• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK TANPA DIHADIRI OLEH PARA PIHAK - UNS Institutional Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "ANALISIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK TANPA DIHADIRI OLEH PARA PIHAK - UNS Institutional Repository"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

i

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Magister

Kenotariatan

Oleh EVIE HANAVIA

S351502016

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

vi

MOTTO

Anda bisa sukses sekalipun tak ada orang yang percaya anda bisa. Tapi anda

tak pernah akan sukses jika tidak percaya pada diri sendiri”. (William JH Boetcheker)

“Bermimpilah yang sebesar-besarnya, tapi bersegeralah untuk mengerjakan

sekecil-kecilnya kebaikan yang terdekat.”

(Mario Teguh)

“Teruslah berusaha mencapai sukses yang kamu inginkan”

(6)

vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala

atas segala limpahan ramhmat, taufiq dan hidayah-Nya sehinga penulis memperoleh kekuatan untuk menyelesaikan tesis yang berjudul "ANALISIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK TANPA DIHADIRI

OLEH PARA PIHAK“ dapat penulis selesaikan guna memenuhi sebagian

persyaratan untuk mencapai derajat Magister Program Studi Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dalam penyusunan tesis ini, penulis menyadari bahwa untuk terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan yang berupa bimbingan, nasihat, fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh karena itu dalam kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut :

1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kemudahan penulis dalam melaksanakan pendidikan Pascasarjana Program studi Magister Kenotariatan.

2. Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd, sebagai Direktur Program Pascasarjana UNS.

3. Bapak Prof. Dr. Supanto, S.H., M.H.selaku Dekan Fakultas Hukum UNS. 4. Bapak Burhanudin Harahap. S.H., M.H., M.Si., Ph.D. selaku Ketua Program

Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan saran dan masukkan yang dituangkan dalam penulisan tesis ini. 5. Bapak Dr. Widodo Tresno Novianto,S.H.M.Hum. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu,bimbingan, arahan, panduan dan motivasi selama penulisan tesis sehingga tesis ini dapat selesai. 6. Notaris Toto Susmono Hadi, S.H., M.H. selaku dosen pembanding yang

telah memberikan koreksi dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulisan tesis ini;

7. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala ilmu yang telah diberikan yang sangat bermanfaat bagi masa depan penulis;

(7)

viii

9. Ida Purnama Dewi S.E selaku kakak yang selalu meluangkan tenaga dan waktunya dalam membantu penyelesaian tesis ini;

10. Istibsyaroh Wulandari dan Imam Prajuritno, selaku adik – adik tercinta yang tak henti – hentinya dalam memberikan dorongan dan semangat kepada penulis.

11. Kepada teman – teman yang tidak bisa disebutkan satu – persatu terima kasih atas segala bentuk bantuan, motivasi kepada penulis;

12. Seluruh staf Rektorat dan staf administrasi Program Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Surakarta, serta para pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu ;

Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan guna perbaikan serta kesempurnaan tesis ini. Akhirnya Penulis berharap semoga hasil tesis ini dapat memberikan manfaat pada pihak-pihak yang berkepentingan.

Surakarta,24 Juli 2017

(8)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN TESIS ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 19

C. Tujuan Penelitian ... 19

D. Manfaat Penelitian ... 20

BAB II LANDASAN TEORI A. Kerangka Teori... 22

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ... 22

2. Tinjauan Umum Tentang Notaris ... 27

3. Tinjauan Umum Tentang Akta Autentik ... 36

4. Teori Penerapan Hukum ... 51

B. Penelitian Relevan ... 54

C. Kerangka Berpikir ... 57

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 61

B. Sifat Penelitian ... 61

(9)

x

D. Jenis Data ... 62

E. Sumber Data ... 63

F. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum ... 64

G. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 64

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 65

1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor 40/Pid.B/2013/PN.Lsm Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik Yang Pembuatanya Tanpa Dihadiri Oleh Para Pihak ... 65

2. Pertimbangan Hukum Hakim Ditinjau Dari Perspektif Tugas Dan Jabatan Notaris ... 71

B. Pembahasan ... 79

1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor 40/Pid.B/2013/PN.Lsm Terhadap Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik Yang Pembuatanya Tanpa Dihadiri Oleh Para Pihak ... 79

2. Pertimbangan Hukum Hakim Ditinjau Dari Perspektif Tugas Dan Jabatan Notaris ... 95

BAB V PENUTUP A. Simpulan ... 99

B. Implikasi ... 100

C. Saran ... 100 DAFTAR PUSTAKA

(10)

xi

ABSTRAK

Evie Hanavia.S351502016. Analisis Tindak Pidana Pemalsuan Akta Autentik Tanpa Dihadiri Oleh Para Pihak. 2017. Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Tujuan penulisan hukum ini adalah menganalisa dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dalam pembuatnya tanpa dihadiri oleh para pihak, serta menganalisa pertimbangan hukum hakim ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan notaris. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif (normatif legal

research) dengan menggunakan Pendekatan Peraturan Perundang- undangan

(statute approach) dan Pendekatan Konsep (conceptual approach).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara pemalsuan akta autentik yang dibuat oleh notaris tanpa dihadiri oleh para pihak, Notaris melanggar Pasal 264 ayat (1) Ke-1 KUHP Tentang Pemalsuan Surat, hakim menggunakan dasar pertimbangan dititiberatkan pada pemasalahan tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dibuat oleh Notaris, dasar pertimbangan hukum hakim ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan Notaris bahwa Notaris juga melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat 1 huruf m dan Pasal 44 ayat (1) tentang penandatanganan yang tercantum pada UUJN, akta autentik yang dibuat oleh notaris harus ditandatangani oleh para pihak yang namanya tercantum pada minuta akta, penandatangan akta dilakukan setelah Notaris membacakan isi akta dan penandatangan akta tersebut harus dihadapan Notaris yang berwenang membuat akta tersebut, maka akibat hukum yang terjadi terkait pelanggaran tersebut akta hanya memiliki kekuatan pembuktian dibawah tangan dan bukan lagi sebagai akta autentik.

