• Tidak ada hasil yang ditemukan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kitab suci Alquran sebagai pedoman hidup umat manusia yang

haqiqi senantiasa memberikan kontribusi monumental dalam setiap lini

kehidupan, selain itu juga Alquran tidak menjadikan dirinya sebagai

pengganti usaha manusia, akan tetapi sebagai pendorong dan pemandu demi

berperannya manusia secara positif dalam berbagai bidang kehidupan.

Alquran akan mengarahkan manusia menuju jalan kebenaran (lurus), agar

manusia tidak keliru dalam menjalankan aktifitas kehidupannya. Alquran

adalah kitab yang memberikan penjelasan secara komprehensif baik masalah

besar dan kecil termasuk juga bagaimana sebuah sistem dalam bertatanegara

hingga bagaimana berperang yang benar yang sesuai dengan petunjuk

Alquran dan rasul-Nya. Oleh sebab itu, segala upaya pemahaman dan

pengaplikasian Alquran seyogyanya harus dipertimbangkan melalui

berbagai faktor yang sulit dalam sejarah kehidupan manusia. Alquran harus

diracik dan ditafsirkan melalui penelusuran-penelusuran dengan melihat

kondisinya baik dari segi sosiologis, kultural, psikologis, etika, politik, dan

berbagai keilmuan lainnya.

1

Ajaran Alquran meliputi segala bidang aspek

kehidupan manusia dan saling menjaga antara bangsa dan agama.

Kehadiran Islam dengan segala idealitasnya diatas ternyata belum

dapat memberikan pemahaman yang komprehensif bagi sebagian kelompok.

Salah satunya adalah kelompok fundamentalis khususnya fundamentalis

agama.

2

Fundamentalis ini yang kemudian diidentikkan dengan terorisme.

1 Emha Ainun Nadjib, Surat Kepada Kanjeng Nabi (Bandung: Mizan, 1997), 335.

2 Beberapa sarjana menggunakan istilah “Islamisme” sebagai padanan kata Islam radikal/fundamental. Fazlur Rahman menggunakan istilah “revivalisme” sementara Hasan Hanafi menggunakan istilah “Ushuliyyah”. Sementara banyak yang menilai bahwa fenomena akan fundamentalisme Islam sebenarnya adalah gerakan politik, sehingga mereka menyebutnyya sebagai “Islam Politik”. Lihat; Prabowo Adi Hidayat, Argumentasi Makna Jihad dalam Alquran ditinjau dari Perspektif Masyarakat Kosmopolitan, STAIN Jurai Siwo Metro, t.th., 2.

2

Artinya agama Islam diposisikan sebagai terdakwa yang ajaran-ajarannya

membenarkan dan menghalalkan kekerasan sebagai tajuk perjuangan.

Dengan beberapa kasus terorisme yang muncul ke permukaan, Islam

semakin disudutkan sebagai spirit utama lahirnya kekuatan-kekuatan

fundamentalis dan ekstrimis, termasuk pelaku kekerasan atas nama agama

atau jihad atas nama Tuhan.

Banyaknya kasus kekerasan dan terorisme berdampak pada citra

agama, dimana seringkali kasus tersebut dikaitkan dengan Islam. Hal ini

menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejauh mana pemahaman

keislaman itu sendiri pada tiap penganutnya? Islam sebagai agama yang

memiliki penganut mayoritas mempunyai andil besar dalam pembentukan

lingkungan damai dengan pemeluk agama lain. Ajaran Islam yang dianut

oleh mayoritas umat dunia mempunyai implikasi yang kuat terhadap cara

berfikir dan bertindak masyarakat. Karena pada dasarnya Islam memegang

teguh ajaran yang terkandung dalam Alquran sebagai pedoman hidup.

