingkungan mikrosistem yaitu keluarga. Aktivitas ini diarahkan oleh orang dewasa di rumah terutama orangtua sehingga tercipta interaksi sosial yang merangsang potensi kognitif, bahasa, dan literasi dasar anak. Melalui percakapan dengan anak orangtua meningkatkan kemampuan pengucapan kata dan menambah kosa kata anak kemudian mengembangkan keterampilan berkomunikasi. Kemampuan bahasa ini mendasari kemampuan membaca, semakin kaya kosakata yang dimiliki semakin mudah memaknai tulisan dan semakin cepat belajar membaca. Melalui kegiatan bermain terkait buku dan tulisan seperti bermain huruf, kata dan membaca buku anak dikenalkan pada pengetahuan tulisan serta tata cara membaca. Bentuk aktivitas dan interaksi yang bervariasi merupakan strategi yang dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan unik masing-masing anak.

Rangsangan kemampuan literasi dasar yang diberikan kepada anak akan lebih efektif bila terjadi interelasi antara lingkungan primer anak atau lingkungan mesosistem. MIsalnya interelasi antara keluarga dengan sekolah anak, keluarga dengan masyarakat sekitar, keluarga dengan teman sebaya anak serta keluarga dengan media. Hal ini dapat terjadi dalam bentuk aktivitas literasi yang melibatkan

51

kerja sama orangtua dan guru di sekolah taman bermain atau taman kanak-kanak. Upaya orangtua dapat didukung oleh adanya fasilitas umum di masyarakat yang memungkinkan orangtua mengajak anak ke perpustakaan atau ke toko buku. Selain itu dalam keluarga aktivitas literasi dasar juga dapat melibatkan teman sebaya selain orangtua, untuk meningkatkan ketertarikan anak. Penggunaan media informasi atau teknologi multimedia juga merupakan cara yang dapat dilakukan orangtua untuk merangsang perkembangan literasi dasar anak.

Tinjauan sosial-kultural menjelaskan bahwa kemampuan literasi dasar diperoleh sebagai hasil interaksi dan komunikasi dengan lingkungan sosial. Dalam hal ini proses belajar terjadi dalam aktivitas interaksi sehari-hari yang bermakna dan sesuai dengan konteks sosial yang dialami anak. Selanjutnya orangtua adalah orang yang memberikan arahan dan panduan agar aktivitas menjadi lebih terstruktur dan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. Dengan demikian anak lebih banyak diajak dan difasilitasi untuk melakukan aktivitas literasi yang bermakna dan berfungsi sebagai aktivitas sosial sehari-hari tanpa harus menekankan pada pengajaran langsung komponen keterampilan kognitif. Selanjutnya orangtua lebih berperan sebagai fasilitator yang menyemangati dan mengarahkan perkembangan kemampuan literasi anak.

Tinjauan kognitif dan sosial-kultural secara terintegrasi menjelaskan bahwa pengembangan literasi dasar anak akan lebih optimal dengan cara yang terintegrasi antara pendekatan komponen dan pendekatan holistik. Anak dibimbing untuk mengenali huruf, kata, dan kalimat serta diasah keterampilan dalam hal kesadaran fonologis, mengeja dan pemahaman. Hal ini dilakukan dalam konteks sehari-hari yang bermakna seperti membaca buku untuk mengetahui cerita/informasi, membaca tulisan nama jalan, toko, menu makanan, daftar belanja dll. Anak juga dibiasakan untuk pergi ke perpustakaan atau ke toko buku untuk memilih sendiri buku yang disukainya. Dalam merangsang kemampuan menulis anak dapat dibiasakan

52

untuk menuliskan nama sendiri pada benda miliknya, menulis pesan atau mengetik menggunakan komputer atau telepon genggam. Dengan cara seperti ini anak dapat memaknai bahwa kegiatan membaca dan menulis adalah kegiatan yang menyenangkan dan bermanfaat untuk mencapai tujuan sehari-hari. Kemudian anak termotivasi untuk berlatih meningkatkan keterampilan terkait literasi dan meningkatkan kemampuannya dalam membaca dan menulis.

