• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.sy.)

Oleh:

DWI CAHYO NUGROHO NIM: 109045100006

K O N S E N T R A S I K E P I D A N A A N I S L A M J U R U S A N J I N A Y A H S I Y A S A H

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

x

Prodi/Konsentrasi: Jinayah Siyasah/Kepidanaan Islam

Judul Skripsi: Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris

Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran keadilan. Dalam mewujudkan hal tersebut memerlukan adanya alat bukti. Salah satu alat bukti tersebut dapat berupa akta otentik. Kekuatan pembuktian akta notaris dalam perkara pidana, merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Nilai kesempurnaannya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti lain berupa akta notaris.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perpektif hukum islam dan positif terhadap tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris dan menjelaskan analisis putusan mahkamah agung.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan yuridis yang mempergunakan sumber data sekunder, digunakan untuk menganalisa berbagai peraturan perundangundangan di bidang hukum perjanjian, perlindungan notaris, al-Qur’an hadist, buku-buku dan artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, apabila ditinjau dari aspek Hukum Positif, praktik Pemalsuan Akta Otentik dibagi menjadi dua sub poin, pertama pertanggung jawaban pidana tersebut dilimpahkan kepada para pihak/penghadap apabila akta yang akan dibuat mengandung unsur yang bertentangan dengan Undang-Undang. Kedua, pertanggungjawaban pidana Pemalsuan Akta Otentik dilimpahkan kepada Notaris apabila Notaris membuat surat atau akta palsu,

(6)

v

KATA PENGANTAR ميحرلا نمحرلا ها مسب

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan

manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-nya penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada

Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta

salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW,

atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa

bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua

kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan

sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya

orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun

spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan

karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang

menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu

penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:

(7)

vi

bagi penulis selama perkuliahan, dalam perkuliahan sehingga penulis dapat

menyelesaikan studi strata I dengan sebaik-baiknya.

3. Bapak Afwan Faizin, MA selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah

terima kasih banyak telah banyak membantu penulis untuk melengkapi

berbagai macam keperluan, dan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai

studi strata I dengan sebaik-baiknya.

4. Bapak Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA dan Nahrowi, SH.MH selaku Dosen

Pembimbing terima kasih banyak telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan

nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

5. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar

mengajar yang penulis jalani.

6. Orang tua ananda yaitu Ayahanda tercinta H. Soetardjo dan Ibunda tercinta

Nikmatu Soleha, yang telah membesarkan, mendidik, memotivasi, dan

mendoakan penulis hingga dapat melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi dan

dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

7. Terima kasih kakakku Tri Surya Fajar dan adik-adikku, Tri Cahyo Sadono,

(8)

vii

menyelesaikan skripsi ini, dan saya harap mereka dapat juga berjuang untuk

terus menimba ilmu demi masa depan yang lebih cemerlang..

8. Teman-teman, Daniel, Ara, Bima, Bobi, Brama, kiki, yang selalu memberikan

dukungan berupa moral dan material pada penulis, sehingga penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini merasa begitu sempurna karena mendapat dukungan

yang begitu besar.

9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan dari awal bertemu di UIN hingga selesai

yakni kelas PI angkatan 2009, Asep, Andre, hafid, Mansur, Sopian dan serta

rekan-rekan SS angkatan 2009, Anwar, Cocom, Ridho, Sultan, Muhdi,

Yongki. Terima kasih telah menghibur penulis selama ini baik dalam keadaan

senang maupun susah, dan juga telah menjadi rekan berdiskusi selama ini,

penulis tak akan lupa atas kekonyolan kalian semua. Walaupun sedikit kalian

luar biasa

10.Kepada sahabat-sahabatku Calvin, Aditiawan, Gindha, Rayhan, Puji,

Mustazib dan Alfianda. Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu

bersedia menemani penulis berdiskusi maupun berpetualang. Maaf saya lulus

belakangan

Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan

Allah SWT sehingga dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan.

Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca

(9)

viii Wassalammualaikum. Wr. Wb

Jakarta, 1436 hijriyah

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ... ii

LEMBAR PERNYATAAN. ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D. Kajian (Review) Studi Terdahulu ... 11

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM DAN PEMALSUAN SURAT DALAM HUKUM ISLAM A. Pengertian Jarimah ... 18

B. Macam-Macam Jarimah... 19

C. Jarimah Ta’zir ... 20

(11)

xi

1. definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat…23

2.Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat ... 25

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA OTENTIK DAN NOTARIS SELAKU PEJABAT UMUM A. Pengertian Akta Otentik ... 31

B. Pemalsuan Akta Otentik ... 32

C. Bentuk dan jenis Pemalsuan Akta Otentik ... 35

D. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Notaris ... 40

E. Akta-Akta Notaris ... 47

F. Asas-Asas Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris... 52

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 1568 K/Pid/2008 TENTANG PEMALSUAN AKTA OTENTIK OLEH NOTARIS A. Kronologis Perkara ... 57

B. Putusan Pengadilan ... 61

1. Putusan Pengadilan Negeri Malang ... 61

2. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya ... 62

(12)

xii

C. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Agung

No.1568 K/Pid/2008 ... 67

D. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1568 K/Pid/2008 ... 68

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 71

B. Saran-Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 74

(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara hukum, hal ini disebutkan di dalam UUD 1945

pasal 1 ayat (3), yaitu suatu Negara yang dalam menjalankan pemerintahannya

hukum dijadikan patokan utama dengan tujuan agar terciptanya kehidupan yang

aman dan tentram. Di Indonesia hukum di bagi menjadi dua, yaitu hukum

perdata dan pidana, hukum pidana berarti peraturan yang mengatur terhadap

pelanggaran yang menyangkut/berhubungan dengan kepentingan umum serta

peraturan yang menentukan perbuatan mana yang diancam dengan pidana yang

merupakan suatu penderitaan dan siksaan, sedangkan hukum perdata adalah

aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang

lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan

masyarakat maupun pergaulan keluarga. Agar terciptanya tujuan yang

diharapkan oleh hukum yaitu untuk menciptakan kehidupan yang aman dan

tentram, maka setiap terjadi pelanggaran-pelanggaran atau perilaku yang tidak

sesuai dengan undang-undang maka akan mendapatkan sanksi yang sesuai

dengan pelanggaran yang telah dilakukan.1

1

Artikel diakses pada 26 September 2013 dari internet di

(14)