(11)

xii

ABSTRACT

Evie Hanavia. S351502016. An Analysis of Authentic act of counterfeiting acts without the presence of the parties. 2017. Notary Master Program of Faculty of Law of Sebelas Maret University.

The purpose of writing this law is the basis to analyze the legal reasoning of judges in deciding the case the crime of falsification of certificates, authentic in its maker without the presence of the parties, and to analyze the legal reasoning of judges evaluated from the perspective of the duties and office of a notary. This study is a normative legal research (normative legal research) using Rule Approach legislation (statute approach) and Approach concept (conceptual approach).

The results showed that the consideration of judges in deciding cases of counterfeiting deed authentic made by a notary without the presence of the parties, a notary in violation of Article 264 paragraph (1) All 1 of the Criminal Code About Counterfeit Letter, judges use a basic consideration dititiberatkan on pemasalahan the crime of falsification of certificates of authentic notary, the basis of the legal reasoning of judges evaluated from the perspective of the duties and office of the notary that the notary also violate the provisions set forth in Article 16 paragraph 1 letter m and Article 44 paragraph (1) of the signing listed on UUJN, deed authentic made by a notary must be signed by the person whose name is listed in the minutes of the deed, the undersigned deed done after the Notary read out the contents of the deed and the signatories of the deed should Notary authorized to make such deed, the legal consequences that occur related to the violation deed only has the strength of evidence under the hand and bu right again as an authentic deed.

(12)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam memenuhi kebutuhan hidup, tindak kriminal semakin marak terjadi. Hal tersebut tidak lepas dari berbagai aspek sosial, lingkungan, dan aspek lainnya khususnya pada aspek ekonomi sehingga tidak menutup kemungkinan modus pelaku tindak kriminal itu sendiri semakin berkembang, baik itu dari segi pemikiran maupun dari segi teknologi. Dalam hukum di Indonesia pemalsuan terhadap sesuatu merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang telah diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP)1. Memang pemalsuan sendiri diatur dalam BAB XII (Pemalsuan Surat) Buku II KUHP (Kejahatan), buku tersebut mencantumkam bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk di dalamnya pemalsuan surat yang diatur dalam Pasal 263 KUHPidana s/d pasal 276 KUHPidana. Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau memalsukan surat), dan Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik)2.

Perbuatan membuat surat palsu adalah perbuatan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsukan, adalah segala wujud perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isi surat sehingga berbeda dengan surat semula3.

1 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,

2005, hal. 11.

(13)

Pemalsuan merupakan suatu bentuk kejahatan yang diatur dalam Bab XII Buku II KUHPidana, dimana pada buku tersebut dicantumkan bahwa yang termasuk pemalsuan hanyalah berupa tulisan-tulisan saja, termasuk didalamnya pemalsuan tanda tangan yang diatur dalam pasal 263 KUHPidana s/d Pasal 276 KUHPidana.

Tindak Pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHPidana (membuat surat palsu atau memalsukan surat); dan Pasal 264 (memalsukan akta-akta otentik) dan Pasal 266 KUHPidana (menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik).

Adapun Pasal 263 KUHPidana, berbunyi sebagai berikut4:

1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun;

2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Sedangkan Pasal 264 KUH-Pidana berbunyi sebagai berikut5:

1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun, jika dilakukan terhadap:

1. Akta-akta otentik;

2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau bagiannya atau pun dari suatu lembaga umum;

3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;

(14)

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan. 2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja

memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 266 ayat (1) KUHP, berbunyi: “Barang siapa menyuruh

memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”6

Memperhatikan ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, adapun yang menjadi unsur-unsurnya yaitu: a. Barang siapa ; b Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ; c. dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran. Kemudian memperhatikan bunyi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, menetapkan bahwa sebagai pelaku tindak pidana yaitu : a. mereka yang melakukan, b. mereka yang menyuruh melakukan, dan c. mereka yang turut serta dalam melakukan perbuatan, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur hukumnya, yaitu:

1. Barang siapa ;

2. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik ; 3. Dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu

seolah-olah keterangan sesuai dengan kebenaran ; 4. Pelakunya:

a. Mereka yang melakukan ;

b. Mereka yang menyuruh melakukan ;

(15)

c. Mereka yang turut melakukan.

Ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP, yang menjadi subyek (pelaku),

yaitu “yang menyuruh memasukkan keterangan palsu”, dan kata “menyuruh” merupakan bagian yang sangat penting (bestanddeel) dari Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pembuat akte dalam hal ini Notaris, ia (Notaris) bukan sebagai subyek (pelaku) dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi Para Pihak pembuat akte otentik tersebutlah yang sebagai subyek (pelaku), karena merekalah yang sebagai menyuruh memasukkan keterangan palsu.

Notaris sebagai pejabat umum merupakan salah satu organ Negara yang dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum kepada masyarakat, teristimewa dalam pembuatan akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang keperdataan. Notaris berwenang membuat akta otentik dan memiliki posisi yang strategis dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat khususnya bidang perikatan yang terjadi karena perjanjian. Ruang lingkup pertanggungjawaban notaris meliputi kebenaran formil atas akta yang dibuatnya.

(16)

alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting pada setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian apa yang dinyatakan dalam akta notaris harus dapat diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya di pengadilan.

Otentitas suatu akta tidaklah cukup apabila akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat (notaris) saja, namun cara membuat akta otentik tersebut haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan7.

Akta otentik merupakan bukti yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya dan orang-orang yang mendapatkan hak karenanya. Akta otentik dapat dikalahkan oleh bukti lawannya. Terhadap pihak ketiga, akta otentik merupakan alat bukti dengan kekuatan pembuktian bebas, yaitu bahwa penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim. Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai alat bukti tertulis. Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang dipergunakan sebagai pembuktian8. Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang mempunyai peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian9. Jadi untuk digolongkan dalam pengertian akta, surat

harus ditandatangani. Keharusan ditandatanganinya surat untuk dapatdisebut akta berasal dari Pasal 1869 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang menyatakan bahwa:

7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1998. hlm. 146-147

8 Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2009. hlm.