Tinjauan terintegrasi kognitif dan sosial-kultural merupakan penjelasan komprehensif yang memandang proses kognitif dalam tataran individu sebagai proses yang memberi kontribusi bagi pemerolehan kemampuan literasi dasar sama pentingnya dengan proses interaksi dan komunikasi dalam tataran sosial. Oleh karena itu digunakan penjelasan dari teori kognitif Piaget dan teori interaksi sosial dari Vygotsky untuk saling melengkapi dengan dipayungi oleh teori ekologi Braunfenbrener.

Teori ekologi (Brounfenbrenner, 1994) diaplikasikan sebagai kerangka teori yang menjelaskan bagaimana perkembangan literasi dasar berlangsung dalam konteks lingkungan. Menurut teori ini perkembangan kemampuan literasi dasar yang dimiliki anak sangat dipengaruhi oleh konteks dimana anak berada. Konteks yang terdekat sampai yang terjauh, yaitu mulai dari keluarga sekolah, teman sebaya dan komunitas sampai pada budaya. Pengaruh lebih besar diberikan oleh lingkungan mikrosistem anak yaitu keluarga dan sekolah. Meski demikian pengaruh keluarga sebagai lingkungan pertama lebih besar dari pada pengaruh sekolah seperti hasil penelitian Melhuish dkk. (2008). Konteks keluarga potensial untuk menjadi solusi bagi permasalahan rendahnya kemampuan literasi, menangani anak yang beresiko mengalami kesulitan belajar, serta mencegah terjadinya kesulitan belajar. Dengan menciptakan lingkungan yang kaya dengan pengalaman yang mengembangkan kemampuan literasi anak sedini mungkin maka lingkungan keluarga sudah menjalankan fungsinya sebagai agen pendidik. Perkembangan literasi dasar anak berlangsung secara progresif melalui proses interaksi timbal balik antara anak dengan orang, objek, dan symbol di lingkungan sekitar anak. Oleh karena itu interaksi timbal

53

balik ini merupakan kunci bagi terjadinya proses belajar anak. Interaksi anak dengan orangtua dalam rutinitas sehari-hari melalui aktivitas bermain dan membaca yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama, mendukung terjadinya proses peningkatan (proximal process) literasi dasar anak. Proses peningkatan menjadi lebih terstruktur dengan adanya peran dan keterlibatan orangtua yang mengarahkan dan mengkondisikan lingkungan rumah agar menstimulasi potensi anak. Karakteristik anak dan kondisi lingkungan mikro, meso, ekso dan makro serta kronosistem akan menentukan bentuk, arah dan besarnya kemampuan literasi dasar yang dicapai. Di dalam keluarga sebagai lingkungan mikrosistem, terdapat rutinitas keluarga yang dapat menciptakan keteraturan dan situasi yang terstruktur yang mendorong munculnya kebiasaan orangtua melakukan aktivitas literasi bersama anaknya. Lingkungan mesosistem yang merupakan keterkaitan keluarga dengan komunitas menciptakan kebiasaan penggunaan fasilitas dan teknologi multimedia dalam aktivitas literasi anak di rumah. Lingkungan makrosistem yang merupakan subkultural dimana orangtua berada, berpengaruh besar terhadap pengetahuan yang diyakininya benar dalam mengembangkan kemampuan literasi anak. Faktor-faktor rutinitas keluarga, fasilitas dan teknologi multimedia serta keyakinan orangtua tentang pengembangan literasi anak, berpengaruh pada perkembangan anak juga ditentukan oleh peran waktu dan jaman. Pada era modern literasi merupakan kemampuan yang sangat penting, menuntut anak untuk mampu menguasai literasi dengan baik.

