A. Latar Belakang Masalah
Masa remaja memang merupakan bahasan yang menarik untuk
diperbincangkan. Banyak hal baru terjadi pada masa ini. Masa remaja diibaratkan
sebagai masa transisi dari anak-anak menuju masa dewasa yang ditandai adanya
perubahan aspek-aspek fisik, psikis dan psikososial yang menuntut mereka
menuju kematangan atau kedewasaan secara emosional (Monks, Knoer, &
Haditono, S.R. 2004). Kurt Lewin dalam (Hidayati, 2001) menyatakan bahwa
remaja berada dalam posisi marginal, yang merupakan batas akhir masa
kanak-kanak dan batas awal masa dewasa. Kondisi ini menyebabkan remaja masuk
dalam situasi yang penuh dengan kebingungan akan identitas diri mereka yang
tidak pasti.
Munandar (2001) menyebutkan bahwa ada beberapa ciri yang tampak pada
konsumen remaja. Ciri-ciri tersebut adalah mudah terpengaruh rayuan penjual,
mudah terbujuk iklan, terutama pada penampilan produk (kemasan), kurang dapat
berfikir hemat, dan kurang realistis. Ciri-ciri konsumen remaja yang lain yaitu
aktif, cepat berubah, mudah dipengaruhi, konformitas tinggi, rasa ingin tahu
besar, bebas dan selalu ingin mencoba sesuatu yang baru (Fakhrudi, 1999).
mereka bisa membeli suatu barang hanya karena tertarik dengan bentuknya yang
lucu, atau karena barang tersebut sedang mode dan semua teman memilikinya. Sebuah survei menyebutkan bahwa mereka yang kini berada dalam usia
remaja memiliki beberapa ciri yang dominan yaitu mengenyam pendidikan yang
lebih baik, tumbuh dalam masyarakat yang lebih modern, membelanjakan uang
lebih banyak untuk kesenangan dan hiburan, senang jalan-jalan di mall,
kumpul-kumpul di kafe, dan mengeluarkan banyak uang untuk traveling dan musik. Melihat keadaan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja sekarang mulai
menunjukan perilaku konsumtif dalam kesehariannya (Media Interaktif
“Cakram”, 2000). Tambunan (2001) mengatakan bahwa mall sudah menjadi
rumah kedua bagi remaja. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga dapat
mengikuti mode yang sedang beredar. Padahal mode itu sendiri selalu berubah
sehingga para remaja tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya.
Profil remaja yang seperti ini menunjukkan potensi mereka sebagai pasar
yang signifikan. Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar
yang potensial karena pola konsumsi sosial seseorang terbentuk pada usia remaja.
Disamping itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka ikut-ikutan
teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya dan
sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk
memasuki pasar remaja (Mangkunegara, 2005). Husna (1990) juga mengatakan
bahwa, remaja dapat menjadi pangsa pasar yang potensial bagi produsen karena
pun dengan sigap dapat mencium adanya peluang. Selain karena karakteristik
psikologisnya, dari segi kuantitas pun pasar remaja sangat menjanjikan. Data dari
Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada tahun 2000 populasi penduduk
berusia 15 tahun hingga 29 tahun mencapai 62 juta jiwa atau 29,5 % dari total
penduduk yang berjumlah 210,4 juta jiwa. Rinciannya, sebanyak 22,3 juta jiwa
berusia 15 tahun hingga 19 tahun, sedangkan 39,7 juta jiwa sisanya berusia 20
tahun hingga 29 tahun (Media Interaktif “Cakram”, 2000).
Berdasarkan data diatas, tampak bahwa sebanyak 22,3 juta remaja yang
berusia 15 tahun hingga 29 tahun merupakan pangsa pasar yang potensial, maka
produsen mulai mengarahkan sasaran pada kelompok remaja tersebut. Banyak
produk yang dibuat khusus untuk remaja, atau produk netral yang menggunakan
positioning yang berbau remaja untuk menggaet kelompok umur remaja ini. Para produsen juga sering menciptakan trend yang dapat mempengaruhi remaja untuk membeli produknya agar tidak ketinggalan jaman.
