• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEORI TENTANG INTUISI Pengertian Intuis

Dalam dokumen Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM (Halaman 56-65)

PENGEMBANGAN INTUISI SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH MATEMATIKA

TEORI TENTANG INTUISI Pengertian Intuis

Menurut Fiscbein (1999), tidak ada definisi intuisi yang diterima secara bersama-sama oleh para ahli. Istilah intuisi biasanya digunakan sebagai istilah primitif dalam matematika, seperti titik, garis, himpunan dan lain-lain. Namun demikian para ahli menerima sifat-sifat secara implisit dari intuisi yaitu self evident yang berlawanan dengan usaha secara logika dan analitis.

Penjelasan tentang intuisi oleh para ahli, diantaranya adalah Bruner menjelaskan intuisi dengan memperbandingkan pemikiran analitik, Poincaré membandingkan intuisi dengan logika, Skemp membandingkan pemikiran intuitif dengan pemikiran reflektif sebagai gaya aktivitas mental yang berbeda (Tall, 1980). Sedangkan, Descartes dan Spinoza, mempresentasikan intuisi sebagai sumber asli dari pengetahuan yang benar. Bergson membedakan antara intelegensi dan intuisi, (Fischbein, 1999).

Menurut Bruner (1977), intuisi adalah tindakan seseorang menggapai makna atau struktur suatu masalah, yang tidak menggantungkan secara eksplisit pada analisis dalam bidang keahliannya. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh- contoh tindakan intuitif. Intuisi dekat dengan suasana permainan, yang dapat menerima kesalahan sebagai sesuatu yang wajar. Intuisi merupakan kegiatan yang lebih menghargai proses belajar, yang tidak hanya menekankan pentingnya jawaban benar saja.

Setiap anak pada awalnya berpikir secara intuitif. Berdasarkan pengetahuan intuitifnya itu, dalam perkembangan berpikirnya anak membangun/ mengkonstruksi model bagi gagasan yang diperolehnya di sekolah. Model ini berupa seperangkat struktur yang diinternalisasikan dalam pikiran si anak, yang merepresentasikan/mewakili gagasan tersebut. Mungkin anak ini tidak dapat menjelaskan atau mengemukakan secara lisan model yang dibangunnya itu, tetapi dia mampu memperagakannya. Sebagai contoh, anak yang telah dapat memahami gagasan konservasi jumlah atau sifat asosiatif penjumlahan, dia dapat memperagakan bilangan 6 dengan

benda-benda dalam bermacam-macam susunan, seperti 2 + 2 + 2, 3 + 3, 2 + 4, 4 + 2, 2 + (3 + 1), (2 + 3) + 1.

Fischbein (1994) mendefinisikan intuisi sebagai immediate knowledge (kognisi segera) yang disetujui secara langsung tanpa pembenaran. Sejalan dengan itu Piaget (Tall, 1992) memandang intuisi sebagai kognisi yang diterima langsung tanpa kebutuhan untuk menjastifikasi atau menginterpretasi secara eksplisit.

Selain itu kognisi yang dikembangkan individu yang tidak bergantung kepada pembelajaran tetapi sebagai efek dari pengalaman pribadi, kita sebut kognisi intuitif primer (primary intuitive cognition), sebagai contoh anak sekolah dasar kelas I dan II mempunyai intuisi bahwa pembagian akan mengasilkan sesuatu yang lebih kecil, karena anak tersebut melihat dari kejadian sehari-hari sesuatu yang dibagi-bagi akan menjadi lebih sedikit. Pada sisi lain, intuisi baru dapat dikembangkan melalui pembelajaran atau pelatihan sistematik kita sebut kognisi intuitif sekunder (secondary intuitive cognition), misalnya siswa yang telah dikenalkan bilangan rasional dan diajarkan pembagian dengan bilangan rasional akan memiliki intuisi bahwa pembagian dengan pembagi kecil sekali akan menghasilkan sesuatu yang lebih besar.

Fischbein (1999) telah menyajikan karakteristik umum dari kognisi intuitif dalam matematika, yang merupakan sesuatu yang mendasar dan yang sangat jelas dari suatu kognisi intuitif. Karakteristik intuisi tersebut adalah sebagai berikut.

1) Kognisi langsung, kognisi self evident (direct, self evident cognitions)

Kognisi langsung, kognisi self evident yang dimaksud adalah bahwa intuisi adalah kognisi yang diterima sebagai feeling individu tanpa membutuhkan pengecekan dan pembuktian lebih lanjut . Sebagai contoh: jarak terdekat antara dua titik adalah garis lurus. Hal tersebut adalah self evident, pernyataan yang kebenarannya diterima secara langsung.

2) Kepastian intrinsik (intrinsic certainty).

Kepastian intuisi biasanya dihubungkan dengan feeling tertentu dari kepastian intrinsik. Pernyataan tentang garis lurus di atas adalah subyektif, terasa seperti sudah suatu ketentuan. Intrinsik bermakna bahwa tidak ada pendukung eksternal yang diperlukan untuk memperoleh semacam kepastian langsung (baik secara formal atau empiris)

3) Pemaksaan (coerciveness).

Intuisi menggunakan efek memaksa pada strategi penalaran individual. Hal ini berarti bahwa individu cenderung menolak interpretasi alternatif yang akan mengkontradiksi intuisinya. Biasanya siswa dan bahkan orang dewasa percaya bahwa perkalian akan menjadikan lebih besar dan pembagian akan menjadikan lebih kecil. Hal ini karena pada masa kanak-kanak terbiasa dengan mengoperasikan bilangan asli. Di kemudian hari setelah belajar bilangan rasional masih dirasa untuk memperoleh keyakinan yang sama, yang secara jelas sudah tidak sesuai lagi.

Sifat penting dari kognisi intuitif adalah kemampuan untuk meramalkan di balik suatu pendukung empiris. Sebagai contoh: pernyataan ”melalui satu titik diluar garis hanya dapat digambar satu dan hanya satu garis sejajar dengan garis tersebut” mengekspresikan kemampuan ekstrapolasi dari intuisi. Tidak ada bukti empiris dan formal yang dapat mendukung pernyataan tersebut. Walaupun demikian, hal tersebut dapat diterima secara intuitif, suatu kepastian, sebagai selfevident. Ektrapolasi tersebut berasal dari kognisi intuitif itu sendiri. Kemampuan ekstrapolatif merupakan wujud dari intuisi.

5) Keseluruhan (Globality)

Intuisi adalah kognisi global yang berlawanan dengan kognisi yang diperoleh secara logika, berurutan dan secara analitis.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa intuisi adalah kognisi yang self evident (secara subyektif kebenarannya terkandung di dalamnya), sebagai pengetahuan segera (immediate knowledge), bersifat holistik, mempunyai efek memaksa, bersifat ekstrapolatif, tanpa suatu proses penalaran secara sadar (mendalam) dan tidak bersifat analitik. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh tindakan intuitif.

Jenis-jenis Intuisi

Menurut Fischbein (1999), intuisi dikategorikan menjadi dua, yaitu intuisi afirmatori (affirmatory intuition) dan intuisi antisipatori (anticipatory intuition). Semua pembahasan karakteristik umum dalam matematika seperti yang di sampaikan di atas merupakan intuisi afirmatori. Intuisi afirmatori berupa pernyataan, representasi, interpretasi, solusi yang secara individual dapat diterima secara langsung, self evident, global dan cukup secara instrinsik.

Disamping kategori intuisi afirmatori, terdapat kategori intuisi lain yang berbeda, disebut intuisi antisipatori. Karakteristik intuisi antisipatori adalah sebagai berikut. a) intuisi tersebut akan muncul selama berusaha keras untuk memecahkan masalah. b) intuisi tersebut menyajikan ciri-ciri yang bersifatr global. c) intuisi tersebut bertentangan dengan dugaan pada umumnya, dan intuisi ini berasosiasi dengan feeling, meskipun pembenaran secara rinci atau bukti belum ditemukan.

Selain jenis-jenis intuisi yang disampaikan Fischbein di atas, Poincare (http://www- history.mcs.st-andrews.ac.uk/Extras/Poincare_Intuition.html) membagi intuisi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan ekxperimental, (3) intuisi yang mengarah kepada menggunakan pemikiran matematika secara nyata, seperti intuisi dari bilangan murni yang menghasilkan aksioma yang dikenal dengan prinsip induksi matematika.

Peran Intuisi Dalam Memecahkan Masalah

Di dalam essainya, yaitu “Towards a disciplined intuition”, Bruner mengkarakterisasi dua alternatif pendekatan untuk memecahkan masalah, yaitu intuisi dan analitik.

In virtually any field of intellectual endeavour one may distinguish two approaches usually asserted to be different. One is intuitive, the other analytic ... in general intuition is less rigorous with respect to proof, more oriented to the whole problem than to particular parts, less verbalized with respect to justification, and based upon a confidence to operate with insufficient data. (Bruner 1977).

Dari ungkapan di atas, intuisi berlawanan dengan analitik. Intuisi kurang ketat (rigour), lebih berorientasi pada masalah global, kurang verbal dan didasarkan pada keyakinan dengan data yang tidak mencukupi.

Menurut Roger Walcot Sperry dalam Edward (1996), dalam memecahkan masalah dua belahan otak kiri dan otak kanan sangat diperlukan. Otak kanan mempunyai peran sebagai pemroses data secara menyeluruh (holistic) dan otak kiri menguji kelogisannya yang diperlukan dalam pemecahan masalah. Ketika penyelesaiannya didapat, otak kanan akan bertugas memperhatikan situasi secara menyeluruh untuk memeriksa jawaban yang diperoleh. Dengan demikian dalam memecahkan masalah akan mengaktifkan otak kanan maupun kiri.

Sedangkan dari hasil penelitian Fischbein et al (1996), intuisi selalu didasarkan pada struktur skemata tertentu. Selain itu ditemukan pula bahwa intuisi sebagai dugaan spontan yang merupakan fakta dibalik layar skemata.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa intuisi dapat terjadi karena struktur skemata tertentu. Oleh sebab itu jika siswa sedang memecahkan masalah, tentunya akan menggunakan struktur skema yang dimiliki, sehingga sangat mungkin pada saat memecahkan masalah, muncul intuisi yang merupakan dugaan spontan akibat fakta dibalik layar skemata.

Tahapan proses munculnya intuisi

Seorang insinyur dan ahli psikologi Graham Wallis (1926) telah menyelidiki fenomena intuisi ini dan membangun sebuah model untuk menggambarkan cara kerja proses kreatif sehingga muncul intuisi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah. Cara kerja tersebut terdiri dari 4 tahapan, yaitu:

a. Tahap persiapan. Pada tahap ini, kita mendefinisikan masalah atau tujuan, dan mengumpulkan semua informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak.

b. Tahap inkubasi. Pada tahap ini, kita mundur dari persoalan dan membiarkan pikiran kita bekerja di belakang layar. Sama seperti tahap persiapan, tahap ini bisa berakhir dalam beberapa menit, minggu, atau bahkan bertahun-tahun.

c. Tahap iluminasi. Pada tahap ini, ide-ide bermunculan dari pikiran yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Ide-ide tersebut bisa berupa bagian-bagian dari keseluruhan, atau langsung keseluruhan. Ide-ide tersebut merupakan intuisi. Berbeda dengan tahapan lainnya, tahap ini berlangsung singkat dan sering berupa inspirasi sesaat yang intens. Momen Eureka Archimedes atau mimpi Kekule termasuk pada tahapan ini. d. Tahap verifikasi. Tahap ini merupakan tahapan terakhir di mana pengujian dilakukan untuk menentukan apakah inspirasi yang diperoleh dari tahap sebelumnya memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan.

Dari model ini, Wallis mengakui adanya kerja sama yang erat antara alam pikiran sadar yang berpikiran rasional (pada tahap persiapan dan verifikasi) dengan alam bawah sadar yang bercorak intuitif (pada tahap inkubasi dan iluminasi) untuk membantu pemecahan masalah yang kreatif. Intuisi, tampaknya, bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh. Peranannya dalam penyelesaian masalah sangat besar dan tidak kalah dengan cara berpikir rasional (http://www.itpin.com/blog/category/mind-thinking/intuition/)

PEMBAHASAN

Mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan masalah

Dengan mendasarkan pada tahapan yang dikemukkan oleh Wallis di atas, pengembangan intuisi siswa dapat dilakukan dengan merancang kegiatan pembelajaran. Bentuknya berupa pemunculan ide atau gagasan penyelesaian permasalahan dan kolaborasi dari berbagai ide yang ada. Untuk itu guru dapat merancang strategi pembelajarannya agar ide atau gagasan siswa dalam memecahkan masalah menjadi berkembang. Salah satunya adalah menggunakan metode tanya jawab. Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan yang memancing munculnya ide untuk menyelesaikan soal. Sebagai contoh, misalnya siswa SMA yang telah belajar barisan bilangan diberikan soal berikut :

Diberikan barisan bilangan berikut :

1, 3, 6, 10, …… Tentukan suku ke-100 dari barisan bilangan tersebut.

Tentunya soal tersebut tidak diselesaikan dengan mendaftar semua bilangan sampai suku ke-

100.

Tahap persiapan: siswa diarahkan untuk memahami permasalahan, dan mengumpulkan semua informasi terkait, dan menentukan kriteria untuk memverifikasi apakah sebuah solusi bisa diterima atau tidak.

G : Apakah barisan tersebut termasuk barisan aritmetika ? S : Tidak

G : Kenapa

G : Kalau begitu apa barisan geometri ? S : Juga tidak karena 3 : 1 6 : 3. G : Kalau begitu barisan apa? S : (diam)

G : Apakah ada yang melihat hal istimewa dari barisan tersebut ? S : (diam)

G : Coba perhatikan, 3 1, 6 3, 10 –6, ….. Apa yang dapat anda katakan ? S : Hasilnya 2, 3, 4, Jadi suku ke 5 adalah 10 + 5 = 15.

G : Apakah sudah ada ide untuk menyelesaikan soal ?

Tahap inkubasi.

Pada tahap ini, tanya jawab dihentikan sementara, siswa dibiarkan berpikir dengan menggunakan informasi yang telah dipunyai (sekitar 5 menit). Mungkin siswa dalam berpikir sambil melakukan corat-coret.

Tahap iluminasi. Pada tahap ini, diharapkan ide-ide dari siswa, mulai bermunculan dari pikiran yang menyediakan dasar untuk respons kreatif. Guru melanjutkan tanya jawab kepada siswanya.

G : Bagaimana? Apakah sudah ada ide untuk menyelesaikan soal ? S : Kalau begitu suku ke-100 adalah suku ke 99 + 100 ?

G : Tapi suku ke 99 kan belum tahu ? S : (menuliskan idenya) U100 = U99 + 100. Jadi U100 - U99 = 100. U99 = U98 + 99. Jadi U99 U98 = 99 U98 = U97 + 98. Jadi U98 U97 = 98 ... dan seterusnya U3 = U2 + 3. Jadi U3 U2 = 3 U2 = U1 + 2. Jadi U2 U1 = 2 + U100 U1 = 2 + 3 + ....+ 99 + 100 U100= 1+ 2 + 3 + ....+ 99 + 100 = 5050

Tahap verifikasi. Tahap ini merupakan tahapan terakhir untuk menguji, apakah ide yang digunakan sudah memenuhi kreteria dan keinginan yang ditentukan pada tahap persiapan. Guru melakukan tanya jawab lagi pada siswa untuk memastikan ide yang digunakan adalah benar.

G : Apakah hasil yang diperoleh itu benar?

S : Benar, Pak. Karena langkah-langkahnya kelihatnnya benar.

G : Bagaimana kalau tidak berdasar langkah-langkah tetapi dengan melihat rumus untuk suku ke-n.

S : Iya Pak. Dari U100= 1+ 2 + 3 + ....+ 99 + 100, disimpulkan Un = 1 + 2 + ....+ n Jadi kita uji, misalnya n = 3, sehingga diperoleh U3 = 1 + 2 + 3 = 6

Penjelasan di atas hanya sebagai contoh untuk menjelaskan tahap-tahap untuk memunculkan intuisi siswa. Skenario tanya jawab tersebut, untuk memungkinkan tahap-tahap tersebut dapat dilalui. Tentu tidak mudah untuk memunculkan ide dari siswa, sehingga guru perlu kesabaran dalam melatih munculnya intuisi siswa. Pada awalnya mungkin guru masih banyak menintervensi ide untuk memecahkan masalah, namun secara bertahap, siswa dibiarkan untuk mengembangkan idenya sendiri dalam memecahkan masalah.

Di samping strategi pengembangan “intuisi” yang dilakukan guru dengan menggunakan metode tanya jawab, pengembangan “intuisi” dapat dilakukan dengan mendemonstrasikan kegagalan-kegalan dalam upaya menemukan ide untuk menyelesaikan soal. Jadi guru tidak harus melakukan sesuatu yang “sempurna” dihadapan siswanya, karena kalau setiap permasalahan diselesaikan oleh guru, maka siswa hanya sebagai obyek bukan subyek pembelajaran. Dampaknya setelah pembelajaran selesai siswa hanya memiliki catatan jawaban penyelesaian dan bukan kemampuan untuk menjawab permasalahan.

Mendemonstrasikan Kegagalan-kegagalan dalam upaya menemukan ide adalah upaya trial and error. Kegiatan trial and error ini merupakan tahap persiapan yang akan mengantar pada tahap inkubasi dan tahap iluminasi. Dengan kegiatan trial and error tersebut, jalinan informasi dalam pikiran akan semakin jelas, sehingga skemata menjadi lebih siap untuk menyelesaikan masalah.

Sebagai contoh, Guru akan menjelaskan penyelesaian dari

1 3 3 x dx .

Karena akan merasionalkan penyebut maka ide yang muncul sesaat adalah menggunakan substitusi u = x3 –1. Sehingga guru melakukan langkah dengan menggunakan substitusi tersebut, akhirnya diperoleh du = 3x2 dx. Pada langkah ini akan mengalami kegagalan karena tidak akan dapat mengubah integran dalam variabel u. Sehingga harus berpikir ulang untuk menemukan lagi cara menyelesaikan soal tersebut. Dengan refleksi pada langkah yang gagal, maka yang dilakukan dengan mengubah substitusi yaitu u3 = x3 – 1. Sehingga diperoleh 3u2 du = 3x2 dx. Pada langkah inipun juga gagal dalam menyelesaikan integral tersebut, karena juga tidak akan mengubah integran dalam variabel u. Kegagalan demi kegagalan yang didemonstrasikan guru dapat menyebabkan berkembangnya ide untuk menyelesaikan di kalangan siswa. Selain itu pula kegagalan yang didemonstrasikan akan memperkuat ingatan akan teknik integrasi yang digunakan dengan fungsi integran yang sejenis.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat dibuat kesimpulan yaitu:

1. Intuisi adalah kognisi yang self evident (secara subyektif kebenarannya terkandung di dalamnya), sebagai pengetahuan segera (immediate knowledge), bersifat holistik, mempunyai efek memaksa, bersifat ekstrapolatif, tanpa suatu proses penalaran secara sadar (mendalam) dan tidak bersifat analitik. Sedangkan membuat dugaan dengan cepat, menghasilkan gagasan yang menarik sebelum disadari manfaatnya, dan mendapatkan akal dalam pembuktian, merupakan contoh-contoh tindakan intuitif.

2. Upaya untuk mengembangkan intuisi siswa dalam memecahkan masalah dapat dilakukan dengan mendisain kegiatan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang didisain dapat mendasarkan pada tahapan untuk memunculkan intuisi, yaitu tahap persiapan, tahap inkubasi, tahap iluminasi dan tahap verifikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Bruner, J.S. 1977 „Bruner on the learning of mathematics – A “process” orientation. Dalam Aichele, D.B., Readings in Secondary School Mathematics. Boston : Prindle, Weber, & Schmidt.

Edward, Betty. (1996). The Left and Right Sides of the Brain. http://members.ozemail.com.au. Download 3 Juli 2003

Fischbein, E. 1987. Intuition in Science and Mathematics. Dordrecht, The Netherlands: D. Reidel.

Fischbein, E. and Grossman, A.: 1997, „Schemata and intuitions in combinatorial reasoning‟,Educational Studies in Mathematics 34, 27–47.

Fischbein, E. & Schnarch, D. 1997. The Evolution With Age of Probabilistic, Intuitively based Misconseptions. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol No. Vol 28.

Fischbein, E. 1999. Intuition and Schemata in Mathematical Reasoning. Educational Studies In Mathematics Vol. 38: Netherland: Kluwer Academic Publishers

Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit Universitas Negeri malang

Mulligan, J.T. & Mitchelmore, M.C. 1997. Young Children‟s Intuitive Models of Multiplication and Division. Journal Reasearch Teacher and Mathematics Education. Vol 28. No. 3. 309-330.

Polya, George.1980. Problem Solving in School Mathematics: On Solving Mathematical Problems In High School. National Council of Teachers of Mathematics

Spinoza, B. 1967. Ethics and treatise on the correction of the understanding (A. Boyle, Trans.). London: Everyman‟s Library Dent

Tall, D. 1991. Intuition and rigour :the role of visualization in the calculus, Visualization in Mathematics (ed. Zimmermann & Cunningham), M.A.A., Notes No. 19, 105–119 Tall, D. 1992. The transition to advanced mathematical thinking: functions, limits, infinity, and

proof. In D. A. Grouws (Ed.), Handbook of research on mathematics teaching and learning (pp. 495-511). New York: Macmillan

REKONSTRUKSI PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM MENCAPAI

Dalam dokumen Pendidikan Matematika 3 Prosiding SNMPM (Halaman 56-65)