18.

(17)

“Suatu akta yang, karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak.”

Dengan peran notaris yang sangat penting tersebut, seharusnya notaris menjalankan tugas jabatannya selalu berpedoman pada peraturan perundang-undangan, kode etik, dan moral. Pelanggaran yang dilakukan notaris akan sangat merugikan kepentingan masyarakat, khususnya para pihak. Pelanggaran yang dilakukan oleh notaris baik sengaja maupun tidak sengaja dalam menjalankan tugas jabatannya akan berakibat notaris dijatuhi sanksi perdata, administrasi, dan kode etik, bahkan sanksi pidana. Sanksi terhadap notaris menunjukkan notaris bukan sebagai subjek yang kebal terhadap hukum. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, namun peraturan-peraturan itu tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris yang melakukan tindak pidana atau perbuatan pidana.

Menurut Moeljatno, perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan tersebut disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi yang melanggar larangan tersebut10.

Walaupun dalam UUJN tidak mengatur mengenai sanksi pidana terhadap notaris, namun dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhkan sanksi pidana. Bahkan beberapa orang notaris telah dijadikan tersangka, yang berdasarkan penyidikan, akta yang dibuat di hadapan notaris bersangkutan telah memenuhi unsur-unsur pidana, misalnya dalam kategori turut serta melakukan atau membantu melakukan pemalsuan surat atau akta.

Beberapa kasus yang ditemukan antara lain adalah Notaris ARM, yang divonis Pengadilan Negeri Medan dengan pidana dua tahun penjara

(18)

karena telah membuat akta palsu11. Notaris Kunsri Hastuti, melalui putusan hakimPengadilan Negeri Magelang Nomor 49/Pid.B/2005/PN.Mgl menyatakan bahwa Notaris Kunsri Hastuti, terbukti telah memalsukan akta otentik dan penggelapan menjatuhkan pidana selama empat bulan penjara12.

Perbuatan melawan hukum dapat terjadi apabila notaris yang memiliki tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat atau orang-orang yang membutuhkan jasanya dalam pengesahan atau pembuatan suatu akta, kemudian di dalam akta tersebut terdapat suatu klausula yang bertentangan dengan hukum sehingga menimbulkan kerugian terhadap orang lain sedangkan para pihak penghadap sama sekali tidak mengetahuinya, sehingga dengan sikap pasif dan diam itu notaris yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan melalui perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat terjadi dikarenakan notaris memiliki pengetahuan yang kurang

(onvoldoendekennis); pengalaman yang kurang (ondoldoende ervaring);

dan/atau memiliki perngertian yang kurang (ondoldoende inzicht)13.

Meskipun demikian Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa mengingat notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran materiil isinya, maka tidaklah tepat jika hakim membatalkannya (atau menyalahkan notaris tersebut dan menuduhnya melakukan perbuatan melawan hukum).

Notaris mungkin dapat berbuat salah mengenai isi akta karena informasi yang salah (sengaja atau tidak) dari para pihak. Kesalahan demikian ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada notaris karena isi akta itu telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh notaris14.

11 Harian Analisa Medan Tanggal 20 Februari 2009, hlm. 6 12

Juwairiah, Pengenaan Sanksi Pidana Pemalsuan Akta Notaris dalam Praktek Pembuatan Akta (studi kasus perkara No. 49/Pid.B/2005/PN.Mgl di Pengadilan Negeri Magelang),2010. Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

13

S. Soetrisno dalam Nico, Tanggung jawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta, Center for Documentation and Studies of Business Law, 2003. hlm. 98

(19)

Apabila terjadi dakwaan bahwa seorang notaris dianggap telah melakukan tindak pidana, maka hal-hal di bawah ini dapat terjadi:

1. Notaris tersebut telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang (sifat melawan hukum formal).

2. Dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya tindak pidana kepada yang bersangkutan, maka proses peradilan akan menguji seberapa jauh syarat-syarat penentuan tindak pidana telah terpenuhi. Adapun pasal-pasal tindak pidana yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas notaris yaitu Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP tersebut ada dua macam pemalsuan surat yaitu:

1. Membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yaitu perbuatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar.

2. Memalsukan surat (vervalscht) yaitu memalsukan surat-surat dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat.

Pasal 264 KUHP hanyalah merupakan pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Hal yang menyebabkan diperberatnya pemalsuan surat tersebut terletak pada faktor macamnya surat. Surat-surat tertentu yang menjadi objek tindak pidana adalah surat-surat yang mengandung kepercayaan yang lebih besar akan kebenaran isinya.

Pejabat Notaris tidak dapat dinyatakan sebagai pelaku (menyuruh melakukan) menurut Pasal 266 ayat (1) KUHP, akan tetapi ia hanyalah

“orang yang disuruh melakukan”. Kemudian, berdasarkan Pasal 266 ayat (1)

KUHP, tindakan subjek (pelaku) yaitu menyuruh memasukkan suatu

keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik, sehingga kata “menyuruh”

dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP ditafsirkan bahwa kehendak itu hanya ada pada si penyuruh (pelaku/subjek), sedangkan pada yang disuruh tidak terdapat kehendak untuk memasukkan keterangan palsu dan seterusnya

Dalam dunia Notaris, dikenal adagium: “setiap orang yang datang

(20)

berkata benar, yang artinya suatu kebohongan atau memberikan keterangan

palsu, hal itu menjadi tanggung jawab yang bersangkutan (para pihak)”.

Kemudian, akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga para pihak yang membaca akta tersebut harus melihat apa adanya dan Notaris tidak perlu membuktikan apa pun atas akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris. Karenanya, orang lain yang menilai atau menyatakan akta Notaris itu tidak benar, maka mereka yang menilai atau menyatakan tersebut, wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai prosedur hukum yang berlaku.

Notaris, berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan pejabat umum yang diantaranya mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik15. Selanjutya, Notaris dalam menjalankan tugasnya perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum, sehingga dalam menjalankan tugasnya Notaris diatur dalam ketentuan UUJN, sehingga UUJN merupakan lex specialis dari KUHP, dan bentuk hubungan Notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan Pasal 1869 KUHPerdata.