Majalah merupakan salah satu jenis media massa cetak. Media massa
memiliki kelebihan dibandingkan dengan institusi sosial lainnya, yaitu
kemampuannya untuk menyampaikan pesan yang mengandung ide, nilai, dan
pengertian baru kepada masyarakat secara cepat, serempak, dan dalam kualitas
yang lebih tinggi (Adiputra, 1997). Kelebihan pada pesan yang disampaikan
bukan hanya dari segi keberagaman pesannya saja melainkan juga pada
dinamis. Hal ini disebabkan karena media massa terus berkembang mengikuti
dinamika masyarakat.
Akhir-akhir ini banyak majalah remaja yang beredar di Indonesia,
khususnya majalah remaja putri. Majalah-majalah ini ikut menanamkan nilai-nilai
dan gaya hidup konsumtif di kalangan remaja. Banyak majalah remaja yang
menyajikan gaya hidup mewah dan glamour yang membuat remaja cenderung
menirunya. Hal ini menyebabkan remaja akan berusaha memiliki suatu barang
karena alasan sedang mode menurut Tambunan (2001), dan bukan karena ia
memang membutuhkannya.
Dari segi isi, majalah-majalah remaja yang beredar banyak memiliki
kesamaan. Rata-rata mereka menyajikan hal-hal yang notabene merupakan
budaya adaptasi dari barat. Dengan kian pesatnya arus informasi menyebabkan
apa yang terjadi di belahan bumi lain dapat diketahui dengan segera. Demikian
halnya dengan perkembangan mode dan gaya hidup. Ditambah dengan anggapan
umum yang beredar di kalangan remaja, bahwa gaya hidup yang berasal dari luar
negeri pasti bagus dan dianggap trendi, sehingga mereka cenderung berusaha
mengikuti walaupun terkadang tidak ada manfaat riil yang dapat diperoleh.
Perkembangan majalah remaja ini dari tahun ke tahun selain dari segi
jumlahnya yang semakin beragam, juga terlihat dari isinya yang semakin
menjurus kearah gaya hidup konsumtif. Majalah-majalah ini banyak mengulas
tentang model fashion terbaru, asesoris, teknik make up dan tata rambut yang sedang digandrungi, produk-produk elektronik trendi, tempat-tempat nongkrong
yang asyik, bahkan sepak terjang dan gosip terbaru bintang-bintang idola. Demi
idola mereka tersebut tak jarang remaja mengikuti gaya berpakaian, penampilan,
serta tingkah laku mereka (Tambunan, 2001). Selain itu, majalah-majalah remaja
ini sering mengadakan acara-acara outdoor seperti pemilihan top model dan berbagai macam pesta seperti pesta tahun baru, Valentine, Hallowen, yang dapat memicu munculnya gaya hidup glamour dan perilaku konsumtif pada remaja.
Majalah-majalah remaja ini juga sering dimanfaatkan oleh produsen untuk
mengiklankan produknya (“Konsumersime dan Gaya Hidup Remaja”, 2005).
Dengan memanfaatkan fungsi majalah remaja sebagai “teman” remaja, produsen
berusaha mempengaruhi dan membangun persepsi positif remaja terhadap
produknya. Produsen juga sering menciptakan trend tertentu yang memaksa
remaja untuk mengikutinya agar tidak dianggap ketinggalan jaman.