Hasyim Muzadi berpendapat bahwa jika mengikuti asumsi atau

tuduhan diatas, tentu saja jika benar bahwa pelaku terorisme adalah gerakan

fundamentaslisme, hal ini disebabkan karena adanya pemahaman

keagamaan yang eksklusif, skriptualis, dan miskinnya pemahaman realitas

historis dalam menafsirkan pesan esoteris teks-teks kitab suci, sehingga

mewariskan sikap-sikap yang fanatik, dogmatik, dan intoleran dalam

menyikapi realitas perbedaan dan kondisi pluralitas sosial, politik, budaya,

dan ekonomi. Bahkan termasuk dalam menyikapi wilayah juang dalam

mengimplementasikan prinsip amar ma‟rūf nahī mungkar.

3

Pemahaman Alquran secara penuh merupakan konsekuensi logis

dalam menjalankan ritus keagamaan baik dengan sang pencipta-Nya

maupun dengan makhluk lainnya. Alquran adalah teks, sebagai petunjuk

3

Hasyim Muzadi dalam kata pengantar, Drs. Abdul Wahid dkk, Kejahatan Terorisme, Perspektif Agama, HAM dan Hukum (Bandung: Refika Aditama, 2004), v.

3

tentu saja lahir dengan sendirinya membutuhkan berbagai penafsiran.

Mengenai hal itu, objek kajian terhadap teks ini tidak mengacu pada realitas

yang berada diluar teks, melainkan kepada realitas yang digambarkan oleh

teks itu sendiri.

Mengacu pada teks yang multi-tafsir itu, Alquran bukan hanya

sebagai pedoman hidup, namun disatu sisi juga menimbulkan polemik

kebahasaan dan berdampak lebih lanjut pada kekeliruan pemahaman,

contohnya adalah pada kasus ayat-ayat Jihad (dan ayat-ayat qitāl

khususunya), yang menjadi sarana doktrinasi dalam melakukan aksi-aksi

kekerasan maupun terorisme.

4

Kata perang (qitāl) sudah tidak asing lagi bagi masyarakat diseluruh

penjuru dunia. Kata qitāl seringkali diidentikkan dengan kata jihad. Dalam

konteks perkembangan zaman istilah jihad mengalami fluktuasi pemahaman

dikalangan masyarakat, bahkan telah menjadi trend ideologi bagi sebagian

umat Islam tersendiri, dengan artian kadangkala istilah ini menjadi makna

peyorasi yakni penyempitan makna yang berakibat pada hal yang negatif

dan juga makna ameliorasi yakni perluasan makna yang berdampak pada

kenaikan nilai-nilai positif dalam kandungan makna tersebut, sehingga perlu

adanya kontribusi keilmuan lainya untuk memahamkan makna tersebut

sesuai dengan tingkat perkembangan manusia dalam berbagai jenjang.

Disini yang terjadi bukan sekedar permasalahan sosial keagamaan

melainkan munculnya distorsi pemahaman ajaran Islam mengenai jihad

yang termaktub dalam Alquran dan as-sunah. Selain itu juga, bahwa

fenomena jihad yang menyeruak kepermukaan seperti yang disaksikan

dewasa ini, tidak hanya muncul dari pencitraan barat atau eropa melainkan

umat Islam tertentu (radikal) juga mempunyai kontribusi dalam hal ini.

Artinya Islam radikal (fundamentalis) dengan manifestasi gerakan yang

4 Ibnuafan, “Penerjemahan Ayat-ayat Jihad dalam Alquran; Terjemahan Kementerian Agama RI (Analisis Wacana)”, Skripsi (Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2014), 4.

4

diciptakan sebagaimana yang sering dijumpai pada banyak kasus,

meniscayakan sebuah citra Islam yang serat dengan ideologi fundamentalis.

Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan kelompok fundamentalis di Mesir

dengan berbagai variasi gerakannya, mulai dari yang sangat ekstrim hingga

yang lebih moderat.