Berdasarkan konstruksi Hukum Kenotariatan, salah satu tugas jabatan

Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan para penghadap dalam

bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku”16.

Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung

No. 702 K/Sip/1973, tanggal 5 September 1973) menyatakan: “Notaris

fungsinya hanya mencatat/menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada

15 Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 yaitu “Notaris adalah pejabat

umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangann lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Dalam pasal 15 ayat (1) dikatakan “ Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dintyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang telah ditetapkan oleh undang-undang

(21)

kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal)

yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut”;

Perbuatan Notaris dalam melaksanakan kewenangan membuat akta sebagai perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 266 ayat (1) KUHP, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta, menunjukkan telah terjadi kesalah pahaman atau salah menafsirkan tentang kedudukan Notaris dan juga akta Notaris adalah sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.

Keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan dihadapan Notaris merupakan bahan dasar bagi Notaris untuk membuat akta sesuai dengan keinginan para pihak yang menghadap Notaris, tanpa ada keterangan atau pernyataan dan keinginan dari para pihak tidak mungkin Notaris untuk membuat akta. Kalaupun ada pernyataan atau keterangan yang diduga palsu dicantumkan dimasukkan ke dalam akta otentik, tidak menyebabkan akta tersebut palsu, serta tidak berarti Notaris memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu ke dalam akta Notaris. Secara materil kepalsuan atas hal tersebut merupakan tanggungjawab para pihak yang bersangkutan, dan tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.

Akta Notaris lahir karena adanya keterlibatan langsung dari pihak yang menghadap Notaris, merekalah yang menjadi pemeran utama dalam pembuatan sebuah akta sehingga tercipta sebuah akta yang otentik. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Akta yang dibuat Notaris menguraikan secara otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang disaksikan oleh para penghadap dan saksi-saksi17.

Beberapa tahun terakhir ini masalah pemalsuan surat-surat berharga semakin meningkat. Akta Notaris misalnya, merupakan salah satu jenis akta

17 Wawan Tunggal Alam, Hukum Bicara Kasus-kasus dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta:

(22)

yang mempunyai kedudukan hukum yang penting. Namun disadari, bahwa akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris itu amat beraneka ragam. Akta tersebut misalnya akta Perjanjian Jual Beli, Akta Penetapan Warisan, Akta Pendirian Badan Usaha, dan lain sebagainya. Pemalsuan terhadap berbagai jenis akta seperti inilah yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pada Bab XII dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276. Menurut S.R. Sianturi, bahwa berbicara mengenai pemalsuan, maka pemalsuan surat ini didahului dengan pemalsuan uang (Bab X), serta pemalsuan meterai dan merk (Bab XI). Sedangkan mengenai pemalsuan surat keterangan perahu/kapal diatur di Bab XXIX Buku II KUHP, Pasal 451 bis, 451 ter dan 452. Juga dalam pemalsuan surat ini sangat mengemukakan terancamnya kepentingan masyarakat (terutama yang sudah melek huruf) berupa kepercayaan terhadap surat-surat yang mempunyai akibat hukum18.

Notaris dengan kewenangan yang diberikan oleh perundang-undangan itu, memegang peranan yang penting dalam pembuatan akta-akta yang resmi (otentik). Peranan dan kedudukan Notaris yang demikian penting artinya ini karena akta-akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris itu selain mempunyai kekuatan hukum, juga membawa akibat-akibat hukum tertentu kepada para pihak. KUHP menjaga kepentingan dan kepercayaan atas surat-surat dan akta-akta yang dibuat oleh yang berwenang, seperti halnya dengan Akta Notaris. Pada Pasal 263 dan 264 KUHP mengancam pidana terhadap barang siapa yang melakukan pemalsuan surat. Dalam Pasal 263 KUHP misalnya, terkandung maksud untuk memberikan perlindungan atau kepercayaan umum terhadap surat atau akta yang bersangkutan. Bahwa pekerjaan atau tugas-tugas seorang Notaris itu sangat penting artinya, oleh karena menyangkut dengan soal kepercayaan yang dilimpahkan oleh perundang-undangan kepadanya. Tetapi dalam kenyataan, tugas-tugas atau karya dari Notaris itu pun tidak luput dari pemalsuan oleh

18 S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Jakarta: Alumni AHM-PTHM,

(23)

pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemalsuan terhadap Akta Notaris bukan hanya menyebabkan kerugian bagi pihak lain, tetapi juga merupakan suatu tindak pidana19.

Begitu pentingnya peranan Notaris yang diberikan oleh Negara, dimana Notaris sebagai pejabat umum dituntut bertanggung jawab terhadap akta yang dibuatnya. Karena seorang Notaris haruslah tunduk kepada peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) dan taat kepada kode etik profesi hukum. Kode etik yang dimaksud disini adalah kode etik Notaris. Apabila akta yang dibuat ternyata dibelakang hari mengandung sengketa maka hal ini perlu dipertanyakan, apakah akta ini merupakan kesalahan Notaris dengan sengaja untuk menguntungkan salah satu pihak penghadap atau kesalahan Para Pihak yang tidak memberikan dokumen ataupun keterangan yang sebenarnya. Apabila akta yang dibuat/diterbitkan Notaris mengandung cacat hukum karena kesalahan Notaris baik karena kelalaian (culpa) maupun karena kesengajaan Notaris itu sendiri maka Notaris harus memberikan pertanggungjawaban secara moral dan secara hukum. Hal ini harus terlebih dahulu dapat dibuktikan. Jika Notaris terbukti melakukan kesalahan-kesalahan, baik yang bersifat pribadi maupun yang menyangkut profesionalitas dalam suatu pembuatan akta yang mengandung unsur melawan hukum maka beberapa tahap prosedur yang dapat dikemukakan dilapangan adalah antara lain pemanggilan Notaris sebagai saksi, kemudian ditingkatkan sebagai tergugat di Pengadilan perdata menyangkut pertanggungjawaban akta yang dibuat untuk dijadikan alat bukti yang sebelumnya adanya toleransi dari Majelis Pengawas Notaris, selanjutnya ditindaklanjuti dengan pemidanaan yakni Notaris dapat dijadikan saksi dan tersangka dalam kasus pidana serta penyitaan bundel minuta yang disimpan oleh Notaris20.

