A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)1. Memang pemalsuan sendiri diatur dalam BAB XII (Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan), buku tersebut mencantumkam bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk di dalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana. Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik)2.
Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsukan, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isi surat sehingga berbeda dengan surat semula3.
1 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 11.
2 Ibid, hal 22
Pemalsuan merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab XII Buku II KUHPidana, dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan tanda tangan yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana s/d Pasal 276 KUHPidana.
Tindak Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHPidana (membuat surat palsu atau memalsukan surat); dan Pasal 264 (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).
Adapun Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut4:
1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Sedangkan Pasal 264 KUH-Pidana berbunyi sebagai berikut5:
1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik;
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya atau pun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4 Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. 2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Pasal 266 ayat (1) KUHP, berbunyi: “Barang siapa menyuruh
memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”6
Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran. Kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang melakukan, b. mereka yang menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:
1. Barang siapa ;
2. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ; 3. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran ; 4. Pelakunya:
a. Mereka yang melakukan ;
b. Mereka yang menyuruh melakukan ;
c. Mereka yang turut melakukan.
Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek (pelaku),
yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal ini Notaris, ia (Notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.
Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam pembuatan akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang keperdataan. Notaris berwenang membuat akta otentik dan memiliki posisi yang strategis dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat khususnya bidang perikatan yang terjadi karena perjanjian. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran formil atas akta yang dibuatnya.
Kepastian hukum dan semangat pembaharuan semakin tercermin sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Dalam penjelasan umum UUJN disebutkan bahwa landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.Arti penting dari profesi notaris itu sendiri disebabkan karena notaris oleh undang-undang diberi kewenangan untuk menciptakan alat pembuktian yang mutlak, dalam pengertian bahwa apa yang disebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar. Melalui akta yang dibuatnya, notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat menjadi bukti otentik dalam memberi perlindungan hukum kepada para pihak maupun yang berkepentingan terhadap akta tersebut mengenai kepastian peristiwa atau perbuatan hukum. Akta otentik sebagai
alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting pada setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus dapat diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya di pengadilan.
Otentitas suatu akta tidaklah cukup apabila akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat (notaris) saja, namun cara membuat akta otentik tersebut haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan7.
Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak karenanya. Akta otentik dapat dikalahkan oleh bukti lawannya. Terhadap pihak ketiga, akta otentik merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai alat bukti tertulis. Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian8. Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang mempunyai peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian9. Jadi untuk digolongkan dalam pengertian akta, surat harus ditandatangani. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapatdisebut akta berasal dari Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa:
7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. hlm. 146-147
8 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009. hlm. 18.
“Suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.”
Dengan peran notaris yang sangat penting tersebut, seharusnya notaris menjalankan tugas jabatannya selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan, kode etik, dan moral. Pelanggaran yang dilakukan notaris akan sangat merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para pihak. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris baik sengaja maupun tidak sengaja dalam menjalankan tugas jabatannya akan berakibat notaris dijatuhi sanksi perdata, administrasi, dan kode etik, bahkan sanksi pidana. Sanksi terhadap notaris menunjukkan notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, namun peraturan-peraturan itu tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris yang melakukan tindak pidana atau perbuatan pidana.
Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut10. Walaupun dalam UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana terhadap notaris, namun dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhkan sanksi pidana. Bahkan beberapa orang notaris telah dijadikan tersangka, yang berdasarkan penyidikan, akta yang dibuat di hadapan notaris bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur pidana, misalnya dalam kategori turut serta melakukan atau membantu melakukan pemalsuan surat atau akta.
Beberapa kasus yang ditemukan antara lain adalah Notaris ARM, yang divonis Pengadilan Negeri Medan dengan pidana dua tahun penjara
karena telah membuat akta palsu11. Notaris Kunsri Hastuti, melalui putusan hakimPengadilan Negeri Magelang Nomor 49/Pid.B/2005/PN.Mgl menyatakan bahwa Notaris Kunsri Hastuti, terbukti telah memalsukan akta otentik dan penggelapan menjatuhkan pidana selama empat bulan penjara12.
Perbuatan melawan hukum dapat terjadi apabila notaris yang memiliki tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta tersebut terdapat suatu klausula yang bertentangan dengan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain sedangkan para pihak penghadap sama sekali tidak mengetahuinya, sehingga dengan sikap pasif dan diam itu notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan melalui perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat terjadi dikarenakan notaris memiliki pengetahuan yang kurang
(onvoldoendekennis); pengalaman yang kurang (ondoldoende ervaring);
dan/atau memiliki perngertian yang kurang (ondoldoende inzicht)13.
Meskipun demikian Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa mengingat notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materiil isinya, maka tidaklah tepat jika hakim membatalkannya (atau menyalahkan notaris tersebut dan menuduhnya melakukan perbuatan melawan hukum).
Notaris mungkin dapat berbuat salah mengenai isi akta karena informasi yang salah (sengaja atau tidak) dari para pihak. Kesalahan demikian ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris karena isi akta itu telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh notaris14.
