• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMALSUAN TANDA TANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMALSUAN TANDA TANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

i

SKRIPSI

PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA

OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN

AKTA NOTARIIL

I PUTU DENNY PRADNYANA PUTRA NIM. 1203005250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

SKRIPSI

PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA

OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN

AKTA NOTARIIL

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I PUTU DENNY PRADNYANA PUTRA NIM. 1203005250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)
(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas rahmatNya maka penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL”. Adapun penulisan tugas akhir ini untuk

memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Penulis menyadari bahwa materi dari tugas akhir ini masih terdapat banyak kekurangan. Dengan kerendahan hati, semoga tugas akhir ini dapat menambah wawasan bagi yang membacanya. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini banyak mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, mulai dari awal sampai seperti saat ini.

Untuk itu dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,M.Hum., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH.,MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Ibu Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, SH.,MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

(6)

vi

6. Bapak Cokorde Dalem Dahana, SH.,M.Kn., Pembimbing Akademik yang dengan penuh perhatian memberikan kemudahan selama saya menuntu ilmu di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak Dr. I Made Sarjana, SH.,MH., Pembimbing I yang dengan sabar memberikan saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

8. Bapak Nyoman Mudana, SH.,MH., Pembimbing II yang selalu meluangkan waktu dan memberikan bimbingan dalam penulisan skripsi ini.

9. Seluruh Dosen Pengajar di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan kepada saya selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

10. Seluruh Staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dan memberikan kemudahan segala urusan administrasi selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

11. Orang Tua penulis I Made Mendrayana dan Ni Nyoman Surti Budiningsih beserta adik tercinta Nia yang sangat banyak memberikan dukungan moril, material, arahan, dan selalu mendoakan keberhasilan dan keselamatan selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana maupun dalam penyelesaian skripsi ini.

(7)

vii

13. Teman-Teman Fakultas Hukum Universitas Udayana, Arya Wiradharma, Srigati Antari, Trevi, Ancitan 2012.

14. Teman-Teman KKN XI Kebon Padangan yang telah mendukung dari awal dan selalu mendoakan demi kelancaran pembuatan skripsi ini.

15. Sahabat Nila Kusuma Atmaja, Arta Kusuma Atmaja, Wisnu Sukadana, Aan, Debit, , Kak Ayu Prita, dan Menuju Senja Team semua yang telah memberikan semangat dari awal memulai perjalanan studi hingga menulis skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

16. Untuk Yuni Lestari terima kasih telah membantu dan mendukung selama proses pengerjaan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak. Meskipun demikian, penulis berharap semoga tugas akhir ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan.

Denpasar, 26 April 2016

(8)
(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ... i

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI... iv

KATA PENGANTAR…... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... viii

DAFTAR ISI... ix

ABSTRAK... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. ... 1

1.2 Rumusan Masalah. ... 5

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 5

1.4 Orisinalitas ... 6

1.5 Tujuan Penulisan ... 7

1.5.1 Tujuan Umum ... 7

1.5.2 Tujuan Khusus. ... 8

1.6 Manfaat Penulisan ... 8

1.6.1 Manfaat Teoritis... 8

1.6.2 Manfaat Praktis ... 8

(10)

x

1.7.2 Asas Konsensualitas ... 11

1.7.3 Asas Kepastian Hukum...…... 12

1.7.4 Pengertian, Kewenangan Dan Kewajiban Notaris... 13

1.8 Metode Penelitian. ... 17

1.8.1 Jenis Penelitian... 17

1.8.2 Jenis Pendekatan ... 17

1.8.3 Sumber Bahan Hukum... 17

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 19

1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL 2.1 Pengertian Akta... 21

2.2 Macam-macam Akta. ... 24

2.3 Bentuk-bentuk Akta Notariil. ... 34

2.4 Tentang Kebatalan ... 37

2.4.1 Dapat Dibatalkan ... 38

2.4.2 Batal Demi Hukum... 38

BAB III. AKIBAT HUKUM TERHADAP AKTA NOTARIIL YANG TANDATANGANNYA DIPALSUKAN OLEH PARA PIHAK 3.1 Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta ... 40

3.2 Pihak-pihak Dalam Pembuatan Akta.. ... 41

(11)

xi

3.4 Kekuatan Akta Yang Dipalsukan Oleh Para Pihak.. ... 51 3.5 Pembuktian Pemalsuan Tandatangan Pada Akta ... 55 BAB IV. TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP

PEMALSUAN TANDATANGAN OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL

4.1 Tanggung Jawab Notaris Menurut Undang-Undang Jabatan

Notaris... 59 4.2 Bentuk Tanggung Jawab Notaris Terhadap Pemalsuan

Tandatangan Oleh Para Pihak Dalam Pembuatan Akta Notariil. ... 64 4.2.1 Tanggung Jawab Notaris Dari Segi Hukum Administrasi.... 68 4.2.2 Tanggung Jawab Notaris Dari Segi Hukum Perdata... 71 4.2.3 Tanggung Jawab Notaris Dari Segi Hukum Pidana... 73 BAB V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan... 85 5.2 Saran... 86 DAFTAR PUSTAKA

RINGKASAN SKRIPSI

(12)

xii

PEMALSUAN TANDATANGAN AKTA OLEH PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN AKTA NOTARIIL

Penyelundupan hukum muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil yang melibatkan notaris merupakan perbuatan melawan hukum. pemalsuan tandatangan akta yang melibatkan notaris bertentangan dengan kewenangan notaris yang diatur dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN-P). Namun sanksi pidana tidak diatur dalam UUJN-P tersebut, maka dari itu dapat dikatakan adanya norma kosong. Terkait dengan itu maka diangkat dua rumusan masalah, yaitu apakah akibat hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak dan bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif. Dalam UUJN-P adanya norma kosong mengenai sanksi hukum pidana terhadap notaris yang terlibat dalam pemalsuan tandatangan akta yang dilakukan salah satu pihak. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah studi kepustakaan.

Hasil penelitian menunjukkan yaitu bahwa akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh salah satu pihak dapat dibatalkan karena adanya salah satu pihak yang memintakan pembatalan tersebut. Akibat pemalsuan tandatangan pada akta notariil tersebut menjadikan akta tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil dapat dikenakan sanksi administrasi yaitu diberhentikan secara tidak hormat, sanksi perdata yaitu biaya ganti rugi kepada pihak yang dirugikan dan Notaris dapat dijatuhi sanksi pidana dengan meninjau apakah notaris tersebut memenuhi seluruh isi rumusan tindak pidana.