Pelanggaran adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum yang melanggar ketentuan atau peraturan yang telah

19 Ibid, hal. 20-21

(24)

ditetapkan. Notaris sebagai subjek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban sekaligus sebagai anggota dari Perkumpulan/organisasi Ikatan Notaris Indonesia memiliki kewajiban yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari dalam menjalankan tugas jabatannya.

Kewajiban dan larangan Notaris diatur dalam UUJN (Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 17) serta Kode Etik Notaris (Pasal 3 dan Pasal 4) sebagai berikut: Pasal 16 :

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris;

c. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan minuta akta;

d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undnag-undang menentukan lain;

f. enjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. Membuat daftar yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

(25)

Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi dan Notaris;

m. Menerima magang Notaris.

Pasal 17 :

(2) Notaris dilarang:

a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. Merangkap sebagai pegawai negeri;

d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara; atau badan usaha swasta;

g. Merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;

h. Menjadi Notaris Pengganti;

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan jabatan Notaris.

(26)

dihadapkan pada dokumen-dokumen palsu padahal dokumen tersebut mengandung konsekuensi hukum bagi pemiliknya21.

Pelanggaran yang menyebabkan penyimpangan dari hukum maka Notaris dapat dijatuhi sanksi yaitu berupa Sanksi Perdata, Administratif /Kode Etik Jabatan Notaris. Sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa baik sebelumnya dan sekarang dalam Undang-Undang Jabatan Notaris terkait Kode Etik profesi Jabatan Notaris dimana tidak adanya keterangan sanksi pidana melainkan organisasi Majelis Pengawas Notaris yang berkewenangan memberikan hukuman kepada Notaris.

Demikian disimpulkan bahwa walaupun didalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) tidak menyebutkan adanya penerapan sanksi pemidanaan tetapi suatu tindakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris tersebut mengandung unsur-unsur pemalsuan atas kesengajaan/kelalaian dalam pembuatan surat/akta otentik yang keterangan isinya palsu maka setelah dijatuhi sanksi administratif/kode etik profesi jabatan notaris dan sanksi keperdataan kemudian dapat ditarik dan dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris yang menerangkan adanya bukti keterlibatan secara sengaja melakukan kejahatan pemalsuan akta otentik22.

Hukum Pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengutamakan tekanan dari kepentingan umum pada masyarakat. Menurut doktrin adanya suatu pertanggungjawaban pidana harus terpenuhinya syarat yaitu dengan melihat adanya perbuatan yang dapat dihukum dengan menyebutkan unsur-unsurnya secara tegas dan berdasarkan undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut telah bertentangan dengan hukum yang menimbulkan kejahatan pidana, dimana harus mempertanggung jawabkan sebab-akibat dari pada perbuatan tersebut23.

21 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang dan

Dimasa Datang, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 226

22 Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar

Maju, Bandung, 2009, (Selanjutnya disebut Buku II), hal 15

(27)

Dalam hal-hal yang berkaitan dengan Notaris mengingat telah diatur dalam undang-undang khusus yakni Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris yang berhubungan dengan Kode Etik profesinya serta terdapat Majelis Pengawas Notaris dimana berfungsi untuk mengawasi tugas dan kewenangan Notaris, maka penerapan sanksi pidana dikesampingkan menjadi terbatas kepada Notaris. Hal tersebut antara Penerapan Hukum Undang-Undang Jabatan Notaris dengan Penerapan Hukum Pidana yang diatur dalam (KUHP) menjadi tumpang tindih sehingga memberikan ketidakjelasan hukum bagi Notaris jika terjadi kesalahan dalam bertindak berdasarkan tugas dan kewenangannya. Sebenarnya sanksi pidana dapat diterapkan apabila adanya bukti suatu pelanggaran hukum yang menghubungkan dengan perbuatan pidana sebagai alternatif bagian dalam penyelesaian suatu perkara hukum. Karena Sanksi pidana merupakan Ultimum Remedium, yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan. Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi24.

Penulis dalam tesis ini menganalisis terkait tidak pidana pemalsuan akta atentik yang pembuatannya tanpa dihadiri oleh para pihak. Seperti contoh kasus yang dilakukan oleh salah satu notaris di Lhokseumawe (Aceh), Imran Zubir Daoed,S.H. sebagai terdakwa dalam kasus pemalsuan akta autentik yang dibuatnya, Putusan Pengadilan Negeri Lhokseumawe Nomor 40/Pid.B/2013/PN.Lsm. menyatakan notaris telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pemalsuan Akta Otentik, Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut oleh karena itu dengan pidana penjara selama 2 (dua) bulan, memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan, dan menetapkan agar terdakwa tetap di tahan.

Pada awal terdakwa yang berkedudukan sebagai notaris di Kota Lhokseumawe (aceh) diminta oleh saksi Ilmastin, S.Pd dan saksi Muslim Gunawan untuk dibuatkan akta terhadap perubahan anggaran dasar

(28)

Lembaga Serikat Pengembang Swadaya Masyarakat (SEPAKAT), saksi menyerahkan dokumen sebagai dasar perubahan Anggaran dasar kepada terdakwa berupa Daftar Absensi Rapat Anggota LSM Sepakat Lhokseumawe, Berita Acara Rapat Anggota LSM Sepakat Lhokseumawe dan foto suasana rapat Anggota lembaga Sepakat. Kemudian terdakwa membuat minuta akta (asli akta notaris),akta nomor : 01 yang dibuat pada tanggal 2 november 2012, bahwa notaris mencantumkan pada minuta akta angka ke III yaitu :

TUAN EDI FADHIL, lahir di lamraya,pada tanggal 16 juni 1984 (seribu sembilan ratus delapanpuluh empat), wiraswasta, bertempat tinggal di Desa Cot Jambo, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh

Besar Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor :

1354/04/AB/CJ/2003. Warga Negara Indonesia.25

Berdasarkan keterangan saksi Edi Fadhil sebagaimana tersebut dalam Akta autentik tersebut tidak pernah menghadap dihadapkan Notaris untuk pembuatan akta notaris Nomor: 01 yang dibuat pada tanggal 02 November 2012 tersebut. Akibat akta yang dibuat oleh notaris (terdakwa), karena mencantumkan namanya pada akta yang dibuat oleh terdakwa,dimana Edi Fadhil disamping telah dirugikan, juga selaku ketua Umum LSM Sepakat tidak dapat menarik sejumlah uang LSM Sepakat yang masih tersimpan sebesar Rp. 38.000.000 (tiga putuh delapan juta rupiah) di Bank Panin Kota Lhokseumawe, guna operasional LSM.