Pada tataran kognitif individu proses belajar literasi dasar terjadi karena potensi memori, perhatian, pemahaman dirangsang untuk dapat berfungsi dengan adanya pengalaman belajar dengan orangtua. Pengalaman ini dapat berupa pengajaran langsung seperti diajarkan cara baca-tulis maupun tidak langsung seperti melalui bermain, membaca buku atau bercakap-cakap. Pengalaman interaksi memungkinkan potensi anak lebih berkembang yang menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap objek-objek di sekitarnya. Kondisi ini mendorong anak untuk memiliki minat terhadap hal baru.yang ada di lingkungannya. Anak menjadi tahu nama objek yang

54

memperkaya kosa kata bahasanya, anak memiliki skema tentang objek dan pengalamannya. Selanjutnya setiap anak mendapatkan hal baru maka terjadi proses organisasi dan adaptasi sehingga kondisi kognitifnya selalu seimbang (equilibration). Dengan demikian skema yang dimiliki anak selalu berkembang terus menerus mencapai kemampuan yang lebih kompleks. Sesuai karakteristik perkembangan kognitif anak yang berada pada masa praoperasional, maka proses belajar dimulai dari tahapan semiotik yaitu berupa permainan simbolis, meniru kemudian menuju tahapan intuitif yang berupa berpikir hal-hal konsep seperti bahasa. Selain itu juga cara berpikirnya berkembang dari egosentris menuju pandangan intersubjektif

Teori sosio-kultural (Vygotsky, 1978) digunakan untuk menjelaskan dinamika hubungan bagaimana lingkungan keluarga sebagai faktor eksternal berpengaruh pada terciptanya pengalaman belajar dalam diri anak. Perspektif kontemporer sosiokultural, memandang pengembangan literasi dasar sebagai suatu proses yang bersifat interaktif antara individu anak dengan lingkungan sosial dan dalam konteks kulturnya. Bagaimana anak berkembang khususnya bagaimana anak belajar untuk berpikir, adalah fungsi dari lingkungan sosial dan kultural dimana anak berada. Cara pandang ini menekankan pada apa yang membuat anak berpikir dengan caranya yang berbeda dengan orang lain. Perkembangan kognitif anak tak terpisahkan dari konteks kultural. Nilai-nilai budaya diturunkan pada anak melalui orang tua dan anggota masyarakat lainnya. Melalui interaksi anak dan orang lain dalam kesehariannya, intelektual anak berproses untuk mengembangkan kemampuan melakukan tugas dan menyelesaikan masalah sesuai dengan kekhususan lingkungan sekitar mereka. Orang tua seringkali tidak menyadari teknik memberi instruksi, tetapi praktek membesarkan anak yang dipengaruhi nilai-nilai budaya biasanya sesuai dengan bagaimana anak akan hidup di masa dewasanya (Bjorklund, 2005). Perspektif sosiokultural ini menekankan bahwa perkembangan dipandu oleh interaksi orang dewasa dengan anak dalam konteks kultural yang menentukan bagaimana, dimana dan kapan interaksi ini berlangsung. Menurutnya perkembangan kognitif berlangsung dalam situasi di mana anak

55

memecahkan masalah dengan panduan orang dewasa. Dalam hal ini perkembangan kognitif berlangsung melalui kolaborasi antara anggota suatu generasi dengan anggota lainnya.

Lingkungan rumah dan aktivitas orangtua bersama anak memberi kontribusi yang penting dalam mengembangkan literasi dasar anak. Bagaimana hal ini terjadi dapat dijelaskan melalui teori sosio-kultural. Vigotsky (1978) menyatakan bahwa proses belajar lebih merupakan aktivitas sosial, dalam hal ini hadir seseorang yang memiliki kemampuan, pengetahuan lebih dari anak seperti orangtua atau pengasuh yang memberikan panduan secara verbal untuk mengembangkan kemampuan aktual anak menjadi lebih baik (zona of proximal). Orang dewasa menstrukturkan aktivitas untuk memungkinkan anak terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks dari yang bisa mereka lakukan sendiri. Dalam aktivitas ini tercipta kesempatan anak untuk belajar melalui imitasi, instruksi dari orangtua, serta kooperatif.