(13)

xiii ABSTRACT

FALSIFICATION OF SIGNATURE DEED BY THE PARTIES

IN MAKING THE DEED NOTARY

Smuggling of law emerged as a new concept born by certain individuals to achieve real desire than has been banned by legislation. Falsification signatures deed by the parties in making the deed notary involving notary is illegal actions. Falsification signatures deed involving notary contrary to the authority notary arranged in Act Of Republic Indonesia Number 2 Of 2014 amendment of Act Of Republic Indonesia Number 30 Of 2004 concerning Notary (UUJN-P). But criminal sanctions not arranged in the UUJN-P , it can be said the norm empty. Associated with it and two problems raised formulation , whether as a result of laws against deed notary that the signature falsified by the parties and how accountability notary falsification signatures by the parties in making the deed notary.

This research is normative legal research started from the existence of norm empty. In UUJN-P the norm empty of sanctions criminal law against notary involved in a deed signatures done one party. This research used legal statue, conceptual approach, and case approach. The legal material used in this research is primary legal material, secondary legal material and tertiary legal material. The technique of legal material collection used is literature study.

The result showed that deed notary that signatures falsified by one of the parties canceled because of one of the groups ask the cancellation. The signatures

on a deed notary made such deed do not have the legal basis. Accountability notary falsification signatures by the parties in making the deed notary can administrative sanctions dismissed in that respect , civil sanctions the cost of compensation to the injustice and notary can be sentenced criminal sanctions with whether the review notary meet the whole of the formulation of crimes.

(14)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, pernyataan tersebut diatur dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Dengan pernyataan tersebut maka seluruh sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada aturan atau norma-norma hukum yang berlaku di Indonesia.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, Negara hukum memiliki pengertian Negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.1 Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berisikan kebenaran dan keadilan, sehingga kepentingan masyarakat terlindungi hukum harus dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya hukum dapat berjalan normal dan efektif di masyarakat, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum.

Dewasa ini masyarakat sudah mulai banyak yang memahami untuk menuangkan isi kesepakatan dalam suatu perjanjian tertulis dan tidak lagi menggunakan perjanjian lisan. Hal ini disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan adanya kepastian hukum untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak yang membuat kesepakatan atau perjanjian.

(15)

2

Perjanjian tertulis dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembuktian kelak apabila terjadinya wanprestasi yang timbul apabila salah satu pihak tidak terpenuhi hak karena pihak lainnya tidak memenuhi kewajibannya. Oleh karena itu, dibutuhkannya hukum yang mengatur mengenai perjanjian sehingga dapat memberikan keadilan kepada para pihak. Kecermatan dalam membuat perjanjian dengan berpagarkan ketentuan hukum, menjamin pelaksanaan bisnis relatif aman, tentu saja dari sisi hukumnya. Sekurang-kurangnya, dalam bisnis itu, kehadiran hukum dapat melindungi hubungan bisnis di antara pelaku bisnis, dan hukum tidak menjadi suatu hal yang menakutkan bagi hubungan bisnis.2

Perjanjian dalam hukum kita di kenal juga dengan istilah kontrak, yang mana merupakan peristilahan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau

contract (Inggris).3 Baik perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu hubungan perikatan. Namun tidak semua perjanjian tertulis harus diberikan judul kontrak, tetapi tergantung kepada kesepakatan para pihak, sifat, materi perjanjian dan kelaziman dalam menggunakan istilah tersebut.4

Dewasa ini masyarakat sudah banyak yang mengerti pentingnya peran Notaris untuk memperoleh kepastian hukum tersebut. Maka dari itu masyarakat mulai membuat perjanjian di hadapan pejabat umum yang dalam hal ini adalah Notaris. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

2I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2014, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Bali, hlm.27.

3Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hlm.160.

(16)

2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN-P) menyatakan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

Kehadiran jabatan Notaris di kehendaki oleh Negara untuk membantu dan melayani masyarakat yang telah melimpahkan wewenangnya kepada Notaris yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa atau keadaan hukum.5 Notaris selaku pejabat yang berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang di haruskan oleh peraturan perundang-undangan. Akta notariil merupakan alat bukti tertulis yang dibuat oleh pejabat Notaris yang merupakan alat bukti autentik. Dalam pasal 1 angka 7 UUJN-P disebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang di tetapkan oleh Undang-Undang”.

Penyelundupan hukum dengan akta notariil muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Perlu menjadi perhatian Notaris untuk mengkaji apakah yang diminta pihak klien tidak melanggar/bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, atau bahkan telah terjadi praktek penyelundupan hukum.6

5Habib Adjie, 2013, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.32.

(17)

4

Perkembangan hukum saat ini, mulai ditemui upaya-upaya untuk melakukan penyelundupan hukum yang melibatkan Notaris. Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai upaya penyelundupan hukum adalah pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil. Pernah terjadi kasus penyelundupan hukum yang melibatkan seorang Notaris, pada tanggal 11 Maret 2014 kasus ini bermula dari balik nama sertifikat tanah milik Made Sarja dengan lokasi tanah terletak di kawasan Tanah Lot, Kabupaten Tabanan. Dalam kasus ini melibatkan seorang Notaris I Ketut Nuridja, SH.,M.Kn beserta Nyoman Adi Wiryatama dan Gede Made Dedy Pratama dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan akta notariil, yakni para pihak dalam hal ini yaitu Adi Wiryatama dan Gede Made Dedy Pratama tidak pernah bertemu secara langsung dengan Made Sarja yang dalam kasus ini menjadi pihak pelapor.7

Maka dari itu penelitian ini menganalisis mengenai aspek pertanggungjawaban Notaris secara pidana yang tidak diatur dalam UUJN-P. Akan tetapi sanksi pidana dapat dikenakan kepada Notaris apabila, Notaris terbukti baik dalam jabatannya maupun sebagai subyek hukum melakukan tindak pidana atau turut serta melakukan pemalsuan tanda tangan dalam pembuatan akta notariil. Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur tentang pemalsuan surat , yakni:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat

(18)

menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Dilihat dari ketentuan Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) jika Notaris terbukti melakukan pemalsuan dapat dikenakan sanksi pidana sedangkan sanksi pidana tersebut tidak diatur dalam UUJN-P sehingga dapat dikatakan penelitian ini mengkaji mengenai norma kosong. Kemudian hal tersebut akan dibahas dalam penelitian ini dengan judul “Pemalsuan Tandatangan Akta Oleh Para Pihak Dalam Pembuatan Akta Notariil.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang yang dikemukakan diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan masalah sebagai berikut;

1. Apakah akibat hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak ?

2. Bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

(19)

6

yang akan dibahas, yaitu mencakup uraian-uraian dari tinjauan umum dalam hal pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

1.4 Orisinalitas

Penelitian ini merupakan penelitian yang masih original atau asli karena belum ada penelitian secara khusus menulis dengan judul ini, meskipun demikian ada beberapa tulisan yang mirip tetapi tidak sama secara substansial. Adapun judul beserta rumusan masalahpenelitian lain yang tidak sama dengan penelitian ini :

a. Tesis berjudul Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Dan Berindikasi Perbuatan Pidana, yang disusun pada tahun 2009 oleh Agustining mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan. Rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini adalah :

1. Faktor apakah yang menyebabkan Notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana?

2. Bagaimana tanggung jawab Notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana?

3. Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawasan Daerah terhadap pemanggilan Notaris pada pemeriksaan perkara pidana?

(20)

b. Skripsi berjudul Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta Otentik Yang Dibuat Di Hadapannya (Studi Terhadap Notaris Di Kota Semarang), yang disusun pada tahun 2015 oleh Ida Nurkasanah mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Universitas Negeri Semarang. Rumusan yang terdapat dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap akta otentik yang dibuat di hadapannya ?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta otentik yang dibuat di hadapan notaris jika memuat keterangan tidak benar ?

Penelitian ini lebih ditekankan untuk mengkaji dan meneliti seberapa jauh dan bagaimana tanggung jawab profesi Notaris dalam mempertanggungjawabkan akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, serta bagaimana akibat hukum jika dalam akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris suatu saat terjadi kekeliruan yang menimbulkan kerugian secara perdata bagi salah satu atau lebih para pihak.

1.5 Tujuan Penulisan

Bertitik tolak dari latar belakang masalah dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut adalah sebagai berikut;

1.5.1 Tujuan Umum

(21)

8

Selain itu, bertujuan juga untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

1.5.2 Tujuan khusus

Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang akibat hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak ; 2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan secara lebih mendalam tentang pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

1.6 Manfaat Penulisan 1.6.1 Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi atau kontribusi dalam aspek teoritis (keilmuan) seiring dengan berkembangnya masyarakat serta permasalahan-permasalahan yang ada di masyarakat. Sehingga, melalui penelitaian ini dapat dilihat apakah akibat hukum terhadap akta notariil yang tandatangannya dipalsukan oleh para pihak serta bagaimana pertanggungjawaban Notaris terhadap pemalsuan tandatangan oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil.

1.6.2 Manfaat praktis

(22)

bagi penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan perhatian dikalangan masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan peraturan perundang undangan dan pembaharuan terhadap peraturan-peraturan yang terkait.

1.7 Landasan Teoritis

Landasan Teoritis merupakan dukungan teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum dalam hal membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.8 Untuk membahas permasalahan yang telah dipaparkan penelitian ini secara lebih mendalam, perlu kiranya dikemukakan teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum terhadap permasalahan tersebut yang didasarkan pada literatur – literatur yang dimungkinkan untuk menunjang pembahasan permasalahan yang ada. Dengan adanya teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum yang menunjang, diharapkan dapat memperkuat, memperjelas, dan mendukung untuk menyelesaikan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini.

Adapun teori, konsep, asas dan pendapat-pendapat hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi :

1.7.1 Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak atau yang sering juga disebut sebagai sistem terbuka adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh undang-undang

(23)

10

diberikan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. Kebebasan berkontrak begitu esensial, baik bagi individu dan kepentingan umum masyarakat yang menuntut dan menetapkan suatu pembatasan kebebasan untuk mengadakan sebuah perjanjian.9

Bilamana antara pihak telah mengadakan sebuah perjanjian maka diakui bahwa ada kebebasan kehendak di antara para pihak tersebut. Hal ini berlaku juga dalam pembuatan perjanjian di bawah tangan, kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi.

Asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:10

1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.

2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.

3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya.

4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.

5. Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.

6. Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.

9Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, PT Refika Aditama, Bandung hlm.99.

(24)

Asas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) yang menyatakan bahwa “semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Sekalipun asas kebebasan berkontrak yang diakui oleh KUH Perdata pada hakikatnya banyak dibatasi oleh KUH Perdata itu sendiri, tetapi daya kerjanya masih sangat longgar. Kelonggaran ini telah menimbulkan ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan bila para pihak yang membuat kontrak tidak sama kuat.11

1.7.2 Asas konsensualitas

Hal utama yang harus di tonjolkan dalam perjanjian ialah bahwa pembuatan perjanjian harus berpegangan pada asas konsensualitas, yang dimana asas ini merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian modern dan bagi terciptanya kepastian hukum.12 Pengertian asas konsensualitas yaitu untuk melahirkan perjanjian adalah cukup dengan dicapainya kata sepakat mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya sebuah kesepakatan. Dengan kata lain, perjanjian itu sudah sah apabila hal-hal yang pokok sudah disepakati dan tidak diperlukan suatu formalitas.13

Terjadinya sebuah perjanjian pada umumnya peresuaian kehendak saja sudah cukup. Namun hukum harus menyelenggarakan ketertiban dan menegakan keadilan dalam masyarakat, sehingga diperlukannya asas konsensualitas demi

11Ibid.

12R. Subekti, 1992, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.5.

(25)

12

tercapainya kepastian hukum. Asas Konsensualitas dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 KUH Perdata bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak dan Semua persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.

1.7.3 Asas kepastian hukum

Asas kepastian hukum merupakan salah satu asas terpenting dalam negara hukum. Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada hal-hal berikut:14

1. kepastian hukum; 2. keadilan;

3. daya guna atau kemanfaatan.