Perbedaan mendasar dalam tesis ini dibandingkan dengan tesis yang relevan adalah pada penelitian tesis ini lebih mengkaji dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dalam pembuatnya tanpa dihadiri oleh para pihak,serta penelitian ini mengkaji pertimbangan hukum hakim ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan notaris.

Hal yang menarik untuk dikaji dari kronologi kasus diatas yaitu terdapat kekeliruan yang dilakukan oleh hakim dalam menerapkan hukum

25

(29)

bagi notaris. Pada perkara Nomor 40 / Pid.B / 2013 / PN.Lsm. bahwa notaris terbukti bersalah melakukan tindak pidana pemalsuan akta autentik dalam ketentuan Pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP,sehingga hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana selama 2 (dua) bulan, tetapi apabila dilihat dari kronologi pembuatan akta autentik Nomor: 01 yang dibuat pada tanggal 02 November 2012 perbuatan terdakwa telah melanggar ketentuan Pasal 264 KUHP juncto Pasal 55 KUHP yaitu Notaris bertindak sebagai pihak yang terlibat turut serta (medeplichtige) dalam pemalsuan akta yang dibuat olehnya, seharusnya Notaris tersebut lebih difokuskan dikenai sanksi pidana Pasal 55 ayat (1) ke -1 yang berbunyi “Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan,atau turut melakukan perbuatan itu”. Turut serta dalam tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dilakukan oleh Notaris bersama penghadap dengan cara sebagai berikut bahwa dalam pembuatan akta notaris Nomor: 01 yang dibuat pada tanggal 02 November 2012, perkara Nomor 40 / Pid.B / 2013 / PN.Lsm. Notaris Imran Zubir Daoed,S.H ,bahwa notaris mencantumkan pada minuta akta angka ke III yaitu:

TUAN EDI FADHIL, lahir di lamraya,pada tanggal 16 juni 1984 (seribu sembilan ratus delapanpuluh empat), wiraswasta, bertempat tinggal di Desa Cot Jambo, Kecamatan Montasik, Kabupaten Aceh

Besar Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor :

1354/04/AB/CJ/2003. Warga Negara Indonesia.26

Sebagaimana tersebut dalam Akta autentik, pihak III tersebut yaitu saksi Edi Fadil tidak pernah menghadap dihadapkan Notaris untuk pembuatan akta notaris Nomor: 01 yang dibuat pada tanggal 02 november 2012 tersebut. Akta tersebut digunakan oleh pihak I (pertama) Muslim Gunawan dan pihak II (kedua) Ilmastin untuk menarik sejumlah uang sebesar Rp. 38.000.000 di bank Panin, dengan cara mengajukan perubahan specimen (pengantian tanda tangan) dengan menggunakan akta nomor : 01 yang dibuat pada tanggal 2 November 2012 merubah susunan pengurus

26

(30)

menjadi Ketua Umum : Muslim Gunawan. Ketua : Zulfikar. Sekretaris : Muzakir. Wakil Sekretaris Iskandar.Bendahara : Ilmastin. Wakil Bendahara Lisawati, sebagai dasar perubahan dari akta nomor 9 tanggal 18 oktober 2006 yang pada saat itu susunan kepengurusan serikat pengembangan swadya masyarakat (sepakat) yaitu Ketua Umum Edi Fadhil. Ketua : Hendri Rachmadani.Sekretaris : Muslim Gunawan. Wakil Sekretaris : Lisawati. Bendahara :Ilmastin. Wakil Bendahara : Roslina.

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk lebih jauh mengkaji dasar pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara tindak pidana pemalsuan akta autentik yang dalam pembuatnya tanpa dihadiri oleh para pihak, yang dibuatnya dalam bentuk penulisan / penelitian tesis dengan judul ANALISIS TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA AUTENTIK TANPA DIHADIRI OLEH PARA

PIHAK

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana yang menjadi bahan pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara Nomor 40 / Pid.B / 2013 / PN.Lsm. terhadap tindak pidana pemalsuan akta autentik yang pembuatannya tanpa dihadiri para pihak?

2. Bagaimana pertimbangan hakim ditinjau dari persepktif tugas dan jabatan notaris?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pokok pokok permasalahan sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah:

1. Tujuan Obyektif

(31)

b. Untuk mengetahui serta menganalisa pertimbangan hukum hakim apabila ditinjau dari perspektif tugas dan jabatan notaris

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk memperoleh data sebagai bahan penyusunan penelitian hukum sebagai sarana memenuhi persyaratan bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Untuk menambah wawasan, pengetahuan dibidang hukum pidana khususnya tentang masalah tindak pidana pemalsuan akta autentik.

c. Untuk menambah gambaran serta sumbangan ilmu pengetahuan bagi para notaris dalam menjalankan tugas dan jabatnya dalam membuat akta autentik.

D. Manfaat Penelitian

Mengenai manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberi masukan untuk penambahan ilmu pengetahuan serta wawasan, khususnya dibidang hukum, yang dapat digunakan oleh pihak yang membutuhkan sebagai bahan kajian ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan ilmu hukum dibidang kenotariatan pada khususnya yaitu Tindak pidana pemalsuan akta..