5

Jihad bukanlah sesuatu yang baru bagi kalangan umat Islam, sebab

pada masa Nabi Muhammad saw fenomena ini sudah menjadi bagian dari

ajaran Islam yang sangat penting. Seruan jihad pun bukan sekedar perintah

Nabi melainkan sebuah perintah yang haq termaktub dalam Alquran. Tentu

saja fenomena jihad pada masa lalu berbeda dengan konsep jihad yang

selazimnya diimplementasikan pada zaman sekarang ini. Pada masa lalu

jihad bukanlah untuk mengalahkan dan menghancurkan musuh melainkan

untuk membela diri (self-defence) dan tidak satupun dimaksudkan untuk

menyerang secara agresif dan memenangkan pertempuran dengan

mengorbankan nyawa seminimal mungkin. Terma jihad yang diusung oleh

Alquran telah mengalami beberapa kamuflase pemahaman oleh sebagian

kalangan umat Islam. Adakalanya pemahaman ini menjadi paham atau

ideologi yang berbaju perang dalam mewujudkan keinginan sebuah

kemenangan dari suatu kelompok tertentu, hal ini disebabkan adanya

pendangkalan pemahaman dari kalangan internal sebagian umat Islam.

Sedangkan, konsep jihad yang sesungguhnya dalam era modern ini

merupakan sebagai upaya kesungguhan untuk perubahan, perbaikan, dan

peningkatan mutu dalam berbagai lini kehidupan seperti agama, sosial, ilmu

pengetahuan, budaya, pendidikan, dan tata kelola pemerintahan yang baik

dan benar.

6

Sejarah kekerasan dan radikalisme seringkali membawa nama

agama. Hal ini dapat dipahami karena agama memiliki kekuatan yang sangat

5 Muhammad Fakhruddin, “Konsep Jihad Menurut Muhammad Syahrur”, Skripsi (Yogyakarta: UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, 2004), 3.

6

5

dahsyat, yang melebihi kekuatan politik, sosial, dan budaya. Agama bahkan

bisa diangkat sampai pada tingkat supranatural. Atas nama agama, kemudian

radikalisme diabsahkan dalam berbagai tindakan. Mulai dari mengkafirkan

orang-orang yang tak sepaham (takfīr) sampai melakukan pembunuhan

terhadap musuh yang tidak seideologi dengannya.

Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya

gerakan radikal yang mengatasnamakan agama. Salah satunya menurut

Yusuf Qardhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam beragama

adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran

agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama.

7

Karena pada kenyatannya, sebagian Muslim melakukan tindakan kekerasan

seringkali merujuk pada ayat Alquran dan hadis Nabi saw. Yang dijadikan

legitimasi dan dasar tindakannya. Padahal, Islam adalah agama universal

dan moderat (wasaṭiyah) yang mengajarkan nilai-nilai tolereansi (tasāmuh)

yang menjadi salah satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain,

seperti keadilan („adl), kasih sayang (rahmat), dan kebijaksanaan (hikmah).

Sebagai rahmat bagi semesta alam, Alquran mengakui kemajemukan

keyakinan dan keberagamaan. Tetapi sayang aksi dan tindakan kekerasan

masih juga seringkali terjadi. Dan sekali lagi, itu diabsahkan dengan dalil

ayat-ayat Alquran dan hadis Nabi saw.

Beragam makna jihad dikemukakan oleh tokoh-tokoh Islam. Imam

Syafi‟i mendefinisikan makna jihad dengan memerangi kaum kafir untuk

menegakkan Islam. Pengertian jihad inilah yang secara luas dibicarakan

dalam kitab-kitab fikih yang senantiasa dikaitkan dengan pertempuran,

peperangan, dan ekspedisi militer.

8

7

Yusuf Qardhawi, As-Ṣahwah al-Islāmiyyah bayna al-Juhūd wa at-Taṭarruf (Kairo: Dār asy-Syurūq, 2001), 51-57.

8

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 315.

6

Sedangkan Ibn Taimiyah berkata di dalam kitab Mathālib Uli al

-nuha, yaitu jihad yang diperintahkan ada yang digunakan dengan hati

(seperti istiqamah untuk berjihad dan mengajak kepada syariat Islam),

argumentasi (memberi argumentasi kepada yang batil), penjelasan

(penjelasan kebenaran, menghilangkan ketidakjelasan, dan memberikan

pemikiran yang bermanfaat untuk umat Islam), tubuh (seperti berperang).