Asas kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan landasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan.15

(26)

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Notaris dalam menjalankan tugas jabatanya wajib berpedoman secara normatif kepada aturan hukum yang berkaitan dengan segala tindakan yang akan diambil untuk kemudian dituangkan oleh akta. Bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku akan memberikan kepastian hukum kepada para pihak.16

Asas ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta notariil yang data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN-P sendiri tidak diatur mengenai tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan tandatangan yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian hukum ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris apabila berhadapan dengan kasus seperti ini

1.7.4 Pengertian, kewenangan dan kewajiban Notaris

Pengertian Notaris menurut Pasal 1 angka 1 UUJN-P jelas disebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”, artinya Notaris adalah orang yang diangkat untuk bertugas menjalankan amanat

(27)

14

jabatannya dengan maksud dan tujuan melayani kepentingan umum atau masyarakat.

Pelaksanaan wewenang, para Notaris wajib untuk mengetahui sampai di mana batas kewenangannya. Selain wewenang yang mereka miliki, notaris juga memilki kewajiban yang harus mereka laksanakan dalam menjalankan tugas jabatannya serta larangan yang tidak boleh dilakukan yang apabila ketiga hal ini dilanggar maka Notaris yang bersangkutan akan memperoleh sanksi sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam UUJN-P.

Kewenangan Notaris tersebut diatur dalam Pasal 15 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UUJN-P, yang dapat dibagi menjadi tiga yaitu kewenangan umum Notaris, kewenangan khusus Notaris dan kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.17 Kewenangan umum Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (1), yakni:

“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lainyang ditetapkan oleh undang-undang.”

Kewenangan khusus Notaris diatur dalam Pasal 15 ayat (2), yakni:

“Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

(28)

c. membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta; f. membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat Akta risalah lelang.”

Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian diatur dalam Pasal 15 ayat (3) bahwa “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.” Kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara (Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat) atau Pejabat Negara yang berwenang dan mengikat secara umum. Dengan batasan seperti ini, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dalam bentuk undang-undang dan bukan di bawah undang-undang.

Berikutnya mengenai kewajiban Notaris ini diatur secara lengkap dalam Pasal 16 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UUJN-P yang menegaskan bahwa :

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. Bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b. Membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai

bagian dari Protokol Notaris;

c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta Akta;

d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

(29)

16

tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

k. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

l. Mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m.Membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris; dan

n. Menerima magang calon Notaris.

(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in originali.

(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi: a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b. Akta penawaran pembayaran tunai;

c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. Akta kuasa;

e. Akta keterangan kepemilikan; dan

(30)

bertindak merupakan salah satu hal yang juga harus selalu dilakukan seorang Notaris.18

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis penelitian

Dalam pelaksanaan penulisan penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif. Dipilihnya jenis penelitian yuridis normatif karena penelitian ini menguraikan permasalah-permasalahan yang ada, untuk selanjutnya dibahas dengan kajian yang berdasarkan teori – teori hukum kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam praktek hukum.19 1.8.2 Jenis pendekatan

Pendekatan yang penulis gunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conseptual Approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral dalam penelitian ini.20 Selanjutnya dilanjutkan dengan menganalisis permasalahan yang ada sesuai dengan konsep – konsep hukum yang ada.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan tiga bahan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

18Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Raih Asa, Sukses, Jakarta, hlm.41. 19Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,Edisi I, Cet ke-V, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.13.

(31)

18

1) Bahan hukum primer

Bahan hukum primer terdiri atas asas-asas, kaidah hukum yang dalam perwujudannya berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, keputusan tata usaha negara dan hukum tidak tertulis yang berkaitan dengan notaris dan akta yang bersifat mengikat. Adapun sumber-sumber bahan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder terdiri atas literatur-literatur yang relevan dengan topik yang dibahas, baik literatur-literatur-literatur-literatur hukum (buku-buku teks (textbook) yang ditulis para ahli yang berpengaruh (de hersender leer), pendapat para sarjana, jurnal-jurnal atau karya tulis hukum yang berkaitan dengan topik penelitian maupun literatur non hukum, dan artikel-artikel yang diperoleh dari internet.

3) Bahan hukum tersier

(32)

pengertian atas bahan hukum lainnya.21 Bahan hukum yang dipergunakan oleh penulis seperti: kamus besar bahasa Indonesia, kamus istilah komputer, ensiklopedia hukum dan internet.

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan faktor penting dalam menentukan keberhasilan dari penulisan penelitian ini, kerena jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Dalam penulisan penelitian ini penulis menggunakan teknik studi kepustakaan, yang mana dengan metode ini penulis mencari, mempelajari dan memahami berbagai pendapat, teori dan konsepsi yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang didapatkan dari literatur-literatur yang tersedia serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemalsuan tandatangan akta oleh para pihak dalam pembuatan akta notariil. Bahan hukum yang relevan dikumpulkan dengan sistem kartu (card system), yang kemudian kartu ini disusun berdasarkan pokok bahasan untuk memudahkan analisis dan pada kartu dicatat konsep-konsep yang berkaitan dengan permasalahan atau isu hukum pada tulisan ini.22

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif analisis dengan menggunakan metode evaluatif, metode sistematis, metode interprestatif dan metode argumentatif. Teknik deskriptif analisis adalah

21Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm.93.

(33)

20

penjabaran data yang diperoleh dalam bentuk uraian yang nantinya akan menjawab permasalahan.

Metode evaluatif adalah penelitian yang bertujuan mengumpulkan informasi tentang apa yang terjadi yang merupakan kondisi nyata mengenai keterlaksanaan rencana yang memerlukan evaluasi.

Metode sistematis adalah segala usaha menguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya.

Metode interprestatif adalah metode yang menafsirkan peraturan perundang-undangan dihubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain atau dengan keseluruhan sistem hukum. Karena suatu undang-undang pada hakikatnya merupakan bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak mungkin ada satu undang-undang yang berdiri sendiri tanpa terikat dengan peraturan perundang-undangan lainnya.