2. Secara praktis

Secara Praktis, penelitian dalam penulisan ini dapat memberikan masukan bagi seluruh pihak yang terkait antara lain :

(32)

b. Bagi Mahasiswa: hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa Kenotariatan yang nantinya akan menjadi sebagai seseorang Notaris agar didalam menjalankan tugas dan jabatannya lebih bertanggung jawab dan jujur serta berpegang teguh pada peraturan yang berlaku.

(33)

22

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori mengeni suatu kasus atau permasalahan yang menjadi perbandingan pegangan teoritis27

1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dan Pertanggungjawaban

Pidana

a. Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan orang lain atau merugikan kepentingan umum. Menurut Vos, tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana28.

Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman29. Berdasarkan pendapat para sarjana mengenai pengertian tindak pidana dapat diketahui unsur-unsur tindak pidana adalah harus ada sesuatu kelakuan (gedraging), kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke

omschrijving), kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak, kelakuan itu

dapat diberatkan kepada pelaku, dan kelakuan itu diancam dengan hukuman. Pelaku adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu tidak sengajaan seperti yang diisyaratkan oleh Undang-Undang

27

M.Solly lubis, Filsafatilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 80

28

Tri Andrisman, Hukum Pidana, Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia, Universitas Lampung, 2009. Hlm 70

29

(34)

telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh Undang-Undang, baik itu merupakan unsur subjektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau tidak karena gerakkan oleh pihak ketiga30. Melihat batasan dan uraian diatas, dapat

dikatakan bahwa orang yang dapat dinyatakan sebagai pelaku tindak pidana dapat dikelompokkan kedalam beberapa macam antara lain : a. Orang yang melakukan (dader plagen)

Orang ini bertindak sendiri untuk mewujudkan segala maksud suatu tindak pidana.

b. Orang yang menyuruh melakukan (doen plagen)

Dalam tindak pidana ini perlu paling sedikit dua orang, yakni orang yang menyuruh melakukan dan yang menyuruh melakukan, jadi bukan pelaku utama yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja.

c. Orang yang turut melakukan (mede plagen)

Turut melakukan artinya disini ialah melakukan bersama-sama. Dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang yaitu yang melakukan (dader plagen) dan orang yang turut melakukan (mede plagen).

d. Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat, memakai paksaan atau orang yang dengan sengaja membujuk orang yang melakukan perbuatan. Orang yang dimaksud harus dengan sengaja menghasut orang lain, sedang hasutannya memakai cara-cara memberi upah, perjanjian, penyalahgunaan kekuasaan atau martabat dan lain-lain sebagainya.

30 Barda Nawawi Arif , Sari Kuliah Hukum Pidana II. Fakultas Hukum Undip.1984, hlm:

(35)

Kejahatan yang dilakukan seseorang akan menimbulkan suatu akibat yakni pelanggaran terhadap ketetapan hukum dan peraturan pemerintah. Akibat dari tindak pelanggaran tersebut maka pelaku kriminal akan diberikan sanksi hukum atau akibat berupa pidana atau pemidanaan. Sanksi tersebut merupakan pembalasan terhadap sipembuat.

Pemidanaan ini harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan kesatuan masyarakat. Pemidanaan merupakan salah satu untuk melawan keinginan-keinginan yang oleh masyarakat tidak diperkenankan untuk diwujudkan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana tidak hanya membebaskan pelaku dari dosa, tetapi juga membuat pelaku benar-benar berjiwa luhur.

b. Pertanggungjawaban Pidana

Van Hammel menyatakan bahwa pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk31:

1) Memahai arti dan akibat perbuatannya sendiri.

2) Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.

3) Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban

(teorekensvatbaarhee) mengandung pengertian kemampuan atau

kecakapan.

Moeljatno menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, tenyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika

31 Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia Jakarta, 1985

(36)

tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe)32.

Pertanggungjawaban adalah sebagai suatu keadaan psychish sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya.19

Selanjutnya, dalam hukum pidana tidak semua orang yang telah melakukan tindak pidana dapat dipidana, hal ini terkait dengan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf yaitu suatu alasan tidak dapat dipidananya seseorang dikarenakan keadaan orang tersebut secara hukum dimaafkan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 44, 48 dan 49 ayat (2) KUHP.

Selain di atas, juga alasan pembenar yaitu tidak dapat dipidananya seseorang yang telah melakukan tindak pidana dikarenakan ada undang-undang yang mengatur bahwa perbuatan tersebut dibenarkan. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 48, 49 ayat (1), 50 dan 51 KUHP.

Pasal 44 KUHP:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. (2) Jika ternyata perbuatannya itu tidak dapat dipertanggung

jawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat meerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri.

(37)

Pasal 48 KUHP:

Barangsiapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana.

Pasal 49 KUHP:

(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP:

Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Pasal 51 KUHP:

(1) Barangsipa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.

(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.

Tindakan kesengajaan sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.

(38)

suatu hubungan antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat dan akibat hukum yang diisyaratkan. Sehingga hubungan keduanya diadakan oleh aturan hukum, jadi pertanggungjawaban tersebut adalah pernyataan dari suatu keputusan hukum.

2. Tinjauan Umum Tentang Notaris

a. Pengertian Notaris

Notaris berasal dari kata "nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan nara sumber. Tanda atau karakter yang dimaksud merupakan tanda yang dipakai dalam penulisan cepat (stenografie). Awalnya jabatan Notaris hakikatnya ialah sebagai pejabat umum (private notary) yang ditugaskan oleh kekuasaan umum untuk melayani kebutuhan masyarakat akan alat bukti autentik yang memberikan kepastian hubungan Hukum Perdata, jadi sepanjang alat bukti autentik tetap diperlukan oleh sistem hukum negara maka jabatan Notaris akan tetap diperlukan eksistensinya di tengah masyarakat.33 Notaris seperti yang dikenal di zaman Belanda sebagai Republik der Verenigde

Nederlanden mulai masuk di Indonesia pada permulaan abad ke-17

dengan beradanya Oost Ind.Compagnie di Indonesia.34

Pengertian Notaris dalam ketentuan Pasal 1 Instructie voor De

Notarissenin Indonesia, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat

umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya,

33

G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (NotarisReglement), Penerbit Erlangga, Jakarta, 1999. hal. 41.