2

Hukum pidana adalah bagian keseluruhan hukum yang berlaku di suatu

Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu

bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.2

Tindak pidana dalam pasal 266 KUHP mengenai pemalsuan suatu akta

otentik yang di dalamnya seseorang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke

dalam akta itu tentang hal yang kebenaranya harus dibuktikan oleh akta itu

dengan tujuan untuk memakai akta itu, seolah-olah keterangan itu benar. Kalau

pemakaian akta itu dapat mendatangkan suatu kerugian, maka si pelaku dihukum

dengan hukuman maksimum tujuh tahun penjara.3

Hukuman yang sama diancamkan kepada barangsiapa yang dengan

sengaja memakai akta itu seolah-olah keterangan itu benar dan pemakaian itu

mendatangkan kerugian. Akta otentik, misalnya surat akta notaris, suatu

proses-verbal dari polisi, jaksa sidang pengadilan, akta seorang pencatatan sipil

2

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet,IV. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h.1.

3

(15)

mengenai kelahiran, kematian, atau perkawinan. Unsur dari tindak pidana ini

adalah bahwa akta-akta tersebut harus membuktikan suatu kejadian, dan tentang

kejadian inilah diberitahukan hal-hal yang tidak benar kepada pejabat-pejabat

tersebut untuk dimuat dalam akta yang dibuat oleh pejabat-pejabat itu.4

Sedangkan di dalam hukum Islam orang yang melakukan perbuatan tindak

pidana pemalsuan surat maka akan terkena hukuman takzir. takzir adalah

hukuman yang ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri

untuk menetapkanya, sedangkan para ulama fiqh mendefinisikannya sebagai

hukuman yang wajib menjadi hak Allah atau bani adam pada tiap-tiap

kemaksiatan yang tidak mempunyai putusan tertentu dan tidak pula adalah

kefarahnya.5 Hukuman takzir ini jenisnya bermacam namun secara garis besar

dapat dibagi. Hukuman takzir yang berkaitan dengan empat kelompok yaitu.

1. Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti

hukuman penjara dan hukuman pengasingan.

2. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan,

perampokan harta dan penghancuran barang.

3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan seperti hukuman mati dan

hukuman jilid.

4

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2003), h. 191-192.

5A. Ruway’I Ar

(16)

4

4. Hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri dan kemaslahatan umum.6

Berdasarkan jenis-jenis hukuman takzir tersebut di atas, maka hukuman

yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah hukuman

jilid dan pengasingan. Umar ibn Al- khattab terhadap Mu’an Ibn Zaidah yang

memalsukan stempel Bait al-mal. Demikian pula terhadap tindak pidana

pemalsuan Al-Quran. Khalifah Umar Ibn Al-khattab mengasingkan Mu’an Ibn

Zaidah setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan

kewenangan lainya, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Keberadaan notaris

sangat penting artinya dalam pembuatan alat-alat bukti yang bersifat otentik,

yang mungkin dipergunakan kelak oleh para pihak dalam suatu persidangan di

pengadilan. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna

(volledijg bewijs), artinya terhadap bukti tersebut dalam pengadilan dianggap benar, tanpa diperlukan lagi pengakuan dari para pihak.

Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh Negara, bekerja juga untuk

kepentingan Negara, namun demikian notaris bukanlah pegawai sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok

kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dan hanya menerima honorarium

atau fee dari klien, dan dapat dikatakan bahwa notaris adalah pegawai

pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah, notaris

6

(17)

dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari

pemerintah.

Karena tugas yang diemban oleh notaris adalah tugas yang seharusnya

merupakan tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan notaris mempunyai akibat

hukum, notaris dibebani sebagian kekuasaan Negara dan memberikan pada

aktanya kekuatan otentik dan eksekutorial.7

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik sejauh pembuatan akta otentik tidak dikhususkan kepada pejabat umum

lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan

perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan

hukum. Selain itu, akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, bukan

saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga

dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan

kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi

pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.

Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat

sehingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap

sebagai pejabat tempat seorang dapat memperoleh nasihat yang boleh

7

(18)

6

diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah

benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.8

Dalam praktik notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta notaris

dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, maka sering pula notaris

ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan

suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam

akta notaris. Hal ini pun memberikan kerancuan, apakah mungkin notaris secara

sengaja (culpa) atau khilaf (alpa) bersama-sama para penghadap/pihak untuk

membuat akta yang diniatkan sejak awal untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dalam kaitan ini tidak berarti notaris steril (bersih) dari hukum atau tidak

dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana,

jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak disengaja

notaris bersama-sama dengan para pihak untuk membuat akta dengan maksud

dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau

merugikan pihak yang lain-lain. Jika hal ini terbukti, maka notaris tersebut wajib

dihukum. Oleh karena itu, hanya notaris yang tidak jujur dalam menjalankan

tugas jabatannya, ketika membuat akta untuk kepentingan pihak tertentu dengan

8

(19)

maksud untuk merugikan pihak tertentu atau untuk melakukan suatu tindakan

yang melanggar hukum.9

Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN)

ketika notaris dalam menjalankan tugas jabatanya terbukti melakukan

pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi adminitrasi, sanksi

perdata, sanksi pidana dan sanksi kode etik. Dan sanksi sanksi tersebut telah

diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN)

dan sekarang dalam Undang-Undang jabatan notaris (UUJN) dan kode etik

jabatan notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris.

Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau

pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi

atau perdata atau kode etik jabatan notaris, tapi kemudian ditarik atau

dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris.10

Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti:

1. kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap;

2. pihak (siapa-orang) yang menghadap notaris;

3. tanda tangan yang menghadap;

4. salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;11

9

Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 24.

10

Adjie, Hukum Notaris Indonesia.,h.25.

11

(20)

8

5. salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

6. minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan.

Aspek –aspek akta notaris tersebut di atas, dapat saja dijadikan dasar atau

batasan untuk mempidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek tersebut terbukti

secara sengaja (dengan penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh

notaris dan para pihak/penghadap yang bersangkutan), bahwa akta yang dibuat di

hadapan dan oleh notaris untuk dijadikan suatu alat suatu tindak pidana.

Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan yang dilanggar oleh

notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang

dilakukan oleh notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada

kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan

UUJN, tapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak

pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik

meminta pendapat dari mereka yang mengetahui dengan pasti dari para notaris

mengenai hal tersebut, dari organisasi jabatan notaris.

Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan

dengan batasan, jika:

1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek lahir, formal, dan materil

akta yang sengaja penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan,

bahwa akta yang dibuat di hadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama

(sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu

(21)

2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh

notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan

3. Tindakan notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang

untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini majelis pengawas notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang

batasan-batasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar artinya di samping

memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan

Notaris (UUJN), kode etik jabatan notaris juga harus memenuhi rumusan yang

tersebut dalam KUHP.12

Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, penulis tertarik mengangkat tema

tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul : “Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1568 K/Pid/2008).”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat begitu kompleknya hal-hal yang berhubungan dengan

masalah tindak pidana pemalsuan akta otentik, dan guna menghindari kesalah

fahaman serta untuk mencapai kesamaan persepsi dalam masalah yang hendak

penulis bahas, maka penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan

12

(22)

10

dan rumusan terhadap masalah yang akan dikaji. Pembahasan skripsi ini akan

dibatasi disekitar msalah-masalah tindak pidana pemalsuan akta otentik.

Dalam masalah putusan hakim yang akan dianalisis oleh penulis, maka

penulis akan menganalisis putusan Mahkamah Agung yang terjadi tahun2008

dengan nomor putusan No. 1568 K/Pid/2008 tentang pemalsuan akta otentik

oleh notaris. Namun tidak menutup kemungkinan untuk lebih memperjelas pembahasan, penulis akan menyinggung hal-hal lain yang ada kaitannya

dengan permasalahan tersebut.

2. Perumusan Masalah

Dengan mengacu pada pembatasan masalah di atas, untuk

mendapatkan hasil yang baik, maka penulis merumuskan permasalahan

sebagai berikut:

a. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan positif terhadap tindak

pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris ?

b. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim

Mahkamah Agung tentang sanksi pada putusan kasasi No. 1568

K/Pid/2008 dalam masalah tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh

(23)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Supaya pembahasan tentang tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh

notaris lebih terarah dan mendalam sesuai dengan

permasalahan-permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi

ini adalah:

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan perspektif hukum pidana Islam dan

hukum positif terhadap tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris.

b. Untuk dapat menjelaskan analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1568

K/Pid/2008 tentang tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini sebagai berikut :

a. Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang tindak pidana pemalsuan

akta otentik oleh notaries baik dari hukum Islam maupun hukum positif.

b. Dapat mengetahui dasar hukum atas tindak pidana pemalsuan akta otentik

oleh notaris.

c. Dapat menjadi tulisan yang relative komprehensif tentang analisis Putusan

Mahkamah Agung No. 1568 K/Pid/2008.

D. Kajian (review) Studi Terdahulu

Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada skripsi yang pernah

(24)

12

Berikut review data yang menyinggung mengenai bahasan tindak pidana

pemalsuan akta otentik oleh notaris dan peran notaris.

1. Judul Skripsi: “Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Pandangan Hukum

Pidana Islam (Kajian Atas Putusan Pengadilan Negeri Depok).” yang ditulis

oleh Dewi Kurnia Sari, menjelaskan tentang gambaran umum tindak pidana

pemalsuan surat menurut hukum positif dan hukum Islam dan bagaimana

hukuman yang diberikan oleh pengadilan negeri depok dalam tindak pidana

pemalsuan surat. Didalam penulisannya tidak menjelaskan bentuk dan jenis

pemalsuan akta otentik, motif dan tujuan pemalsuan akta otentik, dan tindak

pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris.

2. Judul Skripsi: “Peranan Notaris dalam Membuat Akta Akad Pembiayaan di

Bank Syariah Penelaahan Terhadap Akad Pembiayaan di Bank Muamalat

Indonesia.” yang ditulis oleh Nurul Iman, menjelaskan tentang peran notaris,

bagaimana karakteristik akad di perbankan syariah, apa saja yang harus

dikuasai notaris di perbankan syariah peran notaris dalam membuat akta akad

pembiayaan di bank. Sedangkan penulis berusaha membahas secara lebih

mengenai praktik notaris dalam Islam, macam – macam akta notaris, dan

tindak pidana pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh notaris.

3. Judul skripsi “tinjauan yuridis terhadap notaris dalam hukum positif” yang

ditulis oleh Yuni Wahyu FH UI. Dalam skripsinya menjelaskan tentang

notaris dalam pelaksanaan jabatannya, kasus pelanggaran yang dilakukan oleh

(25)

mengenai praktik pemalsuan notaris dalam islam dan praktik pemalsuan

notaris dalam hukum positif

4. Judul buku “notariat syariah dalam praktik jilid ke 1 hukum keluarga islam”

penulis: H.Saifuddin Arif,SH. Editor : Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag, MH.

