• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Dalam dokumen Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM (Halaman 53-56)

PENGEMBANGAN INTUISI SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Pada kegiatan pembelajaran, tentunya siswa diajarkan memecahkan masalah. Dalam mengajarakan bagaimana memecahkan masalah, berbagai guru atau pendidik mempunyai cara yang berbeda-beda. Diantaranya adalah dengan selalu memberikan contoh-contoh bagaimana memecahkan suatu masalah, tanpa memberikan kesempatan banyak pada siswa untuk berusaha menemukan sendiri penyelesaiannya.

Dengan cara demikian siswa menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah. Akibatnya siswa hanya mampu memecahkan masalah bila telah diberikan caranya oleh guru. Dengan kondisi demikian, maka siswa seringkali dihadapkan pada beberapa kesulitan, misalnya siswa tidak tahu apa yang harus diperbuat dengan masalah yang diberikan atau bila telah dapat memulai menjawab, namun mengalami kemacetan di tengah penyelesaian soal tersebut, meskipun sebenarnya telah dimilikinya bekal yang cukup untuk memecahkan masalah tersebut.

Disamping itu kebiasaan penggunaan tes obyektif sebagai evaluasi hasil belajar siswa, menyebabkan siswa tidak terbiasa menyelesaikan soal yang berbentuk uraian. Dampak yang

muncul dari kondisi semacam itu adalah siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah. Karena dalam menyelesaikan masalah dibutuhkan kemampuan untuk analisis, sintesis bahkan evaluasi. Sehingga akan menjadikan siswa lemah dalam memecahkan masalah yang membutuhkan kemampuan kognitif yang tinggi.

Di pihak lain, pada pembelajaran yang ada saat ini masih dijumpai pembelajaran yang dilakukan secara mekanistik, yaitu menekankan untuk mengajarkan dalam menjawab pertanyaan bagaimana, dibanding dengan pertanyaan mengapa. Dalam membelajarkan konsep, guru lebih pada memberikan konsep itu kepada siswanya secara final, dibanding dengan bagaimana guru mendisain pembelajarannya agar siswa berproses untuk memperoleh konsep tersebut. Pembelajaran dengan cara tersebut cenderung dilakukan dengan bahasa formal tanpa mempertimbangkan pengetahuan informal siswa dan cenderung menekankan hasil akhir.

Menurut Bruner (1977), pengajaran yang terlalu dini menggunakan bahasa formal atau yang menekankan hasil akhir, berdampak kurang baik pada hasil belajar. Pengetahuan menjadi tampak sebagai barang asing yang tidak ada hubungannya dengan pengetahuan informal anak. Formalisme dalam pembelajaran tidak memberi kesempatan bagi anak untuk berpikir sendiri mengenai gagasan suatu pengetahuan. Anak menjadi kurang percaya diri akan kemampuannya dalam melakukan proses belajar. Bahkan keadaan yang paling buruk, pembelajaran tersebut tidak memberi tempat untuk berkembangnya ide-ide kreatif anak, yang sebenarnya berkaitan erat dengan cara alamiah anak dalam belajar.

Walaupun proses berpikir analitik dan logika memainkan peranan penting dalam merepresentasikan struktur logika suatu pengetahuan. Akan tetapi, mengejar ketepatan dan formalisme hanyalah hasil akhir dari aktivitas belajar. Proses membangun pengetahuan tanpa disadari menghasilkan pengenalan tentang kepastian atau ketakpastian, verifikasi atau penyangkalan tanpa pembuktian (Kossak, 1966). Karena itu diasumsikan bahwa aktivitas mental seseorang terdiri atas kognisi formal (formal cognition) dan kognisi intuitif (intuitive cognition) dari suatu pengetahuan. Kognisi formal merujuk kepada kognisi yang dikontrol oleh logika dan bersifat analitis (Fischbein, 1994). Kognisi formal menyediakan cara ketat memahami seuatu pengetahuan. Kognisi formal juga perlu bagi siswa untuk maju ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi.Akan tetapi kognisi formal tidak menjelaskan setiap langkah berpikir dalam aktivitas belajar. Pengembangan kemampuan memahami dan menggunakan pengetahuan formal tidak selalu dapat dikembangkan suatu kreativitas yang diperlukan dalam proses belajar, seperti membuat dugaan atau klaim pengetahuan baru. Siswa mungkin sangat yakin akan kemampuan pengetahuan formalnya. Akan tetapi hanya sedikit siswa yang berhasil dengan baik dalam aktivitas menggunakan pengetahuan formal mereka dan mungkin sekali menjadi kurang kreatif dalam memecahkan masalah. Karena itu diduga bahwa ada aktivitas mental berbeda dari kognisi formal. Hal tersebut disebut kognisi intuitif (intuitive cognition), atau intuisi (intuition).