Dengan demikian apabila seorang remaja memiliki minat untuk membaca
majalah remaja, dikhawatirkan ia akan terpengaruh gaya hidup konsumtif yang
banyak dipertontonkan di dalam majalah remaja tersebut seperti meniru gaya
berpakaian artis idolanya salah satu contohnya. Menurut Hurlock (1993) minat
merupakan sumber motivasi yang akan mengarahkan seseorang dalam melakukan
apa yang mereka ingin lakukan bila diberi kebebasan untuk memilih. Seseorang
cenderung mengulang-ulang tindakan yang sesuai dengan minatnya karena
kepuasan yang didapatkannya. Seorang psikolog terkemuka Guilford dalam surat
kabar harian (Kedaulatan Rakyat, 21 November 1988) pernah mendiskripsikan
ketertarikannya pada suatu objek atau aktivitas tertentu. Sementara itu psikolog
lainnya Crites dalam surat kabar harian (Kedaulatan Rakyat, 21 November 1988)
mengemukakan bahwa minat seseorang akan nampak nyata bila orang tersebut
menyukai objek atau aktivitas tertentu. Mengacu pada teori minat tersebut bila
seorang remaja berminat pada majalah remaja, ia akan melakukan aktivitas
membaca majalah remaja dengan frekuensi yang tinggi. Hal ini dapat
mempengaruhi nilai dan sikapnya, karena seperti yang telah disebutkan diatas,
karakteristik psikologis remaja masih labil dan mudah dipengaruhi stimulasi dari
lingkungannya, sehingga menyebabkan siswa cenderung untuk selalu mengikuti
trend terbaru dari artis idolanya.
Gaya hidup merupakan sebuah pola kehidupan seseorang yang tercermin
dari aktivitas, minat dan opini (Kotler, 2002). Kotler (2002), gaya hidup
seseorang menunjukkan pola kehidupan orang yang bersangkutan di dunia ini
sebagaimana tercermin dalam kegiatan, minat dan pendapatnya. Gaya hidup
mencerminkan “keseluruhan orang itu” dalam interaksinya dengan lingkungannya
dan juga menggambarkan seluruh pola sesorang dalam berinteraksi dan beraksi di
dunia.
Mengenai perilaku konsumtif sendiri, ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh para ahli. Amstrong (2008) mengatakan bahwa konsumtivisme
merupakan paham untuk hidup secara konsumtif, sehingga orang yang konsumtif
dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika
tersebut. Lebih dahulu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (dalam Lina &
Rosyid, 1997) memberikan batasan konsumtivisme yaitu kecenderungan manusia
untuk menggunakan konsumsi tanpa batas, dan manusia lebih mementingkan
faktor keinginan daripada faktor kebutuhan. Selain hanya memikirkan kesenangan
semata, individu yang konsumtif biasanya tidak dapat menahan diri untuk segera
membeli barang yang diinginkannya walaupun sebenarnya bukan merupakan
suatu kebutuhan yang harus diprioritaskan.
Perilaku konsumtif mempunyai beberapa dampak yang negatif yaitu
menimbulkan pemborosan dan efisiensi biaya. Secara psikologis, perilaku
konsumtif menyebabkan seseorang mengalami kecemasan dan rasa tidak aman
(Zebua & Nurdjayadi, 2001). Pemborosan terjadi disebabkan perilaku membeli
tidak lagi menempati fungsi yang sesungguhnya, yaitu memenuhi kebutuhan
tetapi untuk memenuhi kesenangan sesaat. Pembelian barang dilakukan hanya
dikarenakan untuk mengikuti mode dan berdasarkan keinginan. Dana yang
seharusnya digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan, dialihkan ke
pembelian barang yang tidak bermanfaat sehingga menimbulkan inefisiensi biaya
(Fransisca & P. Suyasa, 2005).
Rofiq (1999) mengatakan konsumtivisme (perilaku konsumtif) telah ada di
tengah-tengah masyarakat baik itu di kalangan menengah ke atas maupun
kalangan ke bawah karena hedon itu telah berkembang pada semua level
masyarakat. Disini peneliti hanya membatasi penelitiannya pada konsumtivisme,
yang saat ini lebih mengemuka yaitu konsumtivisme. Hal ini dapat dilihat dari
semakin banyaknya remaja yang memanfaatkan waktu luangnya dengan belanja,
pesiar, pesta-pesta, diskotik, kafe, minum-minuman keras, shopping, mall, XTC, telepon seluler, atau perkara-perkara lainnya yang menjadi simbol kalangan
“menengah-ke-atas” dan juga dalam hal-hal yang kecil dan sepele dimana kita
terus-menerus hanya mencari kesenangan dan kenikmatan saja (Kasali, 1998;
Basoeki, 1999). Hal yang menjadi penekanan disini adalah ciri-ciri dari gaya
hidup konsumtif dengan pola perilaku yang cenderung pada kesenangan hidup
yang dapat dilihat dari jenis aktivitas, minat maupun opini yang tertuju pada
kecenderungan untuk memperoleh kesenangan.