Jihad wajib dilakukan jika seluruh hal tersebut bisa dilakukan.

9

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, sedikit wajar apabila

sebagian orang memaknai jihad berupa perang fisik, terlebih apabila

mengacu pada pengertian yang dikemukakan oleh Imam Syafi‟i bahwa jihad

adalah memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam. Maka kiranya perlu

untuk mendefinisikan kembali makna jihad dalam konteks sekarang dengan

tetap menjadikan Alquran sebagai acuan dan batasan pengertiannya.

Para ulama terdahulu telah memiliki suatu metodologi sebagai upaya

mendialogkan Alquran dan hadis dalam konteks mereka. Akan tetapi ketika

suatu metode itu dibawa kepada konteks yang berbeda, metode itu bisa jadi

tidak mampu lagi mendialogkan keduanya sebagaimana kebutuhan konteks

yang baru. Bahkan langkah mundur jika problem-problem kontemporer

dewasa ini dipecahkan dengan metode orang-orang dulu yang jelas berbeda

dengan problem saat ini. Hal tersebut sudah tentu, menuntut adanya metode

penafsiran baru yang sesuai dengan perkembangan situasi sosial, budaya,

ilmu pengetahuan dan peradaban manusia.

10

Dan ini menurut Amin

Abdullah merupakan solusi untuk menjembatani kebuntuan dan krisis ilmu

9

Hasan Asy-Syathi, Mathālib Uli al-Nuhā, Jil. 2 (Damaskus: Al-Maktab Al-Islāmi, 1961), 501.

10

Abdul Mustaqim, Metode Penelitian Alquran dan Tafsir (Yogyakarta: Idea Press, 2014), 139.

7

Alquran dan tafsir yang kurang relevan dengan konteks dan semangat zaman

sekarang ini.

11

Salah satu metode penafsiran baru yang penulis ingin sampaikan

dalam tulisan ini adalah sebuah metode yang ditawarkan oleh Fazlur

Rahman, seorang pemikir Islam asal Pakistan yang lahir pada tahun 1919 M.

Awal karirnya dalam mengusung pemikiran-pemikiran yang progresif

adalah ketika Rahman diminta kembali ke Pakistan oleh Ayyub Khan

(Presiden Pakistan, 1958 – 1969) untuk membangun Negeri asalnya

sekaligus untuk merumuskan ideology Islam bagi Negara Pakistan. Pada

tahun 1962, Fazlur Rahman diminta untuk memimpin Lembaga Riset Islam

(Islam Research Institute) dan menjadi anggota Dewan Penasihat Ideologi

Islam (The Advisory Council of Islamic Ideology) pemerintah Pakistan tahun

1964.

12

Lembaga riset Islam yang dikelola Rahman bertugas menafsirkan

Islam dalam terma-terma rasional dan ilmiah untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan suatu masyarakat modern yang progresif, sementara dewan

Penasihat Ideologi Islam yang dibentuk tahun 1962 betugas untuk meninjau

seluruh hukum, baik yang telah ada ataupun yang akan dibuat dengan tujuan

menyelaraskan dengan Alquran dan sunnah, serta mengajukan

rekomendasi-rekomendasi kepada pemerintah pusat dan propinsi tentang cara menjadi

seorang Muslim yang baik.

13

Rahman terlibat secara intens dalam usaha-usaha untuk menafsirkan

kembali Islam guna menjawab tantangan dan kebutuhan masa kini.

14

Fazlur

Rahman berpendapat, bahwa kesenjangan antara Islam yang terdapat dalam

Alquran dan Islam dalam realitas sejarah telah melebur terlalu jauh sehingga

11

Amin Abdullah dalam kata pengantar buku Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran Alquran Periode Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), xii.

12

Fazlur Rahman, Islam, terj. M. Irsyad Rafsadie (Bandung: Penerbit Mizan, 2017), X.

