• Tidak ada hasil yang ditemukan

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindung

PENDAHULUAN Latar Belakang

Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi (Soetrisno, 1998). Hal ini lebih diperjelas dalam amanat Undang-undang No 7 tahun 1996, bahwa “ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Dengan demikian ketahanan pangan merupakan suatu yang sangat penting demi terjaminnya kelangsungan hidup manusia.

Ketahanan pangan tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga penyediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya (Braun et al.1992). Tingkat keamanan suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap tingkat penyediaan dan distribusi pangan hingga tingkat rumah tangga.

Tragedi musibah gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) telah mengakibatkan lebih dari 100 ribu nyawa manusia meninggal serta ratusan ribu penduduk kehilangan tempat tinggal, harta benda dan pekerjaan. Dampak dari bencana alam tersebut adalah meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran, anak putus sekolah, menurunnya tingkat pendidikan, kesehatan, kesejahteraan hidup dan sebagainya. Jumlah penduduk yang mengungsi akibat terjadinya musibah gempa dan tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara keseluruhan berjumlah 514.150 orang. Menurut Tim Monitoring Gempa dan Tsunami Aceh Nias (2005), wilayah Aceh Besar dan Kotamadya Banda Aceh merupakan yang terparah yaitu mencapai 210.802 orang ( 41%), diikuti dengan Kabupaten Aceh Jaya yaitu 102.830 orang (20%), Aceh Barat mencapai 97.689 orang (19%)dan Kabupaten Pidie mencapai 85.860 orang (17%) dan mereka tinggal di barak-barak pengungsian, dimana kondisinya banyak yang mengalami kekurangan pangan dan gizi. Di samping itu pula banyak penduduk yang

kehilangan pekerjaan serta sumber pendapatan yang secara tidak langsung berdampak pada menurunya akses ekonomi rumah tangga.

Musibah bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh memperburuk kondisi ekonomi sehingga harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam dan banyak keluarga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Hal tersebut berdampak pada pemenuhan gizi keluarga. Sehingga pada dua tahun terakhir ini kembali muncul masalah gizi kurang.

First Informal Consultation on Growth of Children menyepakati bahwa pertumbuhan anak merupakan indikator kunci dalam status gizi anak, sehingga dapat menggambarkan bagaimana suatu masyarakat akan melaksanakan pembangunan (UNICEF 1998). Jika status gizi anak menjadi indikator penting, maka perhatian harus lebih diarahkan pada bagaimana agar anak tetap berada pada garis pertumbuhan yang optimal sehingga sumber daya manusia yang berkualitas dapat tercapai.

Sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu modal dasar pembangunan karena dimensinya yang begitu kompleks dan salah satu yang paling mendasar adalah faktor gizi masyarakat yang tercermin oleh keadaan gizi individu (Syarif, 1997). Selain itu kualitas SDM dapat ditentukan oleh pembinaan kesehatan dan konsumsi pangan. Pembinaan pertama dan utama terhadap anak terjadi di dalam keluarga, seorang ibu mempunyai peran dan andil yang sangat besar dalam pembinaan anak. Untuk mempersiapkan anak tersebut menjadi manusia yang berguna maka harus dimulai sejak usia dini. Pertumbuhan otak seorang anak sangat ditentukan pada masa awal (balita). Apabila anak pada usia tersebut mengalami kurang gizi maka dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan otak yang mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasannya.

Dari uraian tersebut perlu kiranya dilakukan penelitian terhadap keluarga korban gempa dan tsunami yaitu berkaitan dengan ketahanan pangan dan gizi. Hal ini karena belum adanya penelitian yang dilakukan di daerah Aceh khususnya Kabupaten Pidie setelah terkena bencana gempa dan tsunami. Masalah ini sangat penting bagi pemerintah daerah sebagai bahan dalam menyusun rancangan

Tujuan penelitian Tujuan Umum

Menganalisis ketahanan pangan dan gizi rumah tangga korban gempa dan tsunami di Kabupaten Pidie.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga 2. Menganalisis tingkat ketahanan pangan dan gizi keluarga

3. Menganalisis hubungan pendapatan dan status gizi terhadap ketahanan pangan keluarga.

4. Menyusun rekomendasi untuk pemenuhan konsumsi gizi keluarga yang optimal bagi rumah tangga dengan memperhatikan kandungan zat gizi masing-masing pangan yang kemudian dibagi dengan Angka Kebutuhan Energi/Protein (AKE/P) keluarga.

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah Kabupaten Pidie, sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan ketahanan pangan dan gizi. Selain itu, sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi penelitian berikutnya yang lebih mengkaji tentang pengelolaan ketidaktahanan pangan keluarga yang akut maupun kronis.

