KETAHANAN PANGAN DAN GIZI BAGI KELUARGA
KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI
DI KABUPATEN PIDIE
A. RAKHMAN
KETAHANAN PANGAN DAN GIZI BAGI KELUARGA
KORBAN GEMPA DAN TSUNAMI
DI KABUPATEN PIDIE
A. RAKHMAN
Tugas akhir
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada
Program Studi Manajemen Ketahanan Pangan Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Ketahanan Pangan dan Gizi bagi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami di Kabupaten Pidie
N a m a : A. Rakhman
NRP : A 552050085
Disetujui : Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS. Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. Ketua Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Ketahanan Pangan dan Gizi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami di Kabupaten Pidie adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepeda perguruan tinggi mana pun . Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2007
ABSTRACT
A.RAKHMAN. Food and Nutrition Security in Earthquake and Wave Tsunami Victims Household at Pidie District. Under direction of Yayuk Farida Baliwati and Dadang Sukandar
The earthquake and wave tsunami tragedy on December 26, 2004 in Pidie District NAD caused 85.860 people to be evacuated and live at refuge barracks. They were suffering deficiency of food and nutrition, and most of them lost their jobs and income, which indirectly impacted on the decrease of their household economics. The rate of food access in refuge household based on household income can be classified into “poor” category (24%), in which their food necessity is supported by Pidie District Government, while 76% is in the category of “not poor” and can support their consumption from food secure and their own income. If food consumption is used as an indicator for food secure household, a household is considered to have food insecure if their consumption is lower than 70% from sufficiency calories suggested: 2000 Kcal/people/day. The aim of this research was to analyze food secure and nutrition household in Pidie District.
The research design was cross-sectional study. This research was conducted from November 2006 to January 2007 at Pidie District (sub district Kota Sigli, Simpang Tiga, Kembang Tanjong, Pantee Raja and Trenggadeng). Sampling technique used was stratified random sampling with proportional allocation, in which of the total population of 2.158 households only 100 households were taken as samples. Data that were collected in this research consist of primary and secondary data, and they were analyzed by SPSS version 11 and SAS version 8 for Windows.
The results showed that most of the children samples were male (56.0%), whose ages ranged from 4 to 33 months (57.0%). The level of education of the head household and wife were mostly junior high school and senior high school. The monthly income per capita of respondents fell into the middle category, ranging between IDR 81,520 and IDR 441,480 (85.0%), the high category (with an income of > IDR 441,480) of about 10%, and the low category (with an income of < IDR 81,250) of about 5%. Proportion of food expenditure by household was 65.5% and non food was 34.5%, with the main food price especially rice was stable (from IDR 4,800 to IDR 5,000). The cut off food secure of household based on food consumption was 67.0% for food secure and 33.0% under food insecure category. The nutritional status of 51.0% samples was categorized as normal. There were positive correlations between household income and household food security and negative correlations between nutritional status of sample and household food security.
The average consumption of calorie, protein, vitamin A and iron of households was lower than the required nutrition sufficiency rate for a household. Most of the households were still in the normal level (51%). However, there were still a lot of babies with the underweight nutrition status (49%). There was a significant positive correlation (p<0.05) between income per capita per household per month and the level of food security of the household and there was a negative correlation of non r (p>0.05) between the sample nutrition status and the household food secure level.
The results of goal programming showed that the households of four members with the income of IDR 9,200/day could not fulfill the energy sufficient level (ESL) and protein sufficient level (PSL) of 70% or over. An ESL of 75% and a PSL of 110% can only be achieved if the income is IDR 20,000 per day.
RINGKASAN
A.RAKHMAN, Ketahanan Pangan dan Gizi Keluarga Korban Gempa dan Tsunami di Kabupaten Pidie. Dibimbing oleh Yayuk Farida Baliwati dan Dadang Sukandar.
Tragedi musibah gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Nanggroe Aceh Darusalam (NAD), menyebabkan terjadi pengungsian di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebanyak 514.150 orang, 17.0% diantaranya terjadi di Kabupaten Pidie dan mereka tinggal di barak-barak pengungsian, dimana kondisinya banyak yang mengalami kekurangan pangan dan gizi, disamping itu pula banyak penduduk yang kehilangan pekerjaan serta sumber pendapatan yang secara tidak langsung berdampak pada menurunnya akses ekonomi rumah tangga. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis ketahanan pangan dan gizi rumah tangga korban gempa dan tsunami di Kabupaten Pidie.