Keberadaan intuisi dalam kaitannya untuk memecahkan permasalahan dapat dilihat dari sejarah para tokoh-tokoh terkemuka. Jules Henri Poincaré dianggap sebagai salah seorang ilmuwan terbesar dan paling kreatif yang pernah dimiliki Prancis. Selain dikenal sebagai ahli matematika, dia juga terkenal dengan sumbangannya di dunia fisika teoritis dan ahli filsafat ilmu pengetahuan. Sepanjang hidupnya, dia berhasil merumuskan banyak penemuan penting seperti Fuchsian series, meletakkan landasan untuk teori khaos, fraktal, dan prinsip-prinsip dasar teori relativitas. Poincare berhasil memakai intuisinya untuk membantu melakukan penemuan penting. Menurut penuturannya sendiri, dia berusaha selama 15 hari untuk membuktikan sebuah teka-teki matematika yang selama ini belum bisa dipecahkan. Setiap hari dia duduk di meja kerja selama satu atau dua jam, mencoba berbagai kombinasi dan tanpa hasil. Lalu suatu sore, berlawanan dengan kebiasaannya, dia meminum kopi hitam dan tidak bisa tidur. Tiba-tiba, ide datang secara bertubi-tubi. Ide-ide tersebut bertabrakan dan akhirnya menyatu dalam kesatuan, atau menurut istilah Poincare, membuat kombinasi yang stabil. Keesokan harinya dia hanya membutuhkan waktu beberapa jam untuk menuliskan hasilnya. Kristalisasi tahap pertama telah terjadi.

Dia lalu menjelaskan bagaimana kristalisasi tahap kedua terjadi, yang dibantu oleh analogi. Dia meninggalkan Caen, dimana dia tinggal, untuk pergi ke sebuah perjalanan penggalian geologi. Perubahan lingkungan tersebut membuatnya melupakan matematika. Suatu ketika, ketika dia sedang memasuki sebuah bus, dan kakinya berada di tangga bus, sebuah ide datang, tanpa ada pikiran sadar yang mencoba mengarahkannya. Dia tiba-tiba menyadari bahwa transformasi yang digunakan untuk mendefinisikan fungsi baru yang sedang ditelitinya identik dengan transformasi yang dipakai oleh persamaan geometri lain. Dia tidak memverifikasi ide tersebut, namun dia yakin sepenuhnya. Belakangan dia baru melakukan verifikasi di waktu luangnya ketika kembali ke Caen.

Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah tanda kejeniusan Poincare, tetapi dia tidak puas dengan penjelasan sederhana tersebut. Dia berusaha mencari penjelasan yang lebih mendalam. Poincare kemudian membuat hipotesa bahwa proses seleksi tersebut dilakukan oleh apa yang disebutnya sebagai subliminal self. Diri subliminal ini, menurut Poincare, akan mengevaluasi kombinasi yang luar biasa banyaknya yang mungkin menghasilkan solusi atas masalah, tetapi hanya kemungkinan solusi yang menarik yang akan muncul ke kesadaran. Solusi atas masalah matematika diseleksi oleh diri subliminal berdasarkan „keindahan matematisnya‟. (http://www.itpin.com/blog/category/ mind-thinking/intuition/)

Keberadaan intuisi juga dapat diamati dari siswa-siswa pada saat memecahkan permasalahan. Banyak siswa pandai dalam memecahkan permasalahan (misalnya soal matematika) sering menggunakan cara-cara yang “smart”, di luar dugaan dan kebiasaan, sehingga memberikan jawaban yang singkat dan akurat. Sebaliknya pada siswa-siswa yang mempunyai kemampuan sedang atau rendah, cara yang digunakan untuk memecahkan soal,

cenderung memberikan jawaban yang panjang lebar dan terkadang kurang akurat, bahkan banyak siswa yang kesulitan untuk menemukan cara dalam memecahkan masalah. Hal tersebut tentunya ada kaitan antara pengetahuan yang dimiliki dengan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah. Semakin kompleks pengetahuan yang dimiliki, diduga semakin berkembang intuisi yang digunakan dalam memecahkan masalah. Oleh sebab itu diduga intuisi dapat dikembangkan untuk memecahkan masalah.

Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana mengembangkan intuisi siswa yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah?

TEORI TENTANG INTUISI

Dalam dokumen Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM (Halaman 53-56)