(34)
(35)

21 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA NOTARIIL

2.1 Pengertian Akta

Istilah atau perkataan akta dalam bahasa Belanda disebut “acte” atau “akta”

dan dalam bahasa Inggris disebut “act” atau “deed”. Secara etimologi menurut S. J. Fachema Andreae, kata “akta” berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti

geschrift” atau surat.1 Menurut R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, kata akta berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang

berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.2 A. Pitlo, yang dikutip Suharjono mengemukakan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.3

Pengertian mengenai akta oleh para ahli hukum diatas, maka untuk dapat dikatakan sebagai akta, suatu surat harus memenuhi syarat-syarat:4

a. Surat tersebut harus ditandatangani, hal ini untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat oleh orang lain. Jadi tanda tangan berfungsi untuk memberikan ciri atau mengindividualisir sebuah akta ; b. Surat harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau peristiwa,

yaitu pada akta harus berisi suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang diperlukan ;

1Suharjono, 1995, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Desember, Jakarta, hlm.128. 2R. Subekti dan R.Tjitrosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.9. 3Suharjono, op.cit, hlm 43.

(36)

c. Surat tersebut sengaja dibuat sebagai alat bukti, maksudnya dimana di dalam surat tersebut dimaksudkan untuk pembuktian suatu peristiwa hukum yang dapat menimbulkan hak atau perikatan.

Akta adalah surat yang dibuat dengan sengaja untuk dijadikan bukti tentang sesuatu peristiwa dan ditandatangani oleh pembuatnya.5 Adapun pengertian akta merupakan surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perjanjian, yang dibuat sejak semula dan sengaja untuk pembuktian.6

Pasal 1866 KUH Perdata menyatakan bahwa “Alat pembuktian meliputi: bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, sumpah. Semuanya tunduk pada aturan-aturan yang tercantum dalam bab-bab berikut”. Jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling pertama dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam pasal tersebut. Fungsi terpenting akta adalah sebagai alat bukti, kekuatan pembuktian daripada akta dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:7

1. Kekuatan pembuktian lahir

Kekuatan pembuktian lahir yang dimaksudkan ialah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya: yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.

5H. Zainal Asikin, 2015, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm.121.

6Sudikno Mertokusumo, 2009, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty Yogyakarta, Yogyakarta, hlm.151.

7

(37)

23

2. Kekuatan pembuktian formil

Kekuatan pembuktian formil didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini member kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta.

3. Kekuatan pembuktian materiil

Kekuatan pembuktian akta materiil ini memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa akta bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta.

Ditinjau dari segi pembuktian akta mempunya beberapa fungsi, yaitu:8 1. Akta berfungsi sebagai formalitas kuasa

Suatu akta berfungsi sebagai syarat untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum. apabila perbuatan hukum yang dilakukan tidak dengan akta, maka perbuatan hukum tersebut dianggap tidak pernah terjadi. Dalam hal ini contoh yang dapat diambil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1945 KUH Perdata tentang sumpah dimuka hakim. Jadi akta disini digunakan untuk lengkapnya suatu perbuatan hukum.

2. Akta berfungsi sebagai alat bukti

Fungsi utama akta adalah sebagai alat bukti. Artinya tujuan utama membuat akta memang diperuntukan dan digunakan sebagai alat bukti. Bila timbul sengketa, sejak semula telah tersedia akta untuk membuktikan kebenaran perjanjian.

(38)

3. Akta berfungsi sebagai probationis kuasa

Dalam hal ini akta menjadi satu-satunya alat bukti yang dapat dan sah membuktikan suatu hal atau peristiwa. Maka dari itu, fungsi akta tersebut merupakan dasar untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa tertentu. Tanpa akta peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi tidak dapat dibuktikan. Kedudukan dan fungsi akta tersebut bersifat spesifik.

2. 2 Macam-macam Akta

Pasal 1867 KUH Perdata menyebutkan bahwa “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik maupun dengan tulisan di bawah tangan”. Berdasarkan Pasal 1867 KUH Perdata tersebut macam-macam akta ada dua yaitu akta autentik dan akta di bawah tangan.

1. Akta Autentik

Menurut hukum positif pada Pasal 1868 KUH Perdata menjelaskan bahwa “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Dari penjelasan ini, akta autentik dibuat oleh di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut pejabat umum.9 Pejabat yang berwenang membuat akta autentik salah satunya adalah Notaris, yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUJN-P menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya

(39)

25

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”.

Akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris disebut sebagai akta notariil yang berkedudukan sebagai akta autentik, dalam Pasal 1 angka 7 UUJN-P disebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta

autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”. Hal ini sejalan dengan pendapat Irawan Soerojo, bahwa ada 3 (tiga) unsur esenselia agar terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu:10

a. Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang b. Dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum

c. Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.

Menurut C. A. Kraan, akta autentik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:11

a. Suatu tulisan, dengan sengaja dibuat semata-mata untuk dijadikan bukti atau suatu bukti dari keadaan sebagaimana disebutkan di dalam tulisan dibuat dan dinyatakan oleh pejabat yang berwenang. Tulisan tersebut turut ditandatangani oleh atau hanya ditandatangani oleh pejabat yang bersangkutan saja.

b. Suatu tulisan sampai ada bukti sebaliknya, dianggap berasal dari pejabat yang berwenang.

10Irawan Soerojo, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Arkola, Surabaya, hlm.148.

(40)

c. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang harus dipenuhi; ketentuan tersebut mengatur tata cara pembuatannya (sekurang-kurangnya memuat ketentuan-ketentuan mengenai tanggal, tempat dibuatnya akta suatu tulisan, nama dan kedudukan/ jabatan pejabat yang membuatnya c.q data dimana dapat diketahui mengenai hal-hal tersebut.

d. Seorang pejabat yang diangkat oleh negara dan mempunyai sifat dan pekerjaan yang mandiri serta tidak memihak dalam menjalankan jabatannya.

e. Pernyataan atau fakta dari tindakan yang disebut oleh pejabat adalah hubungan hukum di dalam bidang hukum privat.

Autentik tidaknya suatu akta (otensitas) tidaklah cukup apabila akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat saja. Apabila pejabat yang tidak cakap dan tidak berwenang atau bentuknya cacat,12 dan tanpa ada kemampuan yang membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta autentik.13Hal itu diatur dalam Pasal 1869 KUH Perdata bahwa “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditanda tangani oleh para pihak”.