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan November 2006 sampai Januari 2007. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kota Sigli, Simpang Tiga, Kembang Tanjong, Pantee Raja dan Trenggadeng. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga yang wilayahnya terkena gempa dan tsunami dan berada pada lima kecamatan. Penentuan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak berlapis dengan alokasi proporsional. Jumlah populasi 2158 keluarga, dari jumlah populasi tersebut diambil contoh secara acak berlapis proporsional sebanyak 100 keluarga. Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer yaitu karakteristik dan konsumsi pangan keluarga, data sekunder meliputi data luas wilayah dan jumlah penduduk. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS versi 11.0 dan SAS versi 8 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar balita contoh berjenis kelamin laki-laki (56.0%) dan berada pada kisaran umur 4 -33 bulan (57.0%). Orang tua contoh sebanyak 60.0% (kepala keluarga) dan 53.0% (isteri) berusia antara 27-46 tahun. Pendidikan sebagian besar kepala keluarga lulusan SMA 29% dan SMP 28%. Pendidkan isteri sebagian besar lulusan SMA 28% dan SMP 27%. Contoh berasal dari keluarga kecil (53%), sedang (35%) dan besar (10%). Proporsi pengeluaran keluarga untuk pangan adalah 65.5% dan non pangan 34.5%. Status gizi balita contoh berdasarkan BB/U sebagian besar (51.0%) mempunyai status gizi yang normal. Balita yang mempunyai status gizi gizi kurang(49.0%)
Saran : Diperlukan dukungan dari berbagai pihak, khususnya pemerintah Kabupaten Pidie dalam meningkatkan kualitas ketahanan pangan dan gizi rumah tangga, terutama wilayah terkena tsunami.
Rekomendasi :
Berdasarkan hasil goal programming, keluarga yang pendapatannya Rp 9.200/hari dengan anggota keluarga 4 orang tdak dapat memenuhi Tingkat kecukupan Energi (TKE) dan Tingkat Kecukupan Protein (TKP) 70% atau lebih. Untuk mencapai TKE sebesar 75% dan TKP 110% diperlukan pendapatan minimal setara Rp 20.000/hari.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia. Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya atas semua keikhlasan bantuan yang telahdiberikan, kepada :
1. Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS, selaku Ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc. selaku anggota komisi pembimbing atas
segala arahan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis. Dr.Ir.Ikeu Ekayanti, MS, sebagai dosen penguji atas segala masukannya. 2. Dekan Sekolah Pascasarjana dan staf pengajar Pascasarjana khususnya
Magister Profesional Manajemen Ketahanan Pangan beserta staf administrasi atas bekal materi pelajaran yang diberikan dan pelayanan akademik selama penulis menempuh pendidikan S2 di IPB.
3. Pemerintah Kabupaten Pidie yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di IPB.
4. Seluruh responden dalam penelitian ini, bidan desa wilayah penelitian, khususnya Bidan Baiti, yang telah banyak membantu penulis pada saat pengumpulan data.
5. Kepada ayahanda (Ahmad Amin), ibunda (Alm.Maryam Ben), Keluarga besar di Banda Aceh (terutama Muhammad Nazar S.Ag sekeluarga) di Sigli Kakanda (terutama Drs. M.Yusuf Ishaq, Tihawa Ahmad) adik dan kakak ipar yang telah memberikan kasih sayang, dukungan moril maupun materil serta do'a yang tidak putus-putusnya diberikan untuk keberhasilan penulis dalam menyelesaikan studi ini.
6. Kepada isteri tercinta Syarbaini,SPd. dan ananda Edy.Maulana, Irfan Maulidin dan Mirza Alfisyahril atas doa dan kasih sayang serta pengorbanan yang mereka curahkan dengan ikhlas.
7. Teman-teman S2 MMKP 2005 (Pak Slamet Riayadi, Pak Sukari, Pak Nasrum dan Bu Erna) yang telah membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Bogor, 8 Mei 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ulim, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tanggal 5 Juni 1962, sebagai anak ke tiga dari 4 bersaudara keluarga Akhmad dan Maryam.