Proses belajar dimediasi oleh bahasa, oleh karena itu kemampuan literasi selalu diawali oleh perkembangan bahasa. Orang dewasa memberikan pertanyaan, ungkapan/pernyataan, dan memberi dukungan sehingga terjadi proses belajar dan kemampuan anak kemudian meningkat. Dengan demikian dalam belajar literasi terjadi proses dalam dua tataran yaitu tataran sosial dan individual. Tataran sosial merupakan proses dimana terjadi interaksi dan komunikasi dari orangtua kepada anak. Tataran individual terjadi saat anak memproses informasi yang disampaikan kepadanya dalam kognitif, yang membuatnya mampu mengembangkan kemampuan yang dimiliki, dalam hal ini kemampuan literasi.

Peran interaksi sosial sangat besar dalam perkembangan kognisi anak sehingga komunitas memegang peran penting dalam proses anak membuat/memberi makna terhadap apa yang dipelajarinya. Proses belajar yang penting umumnya terjadi melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih terampil yang menjadi model atau memberi instruksi verbal bagi anak. Anak berusaha memahami instruksi tutor (seringkali adalah orangtua atau guru) kemudian menginternalisasikan informasi dan

56

menggunakannya untuk mengarahkan perilakunya sendiri. Meskipun anak terlahir dengan potensi dasar (atensi, sensasi, persepsi dan memori), secara berangsur potensi ini berkembang melalui interaksi dalam konteks sosial-kultural sehingga fungsi mental lebih berkembang menjadi proses mental yang lebih efektif. Oleh karena itu meski dalam tataran individual terjadi proses kognitif namun tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya dimana anak tumbuh seperti halnya cara mengembangkan memori dapat dilakukan dengan menulis catatan, membuat singkatan menemonic dll. Sebagai anak mereka adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu dan terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri untuk membangun pemahaman/skema, namun proses ini tetap diawali oleh interaksi sosial.

Aktivitas literasi orangtua dan anak di rumah merupakan prediktor bagi perkembangan kemampuan literasi dasar anak prasekolah (Yaden dkk.,1999; Levy dkk., 2006; Burgess, 2002; Raikes dkk., 2006, Stephenson dkk., 2008, Aram dkk., 2006; Sonnenshein & Munsterman, 2002). Kegiatan literasi yang dapat menjadi prediktor adalah yang bersifat aktif melakukan eksplorasi dan berpartisipasi (Burgess, 2002; Levy, 2006). Aktivitas ini dapat berupa membaca buku bersama, mengajak bercakap-cakap, bermain terkait huruf, kata, mengajari pengetahuan tulisan, mengajari cara menulis. Keterlibatan orangtua dalam aktivitas literasi berpengaruh signifikan terhadap pengembangan literasi dasar anak. Hal ini karena dukungan dan arahan orangtua lebih berpengaruh daripada inisiatif anak (Levy dkk., 2006), anak belajar lebih baik dalam konteks relasi afektif orangtua-anak (Mullis dkk., 2004) atau dalam inteaksi afektif yang berkualitas (Sonnenshine & Munsterman, 2002). Selain itu keterampilan orangtua memberikan penjelasan dan berkomunikasi (metalingual utterance, verbal scaffolding), strategi orangtua dalam membaca, serta kemamuan orangtua membaca juga menentukan kemampuan literasi anak (Deckner 2006; Dietrich dkk., 2006; Kang dkk., 2009; Roberts dkk., 2005; Johnson dkk., 2008).