Dalam buku ini menjelaskan notariat dalam perspektif syariah seperti urgensi

notariat syariah, tugas notaris yang bersentuhan dengan persoalan hukum

islam, standar kompetensi notaris syariah.

E. Metode Penelitian

1. Jenis penelitian

Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif atau penelitian

kepustakaan (library research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Pada jenis penelitian hukum

normatif, penelitian ini berjenis penelitian perbandingan hukum. Pengetian

hukum normatif yaitu pendekatan terhadap suatu masalah yang menitik

beratkan kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.13 Sedangkan

metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif

yang berasal dari bahan-bahan hukum. Data kualitatif tersebut berupa uraian

penjelasan yang tersusun dalam kallimat dan tata bahasa yang berkaitan

dengan penelitian hukum-hukum.

2. Teknik Pengumpulan Data

13

(26)

14

Penelitian ini menggunakan study pustaka (library research) yang objek

utamanya berupa buku-buku literature, peraturan perundang-undangan,

norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat14, majalah, surat

kabar, hasil seminar dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung

dengan obyek yang diteliti.

a. Sumber data primer tersebut terdiri dari buku – buku fiqh, Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Mahkamah Agung No 1568

K/Pid/2008.

b. Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan

mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber

tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan

dengan penelitian ini, antara lain informasi yang relevan, artikel, bulletin,

atau karya ilmiah para sarjana.

c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain kamus umum

bahasa Indonesia, majalah, Koran dan lainnya.

3. Metode Analisis Data

Pada penelitian ini menggunakan tehnik analisis data kualitatif dengan

cara memperoleh data kemudian diuraikan untuk memberikan gambaran

(deskriptif). Yang dimaksud dengan metode deskriptip analisis yaitu metode

yang bertujuan untuk memberikan gambaran suatu gejala suatu masyarakat

14

(27)

tertentu. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang diperoleh

dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap objek

yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan objek

penelitian. Data yang diklarifikasikan maupun dianalisis untuk mempermudah

dan menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data

yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif.

Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks. Analisis isi

kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menganalisa

teks atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks atau

dokumen.

4. Sistematika Penulisan

Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi, penulis

menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana pada

setiap bab dibagi atas sub sub bab, dengan penjelasan yang terinci, agar

memudahkan pembaca.

Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis bahas, sistematika

penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :

Bab Pertama dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk

mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti dari

permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan

(28)

16

merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode

penelitian berupa jenis penelitian, jenis data, sumber data,

metode pengumpulan data, dan metode analisis data, selanjutnya

adalah sistematika penulisasn hukum yang merupakan kerangka

atau susunan penelitian.

Bab Kedua pada bab ini penulis mengemukakan pengertian jarimah dan pengertian akta otentik, pemalsuan akta otentik, bentuk dan jenis

pemalsuan akta otentik, motif dan tujuan pemalsuan akta otentik,

sanksi dan hukum pemalsuan akta otentik, dan praktik

pemalsuan dalam Islam.

Bab Ketiga pada bab ketiga ini penulis menggambarkan tentanu notaris selaku pejabat umum mulai dari sejarah profesi notaris, tugas

wewenang dan kewajiban dari notaris, akta-akta notaris dan pada

pembahasan terakhir penulis membahas asas-asas pelaksanaan

tugas jabatan notaris.

Bab Keempat bab keempat membahas tentang kronologi perkara mulai dari putusan pengadilan negeri malang, putusan pengadilan tinggi

Surabaya dan putusan mahkamah agun, analisis hukum islam

terhadap putusan mahkamah agung No.1568 K/Pid/2008,

analisis hukum positif terhadap putusan mahkamah agung

(29)

Bab Kelima penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. Yang mana kesimpulan ini nantinya merupakan jawaban dari pokok masalah

(30)

18

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM DAN PEMALSUAN SURAT DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian jarimah

Pidana islam disebut juga dengan fiqih jinayah, dalam mempelajari fiqih

jinayah ada dua istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu yaitu jinayah itu

sendiri dan jarimah. Yang pertama tentang jinayah, jinayah adalah semua

perbuatan yang diharamkan, perbuatan yang diharamkan adalah indakan yang

dilarang atau dicegah oleh syara’ atau dengan kata lain jinayah itu perbuatan

jahat atau salah yang mempunyai konsekuensi membahayakan jiwa, akal, agama,

kehormatan. Sedangkan jarimah mempunyai arti yang sama dengan jinayah yaitu

mengandung arti perbuatan buruk, jelek, dosa. Akan tetapi Kata jarimah identik

dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau

pelanggaran. Contohnya adalah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dan

sejenisnya. Jadi di dalam hukum positif jarimah distilahkan dengan delik atau

tindak pidana yang melanggar hukum. Seseorang yang tidak melanggar hokum

tidak bisa dikatan tindak pidana atau delik, menurut sudut pandang hokum

(31)

yang meninggalkan perintah agama dan melanggar perbuatan yang dilarang oleh

agama disebut dengan jarimah.1

B. Macam-Macam Jarimah

Jarimah dapat dibagi menjadi bermacam macam bentuk dan jenis.

a. Jarimah Hudud

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.

Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah: “Hukuman

had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah.

b. Jarimah Qishash dan Diyat

Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat (ganti

rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qishas maupun diyat

keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan syara’ dan merupakan hak

individu.

c. Jarimah Takzir

Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas perbuatan dosa

yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada

keputusan Hakim. Namun hukum takzir juga dapat dikenakan atas kehendak

masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya

mubah. Dasar hukum takzir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu

1

(32)

20

pada prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap

keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.2

C. Jarimah Takzir

Menurut istilah, takzir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut:

ح ف ع شت

ع

ت ع

“takzir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa

(maksiat)yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’

Wahbah Zuhaili memberikan define takzir yang mirip dengan definisi

Al-mawardi:

ع ش

ك ا ف حا ج صع ع ع ش ع :

“takzir menurut sayara’adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan

maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kafarat.