TINJAUAN PUSTAKA

Ketahanan Pangan dan Gizi Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Gizi

Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (Household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.

Sehubungan dengan itu untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga diperlukan kelembagaan pangan karena ketahanan pangan mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan ketatalaksanaan (Soetrisno, 1996). Secara nasional di Departemen Pertanian terdapat Badan Urusan Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan.

Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat. Kerjasama tersebut dimaksudkan sebagai penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan seperti peningkatan jaminan ekonomi dan pekerjaan, bantuan pangan melalui jaringan

pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya.

Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumah tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitori) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo, 1995).

Menurut Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup.

Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Gizi

Dengan semakin disadari pentingnya untuk selalu memantau kondisi ketahanan pangan, maka upaya-upaya terus aktif dilakukan untuk mengembangkan berbagai metoda pengukuran dan peramalan agar sedapat mungkin menggambarkan keadaan yang sebenarnya sedang atau akan terjadi.

Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan.

Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan.

dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Khomsan (1999) bahwa indikator ketahanan pangan di Jawa di ukur dari indikator tingkat konsumsi energi atau protein yang ditentukan oleh konsumsi beras, tahu dan tempe.

Dari uraian diatas menggambarkan bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu Chung (1997) merangkum berbagai indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam sebuah kerangka konseptual seperti berikut ini:

Gambar 1 Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan (Chung 1997) Ketersediaan Pangan Akses pangan Pemanfaatan pangan Out put Sumber daya : Fisik, Manusia, dan Sosial Produksi pangan Pendapatan : Pertanian Non pertanian Konsumsi pangan Status Gizi: Anak dan Dewasa

Pengukuran Ketahanan Pangan dan Gizi Rumah Tangga

Salah satu pengkasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food secure (tahan Pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil, ibu menyusui dan balita). Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70 % (Zeitlin & Brown, 1990).

Di Indonesia Sumarwan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dari proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E & P > 100 %). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan (E & P < 100 %). Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui survei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar dkk, 2001).

Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi Pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempurna (makanan pokok, lauk pauk, sayur buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya

Menurut Soetrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan rumahtangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) risiko ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan

pengetahuan dan aspek sosio-budaya.

Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 3 faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi.

Ketersediaan pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menurut Djogo (1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo, 1989). Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi.

Daya beli. Kemampuan membeli atau “daya beli” merupakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin (Hardjana, 1994).

Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI, 1998) kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyo, 1996). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo, 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan.

Pengetahuan pangan dan gizi. Secara umum perilaku konsumsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/KB, ciri-ciri sosial yang dimiliki (umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber (Susanto, 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah (Soemarwoto, 1994).

Status Gizi

Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan ( absorbsi ), dan penggunaan ( utilization ) zat gizi ( Riyadi, 1995 ). Status gizi seorang atau sekelompok orang dapat menunjukkan apakah seseorang atau sekelompok orang gizinya baik. Masalah gizi khususnya pada balita memerlukan perhatian yang serius karena kecukupan gizinya akan mempengaruhi tumbuh kembangnya. Keadaan gizi balita selain menggambarkan kondisi balita itu sendiri , juga menggambarkan keadaan gizi masyarakat . Oleh karena itu penilaiannya didekati

jumlah anak pada status gizi tertentu (misalnya jumlah gizi kurang dan buruk) terhadap jumlah seluruh anak yang diukur (Suhardjo & Riyadi, 1990).

Bayi sampai usia lima tahun atau lazimdisebut balita merupakan salah satu kelompok penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi makro terutama Kurang Energi Protein (KEP). Menurut Soekirman (1999), KEP pada anak balita sangat berbeda sifatnya dengan KEP orang dewasa. Pertama, KEP anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah dan masyarakat, bahkan oleh keluarga . Artinya, andaikata di suatu desa terdapat sejumlah anak yang menderita gizi kurang karena KEP , tidak segera mendapat perhatian karena tidak tampak sakit.

Kedua, terjadinya gizi kurang pada balita tidak selalu didahului oleh bencana kurang pangan dan kelaparan seperti halnya pada gizi buruk orang dewasa. Artinya dalam keadaan pangan di pasar berlimpah, masih mungkin terjadi gizi buruk pada balita. Oleh karena itu KEP balita sering juga disebut “tersembunyi” atau “hidden hunger”. Ketiga, oleh karena faktor penyebab timbulnya gizi kurang anak balita lebih komplek, maka penanggulangannya memerlukan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi.

