• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PUTUSAN HAKIM

TERHADAP TINDAK PIDANA PEMALSUAN AKTA OTENTIK

YANG DILAKUKAN OLEH NOTARIS

Budi Utomo

Mahasiswa Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UNS Email: caecauutomo@yahoo.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang dipakai oleh judex factie dalam menjatuhkan pidana dan mengkaji apakah putusan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (doctrinal). Dilihat dari bentuknya, maka penelitian ini termasuk kedalam bentuk penelitian

deskriptif . Analisis berdasarkan logika deduksi. Pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan kasus (case approach)

Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan pembahasan yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa dasar hukum yang dipakai sebagai pertimbangan dalam memberikan putusan pidana menunjukkan bahwa aparatur penegak hukum pada umumnya kurang paham terhadap tugas, fungsi dan jabatan Notaris dalam sistem hukum nasional secara umum. Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris hanya dapat dilakukan sepanjang batasan batasan rumusan pelanggaran yang diatur dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, juga harus memenuhi rumusan unsur-unsur tindak pidana dalam KUHP. Putusan Makamah Agung Nomor 1860 K/PID/2010 tertanggal 7 Pebruari 2011 sudah tepat dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan memberikan kepastian dan perlindngan hukum bagi Jabatan Notaris. Hal ini ditunjukkan bahwa seorang Notaris hanya mencantumkan dalam akta keterangan yang diberikan kepadanya oleh penghadap, dan ia tidak mengetahui bahwa kalau ada keterangan yang diminta dimasukkan dalam akta yang dibuatnya itu adalah keterangan yang tidak benar. Di samping itu Notaris tidak memiliki tujuan tertentu terhadap pembuatan akta palsu / pemalsuan akta dan tidak menginginkan terjadinya akibat yang merugikan para pihak atau salah satu pihak tertentu.

Oleh karena itu dengan mengingat sanksi pidana merupakan ultimum remedium, yaitu obat terakhir untuk suatu tindak pidana, maka penggunaannya harus dibatasi dengan pemeriksaan terhadap pelanggaran yang dilakukan Notaris harus secara holistik integral dengan melihat aspek lahiriah, formal dan meteriil akta Notaris dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris sesuai wewenang Notaris, di samping itu berpijak pada aturan hukum yang mengatur tindakan pelanggaran yang dilakukan Notaris.

Kata Kunci: tindak pidana, akta otentik , notaris .

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara hukum oleh karena sebagai negara yang menganut prinsip negara hukum, maka negara menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan

bagi kehidupan masyarakatnya. Kepastian hukum merupakan perlindungan yang sah menurut hukum terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan

(2)

adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Pada dasarnya manusia senantiasa menginginkan ketertiban dan keteraturan, itulah sebabnya dikehendaki adanya peraturan-peraturan hukum yang dapat dijadikan patokan/pedoman dalam kehidupan bersama sehingga masing-masing anggota masyarakat akan tahu hak dan kewajibannya, tahu mana yang patut dilakukan serta tahu perbuatan-perbuatan mana yang harus ditinggalkan dengan demikian, diharapkan akan tercipta ketertiban dan keteraturan itu.Secara garis besar adanya ketertiban itu dipenuhi oleh adanya peraturan tata tertib, ketentuan-ketentuan yang bersangkutan dengan tata tertib ini dalam kaidah atau norma yang tertuang posisinya di dalam masyarakat sebagai norma hukum.

Hal ini tentunya menuntut antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti tertulis yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Alat bukti tertulis merupakan salah satu sarana yang dibutuhkan oleh semua orang dalam mengisi kehidupannya terutama pada sistem perekonomian yang memasuki era globalisasi. Kesadaran akan kebutuhan alat bukti tertulis inilah yang memunculkan suatu pemikiran untuk membuat suatu alat bukti tertulis berupa akta otentik yang dapat melindungi hak-hak seseorang dalam berinteraksi dengan yang lainnya. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjudnya ditulis KUHPerdata) adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Akta otentik didalam pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyebutkan bahwa akta otentik adalah

suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang telah ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuatnya. Dapat disebut sebagai akta otentik menurut Pasal 1868 tersebut apabila dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang. Ditentukan oleh undang-undang berarti bahwa format susunan akta dengan segala kelengkapan formal maupun materiil dari akta tersebut sudah diatur dalam undang-undang khusus. Selain dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan dalam undang-undang, akta otentik juga harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik tersebut. Keberadaan Akta otentik sebagai alat bukti tertulis,mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat, dalam berbagai kegiatan ekonomi, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan pula dapat menghindari terjadinya sengketa. Kesadaran masyarakat mengenai pentingnya aspek hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara sudah semakin maju dan membaik dari hari ke hari, dimana dalam hubungan hukum tersebut masyarakat sudah menyadari betapa pentingnya suatu alat bukti yang dibuat secara tertulis dan mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan terpenuh berupa akta otentik.( Maria SW.Sumardjono; 2001, 14)

Akta otentik yang dibuat oleh Notaris pada hakekatnya sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris, sehingga Notaris berkewajiban untuk

(3)

memasukkan mengenai apa saja yang dikehendaki para pihak dan selanjutnya menuangkan pernyataan atau keterangan para pihak kedalam akta Notaris.Akta yang dibuat Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat dan disaksikan oleh pembuat akta ( notaris) sebagai pejabat umum (GHS Lumban Tobing,1999; 51) Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya seorang Notaris dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi disamping mempunyai pengetahuan dan ketrampilan sehingga mampu untuk merancang dan membuat berbagai akta otentik . Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris menyebutkan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Menurut pasal tersebut cukup jelas bahwa tugas seorang notaris adalah membuat akta otentik, dimana akta otentik tersebut merupakan salah satu produk hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 nomor 117 (selanjutnya ditulis Undang-Undang Jabatan Notaris / UUJN ) menyebutkan , Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, dalam arti kewenangan yang ada pada Notaris tidak pernah diberikan kepada pejabat lainnya, selama dan sepanjang kewenangan tersebut tidak menjadi kewenangan pejabat-pejabat lain dalam membuat akta otentik dan kewenangan lainnya, maka kewenangan tersebut menjadi kewenangan Notaris. Didalam rumusan pasal 15 UUJN tersebut tegas dijelaskan bahwa dalam menjalankan kewajibannya notaris

bertindak secara mandiri yang artinya notaris tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan lain yang berkaitan dengan salah satu pihak, dan dilarang pula untuk berpihak kepada salah satu penghadap. Aspek kepastian menjadi satu hal yang pokok yang harus diperhatikan oleh seorang notaris dalam menjalankan jabatannya. Akta otentik yang dibuat oleh notaris tersebut benar-benar harus mencerminkan kehendak-kehendak para pihak, karena apabila sudah sah ditandatangani oleh para pihak maka akta tersebut akan berlaku sebagai undang-undang yang akan mengikat atau dipatuhi oleh para pihak yang terlibat dalam akta tersebut. Akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris diharapkan mampu memberikan jaminan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum, oleh karena itu dalam melaksanakan pekerjaannya tersebut dibatasi dan diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris agar tidak melakukan pelanggaran-pelangaran yang dapat merugikan klien ataupun dirinya sendiri. Namun sebagai seorang manusia maka dalam menjalankan profesinya tersebut , Notaris tidak dapat dilepaskan dari kemungkinan melakukan perbuatan – perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku atau melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum yang diartikan sebagai kesalahan perdata yang dilakukan oleh seseorang yang mengakibatkan kerugian pada orang lain dengan melanggar hak dan kewajiban yang ditentukan oleh hukum yang dapat dimintakan ganti rugi terhadap kerugian yang diakibatkannya. (Munir Fuadi 2005:33-37)

dan formil sebuah akta yang dibuat Notaris merupakan pedoman yang harus dilakukan oleh Notaris dalam pembuatan dan penerbitan sebuah akta. Batasan-batasan tersebut dapat dijadikan acuan untuk memberikan sanksi perdata atau administratif kepada Notaris yang melakukan pelanggaran prosedur yang

