• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Tinjauan Pustaka

2.10. Pencegahan Meninggal Akibat Stroke

Pencegahan ini ditujukan kepada orang yang didiagnosis mengalami stroke. Pencegahan ini meliputi pencegahan sekunder dan tersier.

2.10.1. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya stroke berulang dan mengurangi faktor risiko stroke bagi yang sudah pernah mengalami stroke. Pencegahan ini dilakukan dengan mencari dan mengobati penyakit lain yang dapat mempengaruhi perjalanan stroke, membantu pemulihan misalnya melalui terapi obat, terapi fisik, terapi psikis untuk mencegah terjadinya kematian.35

Jika seseorang mengalami serangan stroke, segera melakukan pemeriksaan untuk menentukan apakah penyebabnya dan kemudian mengobati penyakit yang merupakan faktor risiko terjadinya stroke seperti hipertensi, jantung, diabetes melitus, dan secara teratur berobat ke dokter.

Penatalaksanaan umum stroke dilakukan dengan terapi. Terapi pada stroke hemoragik bertujuan untuk menurunkan tekanan darah untuk mencegah perdarahan ulang, mencegah spasme arteri, memberikan penderita istirahat total agar penyembuhan luka pembuluh darah lebih baik, mencegah komplikasi sekunder sebagai akibat menurunnya kesadaran misalnya gangguan pernapasan dan

hipoventilasi, mengidentifikasi sumber perdarahan yang mungkin dapat diperbaiki dengan tindakan bedah.17

Gangguan yang cukup berat pada stroke iskemik menyebabkan sel saraf mati. Disamping sel saraf yang mati ada juga sel otak yang sekarat. Tujuan terapi pada stroke iskemik supaya sel yang sekarat jangan sampai mati dengan mencegah pembentukan edema (sembab) di sebagian dari otak, perubahan susunan neurotransmiter, perubahan vaskulariasi regional, perubahan tingkat metabolisme, mencegah dan mengurangi terjadinya gumpalan darah dan embolisasi trombus.

Penyakit stroke dapat didiagnosis melalui 3 (tiga) langkah yaitu dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik penderita stroke, pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi.14

a. Anamnesis

Anamnesis biasanya dilakukan dokter terhadap penderita dan keluarga penderita. Anamnesis ditujukan untuk menentukan faktor risiko stroke yang dimiliki oleh penderita seperti kebiasaan merokok, meminum alkohol, riwayat hipertensi,dan sebagainya. Selain itu, anamnesis juga diperlukan untuk mendiagnosis riwayat keluarga, tipe stroke yang diderita, serta perencanaan pengelolaan stroke yang tepat. b. Pemeriksaan Fisik

Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan fungsi saraf pusat, serta pemeriksaan fisik lainnya sesuai indikasi

i. Pemeriksaan fisik cecara umum

Pemeriksaan fisik secara umum meliputi kesadaran penderita, denyut nadi, tekanan darah, dan irama jantung. Pemeriksaan kesadaran penderita stroke dinilai

berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian GCS dilakukan melalui sistem skoring.

ii. Pemeriksaan fungsi saraf pusat

Pemeriksaan fungsi saraf pusat ini diperlukan untuk menentukan gangguan saraf yang terjadi, lokasi kerusakan saraf, dan memperkirakan jenis terapi yang sesuai bagi penderita stroke. Contohnya, jika penderita stroke mengalami gangguan fungsi kognitif, misalnya kehilangan kemampuan menghitung angka-angka yang sederhana, maka lokasi kerusakan sarafnya adalah di daerah korteks otak, yang mungkin disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah dari arteri karotis interna.

iii. Pemeriksaan fisik lainnya sesuai indikasi

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan fisik lanjutan yang dilakukan jika ditemukan adanya kelainan fisik yang spesifik. Misalnya, gangguan dalam memahami isi pembicaraan.

c. Pemeriksaan Penunjang Diagnostik i. Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah rutin dalam kasus stroke perlu dilakukan untuk mencari faktor-faktor risiko agar dapat mencegah terjadinya stroke yang berulang di kemudian hari dan untuk mencari kemungkinan penyebab lain dari stroke.

ii. Elektrokardiografi (EKG)

Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai adanya kelainan aritmia jantung dan penyakit jantung yang mungkin pernah diidap, seperti penyakit infark miokardium (kematian sel-sel otot jantung). Kelainan aritmia merupakan faktor risiko terjadinya emboli, yang dapat menimbulkan stroke tipe infark tromboemboli.