Lingkungan rumah dan aktivitas orangtua bersama anak memberi kontribusi yang penting dalam mengembangkan literasi dasar anak. Bagaimana hal ini terjadi

57

dapat dijelaskan melalui teori sosio-kultural. Vigotsky (1978) menyatakan bahwa proses belajar lebih merupakan aktivitas sosial, dalam hal ini hadir seseorang yang memiliki kemampuan, pengetahuan lebih dari anak seperti orangtua atau pengasuh yang memberikan panduan secara verbal untuk mengembangkan kemampuan aktual anak menjadi lebih baik (zona of proximal). Orang dewasa menstrukturkan aktivitas untuk memungkinkan anak terlibat dalam perilaku yang lebih kompleks dari yang bisa mereka lakukan sendiri. Orang dewasa memberikan pertanyaan, ungkapan/pernyataan, dan memberi dukungan sehingga terjadi proses belajar dan kemampuan anak kemudian meningkat. Dengan demikian dalam belajar literasi terjadi proses dalam dua tataran yaitu tataran sosial dan individual. Peran interaksi sosial sangat besar dalam perkembangan kognisi anak sehingga komunitas memegang peran penting dalam proses anak membuat/memberi makna terhadap apa yang dipelajarinya. Proses belajar yang penting umumnya terjadi melalui interaksi sosial dengan tutor yang lebih terampil yang menjadi model atau memberi instruksi verbal bagi anak. Anak berusaha memahami instruksi tutor (seringkali adalah orangtua atau guru) kemudian menginternalisasikan informasi dan menggunakannya untuk mengarahkan perilakunya sendiri. Meskipun anak terlahir dengan potensi dasar (atensi, sensasi, persepsi dan memori), secara berangsur potensi ini berkembang melalui interaksi dalam konteks sosial-kultural sehingga fungsi mental lebih berkembang menjadi proses mental yang lebih efektif. Oleh karena itu meski dalam tataran individual terjadi proses kognitif namun tetap dipengaruhi oleh nilai-nilai dan budaya dimana anak tumbuh seperti halnya cara mengembangkan memori dapat dilakukan dengan menulis catatan, membuat singkatan menemonic dll. Sebagai anak mereka adalah individu yang memiliki rasa ingin tahu dan terlibat aktif dalam proses belajarnya sendiri untuk membangun pemahaman/skema, namun proses ini tetap diawali oleh interaksi sosial.

Nilai/keyakinan orangtua berpengaruh terhadap bagaimana mereka berinteraski sepanjang aktivitas literasi dengan anak dan aktivitas seperti apa yang

58

orangtua sediakan untuk anak. Nilai seperti apa yang dipegang oleh orangtua merupakan makrosistem yang berpengaruh pada anak melalui interaksi orangtua dengan anak. Menurut Lynch, Anderson, dan Shapiro (2006) orangtua cenderung bertindak dan berperilaku sesuai dengan nilai/keyakinannya tentang bagaimana membantu anak menguasai literasi dasar. Keyakinan orangtua yang lebih tradisional akan berorientasi pada hasil belajar/keterampilan menguasai kemampuan baca tulis. Keyakinan yang lebih menyeluruh memandang belajar literasi sebagai perkembangan kontinum sehingga stimulasi perlu dilakukan sedini mungkin (holistic, emergent literacy). Terdapat hubungan antara nilai/keyakinan orangtua dengan perilaku menolong anak mereka untuk belajar literasi dasar. Orangtua yang memiliki keyakinan belajar menyeluruh (holistic, emergent literacy) lebih banyak melakukan dukungan dan stimulasi (encouragement) dalam membantu anak belajar literasi, sedangkan orangtua yang memiliki keyakinan tradisional lebih banyak melakukan pembelajaran yang lengsung mengajarkan keterampilan baca-tulis. Keyakinan yang lebih menyeluruh mendorong orangtua untuk menganggap penting proses belajar dan membuat mereka terlibat dalam aktivitas literasi yang bervariasi dengan anak mereka. Kondisi ini membuat orangtua dengan keyakinan holistik memiliki anak yang lebih sukses dalam menguasai kemampuan akademis di sekolah. Selain itu pendidikan orangtua berpengaruh terhadap keyakinan orangtua, orangtua dengan pendidikan lebih tinggi dari sekolah menengah (secondary school) lebih berkeyakinan menyeluruh dan orangtua yang pendidikannya kurang dari sekolah menengah lebih berkeyakinan tradisional.