Gaya hidup konsumtif ini sangat menarik khususnya bagi kaum muda yang
sangat antusias terhadap hal-hal baru sehingga gaya hidup ini banyak diikuti,
termasuk oleh para siswa yang merupakan masyarakat terdidik (Kuswandono,
2003). Dalam sejarah Indonesia, siswa memiliki peran yang tidak bisa dianggap
remeh. Sebagai contoh adalah munculnya pergerakan nasional tahun 1945 dan
1966 dimana siswa berperan dalam menghasilkan kemerdekaan Indonesia dan
munculnya Orde Baru. Pergerakan yang paling akhir adalah Reformasi 1998 yang
berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru (Immanuddin, 2003).
Gaya hidup konsumtif pada siswi lebih mudah diamati pada siswi yang
tinggal di kota-kota besar karena fasilitas untuk memperoleh kesenangan banyak
tersedia. Di kota Yogyakarta yang merupakan kota pelajar, tersedia banyak
diskotik, restoran fast food dan juga fasilitas yang lain. Predikat Yogyakarta sebagai kota pelajar berimbas positif terhadap menjamurnya bisnis berkaitan
dengan kebutuhan anak muda. Hal ini disebabkan karena ratusan ribu pelajar dan
siswa rantau menjadi pasar potensial bagi berbagai produk termasuk bisnis
hiburan (Bernas, 2005).
Menjadi suatu hal yang menarik bagi peneliti untuk menuliskan dan
meneliti mengenai fenomena gaya hidup konsumtif pada siswi di Yogyakarta.
Peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gaya hidup pada siswi karena siswi yang
termasuk pada kategori dewasa dini akan mencoba berbagai jenis gaya hidup
sebelum pada akhirnya akan membuat keputusan mengenai gaya hidup yang
cocok. Pada masa dewasa dini seseorang akan mencoba banyak peran yang
berbeda, berpikir tentang berbagai gaya hidup dan mempertimbangkan berbagai
hubungan yang ada. Setelah itu individu akan membuat keputusan tentang
berbagai hal khususnya dalam bidang karir dan gaya hidup (Santrock, 2003). Hal
ini sesuai dengan pendapat peneliti yang pada awal tadi menyebutkan bahwa
remaja masuk dalam situasi yang penuh dengan kebingungan akan identitas diri
mereka yang tidak pasti.
Adanya keinginan untuk mencoba berbagai gaya hidup dan pengaruh
kelompok sosial yang semakin meningkat dalam pemilihan suatu gaya hidup turut
mempengaruhi siswi untuk memilih suatu gaya hidup tertentu, tidak terkecuali
gaya hidup yang menawarkan banyak kesenangan atau gaya hidup konsumtif
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
hubungan antara minat membaca majalah remaja dengan gaya hidup konsumtif
pada siswi SMU Pangudi Luhur Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam
pengertian ini dirumuskan sebagai berikut: “Apakah ada hubungan antara minat
membaca majalah remaja dengan gaya hidup konsumtif pada remaja putri?” C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah: untuk mengetahui hubungan antara minat
membaca majalah remaja dengan terbentuknya gaya hidup konsumtif pada remaja
putri.
D. Manfaat Penelitian
Setelah mengetahui hubungan antara minat membaca majalah remaja
dengan gaya hidup konsumtif pada remaja putri, manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoritis
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang psikologi,
2. Manfaat praktis
Diharapkan dapat berguna sebagai masukan untuk remaja agar lebih selektif
terhadap pengaruh-pengaruh yang diterimanya, sehingga tidak mudah