iii. Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi

Pemeriksaan Pemindai Terkomputerisasi dilakukan dengan Computerized

Tomografi Scanning (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI). CT Scan

dan MRI digunakan untuk memvisualkan beberapa kelainan atau penyakit, seperti tumor, perdarahan di otak, dan beberapa penyakit degeneratif. CT Scan mendiagnosa dengan memamfaatkan sinar x, sedangkan MRI menggunakan pancaran gelombang radio dan medan elektromagnetik. CT Scan sangat andal untuk mendeteksi perdarahan, tetapi kurang peka untuk mendeteksi stroke iskemik dan MRI lebih sensitif dibandingkan CT scan untuk mendeteksi stroke iskemik.

iv. Pemeriksaan Cairan Otak (Pungsi Lumbal)

Pemeriksaan cairan otak dilakukan jika ada kemungkinan terjadinya tipe stroke perdarahan subaraknoid (PSA). Pada penderita stroke perdarahan subaraknoid, cairan otak yang normalnya benih dan jernih, berubah menjadi agak kemerahan (xantokromatis) karena bercampur dengan darah akibat stroke.

v. Pemeriksaan Angiografi

Angiografi merupakan suatu prosedur pemeriksaan, yakni suatu zat warna (cairan kontraspen) disuntikkan melalui arteri, kemudian di rontgen. Hasilnya akan terlihat kondisi pembuluh darah yang mengalami kerusakan, penyempitan, ataupun tersumbat. Selain berfungsi untuk kepentingan diagnostik, angiografi juga berperan dalam perencanaan terapi stroke.

vi. Ultrasonografi USG)

USG Doppler sangat bermamfaat untuk mendiagnosa berbagai kelainan pada arteri karotis, termasuk penyempitan, peradangan maupun penyumbatan dinding

arteri sebagai penyebab stroke. Selain itu, pemeriksaan USG juga bermamfaat untuk mendeteksi suatu spasme pembuluh darah setelah penderita mengalami stroke perdarahan subaraknoid akibat pecahnya aneurisme.

vii.Ekokardiografi

Ekokardiografi bermamfaat untuk menganalisis kemungkinan adanya kelainan anatomi dan fungsi jantung seperti kelainan fungsi katup jantung yang menyebabkan timbulnya emboli yang berpotensi menyumbat arteri di otak dan menimbulkan stroke.

2.10.2. Pencegahan Tersier17,36

Tujuan pencegahan tersier adalah untuk membantu penderita stroke agar kelumpuhan yang dialami tidak bertambah berat dan penderita lebih mandiri dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Pencegahan tersier dapat dilakukan dengan rehabilitasi. Tujuan rehabilitasi penderita stroke menurut WHO adalah untuk memperbaiki fungsi motorik, wicara, kognitif dan fungsi lain yang terganggu, readaptasi sosial dan mental untuk memulihkan hubungan interpersonal dan aktivitas sosial serta dapat melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari. Rehabilitasi dilakukan dalam tiga bentuk yaitu

a. Rehabilitasi fisik

Rehabilitasi ini mengatasi masalah gerakan seperti duduk, berdiri, jalan, berbaring, berlutut, dengan memberikan latihan yang teratur. Penderita dilatih dan dipersiapkan untuk kegiatan sehari-hari seperti latihan mengenakan baju, sandal,

makan, mandi, buang air besar. Gangguan berbahasa, berkomunikasi, harus ditanggulangi secara bertahap, sehingga dapat dicapai keadaan yang optimal.

b. Rehabilitasi mental

Rehabilitasi ini mengatasi masalah emosi seperti mudah tersinggung, kehilangan motivasi, sedih, depresi yang dirasakan oleh penderita stroke setelah selamat dari stroke. Masalah ini dapat diatasi dengan menjalani kehidupan yang lebih santai dan rileks, dan keluarga memberikan semangat dan motivasi agar penderita merasa bahwa dia masih dihargai dalam keluarga.

c. Rehabilitasi sosial

Rehabilitasi ini mengatasi masalah perubahan gaya hidup pada penderita stroke, pekerjaan, hubungan perorangan, dan aktivitas. Dalam mengatasi masalah ini, harus memperhatikan keadaan penderita, keadaan keluarga, hubungan dengan masyarakat di sekitarnya, di lingkungan pekerjaan, kumpulan profesi dan kumpulan lainnya.

Dokumen terkait