B.Akta Di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat. Dalam hal ini akta di bawah tangan

(41)

27

semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan.14 Keberadaan para saksi yang menyaksikan adanya persetujuan perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani dan atau dibubuhi cap jempol oleh para pihak yang berkepentingan dalam perjanjian sangatlah penting karena keberadaannya akan sangat berarti apabila dikemudian hari terjadi suatu masalah atau salah satu pihak mengingkari isi dan atau ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian maupun tanda tangannya dapat dijadikan saksi di persidangan pengadilan.15

Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam pasal 1869 KUH Perdata : “Suatu akta yang tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik, baik karena tidak berwenang atau tidak cakapnya pejabat umum yang bersangkutan maupun karena cacat dalam bentuknya, mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan bila ditanda tangani oleh para pihak”. Dalam Pasal 1874 KUH Perdata merumuskan bahwa akta di bawah tangan ialah :

a. Tulisan atau akta yang ditandatangani di bawah tangan, b. Tidak dibuat atau ditandatangani pihak yang berwenang,

c. Secara khusus ada akta di bawah tangan yang bersifat partai yang dibuat oleh paling sedikit dua pihak.

Akta di bawah tangan kekuatan pembuktiannya dapat menjadi mutlak apabila akta tersebut dilegalisir atau dilegalisasi oleh notaris umumnya akta dibuat sendiri oleh para pihak yang berkepentingan atas kesepakatan kedua belah pihak,

14Sudikno Mertokusumo, op.cit, hlm.160.

(42)

sedangkan mengenai tanda tangannya dan atau cap jempolnya dilaksanakan di hadapan Notaris, ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 1874 KUH Perdata :

“Yang dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum.

Dengan penandatanganan sebuah tulisan di bawah tangan disamakan pembubuhan suatu cap jempol dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang yang menyatakan bahwa pembubuh cap jempol itu dikenal olehnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa si akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan pada tulisan tersebut di hadapan pejabat yang bersangkutan.

Pegawai ini harus membuktikan tulisan tersebut.

Dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud”

Pasal 1874 a KUH Perdata :

“Jika pihak yang berkepentingan menghendaki, di luar hal termaksud dalam alinea kedua pasal yang lalu, pada tulisan-tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, dapat juga diberi suatu pernyataan dari seorang Notaris atau seorang pejabat lain yang ditunjuk undang-undang, yang menyatakan bahwa si penanda tangan tersebut dikenalnya atau telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada si penanda tangan, dan bahwa setelah itu penandatanganan dilakukan di hadapan pejabat tersebut.

Dalam hal ini berlaku ketentuan alinea ketiga dan keempat dan pasal yang lalu”.

Notaris dalam hal ini hanya bertanggung jawab hanya terbatas pada kebenaran tentang tanda tangan atau cap jempol pihak yang berkepentingan berdasarkan tanda pengenal yang dimiliki oleh para pihak berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan atau Surat Izin Mengemudi (SIM).16

Akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak dan tanda tangannya para pihak maupun para saksi tidak dihadapan Notaris, tetapi akta di bawah tangan tersebut di daftarkan di kantor Notaris (waarmeking). Dalam hal ini Notaris tidak

(43)

29

dapat dimintai pertanggungjawaban tentang kebenaran subjek hukumnya maupun tanda tangannya karena Notaris hanya mendaftar akta di bawah tangan yang sudah jadi.17 Jika ada salah satu pihak mengingkari atau tidak mengakui adanya akta dibawah tangan ini maka kekuatan pembuktian menjadi lemah, sebaliknya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan ini tidak disangkal oleh salah satu pihak yang turut mentandatangani akta di bawah tangan, maka kekuatan pembuktianya menjadi sempurna atau mutlak dan kekuatan mengikatnya sampai kepada para ahli warisnya serta orang-orang yang mendapat hak dari mereka sesuai ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata.

C.Kekuatan pembuktian akta autentik dan akta di bawah tangan

Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta autentik dengan akta di bawah tangan adalah:18

1. Akta autentik mempunyai tanggal yang pasti;

2. Grosse dari akta autentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

3. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta autentik.

Di samping itu masih ada lagi perbedaan antara akta autentik dan akta di bawah tangan, yaitu:19

17Ibid, hlm.248-249.

18G.H.S. Lumban Tobing,1996, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hlm.46-47. 19

(44)

1. Akta autentik harus dibuat oleh atau di hadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian.

2. Akta autentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas acta publica probant seseipsa yaitu suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, sedangkan akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir.

Selain perbedaan yang telah diuraikan di atas, akta autentik dan akta di bawah tangan juga memiliki perbedaan dalam kekuatan pembuktiannya. Kekuatan pembukatian yang melekat dalam akta autentik terdiri atas tiga kekuatan yang melekat yaitu:20

1. Kekuatan pembuktian lahir

Suatu akta autentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta autentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta autentik. Selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya pada akta tersebut melekat kekuatan bukti lahiriah. Maksud dari kata memiliki daya pembuktian lahir adalah melekatkan prinsip anggapan hukum bahwa setiap akta autentik harus dianggap benar sebagai akta autentik sampai pihak lawan mampu membuktikan sebaliknya.

20

(45)

31

2. Kekuatan pembuktian formil.

Berdasarkan Pasal 1871 KUH Perdata bahwa segala keterangan yang tertuang di dalamnya adalah benar diberikan dan disampaikan kepada pejabat yang membuatnya. Oleh karena itu segala keterangan yang diberikan penanda tangan dalam akta autentik dianggap benar sebagai keterangan yang dituturkan dan dikehendaki yang bersangkutan. Anggapan atas kebenaran yang tercantum di dalamnya, bukan hanya terbatas pada keterangan atau pernyataan di dalamnya benar dari orang yang menandatanganinya tetapi meliputi pula kebenaran formil yang dicantumkan pejabat pembuat akta: mengenai tanggal yang tertera di dalamnya, sehingga tanggal tersebut harus dianggap benar, dan tanggal pembuatan akta tidak dapat lagi digugurkan oleh para pihak dan hakim.