(4)

telah diatur dalam UUJN. Namun ternyata batasan-batasan yang ditentukan dalam UUJN sering kali ditarik dan diselesaikan secara pidana atau dijadikan dasar untuk memi-danakan Notaris dengan dasar Notaris telah membuat surat palsu atau memalsukan surat / akta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP yaitu melakukan pemal-suan surat Pasal 264 ayat (1) angka 1 KUHP , yaitu pemalsuan tersebut dilakukan dalam akta akta otentik atau Pasal 266 ayat (1) KUHP yaitu nencantumkan suatu keterangan palsu di dalam suatu akta otentik. Hal tersebut terjadi pada pertimbangan hukum yang dipakai oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 141/Pid.B/2009/PN Ska dan Putusan Peng-adilan Tinggi Semarang Nomor 167/Pid/2010/ PT Smg dalam menjatuhkan pidana terhadap Notaris. Dalam kasus ini yang menarik untuk dikaji adalah adanya perbedaan penafsiran yang menjadi pertimbangan hukum antara Judex Factie (Pengadilan Negeri/Pengadil-an Tinggi) dengNegeri/Pengadil-an Judex Yuris (Mahkamah Agung Nomor 1860 K/PID/2010 ) .

B. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini dipakai konsep hukum yang ke-3 yaitu Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim in concreto dan tersistematis sebagai Judge Made Law (Soetandyo , dalam Setiono 2005: 20 ) Dilihat dari bentuknya, maka penelitian ini termasuk kedalam bentuk penelitian deskriptif . Analisis berdasarkan logika deduksi. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan Kasus (Case Apprroach). Dalam penelitian yang dititik beratkan pada studi kepustakaan maka bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah Jenis data Sekunder, yang terdiri dari : Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan Bahan Hukum Tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian hukum

ini adalah inventarisasi data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum yang ada.

C. Hasil Penelitian & Pembahasan

1. Hasil Penelitian

A l a s a n y a n g d i p a k a i d a l a m pertimbangan hukum PN dan PT antara lain Terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum melakukan tindak pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam dakwaan primair Pasal 264 ayat (1) ke 1 KUHP yaitu memalsukan akta otentik dengan cara memasukkan keterangan palsu atau keterangan yang tidak benar dalam akta nomor 2 dengan mencantumkan kalimat telah mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib. Padahal akta nomor 2 tanggal 6 Januari 2006 tersebut belum mendapatkan pengesahan dari pihak berwajib (Menteri Hukum dan HAM). Perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan ada kerugian bagi pihak ketiga (Agus Sutanto) , karena akta nomor 3 tanggal 6 Januari 2006 yang dibuat berdasarkan akta nomor 2 tersebut dipergunakan oleh pihak lain (Anne Patricia Sutanto) untuk merubah specimen tanda tangan di Bank BII cabang Solo dan Bank Mandiri Jakarta.

Alasan dalam putusan Mahkamah Agung , Terdakwa selaku Notaris membuat akta tersebut berdasar keterangan dan pernyataan para penghadap (Anne Patricia Sutanto) baik secara lisan maupun tulisan yang merupakan berita acara rapat . Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris , disebutkan akta yang dibuat notaris adalah berdasarkan kemauan para penghadap , sehingga dalam pembuatan akta tersebut seorang Notaris sama sekali tidak mempunyai kepentingan apapun terhadap

(5)

isi dari akta yang dibuatnya . oleh karena itu semua isi dan materi dari akta tersebut adalah menjadi tanggung jawab daripada penghadap. Dalam pembuatan dan pemuatan dalam akta nomor 03 tanggal 6 Januari 2006 tersebut Terdakwa sebagai Notaris hanya mencantumkan bahwa Akta Pendirian yang Anggaran Dasar PT Indo Venner Utama yang telah mendapatkan pengesahan dari pihak yang berwajib , jadi bukan mengenai akta nomor 2 atau nomor 3 sebagaimana dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum .Telah terjadi salah penafsiran tentang pengesahan akta nomor 2 yang pengesahannya pada tanggal 16 Maret 2006 , sedangkan yang dimaksud dalam akta nomor 3 adalah tentang Akta Pendirian yang merupakan Anggaran Dasar PT Indo Venner Utama. Oleh karenanya Terdakwa tidak terdapat unsur-unsur kesalahannya (Geen Straff Zonder Schuld ) untuk itu harus dibebaskan. 2. Pembahasan