Penilaian status gizi bisa dilakukan secara lansung, yaitu dengan penilaian antropometri (ukuran tubuh). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran demensi tubuh dankomposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi D.N.I. Supriana et al (2002).

Defenisi antropometrik menurut Jellife (1966) dalam Gibson (1990) adalah “pengukuran variasi dimensi fisik dan komposisi kasar dari tubuh manusia pada level umur dan tingkatan-tingkatan gizi yang berbeda”. Beberapa macam indikator yang dapat dipergunakan antara lain berat badan (BB), tinggi badan (TB), lingkar lengan atas (LLA) disesuaikan dengan usia (U), dan sebagainya. Dari berbagai pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan yang sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi. Untuk keperluan perorangan di keluarga, pengukuran berat badan (BB) dan kadang-kadang tinggi badan (TB) atau panjang badan (PB) adalah yang paling dikenal.

Pada tahun 1974, US National Academy of Science mengembangkan suatu standar antropometri yang baru untuk populasi di Amirika Serikat. Hasil survei beberapa tahun dinyatakan dalam tabel dan grafik dari kombinasi standar populasi, yang berasal dari tingkat ekonomi dan suku yang berbeda di Amirika Serikat. Tabel untuk anak umur 0 – 3 tahun, dikompilasi dari survei Fels Research Institute . Tabel untuk anak umur 3 -18 tahun digunakan data yang dikumpulkan oleh Health Examination Survey dari National Center for Health Statistics. Tabel dan kurve dalam persentil tersedia untuk BB, TB, lingkar lengan Atas (LLA), lapisan lemak bawah kulit (LLBK), dan lingkar kepala.

Terdapat dua cara penilaian yang dapat digunakan dengan standar NCHS/WHO, yaitu cara persen terhadap median dan z skor. Keuntungan menggunakan z skor adalah hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri . Penentuan prevalensi dengan cara z skor lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi, baik menurut umur maupun masing-masing indeks. Oleh karena pertimbangan keunggulan kompetitif pengukuran z skor, maka dalam penelitian ini, untuk mengukur status gizi balita digunakan skor simpangan baku (z skor). Hasil interprestasi persen terhadap median dan z skor disajikan sebagai berikut. :

Tabel 1. Kriteria status gizi menurut BB/U, TB/U, dan BB/TB sesuai standar Baku NCHS/WHO

Katagori status gizi BB/U TB/U BB/TB

Baik > 80% > 95% > 90%

Sedang 70 – 80% 90 – 95% 80 – 90%

Kurang 60 – 70% 85 – 90% 70 – 80%

Buruk < 60% < 85% < 70%

Tabel 2. Kriteria Status Gizi Berdasarkan Perhitungan Nilai z skor BB/U, TB/U, dan BB/TB Rujukan WHO-NCHS

Indeks Nilai z skor Status gizi

z skor < -2 Gizi kurang

-2 ≤ z skor ≤ 2 Normal

BB/U

z skor > 2 Gizi lebih

z skor < -2 Gizi kurang (Stunting)

-2 ≤ z skor ≤ 2 Normal

TB/U

z skor > 2 Gizi lebih

BB/TB z skor < -2 Gizi kurang (Wasting)

-2 ≤ z skor ≤ 2 Normal

z skor > 2 Gizi lebih

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Besar Keluarga

Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan. Suhardjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar. Seperti juga yang dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit.

Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa besar keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga, akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Harper (1988), mencoba menghubungkan antara besar keluarga dan konsumsi pangan, diketahui bahwa

keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.

Pendidikan Ibu

Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga. Sanjur (1982) menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga berhubungan positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi pangan keluarga dan pola pemberian makanan pada bayi dan anak.

Tingkat pendidikan akan mempengaruhikonsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan lebih rendah (Moehdji, 1986). Tetapi hasil penelitian lain menyatakan bahwa tingkat pendidikan umum yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di bidang gizi terutama ibu, ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan untuk keluarga (Sediaoetama, 1996).

Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi permukiman. Kusnoputranto (1983) mendifinisikan sanitasi lingkungan sebagaiusaha-usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal yang merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia. Sedangkan menurut Entjang (1993) sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak, sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan.

mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan di Indonesia terutama meliputi faktor-faktor (1) penyediaan air rumah tangga yang baik, (2) pengaturan pembuangan kotoran manusia, (3) pengaturan pembuangan sampah, (4) pengaturan pembuangan air limbah, (5) pengaturan rumah sehat, (6) pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat dan nyamuk, (7) pengawasan polusi udara dan (8) pengawasan radiasi dari sisa-sisa zat radio aktif. (Entjang, 1993). Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang.

Dokumen terkait