3. Kekuatan pembuktian materil.

Dalam kekuatan akta autentik yang ketiga ini terdapat tiga prinsip yang terkandung dalam akta autentik yaitu:

a) Penanda tangan akta autentik oleh seorang untuk keuntungan pihak lain, ini merupakan prinsip pokok kekuatan materil suatu akta autentik yang mana setiap penanda tangan akta autentik oleh seorang selamanya harus dianggap untuk keuntungan pihak lain, bukan untuk keuntungan pihak penandatangan; b) Seorang hanya dapat membebani kewajiban kepada diri sendiri. Prinsip ini

(46)

maksud dan kehendak seperti yang tercantum di dalam akta, tujuan dan maksud pernyataan itu dituangkan dalam bentuk akta untuk menjamin kebenaran akta tersebut, oleh karena itu dibelakang hari penanda tangan tidak boleh mengatakan atau mengingkari bahwa dia tidak menulis atau memberi keterangan seperti yang tercantum dalam akta, namun demikian perlu diingat bukan berarti kebenaran itu bersifat mutlak sesuai keadaan yang sebenarnya. c) Akibat hukum akta dikaitkan kekuatan pembuktian materil akta autentik.

Apabila terdapat dua orang atau lebih, dan antara satu dengan yang lain saling memberi keterangan untuk dituangkan dalam akta, tindakan mereka itu ditinjau dari kekuatan pembuktian materil akta autentik menimbulkan akibat hukum meliputi: keterangan atau pernyataan itu sepanjang saling bersesuaian, melahirkan persetujuan yang mengikat kepada mereka. Dengan demikian akta tersebut menjadi bukti tentang adanya persetujuan sebagaimana yang diterangkan dalam akta tersebut.

Akta di bawah tangan hanya memilik dua daya kekuatan pembuktian. Tidak memiliki kekuatan pembuktian luar sebagaiman akta autentik yang tidak bisa dibantah kebenarannya oleh hakim, sehingga harus pihak lawan yang mengajukan pembuktian “kepalsuan” atas akta itu. Tegasnya kekuatan pembuktian akta di bawah tangan diuraikan sebagai berikut:21

1. Kekuatan pembuktian formil.

Sejauh mana daya kekuatan pembuktian formil akta di bawah tangan dapat dijelaskan sebagai berikut:

21

(47)

33

a) Orang yang bertanda tangan dianggap benar menerangkan hal yang tercantum di dalam akta. Bedasarkan kekuatan formil ini, hukum mengakui siapa saja atau orang yang menanda tangani akta di bawah tangan: (1) dianggap benar menerangkan seperti apa yang dijelaskan dalam akta, (2) berdasarkan kekuatan formil yang demikian, mesti dianggap terbukti tentang adanya pernyataan dari penanda tangan, (3) dengan demikian daya kekuatan pembuktia akta di bawah tangan meliputi kebenaran identitas penanda tangan serta menyangkut kebenaran idenitas orang yang memberi keterangan;

b) Tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Daya pembuktian formalnya tidak bersifat mutlak untuk keuntungan pihak lain. Karena daya formilnya itu sendiri tidak dibuat di hadapan pejabat umum. Dengan demikian keterangan yang tercantum di dalamnya tidak mutlak untuk keuntungan pihak lain. Kemungkinan dapat menguntungkan dan merugikan pihak lain karena isi keterangan yang tercantum di dalam ABT belum pasti merupakan persesuaian keterangan para pihak. Dalam ABT masing-masing para pihak dibenarkan oleh hukum untuk mengingkari isi dan tanda tangan.

2. Kekuatan pembuktian materil.

(48)

a) secara materil isi keterangan yang tercantum di dalam akta di bawah tangan, harus dianggap benar;

b) dalam arti apa yang diterangkan dalam akta oleh penanda tangan, dianggap sebagai keterangan yang dikehendakinya;

c) dengan demikian secara materil, isi yang tercantum dalam ABT mengikat kepada diri penanda tangan.

Dari dua bentuk akta sifat yang melekat dalam akta autentik jika hendak dibantah terletak pada tindakan pembuktian atas kepalsauan akta tersebut. Sedangkan pada akta di bawah tangan daya kekuatan mengikatnya yang tidak memiliki pembutian keluar (harus dianggap benar, sepanjang tidak ada alat bukti yang sah dapat menggugurkannya), terletak pada tindakan untuk mendapat kekuatan sebagai alat bukti akta di bawah tangan adalah pembuktian keaslian.

2. 3 Bentuk-bentuk Akta Notariil

Pada umumnya akta autentik yang menyangkut bidang perdata, dibuat dihadapan Notaris.22 Hal itu ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN-P menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.” Notaris sebagai pejabat umum berwenang membuat akta autentik yang disebut sebagai akta notariil, dijelaskan dalam pasal 1 angka 7 UUJN-P menyebutkan bahwa “Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh

22

(49)

35

atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.”

Akta-akta yang dibuat oleh notaris terbagi menjadi dua bentuk, yaitu Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamai akta partij (acte partij) atau akta pihak dan akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (acte ambtelijk).23 Bentuk akta notariil tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Akta Partij atau Akta Pihak

Akta partij atau akta pihak yaitu akta yang dibuat berdasar keterangan atau perbuatan para pihak yang menghadap Notaris, dan keterangan atau perbuatan itu agar dikonstatir oleh Notaris untuk dibuatkan akta notariil (akta Notaris).24 Akta ini biasanya akta yang berisi dan melahirkan persetujuan bagi para pihak yang datang menghadap dan menandatanganinya di hadapan Notaris.25

2. Akta relaas atau akta pejabat

Akta relaas atau akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum yang memuat uraian secara autentik tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat, dialami, dan disaksikan oleh Notaris sendiri.26 Jadi inisiatifnya tidak berasal dari para pihak yang namanya diterangkan di dalam akta tersebut melainkan dari pejabat dalam hal ini Notaris.27

(50)

Dilihat dari kedua pengertian bentuk akta notariil tersebut, akta partij atau akta pihak dan akta relaas atau akta pejabat memiliki beberapa perbedaan yaitu:28 a. Akta partij atau akta pihak

Undang-Undang mengharuskan adanya penandatanganan oleh para pihak, dengan ancaman kehilangan otensitasnya atau hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan setidak-tidaknya Notaris mencantumkan keterangan alasan tidak ditandatanganinya akta oleh salah satu pihak pada akhir akta, misalnya salah satu pihak mengalami cedera tangan sehingga tidak bisa menandatangani akta, sebagai ganti nya maka menggunakan cap jempol dan alasan tersebut harus dicantumkan dalam akta notariil dengan jelas oleh Notaris yang bersangkutan.

b. Akta relaas atau akta pejabat

Tidak menjadi persoalan terhadap orang-orang yang hadir menandatangani akta atau tidak, akta tersebut masih sah sebagai alat pembuktian. Misalnya para pemegang saham telah pulang sebelum akta ditandatangani, Notaris cukup hanya menerangkannya dalam akta.