Sonnenschein dkk. (1997) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara keyakinan orangtua tentang bagaimana cara mengajarkan literasi pada anak dengan aktivitas literasi yang diciptakan orangtua dan kemampuan literasi anak. Dalam penelitian ini keyakinan orangtua tentang literasi dibedakan menjadi berorientasi pada kesenangan (entertaintment approach) dan berorientasi pada keterampilan (skill approach). Orangtua yang berorientasi pada kesenangan lebih sering terlibat dalam

59

aktivitas literasi yang menyenangkan bersama anak seperti bermain kata, membaca buku. Orangtua yang berorientasi pada keteramilan lebih jarang melakukan aktivitas literasi yang menyenangkan. Selanjutnya diperoleh hubungan positif pula antara orangtua yang berorientasi kesenangan dengan kemampuan anak dalam kesadaran fonologis dan pengetahuan tulisan. Anak yang sering terlibat dalam aktivitas literasi yang menyenangkan memiliki kemampuan literasi yang lebih tinggi.

Weigel dkk. (2006) membuktikan bahwa terdapat hubungan antara keyakinan orangtua tentang perkembangan literasi dan lingkungan keluarga yang tercipta di rumah serta kemampuan literasi anak. Pada kelompok orangtua yang lebih fasilitatif, orangtua memperkaya kesempatan anak terlibat dalam kegiatan literasi dan orangtua lebih sering terlibat. Pada kelompok orangtua yang lebih konvensional, mereka kurang terlibat dan menganggap sekolah lebih bertanggung jawab terhadap perkembangan literasi dasar.

Interaksi anak dengan orangtua dalam rutinitas sehari-hari melalui aktivitas bermain dan membaca yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu lama, mendukung terjadinya proses peningkatan (proximal process) literasi dasar anak. Semakin dini interaksi dan rutinitas terkait literasi dasar dilakukan maka semakin banyak frekuensi dan pengalaman anak yang merangsang peningkatan kemampuan literasi dasar anak. Hal ini seperti yang ditekankan oleh perspektif emergent literacy.

Rutinitas keluarga merupakan pola kegiatan yang bersifat berulang-ulang dan bisa diperkirakan dalam kehidupan sehari-hari keluarga (Churchill and Stoneman, 2004). Rutinitas ini dapat berupa kegiatan makan, tidur, jadual kegiatan harian, komunikasi dan waktu untuk mengurus diri sendiri. Rutinitas yang ada dalam keluarga dapat membuat anak merasakan situasi stabil, berkelanjutan dan dapat diperkirakan yang akan mengembangkan perilaku positif dari anak. Lebih lanjut Serpell dkk. (2002) membuktikan dalam penelitiannya bahwa rutinitas yang teratur berkaitan dengan kegiatan literasi (pembicaraan saat makan bersama, membacakan buku cerita, menyelesaikan pekerjaan rumah) berhubungan dengan kemampuan dasar membaca

60

dan pemahaman pada anak taman kanak-kanak sampai anak kelas 3. Kekuatan prediksi dari faktor rutinitas ini lebih tinggi dari pada kekuatan prediksi pendapatan keluarga dan etnis. Oleh karena terciptanya rutinitas dalam keluarga merupakan faktor yang penting untuk perkembangan literasi dasar anak.

Rutinitas keluarga memungkinkan interaksi sosial serta mengoptimalkan pengaruh proses proximal melalui terciptanya kebiasaan di rumah. Dalam kondisi ini penggunaan bahasa sebagai alat budaya lebih sering dan selanjutnya dapat meningkatkan efektivitas interaksi anak dan keluarga. Efektivitas interaksi anak dan keluarga ini merupakan stimulasi kemampuan kognitif sehingga beberapa fungsi mental dasar (atensi, sensasi, persepsi, dan memori) berkembang menjadi fungsi mental yang lebih tinggi, lebih baru dan lebih memadai.

Aktivitas literasi yang memanfaatkan teknologi multimedia, terbukti lebih mendukung proses belajar literasi karena mengintegrasikan tulisan dengan gambar, animasi, dan suara. Hal ini sangat menarik bagi anak karena mereka mendapat

Dokumen terkait