11 Harian Analisa Medan Tanggal 20 Februari 2009, hlm. 6 12
Juwairiah, Pengenaan Sanksi Pidana Pemalsuan Akta Notaris dalam Praktek Pembuatan Akta (studi kasus perkara No. 49/Pid.B/2005/PN.Mgl di Pengadilan Negeri Magelang),2010. Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
13
S. Soetrisno dalam Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta, Center for Documentation and Studies of Business Law, 2003. hlm. 98
Apabila terjadi dakwaan bahwa seorang notaris dianggap telah melakukan tindak pidana, maka hal-hal di bawah ini dapat terjadi:
1. Notaris tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang (sifat melawan hukum formal).
2. Dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya tindak pidana kepada yang bersangkutan, maka proses peradilan akan menguji seberapa jauh syarat-syarat penentuan tindak pidana telah terpenuhi. Adapun pasal-pasal tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas notaris yaitu Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP tersebut ada dua macam pemalsuan surat yaitu:
1. Membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yaitu perbuatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar.
2. Memalsukan surat (vervalscht) yaitu memalsukan surat-surat dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat.
Pasal 264 KUHP hanyalah merupakan pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Hal yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat tersebut terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek tindak pidana adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya.
Pejabat Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan) menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah
“orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1)
KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu
keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik, sehingga kata “menyuruh”
dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan seterusnya
Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang
berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan
palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan (para pihak)”.
Kemudian, akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya dan Notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau menyatakan tersebut, wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum yang diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik15. Selanjutya, Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869 KUHPerdata.
Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan
Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap dalam
bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”16. Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung
No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris
fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada
15 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangann lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dalam pasal 15 ayat (1) dikatakan “ Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dintyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang
kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal)
yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut”;
Perbuatan Notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalah pahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan Notaris dan juga akta Notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.
Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan dihadapan Notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap Notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin Notaris untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.
Akta Notaris lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak yang menghadap Notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Akta yang dibuat Notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi17.
Beberapa tahun terakhir ini masalah pemalsuan surat-surat berharga semakin meningkat. Akta Notaris misalnya, merupakan salah satu jenis akta
17 Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Milenia Populer, 2001, hal .85.
yang mempunyai kedudukan hukum yang penting. Namun disadari, bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris itu amat beraneka ragam. Akta tersebut misalnya akta Perjanjian Jual Beli, Akta Penetapan Warisan, Akta Pendirian Badan Usaha, dan lain sebagainya. Pemalsuan terhadap berbagai jenis akta seperti inilah yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pada Bab XII dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276. Menurut S.R. Sianturi, bahwa berbicara mengenai pemalsuan, maka pemalsuan surat ini didahului dengan pemalsuan uang (Bab X), serta pemalsuan meterai dan merk (Bab XI). Sedangkan mengenai pemalsuan surat keterangan perahu/kapal diatur di Bab XXIX Buku II KUHP, Pasal 451 bis, 451 ter dan 452. Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum18.
Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu, memegang peranan yang penting dalam pembuatan akta-akta yang resmi (otentik). Peranan dan kedudukan Notaris yang demikian penting artinya ini karena akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris itu selain mempunyai kekuatan hukum, juga membawa akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak. KUHP menjaga kepentingan dan kepercayaan atas surat-surat dan akta-akta yang dibuat oleh yang berwenang, seperti halnya dengan Akta Notaris. Pada Pasal 263 dan 264 KUHP mengancam pidana terhadap barang siapa yang melakukan pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP misalnya, terkandung maksud untuk memberikan perlindungan atau kepercayaan umum terhadap surat atau akta yang bersangkutan. Bahwa pekerjaan atau tugas-tugas seorang Notaris itu sangat penting artinya, oleh karena menyangkut dengan soal kepercayaan yang dilimpahkan oleh perundang-undangan kepadanya. Tetapi dalam kenyataan, tugas-tugas atau karya dari Notaris itu pun tidak luput dari pemalsuan oleh
18 S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM, Cetakan Pertama, 1983, hal. 19-20.
pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemalsuan terhadap Akta Notaris bukan hanya menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tetapi juga merupakan suatu tindak pidana19.
Begitu pentingnya peranan Notaris yang diberikan oleh Negara, dimana Notaris sebagai pejabat umum dituntut bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Karena seorang Notaris haruslah tunduk kepada peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan taat kepada kode etik profesi hukum. Kode etik yang dimaksud disini adalah kode etik Notaris. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris dengan sengaja untuk menguntungkan salah satu pihak penghadap atau kesalahan Para Pihak yang tidak memberikan dokumen ataupun keterangan yang sebenarnya. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan Notaris baik karena kelalaian (culpa) maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan. Jika Notaris terbukti melakukan kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam suatu pembuatan akta yang mengandung unsur melawan hukum maka beberapa tahap prosedur yang dapat dikemukakan dilapangan adalah antara lain pemanggilan Notaris sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di Pengadilan perdata menyangkut pertanggungjawaban akta yang dibuat untuk dijadikan alat bukti yang sebelumnya adanya toleransi dari Majelis