13

Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam (Bandung: Mizan, 1987), 14.

14

8

perlu digabung kembali dan dijalin dengan erat melalui suatu usaha yang

sistematis dan menyeluruh. Dengan orientasi dan visi itu, Rahman mencoba

mengaktualisasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Alquran kedalam

kehidupan konkrit. Pesan-pesan moral Alquran yang tidak mentolerir adanya

pembedaan yang didasarkan pada etnis, warna kulit, dan semacamnya oleh

Fazlur Rahman dikontekstualisasikan kedalam persoalan-persoalan yang

sedang dihadapi Pakistan saat itu.

15

Kehadiran Rahman dalam daftar nama–nama pemikir Islam

membawa sesuatu yang baru terhadap pemikiran Islam, meskipun

sebenarnya pembaharuan dalam Islam telah dilakukan oleh beberapa

pemikir sebelum Islam.

16

Menurut Rahman, Alquran adalah moral yang memancarkan titik

beratnya pada monoteisme dan keadilan sosial. Hukum moral tidak dapat

diubah, Alquran merupakan perintah Tuhan dan manusia tidak dapat

membuat hukum moral. Manusia diharuskan tunduk pada Alquran,

ketundukan itulah yang disebut “Islam”, perwujudan dalam kehidupan

adalah ibadah atau pengabdian kepada Allah. Hal ini disebabkan karena titik

utama Alquran terletak pada moral.

17

Pasca Nabi wafat, para sahabat enggan menafsirkan Alquran,

menurut Rahman hal ini membuka peluang lebar bagi umat Muslim untuk

mengembangkan catatan terhadap pengertian teks yang terang dan memiliki

watak bebas dengan pendapat bebas (tafsir bi al-ra‟yi). Perkembangan

beberapa perangkat ilmu pengetahuan untuk kemajuan ilmu tafsir Alquran

merupakan kebutuhan yang urgensinya harus dilaksanakan. Syarat pertama

yang harus dipenuhi untuk kemajuan ilmu tafsir Alquran adalah

15 Abd. A‟la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2009), 14.

16

Mawardi, Hermeneutika Alquran Fazlur Rahman, Dalam Hermeneutika Alquran dan Hadis, ed. Sahiron Syamsudin (Yogyakarta: Elsaq press, 2010), 65.

17

9

pengetahuan yang menyangkut bukan saja bahasa Arab, melainkan juga

kebiasaan-kebiasaan bangsa Arab pada masa Nabi, yang diperukan untuk

memahami Alquran secara layak. Latar belakang turunnya wahyu Alquran

dianggap Rahman sebagai suatu penunjang yang penting untuk mengerti

firman Tuhan secara benar merupakan syarat kedua yang harus dipenuhi.

Syarat yang ketiga adalah hadis kesejarahan yang memuat laporan-laporan

mengenai cara orang-orang memahami perintah-perintah dan pernyataan

Alquran ketika pertama kali diturunkan, ketika persyaratan-persyaratan itu

terpenuhi, maka proses selanjutnya adalah memainkan peranan bebas

berdasarkan pemikiran manusia.

18

Dengan semangat menggencarkan kembali terbukanya pintu ijtihad,

Rahman kemudian mengajukan rumusan metodologi untuk memahami

Alquran dan hadis pada cakupan luasnya. Yang kemudian dinamai dengan

teori Double Movement (teori gerakan ganda).

Langkah pertama dari gerakan tersebut adalah seorang harus

memahami arti atau makna dari suatu pernyataan tertentu dengan

mempelajari situasi atau problem historis yang selanjutnya akan mengkaji

secara umum mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat,

agama, adat istiadat, pranata-pranata, bahkan tentang kehidupan secara

menyeluruh di Arabia.