34 Ibid

(39)

demikian juga salinannya yang sah dan benar.35 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Notaris mempunyai arti orang yang mendapat kuasa dari pemerintah berdasarkan penunjukan (dalam hal ini adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) untuk mengesahkan dan menyaksikan berbagai surat perjanjian, surat wasiat, akta, dan sebagainya.36

Menurut Matome M. Ratiba dalam bukunya Convecaying Law

forParalegals and Law Students menyebutkan : “Notary is a qualified

attorneys which is admitted by the court and is an officer of the court in both his office as notary and attorney and as notary he enjoys

special privileges.”37 Terjemahannya yaitu Notaris adalah pengacara

yang berkualifikasi yang diakui oleh pengadilan dan petugas pengadilan baik di kantor sebagai Notaris dan pengacara dan sebagai Notaris ia menikmati hak-hak istimewa.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.38 Mendasarkan pada nilai moral dan nilai etika Notaris, maka pengembanan jabatan Notaris adalah pelayanan kepada masyarakat (klien) secara mandiri dan tidak memihak dalam bidang kenotariatan yang pengembanannya dihayati sebagai panggilan hidup bersumber pada semangat pengabdian terhadap sesama manusia demi kepentingan umum serta berakar dalam penghormatan terhadap martabat manusia pada

35 Ibid, hal. 20.

36 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Cetakan ke-3, Jakarta,1990, hal. 618.

37

Matome M. Ratiba, Convecaying Law for Paralegals and LawStudents, bookboon.com, 2013. hal. 28.

38

(40)

umumnya dan martabat Notaris pada khususnya.39

Menurut G.H.S. Lumban Tobing memberikan pengertian Notaris yaitu Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.40 Sedangkan menurut Colenbrunder, Notaris adalah pejabat yang berwenang untuk atas permintaan mereka yang menyuruhnya mencatat semua yang dialami dalam suatu akta dan menyaksikan (comtuleert) dalam akta tentang keadaan sesuatu barang yang ditunjukkan kepadanya oleh kliennya.41

Pengertian Notaris dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menentukan “Notaris

adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Menurut Habib Adjie, Notaris merupakan suatu jabatan publik yang mempunyai karakteristik yaitu sebagai Jabatan, artinya UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN.

39

Herlien Budiono, Notaris dan Kode Etiknya, Upgrading dan Refreshing Course Nasional Ikatan Notaris Indonesia, Medan, 2007, hal. 3.

40

G.H.S. Lumban Tobing, Op.Cit, hal. 31.

41 Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de

(41)

Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh Negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.42

Karakteristik kedua Notaris mempunyai kewenangan tertentu, artinya setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan diluar wewenang yang telah ditentukan, maka dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UU perubahan atas UUJN.43

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam Pasal 2 UUJN menentukan bahwa Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UU perubahan atas UUJN). Notaris meskipun secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, yaitu pemerintah. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan jabatannya harus bersifat mandiri (autonomous), tidak memihak siapa pun (impartial), tidak tergantung kepada siapa pun

(independent), yang berarti dalam menjalankan tugas jabatannya tidak

dapat dicampuri oleh pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain. Notaris tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh

(42)

pemerintah tetapi tidak menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk mereka yang tidak mampu.44

b. Kewenangan Notaris

Kewenangan Notaris sebagai penjabaran dari Pasal 1 angka 1 UU perubahan atas UUJN terdapat dalam Pasal 15 UU perubahan atas UUJN yang tersirat sebagai berikut :

1) Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang.

2) Notaris berwenang pula :

a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar

dalam buku khusus.

c) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinanyang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan.

d) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya.

e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta.

f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan.

44

(43)

g) Membuat akta risalah lelang.

3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Seorang Notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban- kewajiban yang sebagaimana diatur dalam Bab III bagian kedua UU perubahan atas UUJN. Seorang Notaris wajib bertindak jujur, seksama dan tidak memihak. Kejujuran merupakan hal yang penting karena jika seorang Notaris bertindak dengan ketidakjujuran maka akan banyak kejadian yang merugikan klien bahkan akan menurunkan ketidakpercayaan klien terhadap Notaris tersebut. Keseksamaan bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang Notaris.45 Selain itu juga dalam melaksanakan jabatannya Notaris juga berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien, membuat dokumen atau akta yang diminta oleh klien, membuat daftar akta-akta yang dibuatnya, membacakan akta di hadapan para pihak, dan menerima karyawan magang di kantornya. Mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU perubahan atas UUJN, yakni : 1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib :

a) Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.

b) Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris.

c) Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta.

d) Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta.

e) Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam

45

(44)

Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya. f) Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya

dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain.

g) Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku.

h) Membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga.

i) Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan.

j) Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.

k) Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan.

l) Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.

Gambar

Gambar II. 1 Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul : “ TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS (AnalisisPutusanMahkamahAgungNomor

Akibat hukum terhadap notaris yang dijatuhi sanksi pidana dalam pemalsuan akta otentik adalah Notaris yang bersangkutan diberhentikan secara tetap dengan tidak

tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul : “ Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik oleh Notaris (Analisis

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka subjek pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana pemalsuan dalam proses pembuatan akta autentik berdasarkan ketentuan

Tindak pidana yang sering terjadi adalah berkaitan dengan Pasal 263 KUHP (membuat surat palsu atau memalsukan surat), Pasal 264 KUHP (memalsukan akta-akta otentik), dan

Berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris sebagai Pejabat Umum maka sesungguhnya Notaris bila melakukan tindak pidana dapat dikenakan tuntutan pidana yang

Dalam menangani tindak pidana pemalsuan surat baik yang diatur didalam KUHP maupun diluar KUHP, baik Penyidik, Jaksa, Hakim, maupun Advokat diharuskan memahami

jawab notaris terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana terjadi apabila perbuatan notaris dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana