• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setiap manusia mengalami proses perkembangan selama masa hidupnya.

Proses perkembangan manusia meliputi beberapa aspek yakni perkembangan

fisik, perkembangan psikososial dan perkembangan kognitif. Salah satu

perubahan yang terjadi pada perkembangan kognitif adalah perubahan dalam

bahasa di samping perubahan pada pemikiran dan intelegensi individu (Santrock,

2002). Perkembangan bahasa dimulai sejak masa bayi dan terus berkembang

dalam setiap tahap perkembangan individu.

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia untuk

berinteraksi sehingga pesan yang dimaksudkan dapat dimengerti. Bahasa tidak

akan pernah lepas dari kehidupan manusia dan selalu ada dalam setiap

aktivitasnya. Hurlock (1993) menyatakan bahwa bahasa mencakup setiap sarana

komunikasi dengan menyimbolkan pikiran dan perasaan untuk menyampaikan

makna kepada orang lain dalam bentuk yang luas seperti : tulisan, berbicara,

bahasa simbol, ekspresi wajah, isyarat, pantomin dan seni. Bahasa ini terus

berkembang diawali dengan bahasa pertama individu.

Setiap manusia mengetahui bahasa pertamanya melalui proses sosialisasi

dengan lingkungan. Pakar bahasa Noam Chomsky (dalam Santrock, 2002) yakin

bahwa manusia terikat secara biologis untuk mempelajari bahasa pada suatu

sejak kecil. Bahasa inilah yang nantinya akan dikuasai oleh anak untuk

berinteraksi dengan lingkungannya, yang disebut sebagai bahasa ibu. Bahasa

Indonesia umumnya merupakan bahasa ibu bagi anak Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional wajib diketahui oleh masyarakat

Indonesia untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan. Bahasa Indonesia

berfungsi sebagai bahasa persatuan atau pemersatu bahasa-bahasa yang ada di

dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia dan juga sebagai identitas

pengenal oleh bangsa lain di dunia (Susanti, 2010). Anak tetap harus mengetahui

bahasa Indonesia sebagai dasar untuk bersosialisasi, walaupun anak terlebih

dahulu mengenal bahasa daerah atau bahasa yang dipakai di dalam

lingkungannya.

Kemampuan berbahasa asing juga menjadi salah satu kebutuhan bagi

masyarakat selain bahasa Indonesia. Hal ini dikaitkan dengan globalisasi yang

identik dengan tidak ada batasan bagi negara-negara di dunia yang membutuhkan

suatu bahasa komunikasi universal (Sutiyoso, 2006). Dewasa ini tuntutan akan

ketrampilan berbahasa asing di dalam dunia kerja semakin meningkat. Tanpa

adanya ketrampilan yang baik, sulit bagi seseorang untuk mendapatkan dan

mempertahankan pekerjaannya. Tingginya tuntutan yang harus dipenuhi pada saat

memasuki dunia kerja ini membuat orang tua juga semakin banyak menuntut

anak-anak mereka yang masih dalam dunia sekolah (Gunarsa, 2004). Hal ini

sesuai dengan penuturan seorang ibu berinisial S yang memasukkan anaknya ke

“Waktu aku masukkan anakku ke sekolah bilingual, pemikiranku sederhana saja yaitu di masa anakku nanti cari kerja, pastilah English sangat dibutuhkan. Kalau tidak sejak kecil dibiasakan berbahasa English yang baik dan benar, akan kalah bersaing..”(Komunikasi Personal, 2 Agustus 2010)

Di Indonesia, bahasa asing paling banyak diminati untuk dikuasai adalah

bahasa Inggris yang juga dijadikan bahasa universal di dunia. Kemampuan

berbahasa asing, terutama berbahasa Inggris, dijadikan prasyarat kesuksesan bagi

seseorang di masa depan. Asumsi ini membuat berbagai institusi pendidikan

menyediakan pendidikan bahasa asing bagi perkembangan bahasa anak, termasuk

menyediakan program bilingual (Sutiyoso, 2006). Bilingual adalah kemampuan

menggunakan dua bahasa. Anak yang memiliki kemampuan bilingual memahami

bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman anak terhadap bahasa ibunya

dalam empat ketrampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca

dan menulis (Hurlock, 1993).

Banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi bilingual, bukan

hanya untuk alasan sosial maupun ekonomis, namun dengan alasan perkembangan

kognitifnya. Orangtua beranggapan bahwa dengan menjadi bilingual, anak mereka

akan menjadi lebih cerdas karena dengan mempelajari dua bahasa sekaligus maka

anak akan terlatih secara kognitif. Salah satu cara yang dilakukan orang tua adalah

dengan memasukkan anaknya ke sekolah yang menyelenggarakan pendidikan

secara bilingual (Gunarsa, 2004).

Sekolah yang menyediakan program bilingual berarti menggunakan dua

bahasa di dalam kegiatan pendidikannya. Bahasa yang sering digunakan pada

kegiatan belajar mengajar setiap hari. Ada pelajaran yang diajarkan dengan bahasa

Inggris, ada pula yang dengan bahasa Indonesia (Gunarsa, 2004). Anak juga

mempunyai pilihan dalam mempelajari bahasa asing lainnya, seperti bahasa

Mandarin, Arab, Prancis, atau lainnya sebagai mata pelajaran, namun bukan

sebagai bahasa pengantar. Penerapan konsep bilingual ini membuat pihak sekolah

dan orang tua mengharapkan anak dapat lebih mahir dan menguasai bahasa asing

terutama bahasa Inggris (Sutiyoso, 2006).

Area pada otak yang mengatur kemampuan berbahasa terlihat

menunjukkan perkembangan paling pesat pada periode antara usia 6 (enam)

sampai 13 (tiga belas) tahun (critical periods), dan bukan pada usia 3 tahun

pertama seperti banyak dipublikasikan. Hal ini merupakan hasil riset dari

teknologi brain imaging di UCLA (University of California Los Angeles). Jadi

menurut hasil penelitian, secara biologis waktu yang tepat untuk mempelajari

bahasa asing adalah pada usia sekolah, yakni SD (Sekolah Dasar) dan SMP

(Sekolah Menengah Pertama) (Adepanji, 2010).

Banyak penelitian tertarik untuk meneliti bagaimana dampak dari bilingual

ini. Sampai sekarang bilingual masih diperdebatkan. Ada penelitian yang

mengemukakan hasil negatif dan ada pula yang positif (Gunarsa, 2004). Salah

satu hasil yang positif dikemukakan oleh para ahli syaraf yang meneliti hubungan

antara belajar bahasa asing dengan perkembangan otak. Kesimpulan dari berbagai

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengaruh mempelajari bahasa asing

pesat dalam proses kognitif, kreativitas dan divergent thinking dibandingkan

dengan anak-anak monolingual (Adepanji, 2010).

Sebuah penelitian lain dilakukan oleh Kormi-Nouri (2008). Penelitian ini

bertujuan untuk menguji anak bilingual Swedish-Persian yang menggunakan

bahasa yang berbeda dalam kehidupan sehari-harinya tetapi memiliki latar

belakang budaya yang sama dan tinggal di dalam komunitas yang sama dengan

anak monolingual. Metode penelitian menggunakan desain eksperimen, dimana

peneliti membandingkan kemampuan memori anak. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa terdapat pengaruh positif dari bilingual yang ditemukan

dalam kemampuan memori episodic dan semantic dimana pengaruh ini lebih

terlihat pada anak yang lebih tua daripada yang muda. Penelitian ini menghasilkan

kesimpulan bahwa anak bilingual memiliki kemampuan dalam tugas memori

episodic, yaitu dalam mempelajari kalimat dan kata, dan semantic, yaitu dalam

kelancaran menyampaikan pesan dan mengkategorikannya, yang lebih tinggi

dibandingkan dengan anak monolingual.

Penelitian di Indonesia salah satunya dilakukan oleh Itta (2007) yang ingin

mengetahui pendapat para ibu tentang kemampuan anak dan hasil pembelajaran

bilingual di Kelompok Bermain. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para ibu

berpendapat kemampuan anak mereka dalam bahasa Inggris ditinjau dari

kelancaran berkomunikasi dan perkembangan kognitif anak dalam hal

kemampuan anak mengerti dan berbicara secara langsung dalam bahasa Inggris

Evaluasi penelitian bilingualisme menghasilkan kesimpulan bahwa

bilingualisme tidak mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa pun

(Hakuta & Garcia dalam Santrock, 2002). Tidak ada bukti bahwa bahasa pertama

harus dihapuskan sedini mungkin karena dapat mengganggu pembelajaran bahasa

kedua, sebaliknya tingginya derajat bilingualisme berkaitan dengan fleksibilitas

kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep (Diaz dalam Santrock, 2002).

Menurut Andersson (1999) anak yang telah mempelajari dua bahasa akan mudah

untuk beradaptasi ketika mengunjungi negara lain yang berbahasa sama dengan

bahasa kedua anak. Andersson (1999) juga menyatakan bahwa anak yang

bilingual akan merasa bangga dengan dirinya karena anak dapat menguasai lebih

dari satu bahasa.

Bilingual juga memiliki sisi negatif. Pada awalnya, mulai abad ke-19

sampai tahun 1960-an, hasil penelitian mengenai bilingualisme ini menghasilkan

kesimpulan yang negatif. Para psikolog yang melakukan penelitian dari tahun

1920 sampai tahun 1960-an bahkan menemukan bahwa bilingualisme membawa

dampak buruk bagi inteligensi. Anak-anak bilingual yang berada dalam rentang

masa sekolah ini umumnya memperoleh skor yang lebih rendah daripada

anak-anak monolingual pada tes IQ. Menurut para psikolog pada saat itu, hal ini

disebabkan karena anak mengalami kebingungan di antara kedua bahasa tersebut

(Gunarsa, 2004).

Dampak bilingualisme juga dikemukakan oleh Gene (2007) yang

menyatakan bahwa pasti ada kesenjangan sosialisasi antara anak bilingual dengan

bahasa dan budaya orangtuanya karena dari kecil telah diperkenalkan bahasa

asing (Gene, 2007). Pendapat ini diperkuat oleh Tarigan (1988) yang menyatakan

kontak anak bilingual dengan keluarga besarnya akan berbeda. Gene (2007) juga

menyatakan bahwa tak sedikit anak yang stres dan tertekan karena dipaksa

mengerti bahasa asing. Akibatnya anak akan selalu lambat dalam mengerjakan

tugasnya karena ia kurang paham dengan apa yang dijelaskan guru dalam bahasa

asing. Bahasa kedua atau bahasa asing baik jika diperkenalkan sejak dini, namun

hanya dalam konteks diperkenalkan bukan dipaksakan.

Salah satu akibat lainnya adalah pembelajaran dua bahasa yang akan

menimbulkan konsep pemahaman yang tidak jelas. Misalnya adalah kerancuan

dan kebingungan dalam konsep saat seorang anak mulai belajar bahasa dan

menulis huruf “A” yang dilafalkan “e” dalam bahasa Inggris. Masalah ini terjadi

karena bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris berbeda secara struktural dan tata

cara aturan kalimat. Anak akan kesulitan memahami konsep dan struktur bahasa

secara akademik (Sutiyoso, 2006).

Berdasarkan fenomena yang terjadi, anak bilingual tidak bisa menguasai

satu bahasa secara keseluruhan yang menyebabkan anak berbicara dengan bahasa

yang bercampur antara bahasa ibu dengan bahasa asing (Genesse, dalam Gunarsa,

2004). Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh seorang konselor

di sekolah bilingual berinisial J (25 tahun) :

“Di sekolah ini bahasa sehari-harinya adalah bahasa Inggris tapi untuk pelajaran tertentu yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Anak-anak sih kadang kalau kurang mengerti, jadi campur-campur bahasanya, mereka juga jadi tidak bisa menguasai satu bahasa secara keseluruhan” (Komunikasi personal, 11 Agustus 2010).

Santrock (2002) menyatakan bahwa anak harus menguasai bahasa

pertamanya untuk dapat berkomunikasi secara efektif di lingkungannya, namun di

sisi lain mereka juga harus menguasai bahasa asing untuk memudahkan mereka di

lingkungan sekolahnya. Akan lebih baik jika anak menguasai bahasa pertamanya

terlebih dahulu kemudian mempelajari bahasa asing karena jika anak dihadapkan

pada bahasa yang tidak familiar di lingkungan sosialnya, maka anak akan

mengalami kebingungan sosial sehingga penggunaan bahasanya menjadi tidak

sesuai. Kondisi ini menyebabkan komunikasi kurang lancar dan pada akhirnya

dapat mengganggu perkembangan sosialnya dan berujung pada rendahnya

kompetensi sosial anak. Hal ini sejalan dengan penuturan seorang staf pengajar di

salah satu sekolah bilingual berinisial R (32 tahun) :

“Jadi di sekolah ini anak diwajibkan untuk berbahasa Inggris pada jam pelajaran kecuali pada beberapa pelajaran tertentu seperti pelajaran bahasa Indonesia dan Olahraga. Anak yang kurang menguasai bahasa Inggris biasanya menjadi pendiam dan tidak mau berbicara di dalam kelas” (Komunikasi Personal, 18 April 2011)

Anak juga akan mengalami rasa takut untuk berkomunikasi karena

tuntutan yang diberikan oleh sekolah. Hal ini dirasakan oleh seorang anak yang

bersekolah di sekolah bilingual berinisial C (9 tahun) yang duduk di kelas 4

Sekolah Dasar :

“Kalau guru ngajar pake bahasa Inggris terus-terusan kadang jadi gak ngerti kak, apalagi pelajaran berhitung, kayak matematika. Tapi kadang kami takut nanya sama gurunya, nanti dimarahi karena gak pake bahasa Inggris..” (Komunikasi Personal, 18 April 2011).

Pengaruh negatif dari bilingual ini tentunya akan berpengaruh kepada

proses interaksi anak kepada orang-orang yang berada di lingkungannya.

Individu memerlukan kompetensi sosial agar dapat diterima oleh orang lain dan

kompetensi sosial tersebut diperoleh melalui proses interaksi sosial (Hurlock,

1993). Anak harus memiliki seperangkat kecakapan verbal dan non verbal untuk

dapat berkompetensi sosial dengan baik (Rinn dan Markle, dalam Tarsidi 2009),

yang tentunya berbeda pada anak bilingual yang mengetahui dua bahasa.

Pellegrini dan Glickman (dalam Tarsidi, 2009) mendefinisikan kompetensi

sosial pada anak sebagai suatu derajat dimana anak dapat beradaptasi pada

lingkungan sekolah dan rumahnya. Definisi ini menyiratkan bahwa kemampuan

anak untuk beradaptasi dengan lingkungan rumah dan sekolahnya merupakan

indikator utama kompetensi sosial (Tarsidi, 2009). Sekolah merupakan

lingkungan di mana anak tidak hanya memperoleh pelajaran akademik, tetapi

merupakan tempat anak memperoleh interaksi sosial dan emosional dengan orang

dewasa dan teman sebayanya, yang memungkinkan memupuk harga diri dan

mengembangkan kompetensi sosialnya (Paavola dalam Tarsidi, 2009).

Seorang individu yang berkompeten adalah seseorang yang dapat

menggunakan lingkungan dan sumber personal untuk mencapai hasil

perkembangan yang baik (Waters & Sroufe dalam Clikeman, 2007). Kompetensi

sosial merupakan dasar dimana harapan akan interaksi dengan orang lain

terbangun dan anak mengembangkan persepsinya kepada perilakunya sendiri.

Selain itu, kemampuan dalam melakukan percakapan mengambil peran yang

penting dalam interaksi. Anak yang sukses secara sosial ditemukan memiliki

kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan responsif kepada lawan

Kompetensi sosial menurut Clikeman (2007) adalah sebuah kemampuan

untuk mengambil perspektif orang lain dalam suatu situasi dan belajar dari

pengalaman masa lalu, kemudian mengaplikasikannya. Kemampuan untuk

merespon ini tergantung pada kemampuan komunikasi yang dimiliki anak dan

interaksi dengan orang lain yang menggunakan bahasa dan komunikasi non

verbal. Clikeman (2007) juga menuturkan elemen-elemen dari kompetensi sosial

tersebut, yakni :

(1) bahasa dan kemampuan berkomunikasi

(2) kemampuan secara akurat mengirim dan menerima pesan emosional

(3) kemampuan untuk belajar

(4) kemampuan untuk memahami perspektif orang lain

(5) kemampuan untuk mengatur perilakunya sendiri

(6) kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain

Ahli lain juga mengemukakan aspek dari kompetensi sosial. La Fontana

dan Cillesen (dalam Papalia, 2009) menuliskan bahwa kompetensi sosial dapat

dilihat sebagai perilaku prososial, altruistik dan dapat bekerja sama. Anak-anak

yang sangat disukai dan yang dinilai berkompetensi sosial oleh orang tua dan

guru-guru pada umumnya mampu mengatasi kemarahan dengan baik, mampu

merespon secara langsung, melakukan cara-cara yang dapat meminimalisasi

konflik yang lebih jauh dan mampu mempertahankan hubungannya dengan orang

lain di sekitarnya (Fabes dan Eisenberg dalam Papalia, 2009).

Kompetensi sosial merupakan salah satu jenis kompetensi yang penting

yaitu masa dengan usia 6-11 tahun (Papalia, 2004), merupakan masa bermain dan

masa sekolah dimana mereka berinteraksi dengan teman sebayanya untuk

melakukan suatu kegiatan. Hurlock (1999) menyatakan bahwa masa anak-anak

sering disebut sebagai “usia berkelompok” karena ditandai dengan adanya minat

terhadap aktivitas berteman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk

diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan merasa tidak puas bila tidak

bersama teman-temannya.

Bermain dengan teman sebaya pada usia ini merupakan pengembangan

kompetensi sosial anak (Gunarsa, 2004). Anak yang memiliki kompetensi sosial

tampak lebih mudah untuk menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Selain itu,

Piaget (dalam Tarsidi, 2009) juga mengemukakan bahwa interaksi dengan teman

sebaya merupakan satu sumber utama perkembangan sosial maupun kognitif,

khususnya perkembangan “role taking” dan empati yang merupakan salah satu

aspek dari kompetensi sosial.

Tokoh psikososial Erikson (dalam Schultz, 1994) menyatakan bahwa masa

anak-anak tengah (middle childhood) merupakan masa emas untuk belajar.

Perkembangan bahasa anak juga lebih berkembang dan berfikir dengan konsep

operasional konkrit. Hubungan sosial anak juga lebih ditekankan pada peer atau

teman sebaya melalui proses bermain. Konsep persahabatan juga berkembang

dalam tahap ini (Monks,1998). Kemampuan untuk mendengar pembicara lain dan

bahasa non verbal menunjukkan pemahaman yang berhubungan dengan

popularitas dan penerimaan teman sebaya (Black & Hazen dalam Clikeman,

yang tidak mampu berunding atau bekerja sama akan susah untuk diterima di

lingkungan teman sebaya dan anak juga akan menunjukkan kompetensi sosial

yang buruk (Putallaz & Sheppart, 1990 dalam Clikeman, 2007). Oleh karena itu,

kemampuan anak dalam menganalisa perilakunya sangat diperlukan sehingga

dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

Kemampuan berbahasa yang merupakan salah satu aspek dari kompetensi

sosial menurut Clikeman (2007) ini tentunya berbeda pada anak bilingual

dibandingkan dengan anak lainnya secara umum. Menurut Clikeman (2007), anak

yang dinilai memiliki kompetensi sosial yang tinggi adalah anak yang memiliki

nilai yang tinggi atau memiliki kemampuan pada keenam elemen dari kompetensi

sosial tersebut, sebaliknya anak yang dinilai memiliki kompetensi sosial yang

rendah adalah anak yang memiliki nilai yang rendah atau kurang memiliki

kemampuan pada keenam elemen tersebut.