Dasar hukum yang dipakai sebagai pertimbangan dalam memberikan putusan pidana kepada Terdakwa ( Tjondro Santoso SH ) oleh Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 141/Pid.B/2009 /PN Ska tanggal 12 Mei 2009 , yang diambil alih dan dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang Nomor 167/Pid/2010/PT SMG tanggal 8 Juni 2009 tersebut kurang tepat dan tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat yang didakwakan kepada terdakwa dengan alasan akta otentik yang dibuat oleh terdakwa hanya memuat isi / substansi keterangan dan pernyataan baik lesan maupun tertulis dari para penghadap, maka unsur memalsukan surat dengan cara merubah, menambah atau mengurangi surat / akta otentik tersebut tidak terpenuhi. Mengenai unsur adanya maksud agar supaya surat / akta

itu dipergunakan oleh orang lain pada diri terdakwa tidak terpenuhi , karena terdakwa sebagai Notaris hanya berwenang untuk membuat surat / akta yang didasarkan pada keterangan baik lesan maupun tertulis dari pihak penghadap . sehingga untuk keperluan tersebut tidak ada maksud adanya kepentingan dari terdakwa / notaris dalam pembuatan akta tersebut .Dari uraian tersebut maka jelaslah bahwa putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 141/Pid.B/2009 /PN Ska tanggal 12 Mei 2009 , yang diambil alih dan dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Tengah di Semarang Nomor 167/Pid/2010/PT SMG tanggal 8 Juni 2009 adalah suatu kekeliruan / kesalahan dalam penerapan hukumnya.

Dasar hukum yang dipakai oleh Mahkamah Agung dalam memutus bebas Terdakwa ( Notaris Tjondro Santoso SH) antara lain dapat disimpulkan sebagai berikut : akta yang dibuat oleh Notaris adalah berdasarkan ke mauan para penghadap, sehingga dalam pembuatan akta tersebut Notaris sama sekali tidak mempunyai kepentingan apapun terhadap isi dari akta yang dibuatnya , sehingga semua isi akta adalah tanggung jawab dari para penghadap. Akta Nomor 03 tanggal 06 Januari 2006 yang dibuat oleh Notaris , isinya hanya menyalin/ mengcopy paste isi Berita Acara RUPS, sehingga isi Akta Nomor 03 tanggal 6 Januari 2006 adalah memuat kemauan penghadap, maka kebenaran isi akta tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab penghadap. Akta yang dibuat Notaris tersebut adalah Akta Pernyataan Keputusan Rapat (Akta PKR) merupakan “ akta partij “, yang isinya merupakan kehendak atau keterangan para penghadap. Penghadap (Anne Patricia Sutanto) sebagai pemegang kuasa untuk menghadap kepada Notaris dari keputusan RUPS, yang termuat dalam Berita Acara

(6)

Rapat dari RUPS Luar Biasa PT Indo Venner Utama tanggal 6 Januari 2006 yang dibuat dan ditandatangai oleh saksi fakta Anne Patricia Sutanto dan Lisa Sutanto sebagai pihak yang hadir dalam rapat. Tidak terbukti adanya rekayasa Notaris untuk membantu atau turut serta untuk melakukan kecurangan dengan memalsukan akta otentik bersama-sama dengan penghadap Apalagi si penghadap (Anne Patricia Sutanto) telah diadili secara terpisah dalam perkara pidana No 343/PID.B/12007 PN SKA dengan dakwaan delik penyertaan antara Terdakwa bersama-sama Notaris Tjondro Santoso SH , dan diputus bebas yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap ( in kracht gewisjde van recht). Oleh karena itu turut serta melakukan atau pembantuan suatu tindak pidana harus ada lebih dari satu orang (yg membuat dan yang turut serta/ membantu) memiliki interdependensi sehingga tidak dimungkinkan antara keduanya terdapat perbedaan perlakukan apabila perbuatannya tidak terbukti.