19

Dengan kata lain langkah pertama dari gerakan

ganda adalah upaya sungguh-sungguh memahami konteks mikro dan makro

saat Alquran diturunkan, setelah itu mufassir berusaha menangkap makna

asli dari ayat Alquran dalam konteks sosio-historis kenabian, dari hal itulah

maka ditemukan ajaran universal Alquran yang melandasi berbagai perintah

normatif Alquran.

20

18

Fazlur Rahman, Islam ..., 48-49.

19

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago & London: The University of Cicago Press, 1982), 7.

20

10

Langkah kedua dari gerakan ini adalah melakukan generalisasi

jawaban-jawaban spesifik dan menyatakannya sebagai

pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial yang disaring dari

ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes

legis yang sering dinyatakan.

21

Gerakan kedua ini berusaha menemukan

ideal moral setelah adanya kajian sosio-historis kemudian ideal moral

tersebut menemukan eksistensinya dan menjadi sebuah teks yang hidup

dalam pranata umat Islam. Selama proses ini, perhatian harus diberikan

kepada arah ajaran Alquran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti

tentu dipahami serta setiap hukum dan tujuan yang dirumuskan harus

koheren dengan lainnya.

Begitu pula ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad. Dalam hal ini

adalah ayat yang secara khusus membahas mengenai qitāl. Apabila ayat

qitāl hanya dipahami secara tekstual, maka hasil akhir pemahaman tersebut

adalah tidak lain berimbas pada munculnya kekerasan dan terorisme. Salah

satu contoh ayat qitāl adalah terdapat dalam surah At-Taubah ayat 123

berikut ini,

َأَٰٓ ٌَ

َأ ْآََُِٰٞٔ ۡػٱَٝ ٗۚ خَظِِۡؿ ٌٍُِْۡك ْاُٝذِجٍََُۡٝ ِسبَّلٌُُۡٱ َِّٖٓ ٌٌََُُِْٗٞ ٌَِٖزَُّٱ ْاُِِٞز َه ْاَُٞ٘ٓاَء ٌَِٖزَُّٱ بَٜ ٌ

ٍَِٖوَّزُُٔۡٱ َغَٓ َ َّلَّٱ َّٕ

Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir

yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan

daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang

bertakwa.”

Ayat diatas ketika dipahami secara sekilas, mengandung perintah

bahwa seorang Muslim diharuskan memerangi orang kafir ketika bertemu

dengan mereka. Hal tersebut tentu tidak sesuai dengan citra dan hakikat

Islam yang rahmatan lil ālamīn. Maka seharusnya ayat tersebut dipahami

secara utuh dengan melihat konteks pada saat ayat tersebut turun. Karena

pada hakikatnya ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa perang

21

11

Tabuk pada bulan Rajab tahun kesembilan. Maka penting mengetahui sebab

turunnya ayat, atau yang kita sebut asbāb an-nuzūl. Selain itu juga, satu ayat

Alquran kebanyakan tidak berdiri sendiri. Artinya terdapat beberapa atau

banyak ayat lain yang masih terkait dengan satu ayat tersebut. Yang

kemudian kita kenal dengan munāsabah Alquran. Apabila hanya dengan

melihat satu ayat kemudian menghasilkan satu kesimpulan, maka sungguh

itu termasuk pandangan yang sempit dan keliru.

Dengan metode penafsiran yang ditawarkan Fazlur Rahman yaitu

metode „Double Movement‟, penulis berkeyakinan bahwa ayat-ayat qitāl

dapat dipahami lebih elastis dan fleksibel. Karena dalam teorinya tersebut,

Rahman menjadikan Alquran sebagai landasan moral-teologis bagi umat

manusia dalam mengemban amanah Tuhan, dan juga ingin senantiasa

mendialogkan teks Alquran dan hadis yang terbatas degan konteks

perkembagan zaman yang selalu dinamis dan tidak terbatas.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan diatas, maka permasalahan pokok penting

yang sangat mendasar dan yang menjadi fokus kajian utama penelitian ini

adalah bagaimanakah jihad dalam perspektif Alquran, yang akan dipahami

melalui kajian ayat-ayat qitāl?. Untuk mengetahui jawaban yang

komprehensif dan detail maka pokok permasalahan tersebut dapat dirincikan

sebagai berikut:

1. Apa sajakah makna qitāl dan derivasinya dalam Alquran?

2. Bagaimanakah konteks peristiwa pada ayat-ayat qitāl dalam

Alquran?