Pendidikan Sekolah Menengah Atas, diselesaikan pada tahun 1981 di SNakMa Negeri Saree Aceh. Pada tahun 1998 penulis melanjutkan pendidikan di APP Bogor Jurusan Peternakan, dan pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan penjenjangan S1 pada Jurusan Produksi Ternak Universitas Abulyatama Banda Aceh dan lulus pada tahun 2003. Pada tahun 1989 penulis menikah dengan Syarbaini, SPd, saat ini dikaruniai tiga orang putra; Edi Maulsana, Irfan Maulidin, dan Mirza Alfisyahril.
Pada tahun 1981 sampai sekarang penulis menjadi penyuluh pertanian pada Kantor Informasi dan Penyuluh Pertanian (KIPP) Kabupaten Pidie
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... iv
DAFTAR LAMPIRAN ... v
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 3
Kegunaan ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Ketahanan Pangan dan Gizi ... 5
Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Gizi ... 5
Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Gizi ... 6
Pengukuran Ketahanan Pangan dan Gizi Rumah Tangga ... 8
Status Gizi ... 10
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga ... 13
Besar Keluarga ... 13
Pendidikan Ibu ... 14
Sanitasi Lingkungan ... 14
Pendapatan Keluarga ... 15
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ... 17
Kerangka Pemikiran ... 17
Hipotesis ... 19
METODE PENELITIAN ... 20
Disain, Waktu dan Tempat ... 20
Tehnik Penarikan Contoh ... 20
Jenis dan Cara Pengambilan Data ... 22
Pengolahan dan Analisis Data ... 23
Goal Programming Untuk Rekomendasi Konsumsi Pangan ... 25
Definisi Operasional ... 29
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
Gambaran Umum Contoh... 32
Karakteristik Conth ... 32
Karakteristik Keluarga Contoh... 32
Frekuensi Makan ... 34
Aset Keluarga yang Rusak/Hilang akibat Tsunami ... 35
Kesehatan Lingkungan ... 35
Sanitasi Lingkungan ... 35
Pelayanan Kesehatan ... 38
Ketahanan Pangan dan Gizi ... 38
Akses Pangan dan Pendapatan Keluarga ... 38
Pengeluaran Keluarga ... 39
Persepsi Keluarga Tentang Ketahanan Pangan ... 40
Konsumsi Pangan Keluarga ... 43
Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berdasarkan Tingkat Kecukupan Energi ... 44
Status Gizi Anak Balita ... 45
Hubungan Antar Variabel ... 46
Hubungan Pendapatan dengan Ketahanan Pangan Keluarga ... 46
Hubungan Status Gizi Contoh dengan Ketahanan Pangan Keluarga ... 46
Penyusunan Rekomendasi Konsumsi Keluarga ... 47
Rekomendasi Konsumsi Pangan untuk Keluarga Tidak Miskin ... 51
Rekomendasi Konsumsi Pangan untuk Keluarga Miskin ... 54
KESIMPULAN DAN SARAN... 55
Kesimpulan... 55
Saran... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Kriteria status gizi menurut BB/U, TB/U, dan BB/TB sesuai
standar Baku NCHS/WHO ... 12
2. Kriteria status gizi berdasarkan perhitungan nilai z skor BB/U, TB/U, dan BB/TB Rujukan WHO-NCHS... 13
3. Jumlah populasi dan contoh ... 21
4. Jenis dan cara pengambilan data ... 23
5. Pengkategorian beberapa variabel penelitian ... 24
6. Sebaran keluarga berdasarkan jenis kelamin contoh ... 32
7. Sebaran keluarga berdasarkan umur contoh ... 32
8. Sebaran keluarga berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan isteri ... 33
9. Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan KK dan isteri...33
10.Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga……… 34
11. Sebaran keluarga menurut frekuensi mengkonsumsi pangan ... 34
12. Sebaran keluarga responden berdasarkan aset yang rusak/hilang akibat tsunami ... 35
13. Sebaran keluarga menurut keadaan ruangan rumah ... 36
14 Sebaran keluarga berdasarkan keadaan lantai dan dapur rumah ... 36
15. Sebaran keluarga menurut keadaan lingkungan rumah ... 37
16. Sebaran keluarga berdasarkan tempat buang hajat, tempat mandi dan tempat cuci ... 37
17. Sebaran keluarga berdasarkan sosial ekonomi keluarga ... 39
18. Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan dan pengeluaran pangan keluarga ... 40
19. Sebaran keluarga menurut klasifikasi ketahanan pangan ... 41
20. Sebaran keluarga menurut keadaan ketahanan pangan rumah tangga ... 42
21. Sebaran keluarga menurut keadaan ketahanan pangan rumah tangga ... 42
22. Cara keluarga mengatasi kekurangan pangan ... 43
23. Rata-rata dan simpangan baku konsumsi energi dan zat gizi keluarga ... 44
25. Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat
ketahanan pangan dari segi konsumsi energi ... 45 26. Sebaran keluarga menurut status gizi dengan indeks BB/U ... 45 27. Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga dengan
tingkat ketahanan pangan rumah tangga ... 46 28. Sebaran keluarga berdasarkan status gizi contoh dengan
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Pengembangan kerangka pemikiran ketahanan pangan
(Chung, 1997) ... 7 2. Kerangka pemikiran ketahanan pangan rumah tangga dan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat dan setiap individu yang mempunyai akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun ekonomi (Soetrisno, 1998). Hal ini lebih diperjelas dalam amanat Undang-undang No 7 tahun 1996, bahwa “ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau”. Dengan demikian ketahanan pangan merupakan suatu yang sangat penting demi terjaminnya kelangsungan hidup manusia.