Dalam definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa takzir adalah

suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum

ditetapkan oleh syara’. Di kalangan fuqaha, jarimah jarimah yang hukumannya

belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah takzir. Jadi, istilah

takzir bisa digunakan untuk hukuman dan juga digunakan untuk jarimah (tindak

pidana).

2

(33)

Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah takzir terdiri

atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak

pula kafarat. Dengan demikian, inti dari jaarimah takzir adalah perbuatan

maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan

yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para

fuqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti mengkhianati

amanat, seperti menggelapkan titipan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh

melakukan perbuatan yang dilarang seperti sumpah palsu, penipuan dalam jual

beli dan melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan dan sebagainya.3

D. Macam-Macam Jarimah Takzir

Dilihat dari hak yang dilanggar, jarimah takzir dapat dibagi kepada dua

bagian, yaitu

1. Jarimah takjir yang menyinggung hak allah

2. Jarimah takzir yang menyinggung hak individu.

Dari segi sifatnya, jarimah takjir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu

a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat;

b. Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan

umum;

c. Takzir karena melakukan pelanggaran.

Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), takzir juga

dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

3

(34)

22

1) Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan qishash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpennuhi, atau ada syubhat, seperti

pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.

2) Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam nash syara’tetapi

hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi

takaran dan timbangan.

3) Jarimah takzir yang baik jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh

syara’. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti

pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.

Abdul Aziz Amir membagi jarimah takzir secara rinci kepada beberapa

bagian, yaitu

1) Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan;

2) Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan;

3) Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan

dan kerusakan akhlak;

4) Jarimah takzir yang berkaitan dengan ahrta;

5) Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;

6) Jarimah takzir yang berkaitan dengan keamanan umum.4

E. Macam-Macam Hukuman Takzir

Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman takzir adalah

hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’ dan diserahkan kepada ulil amri

4

(35)

untuk menetapkannya. Hukuman takzir ini jenisnya beragam, namun secara garis

besar dapat dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut.

1. Hukuman takzir yang mengenai badan, seperti hukman mati dan jilid

(dera)

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti

hukuman penjara dan pengasingan.

3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,

penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi

kemaslahatan umum.5

F. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam 1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Di dalam hukum Islam, tindak pidana dikenal dengan istilah “jinayah”

atau “jarimah”. Pengertian “jinayah yang didefinisikan sebagai larangan

-larangan hukum yang diberikan allah yang pelanggarannya dikenakan hukuman

baik berupa hal atau takzir.

Para ahli hukum Islam, jinayah adalah sinonim dengan kejahatan. Namun

di Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk

kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau

5

(36)

24

penjara. Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan berat. Sementara

syariah memerlukan setiap kejahatan sebagai jinayah.6

Hukum pidana Islam dalam artinya yang khusus membicarakan tentang

satu persatu perbuatan beeserta unsure-unsurnya yang berbentuk jarimah dibagi

tiga golongan, yaitu golongan hudud yaitu golongan yang diancam dengan

hukuman had, golongan qishash dan diyat yaitu golongan yang diancam dengan

hukuman qishash dan diyat, dan golongan takzir yaitu golongan yang diancam

dengan hukuman takzir.7

Berdasarkan salah satu jenis jarimah takzir yang berkaitan dengan

kemaslahatan umum menurut Abdul Aziz Amir tersebut, yakni jarimah

pemalsuan tanda tangan dan stempel, maka terlihat adanya kesesuaian antara

jarimah pemalsuan tangan dan pemalsuan stempel tersebut dengan tindak pidana

pemalsuan surat. Mengingat dari ketiga jarimah tersebut terdapat persamaan

dalam perbuatan yakni adanya perbuatan, proses atau cara memalsukan adanya

objek, di mana objek tersebut dapat berupa tanda tangan, suratnya, dan stempel

baitul mal atau Al-Quran. Biasanya pemalsuan itu dilakukan terhadap tanda

tangan pejabat atau stempel yang seharusnya ada dalam surat tersebut

Di dalam hukum Islam belum ada pembahasan secara jelas dan khusus

mengenai pemalsuan surat. Akan tetapi, terlihat adanya kesesuaian antara

6

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil, 2001), cet 2, h. 132-133.

7

(37)

jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel dengan tindak pidana

pemalsuan surat tersebut, maka tindak pidana pemalsuan surat ini harus

dikategorikan kedalam jarimah takzir mengingat tindak pidana pemalsuan surat

ini baik jenis maupun hukumannya tidak disbutkan di dalam nash syara’ secara

jelas.

2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat

Secara umum, perbuatan memalsukan surat merupakan perbuatan dusta

(bohonng), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan

dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya/seharusnya di

dalam surat yang dipalsukan tersebut.

Penipuan sering terjadi dalam hal jual beli, seperti dalam suatu riwayat

ketika suatu hari, Rasullah SAW melewati penjual makanan, kemudian beliau

memasukkan tangannya ke dalam barang dagangan tersebut. Ternyata

didapatinya makanan yang dijual itu basah, dan sudah tidak baik untuk

dimakan.8 Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari

Abu Hurairah, yang berbunyi:

ت ف ف خ ف عط ص ع

ع ه ص ه

أ

أ ع

عج افأ ه

ء

صأ ؟ عط ح ص ف ا ع صأ

ف شغ ؟

ك عط ف

.

(

هاور

مل ش م

)

8

(38)

26

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, berkata:”pada suatu ketika Rasulullah melewati tumpukan makanan (dipasas)”, lalu beliau memasukkan tangannya

kedalam tumpukan itu setelah diangkat kembali, ternyata jari-jari beliau basah. Lalu beliau bertanya “kenapa begini hai penjual makanan?,”jawabannya”kena

hujan ya Rasulullah”sabda beliau, mengapa tidak ditaruh di atas (yang basah)

supaya dilihat orang; siapa yang menipu tidak termasuk golonganku.” (H.R Muslim)

Dari hadis di atas jelaslah bahwa penipuan itu diharamkan karena

penipuan merupakan suatu kebohongan yang dapat merugikan orang lain maka

Islam melarang berbohong dan menganggapnya sebagai perbuatan dosa besar.