3. Bagaimanakah penafsiran kontekstual tentang qitāl berdasarkan teori

penafsiran Double Movement Fazlur Rahman?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka tujuan penelitian

ini adalah sebagai berikut:

12

a. Untuk mengetahui makna qitāl dan derivasinya di dalam

Alquran.

b. Untuk mengetahui konteks peristiwa pada ayat-ayat qitāl

dalam Alquran.

c. Untuk mengetahui hasil penafsiran kontekstual

menggunakan teori Double Movement Fazlur Rahman dalam

memahami ayat-ayat qitāl dalam Alquran.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

1)

Untuk menambah khazanah pengetahuan bagi penulis

khususnya dan bagi para pembaca umumnya tentang

Perang dalam perspektif Alquran.

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi

dalam ilmu pengetahuan, khususnya bagi mahasiswa

Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir IAIN Salatiga.

3) Penelitian ini diharapakan bisa menjadi bahan

rujukan bagi peneliti selanjutnya.

4) Sebagai bahan komparatif bagi para peneliti lainnya

untuk melakukan penelitian yang lebih

komperehensif, dan mendetail pada waktu

berikutnya.

b. Secara Praktis

1) Bagi kaum Muslimin menjadi bahan rujukan dan

dalil untuk menjawab permasalahan yang ada.

2) Penelitian ini dapat memberikan informasi bagi

seluruh Muslimin untuk dijadikan sebagai bahan

acuan dalam menghadapi permasalahan yang ada

ditengah tengah masyarakat masa kini.

D. Kajian Pustaka

Ayat-ayat tentang jihad dan perang telah menjadi topik bahasan

tersendri dikalangan mufassir dan pemikir Islam. Sehingga banyak ditemui

13

buku-buku dan tulisan-tulisan yang khusus membahas mengenai tema

tersebut. Diantara beberapa buku dan tulisan yang senada dengan penelitian

yang penulis lakukan adalah sebagai berikut:

Sebuah Tesis karya Saddam Husein Harahap yang berjudul “Perang

dalam Perspektif Alquran (Kajian terhadap Ayat-ayat Qitāl)”. Tesis tersebut

membahas mengenai makna jihad dan qitāl yang terdapat dalam Alquran.

Dengan mencari derivasi makna dari kedua kata kunci tersebut, yaitu jihād

dan qitāl pada akhirnya ditemukan perbedaan signifikan antara keduanya.

Jihad bukan berarti sepenuhnya qitāl. Bahkan kata qitāl pun dalam Alquran

tidak selamanya menunjukkan peperangan dan kekerasan. Maka setelah

diketahui makna dari masing-masing kata tersebut tampaklah bahwa jihad

tidak selalu berkaitan dengan fisik dan kekerasan. Jihad mempunyai

cakupan makna dan interpretasi yang luas. Adapun jihad dalam bentuk fisik

dan perang hanya merupakan sebuah langkah terakhir saja.

Tulisan lain yang membahas mengenai jihad terdapat dalam sebuah

jurnal. Yaitu tulisan karya Ali Trigiyatno yang berjudul “Penyelesaian

Aya-ayat „Damai‟ dan Aya-ayat „Pedang‟ dalam Alquran menurut Syeikh Yusuf Al

-Qardawi dan Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz”. Pembahasan dalam

tulisan ini adalah seputar hubungan ayat-ayat damai dan ayat pedang (saīf).

Dengan berasumsi bahwa ayat-ayat pedang sebenarnya telah di naskh oleh

ayat damai menunjukkan minat penulis untuk membuktkan bahwa

ayat-ayat pedang tidaklah berdiri sendiri, melainkan terdapat ayat-ayat lain yang

Dokumen terkait