Salah satu aspek lain dari kompetensi sosial menurut Clikeman (2007)

adalah kemampuan anak untuk mengatur perilakunya sendiri yang mencakup

bagaimana anak dapat menyesuaikan diri dengan suatu situasi dan mengubah

perilakunya sehingga sesuai dengan lingkungan. Hurlock (1993) menyatakan

bahwa penyesuaian diri anak bilingual dengan lingkungannya akan menimbulkan

permasalahan karena bahasa anak yang berbeda dengan orang di lingkungannya.

Berdasarkan berbagai penjelasan diatas mengenai pengaruh dari bilingual

dan hubungannya dengan proses interaksi dan komunikasi anak dengan

lingkungannya, maka peneliti ingin melihat bagaimana gambaran kompetensi

tengah (middle childhood) yang merupakan masa sekolah dan memasuki dunia

sosial lebih luas serta masa emas untuk belajar dan berinteraksi dengan teman

sebaya. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Melalui

penelitian ini akan diperoleh data mengenai gambaran kompetensi sosial pada

anak yang mengikuti sekolah bilingual. Selain itu, peneliti juga tertarik untuk

mengetahui apakah ada perbedaan kompetensi sosial antara anak laki-laki dan

perempuan sehubungan dengan perbedaan psikologis yang dimiliki oleh laki-laki

dan perempuan menurut Hurlock (1999). Perbedaan dari tingkat usia, juga

perbedaan menurut lama anak mengikuti sekolah bilingual karena kompetensi

sosial berkaitan erat dengan pengalaman sosial yang diperoleh seseorang (Adams

dalam Martani dan Adiyanti, 1991). Perbedaan berdasarkan posisi urutan dalam

keluarga karena menurut Hurlock (1978) kompetensi sosial juga dipengaruhi oleh

urutan kelahiran. Keempat hal ini akan menjadi hasil tambahan dalam penelitian

ini.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana gambaran kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Tujuan utama, yaitu untuk mengetahui bagaimana gambaran kompetensi

sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual.

2. Tujuan tambahan, yaitu untuk mengetahui gambaran kompetensi sosial

pada anak yang mengikuti sekolah bilingual berdasarkan jenis kelamin,

usia, lama mengikuti sekolah bilingual dan posisi urutan dalam keluarga.

D. MANFAAT PENELITIAN

Dari penelitian ini diharapkan memperoleh manfaat baik secara teoritis

maupun manfaat secara praktis.

1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yang bersifat

pengembangan ilmu psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan

mengenai kompetensi sosial pada anak bilingual.

b. Memperkaya pengetahuan dan wacana tentang psikologi mengenai

gambaran kompetensi sosial yang dapat dijadikan referensi bagi

penelitian selanjutnya.

2. Manfaat praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai

kompetensi sosial pada anak yang mengikuti sekolah bilingual

menghadapi anak-anaknya khususnya yang bersekolah di sekolah

bilingual.

b. Penelitian ini dapat memberikan informasi kepada anak bilingual

sehingga anak dapat mengetahui gambaran kompetensi sosial pada

anak bilingual secara umum.

c. Gambaran mengenai kompetensi sosial pada anak bilingual yang

diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi bekal bagi

tim pendidik di sekolah bilingual dalam menghadapi anak bilingual.

d. Gambaran mengenai kompetensi sosial pada anak yang mengikuti

sekolah bilingual yang diperoleh melalui penelitian ini juga diharapkan

menjadi salah satu masukan bagi konselor perkembangan anak

khususnya dalam menghadapi anak bilingual.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah :

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika

penulisan.

Dokumen terkait