Selain itu ada hadist yang menerangkan tentang berbuat dusta.

ج إ

إ إ

ص إف ص ع

ص ج

إ ج إ

إف

ك إ ص ه ع

ح ص ح

ك ه ع

ح

ح

ج

إ

ج

) ش

(

9

Artinya: “ hendaklah kamu berlaku jujur membimbing kepada kebajikan, dan kebajikan membawa kesurga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan berusaha mempertahankan atau mencari kejujuran, maka dia dicatat Allah sebagai “shadiq” dan hindarilah olehmu dusta karena sesungguhnya dusta itu membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaan maka dia dicatat oleh Allah sebagai “kadzab” (HR. Muslim).

9

(39)

Di dalam al-Qur’an juga diterangkan mengenai perbuatan dusta yaitu surat

an-Nisa’Ayat 145 yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (diletakkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat sesorang penolong bagi mereka”.10

Ditinjau dari ruh syari’at, menipu adalah membohongi, berlaku dusta

adalah cirri munafik, munafik seperti dinyatakan dalam hadist Nabi SAW yang

diriwayatkan oleh imam Bukhari:

ح إ اث ف آ (

ع ه ص ه

أ

أ ع

11

)

(

)

خ ت إ ف خأ ع إ ك

Artinya:” Abi Hurairah mengatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda, “ tanda-tanda orang itu ada tiga: yaitu apabila dia berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia inkar, apabila dia dipercaya dia khianat. (HR. Bukhari)

Setidaknya ada 3 (tiga) ayat Al-Qur’an yang memotivasi adanya kegiatan

notariat syariah, yaitu: 12

1. Surat Al-Baqarah ayat 282:

ت إ آ

أ

ع ت ك

ك ف

جأ إ

ح ع

ف ع ك

أ ت ك

ش

إف

10

Departemen Agama, Al-Qur’an Dan Terjemahanya, (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999), h. 147.

11

Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahi’h Al-Bukhariy, (Beirut: D’ar al-Fikr 1981), Juz 20, h. 248.

12

(40)

28

Artinya “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu meng-imla-kan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan jangannlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.” (Al-Baqarah : 282 )

Ayat di atas, berisi anjuran untuk menuliskan setiap transaksi yang

dilakukan tidak secara tunai. Anjuran penulisan ini tentu saja dimaksudkan untuk

dijadikan sebagai alat bukti seandainya pada suatu ketika terjadi perselisihan yang

diakibatkan oleh sifat lupa manusia akan isi perjanjiannya atau karena

kesengajaan salah satu pihak untuk berbuat curang kepada pihak lain.

2. Surat Al-Alaq ayat 1-5

( خ

ك أ

( ع أ خ)

( كأ ك أ إ)

ع )

(

( ع ا ع)

)

Artinya “(1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. (2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. (4) yang mengajar (manusia)dengan perantaran kalam. (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinnya."

Dalam surat ini menerangkan bahwa Dia menciptakan manusia dari benda

yang hina dari sperma menjadi segumpal darah, kemudian memuliakannya

dengan mengajarkan membaca, menulis dan memberi ilmu pengetahuan. Tetapi

(41)

bahwa manusia bertindak melampaui batas melihat dirinya telah merasa serba

cukup. Diantara kesimpulan surat ini, bahwa membaca dan menulis adalah dua

kegiatan yang hanya dilakukan seseorang jika ingin sukses dan berhasil dalam

hidupnya.13

Dalam tafsir ibnu abbas hakikat dari perintah Iqra’ pada ayat pertama ini adalah perintah untuk membaca basmallah dalam memulai melakukan sesuatu

pekerjaan.

3. Surat Al-Qalam ayat 1

(

ط

)

Artinya “Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis”14

Dari beberapa hadist dan ayat di atas terungkap bahwa praktik pemalsuan

sudah terjadi dimasa awal Islam. Namun yang berkaitan dengan praktik

pemalsuan akta otentik secara khusus memang belum ada, karena pada masa itu

kenotariatan belum dikenal. Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh

undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus notaris merupakan

perpanjangan tangan pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus

dapat bersikap professional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta

menjunjung tinggi kode etik notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya

dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab

hukum dan tanggung jawab moral. Permasalaham ini adalah bagaimana

13

Arif, Notariat Syariah Dalam Praktik, jilid ke I hukum keluarga Islam., h.40.

14

(42)

30

pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan

palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan

keterangan palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap

akta otentik yang mengandung keterangan palsu.15

4. Dalil As-Sunnah

dari ubadah ibnu shamid ra, bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda: “sesungguhnya pertama kali yang diciptakan oleh Allah adalah al

-kalam atau pena. Allah memerintahkan kepada pena “tulislah!”. Pena itu bertanya: “Ya Tuhan, apakah yang saya harus tuliskan? Allah menjawab:

“tulislah segala sesuatu yang ada sampai dating hari kiamat.(HR Al-Baihaqi,

Turmuzi, dan Abu Dawud)

dari Annas Ibnu Malik meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: “ikatlah

ilmu itu dengan tulisan. (HR Turmuzi, Ad darimi)

15

(43)

31

A. Pengertian Akta Otentik

Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang

yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan

atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta

itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu

pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.

Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi

para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari

para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim

harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu

sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan

penambahan pembuktian lagi.1

1

Artikel diakses pada 26 September 2013 dari internet di

(44)

32

B. Pemalsuan Akta Otentik

Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat

dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam pasal 264, yang

merumuskan adalah sebagai berikut:2

(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan

tahun, jika dilakukan terhadap:

1. Akta-akta otentik

2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau

bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;

3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu

perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;

4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang

diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan

sebagai pengganti surat-surat itu;

5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan

(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja

memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati

atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika

pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.