Ketahanan pangan tidak hanya pada penyediaan pangan tingkat wilayah tetapi juga penyediaan dan konsumsi pangan tingkat daerah dan rumah tangga bahkan individu dalam memenuhi kebutuhan gizinya (Braun et al.1992). Tingkat keamanan suatu wilayah sangat berpengaruh terhadap tingkat penyediaan dan distribusi pangan hingga tingkat rumah tangga.
kehilangan pekerjaan serta sumber pendapatan yang secara tidak langsung berdampak pada menurunya akses ekonomi rumah tangga.
Musibah bencana alam gempa bumi dan tsunami di Aceh memperburuk kondisi ekonomi sehingga harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam dan banyak keluarga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya. Hal tersebut berdampak pada pemenuhan gizi keluarga. Sehingga pada dua tahun terakhir ini kembali muncul masalah gizi kurang.
First Informal Consultation on Growth of Children menyepakati bahwa pertumbuhan anak merupakan indikator kunci dalam status gizi anak, sehingga dapat menggambarkan bagaimana suatu masyarakat akan melaksanakan pembangunan (UNICEF 1998). Jika status gizi anak menjadi indikator penting, maka perhatian harus lebih diarahkan pada bagaimana agar anak tetap berada pada garis pertumbuhan yang optimal sehingga sumber daya manusia yang berkualitas dapat tercapai.
Sumber daya manusia yang berkualitas sebagai salah satu modal dasar pembangunan karena dimensinya yang begitu kompleks dan salah satu yang paling mendasar adalah faktor gizi masyarakat yang tercermin oleh keadaan gizi individu (Syarif, 1997). Selain itu kualitas SDM dapat ditentukan oleh pembinaan kesehatan dan konsumsi pangan. Pembinaan pertama dan utama terhadap anak terjadi di dalam keluarga, seorang ibu mempunyai peran dan andil yang sangat besar dalam pembinaan anak. Untuk mempersiapkan anak tersebut menjadi manusia yang berguna maka harus dimulai sejak usia dini. Pertumbuhan otak seorang anak sangat ditentukan pada masa awal (balita). Apabila anak pada usia tersebut mengalami kurang gizi maka dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan otak yang mempengaruhi kualitas dan tingkat kecerdasannya.
Tujuan penelitian
Tujuan Umum
Menganalisis ketahanan pangan dan gizi rumah tangga korban gempa dan tsunami di Kabupaten Pidie.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi keluarga 2. Menganalisis tingkat ketahanan pangan dan gizi keluarga
3. Menganalisis hubungan pendapatan dan status gizi terhadap ketahanan pangan keluarga.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah Kabupaten Pidie, sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan dan pelaksanaan ketahanan pangan dan gizi. Selain itu, sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi penelitian berikutnya yang lebih mengkaji tentang pengelolaan ketidaktahanan pangan keluarga yang akut maupun kronis.
TINJAUAN PUSTAKA
Ketahanan Pangan dan Gizi
Konsep Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Gizi
Ketahanan Pangan Rumah Tangga sebagaimana hasil rumusan International
Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992
mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (Household food
security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan
anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan
kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995
definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh
budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal lain dinyatakan Hasan
(1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain
tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan
terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya
konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang
diterima budaya setempat. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 1996 tentang Pangan dinyatakan bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.