D. Simpulan

Dari putusan Judex Factie dan putusan Judex Yuris tersebut dapat disimpulkan bahwa Notaris sebagai pejabat umum selain berwenang membuat akta otentik juga dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta otentik yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau dilakukan secara melawan hukum, dan pertanggungjawaban tersebut merupakan suatu sikap atau tindakan untuk menanggung segala akibat dari perbuatannya yang dilakukannya itu. Adapun pertanggungjawaban tersebut ditentukan oleh sifat pelanggaran dan akibat hukum yang ditimbulkan baik secara perdata, pidana maupun administrasi . Oleh karena itu dalam menentukan adanya pertanggungjawaban suatu perbuatan melawan hukum seorang

Notaris harus dipenuhinya syarat-syarat antara lain sebagai berikut : yaitu (1) adanya perbuatan Notaris yang dapat dihukum dan memenuhi unsur-unsur yang dirumuskan dalam undang-undang ; (2) perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum / melawan hukum ; (3) adanya kesalahan , baik berupa kesengajaan

(dolus) dan kelalaian (culpa) .Sanksi pidana terhadap Notaris harus dilihat dalam rangka menjalankan tugas jabatan Notaris , artinya dalam pembuatan atau prosedur pembuatan akta harus berdasarkan kepada aturan hukum yang berlaku yang dalam hal ini Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN), sehingga apabila semua tata cara pembuatan akta sudah ditempuh maka suatu hal yang tidak mungkin secara sengaja Notaris melakukan suatu tindak pidana yang berkaitan dengan akta tersebut. Pengertian sengaja (dolus) yang dilakukan Notaris, merupakan suatu tindakan segala akibat hukumnya. Ketentuan pemberian sanksi pidana terhadap Notaris tunduk terhadap ketentuan pidana umum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana / KUHP, karena Undang-Undang Jabatan Notaris tidak mengatur mengenai tindak pidana khusus untuk Notaris. Batasan yang dijadikan dasar untuk memidanakan Notaris merupakan aspek formal dari akta Notaris dan seharusnya digunakan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) . Hal ini disebabkan ruang lingkup jabatan Notaris yaitu membuat alat bukti yang diinginkan oleh para pihak untuk suatu tindakan hukum tertentu berdasarkan permintaan dari para pihak. Notaris membuat akta yang dimaksud berdasarkan alat bukti atau keterangan atau pernyataan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan atau diperlihatkan dihadapan Notaris, selanjutnya dengan berpijak pada aturan hukum atau tata cara atau prosedur pembuatan akta dan aturan hukum yang berkaitan kemudian Notaris membingkainya secara lahiriah, formil dan meteriil dalam bentuk akta Notaris. Peran

(7)

Notaris juga memberikan nasihat hukum yang sesuai dengan permasalahan yang ada , dan apapun nasihat hukum yang diberikan kepada para pihak dan kemudian dituangkan kedalam akta yang bersangkutan tetap sebagai keinginan atau keterangan para pihak yang bersangkutan, tidak dan bukan sebagai keterangan atau pernyataan Notaris.

Notaris hanya sekedar mengkonstatir saja apa yang diinginkan atau dikehendaki oleh penhadap yang bersangkutan, dengan cara mencatat, kemudian menyusunnya agar sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Apabila sudah sesuai dengan kehendak penghadap, maka penghadap diminta untuk membubuhkan tandatangannya serta menulis nama terangnya. Sehingga jikadikemudian hari ternyata terbukti bahwa yang menghadap Notaris tersebut bukan orang yang sebenarnya atau orang yang mengaku asli tetapi orang yang sebenarnya tidak pernah menghadap notaris , maka pertanggungjawaban pidana tidak dapat dibebankan kepada Notaris karena unsur unsur kesalahannya tidak ada. Oleh karena itu memidanakan Notaris berdasarkan aspek-aspek tersebut tanpa melakukan penelitian atau pembuktian yang mendalam dengan mencari unsur-unsur kesalahan atau kesengajaan dari Notaris merupakan suatu tindakan tanpa dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Meskipun aspek-aspek formal akta Notaris dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan Notaris , jika sepanjang aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (kesadaran dan keinsyafan dan direncanakan) bahwa akta yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris untuk dijadikan suatu alat melakukan tindak pidana. Disamping itu , Notaris secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum.

Pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika : (1) Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan , bahwa akta dibuat di hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama / sepakat untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana ; (2) Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN dan (3)Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris. ( Habib Ajie , 2013 ; 124)

E. Saran

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat saja dilakukan namun disamping harus memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris juga memenuhi rumusan tang tercantum dalam KUHPidana. Pelanggaran oleh Notaris harus diukur berdasarkan UUJN artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar ketentuan pasal yang diatur UUJN karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan perbuatan tindak pidana. Hal ini diperlukan karena jika pemindanaan terhadap Notaris hanya berdasarkan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris sebagai hasil / produk dari pelaksanaan tugas jabatan atau kewenangan Notaris, tanpa memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tatacara pembuatan akta dan hanya berdasarkan KUHP semata, maka dikhawatirkan terjadinya kesalahpahaman atau penafsiran terhadap tugas, fungsi, wewenang dan kedudukan Notaris dan akta Notaris sebagai alat bukti dalam Hukum Perdata.

(8)

Oleh karena itu pemeriksaan adanya dugaan perbuatan pidana oleh Notaris harus dilakukan pemeriksaan yang holistik integral dengan melihat aspek lahiriah, formal , material akta Notaris dikaitkan dengan tugas, wewenang, jabatan Notaris . Hal ini dapat dipahami karena keterangan atau pernyataan dan keinginan para pihak yang diutarakan di hadapan Notaris merupakan materi yang dituangkan dalam akta yang dibuat Notaris. Apabila selama ini karena hal-hal tersebut tidak dipahami dan telah menempatkan Notaris dalam posisi sebagai terpidana , dan menunjukkan aparat penegak hukum kurangpaham terhadap dunia Notaris.

Daftar Pustaka

G.H.S. Lumban Tobing, 2008 , Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga, Cet.4 Jakarta.

Habib Ajie , 2013, Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Jabatan Publik,

Aditama.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana)

Maria S.W. Sumardjono, 2011, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Cetakan Kelima, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Munir Fuady , 2005, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Cet.2 , Citra Adytia , Bandung .

Setiono, 2005, Pemahaman Terhadap Metodologi Penelitian Hukum, Program Pascasarjana UNS, Surakarta.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor

141/Pid.B/2009/PN Ska

Putusan Pengadilan Tinggi Semarang Nomor 167/Pid/2010/PT Smg

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1860 K/ PID/2010

Referensi

Dokumen terkait

Dengan memahami petunjuk, siswa dapat menjelaskan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah tentang menjaga kebersihan di lingkungan rumah dengan tepat.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan stategi pemasaran yang tepat kepada Bali Easy Holiday dalam

SKRIPSI KEDUDUKAN UNIT USAHA SYARIAH DALAM DUAL SYSTEM BANK ...... ADLN PERPUSTAKAAN

Penambahan serat sabut kelapa pada adukan beton memungkinkan akan terbentuknya ikatan atau jaring-jaring pada permukaan beton dan bila beton menjadi kering maka

Hasil : Hasil analisis dari 5 pasien dengan faktor risiko sedang untuk mengalami PONV (score 3 pada skala Apfel) yang mendapatkan tindakan pengelolaan mencegah

Menurut Ohoiwunut (1997) yang harus diperhatikan: (1) kapan orang bericara, dalam komunikasi lintas budaya perlu diperhatikan kebiasaan (habit) budaya yang mengajarkan kepatutan

Rasio profitabilitas (Sudana,2011) merupakan rasio yang mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dengan menggunakan sumber- sumber yang dimiliki perusahaan,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis urgensi dan implementasi keterbukaan informasi publik dalam pengelolaan keuangan Desa di Desa