2

(45)

Membuat surat palsu dapat berupa hal-hal berikut:3

1. Membuat surat palsu yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau

bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut

pemalsuan intelektual (intelectuale valschelijk).

2. Membuat surat palsu yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain

si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan

pemalsuan materiil (materiele valschelijk). Palsunya surat atau tidak benarnya surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.

Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat palsu, apabila tanda

tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya:

1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya,

seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif (dikarang-karang):

2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya

ataupun tidak.

Sedangkan perbuatan memalsukan (versvalsen) surat adalah perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah

surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi

surat semula.4 Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi

benar ataukah tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila

3

Mariam, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan., h. 31.

4

(46)

34

perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, pemalsuan

surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat

surat.

Sama halnya dengan membuat surat palsu, memalsukan surat dapat terjadi

selain terhadap sebagian atau seluruh isi surat. Misalnya si pembuat dan yang

bertanda tangan dalam surat yang bernama parikun, diubah tanda tangannya

menjadi tanda tangan orang lain yang bernama parinun.

Menurut Soenarto Soerodibroto, dalam hal ini ada suatu arrest HR

(14-4-1913) yang menyatakan bahwa “barang siapa di bawah suatu penulisan

membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan

orang tersebut telah memalsukan tulisan itu”

Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsukan

surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum

perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya

sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu.

Seluruh tulisan dalam tulisan itu dihasilkan membuat surat palsu. Surat yang

demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.5

Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini

dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang

asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli)

5

(47)

dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi

surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu.

Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena

perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli melahirkan hak si penjual

untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak

untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya.6 Begitu juga dengan

surat yang berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada

dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan.

Misalnya suatu kwitansi yang berisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam

hal dan dalam hubungannya dengan misalnya jual beli, hutang piutang dan lain

sebagainya.

C. Bentuk Dan Jenis Pemalsuan Akta Otentik

Pada setiap tindak kejahatan terdapat banyak cara untuk melakukannya.

Termasuk dalam kejahatan pemalsuan dokumen dan tanda tangan, pelakunya

melakukan berbagai cara dalam melaksanakan tindak kejahatannya. Dalam

kriminologi, setiap tindak kejahatan, walaupun memiliki tingkat variasi yang

tinggi, namun akan selalu ada pola dan teknik yang akan muncul jika

kejahatannya terus berulang. Setiap tindakan kejahatan, lambat laun akan

memunculkan pola pengulangan yang bisa dipelajari sebagai pencegahan. Pola

6

(48)

36

dan teknik kejahatan yang selalu muncul berulang-ulang, juga umum dikenal

sebagai modus operandi.7

Dalam tindak kejahatan pemalsuan dokumen, ada berbagai macam modus

pemalsuan, tergantung dari jenis dokumen dan juga tujuan si pelaku. Namun

umumnya dalam jenis apapun modus pemalsuan dokumen, pelakunya sudah

merencanakan dulu tindak kejahatannya. Dengan kata lain, pemalsuan dokumen

bukanlah kejahatan insidentil seperti street crimes. Pemalsuan dokumen adalah

kejahatan terencana. Secara niat dan perbuatan, pelakunya sudah merencanakan

terlebih dahulu skema tindak kejahatannya.8

Kebenaran pada suatu atau akta otentik sendiri terdiri atas 4 macam,

yaitu:9

1. Surat atau akta yang menimbulkan suatu hak

2. Surat atau akta yang menerbitkan suatu perikatan

3. Surat atau akta yang menimbulkan pembebasan utang

4. Surat atau akta yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu.

Dalam hal surat atau akta ini perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam

surat tersebut adalah perbuatan membuat surat palsu (valschelijk opmakeen) atau tindakan perbuatan memalsu (vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah suatu perbuatan atau tindakan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak

7

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 84.

8

Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, h. 92.

9

(49)

ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan

dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu.10

Sementara perbuatan memalsu adalah segala wujud perbuatan apapun

yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus,

mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat

semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.11 Dua unsur perbuatan dan 4

unsur objek surat atau akta tersebut merupakan sesuatu yang bersifat alternative,

dimana dalam mendalilkannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada pasal

263 KUHP harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek

suratnya. Dimana, dalam proses pembuktiannya melalui dan dengan

menggunakan hukum pembuktian sebagaimana telah diatur pada pasal 183 jo 184

KUHAP. Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan

cara apapun mengenai suatu surat atau akta misalnya akta kelahiran, sehingga

menghasilkan sebuah akta kelahiran.

Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara

lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat

(misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dan sebagainya), dan siapa yang

melakukan wujud tersebut, berikut kapan waktunya (tempusnya) dan dimana

lokasi atau terjadinya peristiwa tersebut (lokusnya).12 Dalam hal ini, semuanya

10

Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek, h. 29.

11

Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek, h. 38.

12

(50)

38

harus jelas, artinya dapat dibuktikan tanpa keraguan sama sekali. Tidak cukup

adanya fakta kedapatan peada seseorang, atau digunakan sebagai bukti oleh

seseorang mengenai akta tersebut.

Dalam hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada

anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi syarat

minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian

hukum dan keadilan bagi setiap orang di negara ini, dan untuk menghindari

kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis pada

suatu perkara yang ditanganinnya.13 Pada pasal 183 KUHAP tentang syarat

minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk

menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang juga harus dilandasi syarat

objektif. Harus ada suatu keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal

dua alat bukti yang sah. Dasar keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar

(objektif) minimal 2 alat bukti yang sah tersebut adalah hakim yakin tindak

pidana telah terjadi, hakim yakin terdakwa tersebut yang telah melakukannya dan

hakim yakin terdakwa telah bersalah dalam melakukan tindak pidana tanpa

adanya hal-hal yang bisa memaafkan atau menghapuskan pidana.

Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar

fakta bahwa, misalnya sebuah akta kelahiran yang diduga palsu kedapatan pada

seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya kepada orang lain

untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Fakta yang seperti ini hanya sekedar

13

(51)

dapat dipakai sebagai bahan untuk membuat alat bukti petunjuk saja dan tidak

membuktikan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur pada pasal 263

KUHP. Terlebih lagi, untuk terbitnya sebuah akta kelahiran selalu melalui

prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja.14

Ada 2 syarat adanya surat asli dan tidak dipalsu dalam pasal 263 (1) atau

(2), ialah:15

1. Perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan

2. Surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain. Arti dapat merugikan

menurut ayat (1) maupun ayat (2) pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan

yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal.

Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut

ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum

digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat

(2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut ayat (2) harus jelas dan

pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan di

derita oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita

kerugian, ialah: (1) pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu

tersebut, atau (2) pihak/orang siapa surat itu pada kenyataannya digunakan.16

Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari

14

Widjaya, Merancang Suatu Kontrak.,h. 51.

15

Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, h.52.

16

(52)

40

penggunaannya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu

tidak mungkin terjadi.

D. Tugas, Wewenang, Dan Kewajiban Notaris

Pasal 1 P.J.N tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas dan

pekerjaan notaris. Dikatakan demikian, oleh karena selain untuk membuat

akta-akta otentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan

mensyahkan surat-surat/akta-akta yang dibuat dibawah tangan. Notaris juga

memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada

pihak-pihak yang bersangkutan. Juga sebagaimana telah dikemukakan diatas,

menurut kenyataannya tugas notaris bersamaan dengan perkembangan waktu

telah pula berkembang sebagaimana itu sekarang ini. Tegasnya notaris

sebagaimana menurut undang-undang dan notaris menurut yang sebenarnya dan

tugas yang harus dijalankannya, yang diletakan kepadanya oleh undang-undang,

sangat berbeda sekali dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh masyarakat

didalam praktek, sehingga sulit untuk memberikan definisi yang lengkap

mengenai tugas dan pekerjaan notaris.17

a. Wewenang Notaris Bersifat Umum

Pertama sekali didalam pasal 1 PJN ditentukan, bahwa notaris berwenang

untuk membuat akta mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang

diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

17

(53)

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Dari bunyi pasal tersebut,

bahwa wewenang notaris adalah “regel” (bersifat umum), sedangkan wewenang dari pejabat lain adalah “pengecualian”. Wewenang dari pejabat lainnya itu untuk

membuat akta sedemikian hanya ada, apabila oleh undang-undang dinyatakan

secara tegas, bahwa selain dari notaris, mereka juga turut berwenang membuatnya

atau untuk pembuatan suatu akta tertentu mereka oleh undang-undang dinyatakan

sebagai satu-satunya yang berwenang untuk itu.18

Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan

notaris, yaitu membuat akta secara umum, hal ini disebut sebagai kewenangan

umum notaris, dengan batasan sepanjang:

1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketatapan yang diharuskan oleh

aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.

3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa

akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

Menurut pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang notaris adalah membuat akta,

bukan membuat surat, seperti surat kuasa membebankan hak tanggungan

(SKMHT) atau membuat surat lain, seperti surat keterangan waris (SKW). Ada

beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi

wewenang pejabat atau instansi lain,yaitu:

18

(54)

42

1. Akta pengakuan anak di luar kawin (pasal 281 BW)

2. Akta berita acara kelalaian pejabat penyimpan hipotik (pasal 1227 BW)

3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyansi (pasal

1405 dan 1406 BW).

4. Akta protes wesel dan cek (pasal 143 dan 218)

5. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) – (pasal 15 ayat (1)

undang-undang nomor 4 tahun 1996).

Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut

dalam pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2

(dua) kesimpulan, yaitu:

1. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak

ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.

2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang

sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti

yang lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta

tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak

benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan

hukum yang berlaku. 19

Kewenangan notaris, menurut pasal 15 UUJN adalah membuat akta

otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh

19

(55)

peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh

undang-undang. Notaris memiliki wewenang pula untuk:

1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah

tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

7. Membuat akta risalah lelang.

Melalui pengertian notaris tersebut terlihat bahwa wewenang notaris

adalah membuat akta otentik.20

b. Kewajiban Notaris

20

(56)

44

Kewajiban menurut Kamus Be

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim didalam memutus bebas dan bersalah terhadap tindakan pidana pemalsuan akta otentik yang

Tindak Pidana Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris Perspektif

Judul Tesis PERTANGGUNGJA WABAN PIDANA BAGI NOTARIS SEBAGAI PEJABA T UMUM YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PEMBUATAN AKTA OTENTIK.. Disetujui Oleh

Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana tanggung jawab notaris terhadap akta yang diterbitkan menimbulkan perkara pidana, bagaimana akibat hukum terhadap akta yang

S351308003, SANKSI PIDANA TERHADAP NOTARIS YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA TURUT SERTA MENYURUH MENEMPATKAN KETERANGAN PALSU KEDALAM AKTA OTENTIK (Analisis Putusan

Pada kasus pemalsuan akta autentik yang dilakukan oleh Notaris Irma Savitry Harahap, hakim memutuskan perbuatan yang dilakukan notaris tersebut telah melanggar Pasal

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan hakim didalam memutus bebas dan bersalah terhadap tindakan pidana pemalsuan akta otentik yang

Penerapan hukum pidana Pasal 266 ayat (1) terhadap tindak pidana materiil pada putusan No. K/PID/2016 tentang memberi keterangan palsu ke dalam akta otentik sudah tepat,