Sehubungan dengan itu untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah
tangga diperlukan kelembagaan pangan karena ketahanan pangan mempunyai
cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan,
organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan ketatalaksanaan
(Soetrisno, 1996). Secara nasional di Departemen Pertanian terdapat Badan
Urusan Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan.
Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan
diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya
pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan
penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat
menilai dan memperkuat ketahanan pangannya.
Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity)
tingkat rumah tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi
dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya
beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan
gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut
(transitori) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana
alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat
tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo,
1995).
Menurut Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan
memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak
mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup.
Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Gizi
Dengan semakin disadari pentingnya untuk selalu memantau kondisi
ketahanan pangan, maka upaya-upaya terus aktif dilakukan untuk
mengembangkan berbagai metoda pengukuran dan peramalan agar sedapat
mungkin menggambarkan keadaan yang sebenarnya sedang atau akan terjadi.
Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian
ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator
tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator
dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh
ketersediaan dan akses pangan.
Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses
terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi,
pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi
strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan.
Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang
dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Penelitian
yang telah dilakukan oleh Khomsan (1999) bahwa indikator ketahanan pangan di
Jawa di ukur dari indikator tingkat konsumsi energi atau protein yang ditentukan
oleh konsumsi beras, tahu dan tempe.
Dari uraian diatas menggambarkan bahwa ketahanan pangan merupakan
konsep yang multidimensi yaitu meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai
dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu Chung (1997)
merangkum berbagai indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam sebuah
kerangka konseptual seperti berikut ini:
Gambar 1 Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan (Chung 1997) Ketersediaan
Pangan
Akses pangan
Pemanfaatan pangan
Out put
Sumber daya : Fisik, Manusia, dan Sosial
Produksi pangan
Pendapatan : Pertanian Non pertanian
Konsumsi pangan
Status Gizi: Anak dan
Pengukuran Ketahanan Pangan dan Gizi Rumah Tangga
Salah satu pengkasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food
secure (tahan Pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat
dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator out put yaitu konsumsi
pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil, ibu
menyusui dan balita). Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika
tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70 % (Zeitlin
& Brown, 1990).
Di Indonesia Sumarwan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan
pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan
protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi
dari proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E
& P > 100 %). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari kecukupan,
maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan (E & P < 100 %).
Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat
diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan
cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka
kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan
pangan melalui survei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial
ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti
pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan
sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap
ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar dkk, 2001).
Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah
(1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor
diversifikasi Pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang
dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah
memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan
dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempurna
(makanan pokok, lauk pauk, sayur buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya
menggunakan unit konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis
Menurut Soetrisno (1995) dua komponen penting dalam ketahanan pangan
adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan
suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan
ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat
kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan
Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah
akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses
serta ketersediaan pangan tersebut. Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan
rumahtangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan
yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) risiko ketidaktahanan pangan
tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya
produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut
Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya
oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan
kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan
pengetahuan dan aspek sosio-budaya.
Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga
tersebut diatas, dapat dirinci menjadi 3 faktor yaitu faktor ketersediaan pangan,
daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi.
Ketersediaan pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan
pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak
begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan
meningkatkan produksi pangan sendiri. Menurut Djogo (1994) daerah yang
memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan
yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada
apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan
makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo, 1989).
Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual
bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi.
Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI, 1998) kurangnya
ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga,
ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan
lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang
diperlukan (Sajogyo, 1996). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan
rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli
makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga
rendah (Suhardjo, 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa
faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan
oleh harga makanan.
Pengetahuan pangan dan gizi. Secara umum perilaku konsumsi makanan
seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang
dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih
lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang
berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/KB, ciri-ciri sosial yang dimiliki
(umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan
informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai
sumber (Susanto, 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan
karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula
nilai sosial yang rendah (Soemarwoto, 1994).
Status Gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang atau
sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan ( absorbsi ), dan
penggunaan ( utilization ) zat gizi ( Riyadi, 1995 ). Status gizi seorang atau
sekelompok orang dapat menunjukkan apakah seseorang atau sekelompok orang
gizinya baik. Masalah gizi khususnya pada balita memerlukan perhatian yang
serius karena kecukupan gizinya akan mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Keadaan gizi balita selain menggambarkan kondisi balita itu sendiri , juga
menggambarkan keadaan gizi masyarakat . Oleh karena itu penilaiannya didekati
jumlah anak pada status gizi tertentu (misalnya jumlah gizi kurang dan buruk)
terhadap jumlah seluruh anak yang diukur (Suhardjo & Riyadi, 1990).