Perbedaan di atas sangat penting dalam kaitannya dengan pembuktian sebaliknya terhadap isi akta, dengan demikian terhadap kebenaran isi akta pejabat atau akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta tersebut palsu, sedangkan pada akta partij atau pihak kebenaran, isi akta partij dapat digugat tanpa menuduh kepalsuannya dengan menyatakan bahwa keterangan dari pihak tidak benar. Pembuatan akta, baik akta relaas maupun akta pihak pun

28

(51)

37

memiliki perbedaan dimana untuk membuat akta partij atau pihak notaris tidak pernah berinisiatif, sedangkan untuk membuat akta relaas atau akta pejabat justru notaris yang bertindak aktif, yaitu dengan inisiatif sendiri membuat akta tersebut.29

2. 4 Tentang Kebatalan

Akta notariil merupakan perjanjian para pihak yang mengikat bagi mereka yang membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata kebatalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:30

1. Melanggar syarat-syarat subjektif sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUH Perdata ayat (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, dan (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan.

2. Melanggar syarat-syarat objektif sahnya perjanjian dapat dilihat dalam Pasal 1320 KUH Perdata ayat (3) suatu pokok persoalan tertentu, dan (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Mengakibatkan perjanjian batal demi hukum.

Perbedaan syarat-syarat sahnya perjanjian dalam 2 kelompok ini dikategorikan, apabila tidak memenuhi syarat kelompok subjektif maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya, sedangkan apabila tidak memenuhi syarat yang objektif maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

(52)

2.4.1 Dapat dibatalkan

Sebuah akta notariil dapat dibatalkan apabila melanggar syarat subjektif sahnya perjanjian, yaitu :

1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata (kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya). Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata menyatakan perjanjian adalah sah apabila diantara para pihak mengikatkan dirinya.

2. Melanggar Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata (kecakapan untuk membuat suatu perikatan). Pasal 1320 ayat (2) KUH Perdata menentukan bahwa perjanjian adalah sah apabila para pihak cakap dalam membuat suatu perjanjian.

Dalam hukum perjanjian ada akibat hukum tertentu jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan oleh salah satu pihak yang berkepentingan. Syarat sahnya perjanjian tersebut diwujudkan dalam akta notariil. Syarat subjektif dicantumkan dalam awal akta, jika dalam awal akta, terutama syarat-syarat para pihak yang menghadap Notaris tidak memenuhi syarat subjektif, maka atas permintaan salah satu pihak akta tersebut dapat dibatalakan.31

2.4.2 Batal demi hukum

Suatu akta notariil dapat dikatakan batal demi hukum apabila akta tersebut melanggar syarat-syarat obyektif sahnya suatu perjanjian, yaitu:

1. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata (suatu pokok persoalan tertentu). Suatu hal tertentu yang dimaksudkan adalah bahwa obyek perjanjian

(53)

39

tersebut haruslah tertentu, dapat ditentukan yaitu suatu barang yang dapat diperdagangkan, dan dapat ditentukan jenisnya jelas, tidak kabur.

2. Melanggar ketentuan Pasal 1320 ayat (4) KUH Perdata (suatu sebab yang tidak terlarang). Suatu sebab yang halal apabila perjanjian dibuat berdasarkan kepada sebab yang sah dan dibenarkan oleh undang-undang, dan tidak melanggar ketentuang tentang isi perjanjian.

Dalam hukum perjanjian ada akibat tertentu jika syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum tanpa perlu ada permintaan dari para pihak. Dengan demikian perjanjia dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapa pun. Perjanjian yang batal mutlak dapat juga terjadi jika suatu perjanjian yang dibuat tidak dipenuhi, padahal aturan hukum sudah menentukan untuk perbuatan hukum tersebut harus dibuat dengan cara yang sudah ditentukan atau berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Dalam akta notariil syarat objektif dicantumkan dalam badan akta sebagai isi akta yang mana telah diatur dalam Pasal 38 UUJN-P. Isi akta merupakan perwujudan dari Pasal 1338 KUH Perdata mengenai kebebasan berkontrak dan memberikan kepastian hukum kepada para pihak mengenai perjanjian yang dibuatnya. Jika dalam isi akta tidak memenuhi syarat objektif, maka akta tersebut batal demi hukum.32

(54)

Referensi

Dokumen terkait

a) Kontrasepsi hormonal merupakan cara mencegah kehamilan melalui pemberian hormon steroid dalam bentuk kontrasepsi pil, suntik, dan implan. b) Pengguna kontrasepsi

Pertama, PTS di Kota Bandung memerlukan informasi secara empirik mengenai manajemen pengetahuan, manajemen bakat, kinerja organisasi, dan citra organisasi; Kedua,

Susubukang ilarawan at suriin ng mga mananaliksik sa pag-aaral na ito ang kaalaman at pananaw ng mga mag-aaral sa kursong BS ETM at BS IT sa unang taon ng Mindanao University

Membuat kalimat efektif dalam surat undangan resmi termasuk dalam kom- petensi dasar 4.9 Membuat surat undangan (ulang tahun, kegiatan sekolah, kenaikan kelas, dll.) dengan

Model transteori dalam penelitian ini adalah suatu model yang digunakan untuk mengubah pemikiran dan perilaku pelaku bullying dari perilaku semula yang negatif ke arah

Mengingat proyek sudah tertunda sejak 2011, KPPIP mengalokasikan dana untuk penyusunan OBC kilang minyak Bontang agar menyediakan rekomendasi skema pendanaan dan menjadi

Tegangan output sensor dapat diproses sebagai input analog arduino uno dan dijadikan acuan untuk pengendalian LED , buzzer dan actuator berupa exhaust fan .Kemampuan

Sementara mengenai akadnya barang dan uang sebagai pengganti harga barang, maka dalam transaksi elektronik atau e-commerce tidak dilakukan secara langsung pada