Bayi sampai usia lima tahun atau lazimdisebut balita merupakan salah satu
kelompok penduduk yang rawan terhadap kekurangan gizi makro terutama
Kurang Energi Protein (KEP). Menurut Soekirman (1999), KEP pada anak balita
sangat berbeda sifatnya dengan KEP orang dewasa. Pertama, KEP anak balita
tidak mudah dikenali oleh pemerintah dan masyarakat, bahkan oleh keluarga .
Artinya, andaikata di suatu desa terdapat sejumlah anak yang menderita gizi
kurang karena KEP , tidak segera mendapat perhatian karena tidak tampak sakit.
Kedua, terjadinya gizi kurang pada balita tidak selalu didahului oleh bencana
kurang pangan dan kelaparan seperti halnya pada gizi buruk orang dewasa.
Artinya dalam keadaan pangan di pasar berlimpah, masih mungkin terjadi gizi
buruk pada balita. Oleh karena itu KEP balita sering juga disebut “tersembunyi”
atau “hidden hunger”. Ketiga, oleh karena faktor penyebab timbulnya gizi kurang
anak balita lebih komplek, maka penanggulangannya memerlukan pendekatan
dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi.
Penilaian status gizi bisa dilakukan secara lansung, yaitu dengan penilaian
antropometri (ukuran tubuh). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri
gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran demensi tubuh
dankomposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi D.N.I. Supriana et
al (2002).
Defenisi antropometrik menurut Jellife (1966) dalam Gibson (1990) adalah
“pengukuran variasi dimensi fisik dan komposisi kasar dari tubuh manusia pada
level umur dan tingkatan-tingkatan gizi yang berbeda”. Beberapa macam
indikator yang dapat dipergunakan antara lain berat badan (BB), tinggi badan
(TB), lingkar lengan atas (LLA) disesuaikan dengan usia (U), dan sebagainya.
Dari berbagai pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan
yang sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei gizi.
Untuk keperluan perorangan di keluarga, pengukuran berat badan (BB) dan
Pada tahun 1974, US National Academy of Science mengembangkan suatu
standar antropometri yang baru untuk populasi di Amirika Serikat. Hasil survei
beberapa tahun dinyatakan dalam tabel dan grafik dari kombinasi standar
populasi, yang berasal dari tingkat ekonomi dan suku yang berbeda di Amirika
Serikat. Tabel untuk anak umur 0 – 3 tahun, dikompilasi dari survei Fels Research
Institute . Tabel untuk anak umur 3 -18 tahun digunakan data yang dikumpulkan
oleh Health Examination Survey dari National Center for Health Statistics. Tabel
dan kurve dalam persentil tersedia untuk BB, TB, lingkar lengan Atas (LLA),
lapisan lemak bawah kulit (LLBK), dan lingkar kepala.
Terdapat dua cara penilaian yang dapat digunakan dengan standar
NCHS/WHO, yaitu cara persen terhadap median dan z skor. Keuntungan
menggunakan z skor adalah hasil hitung telah dibakukan menurut simpangan baku
sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks
antropometri . Penentuan prevalensi dengan cara z skor lebih akurat
dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi,
baik menurut umur maupun masing-masing indeks. Oleh karena pertimbangan
keunggulan kompetitif pengukuran z skor, maka dalam penelitian ini, untuk
mengukur status gizi balita digunakan skor simpangan baku (z skor). Hasil
interprestasi persen terhadap median dan z skor disajikan sebagai berikut. :
Tabel 1. Kriteria status gizi menurut BB/U, TB/U, dan BB/TB sesuai standar Baku NCHS/WHO
Katagori status gizi BB/U TB/U BB/TB
Baik > 80% > 95% > 90%
Sedang 70 – 80% 90 – 95% 80 – 90%
Kurang 60 – 70% 85 – 90% 70 – 80%
Buruk < 60% < 85% < 70%
Tabel 2. Kriteria Status Gizi Berdasarkan Perhitungan Nilai z skor BB/U, TB/U, dan BB/TB Rujukan WHO-NCHS
Indeks Nilai z skor Status gizi
z skor < -2 Gizi kurang
-2 ≤ z skor ≤ 2 Normal
BB/U
z skor > 2 Gizi lebih
z skor < -2 Gizi kurang (Stunting)
-2 ≤ z skor ≤ 2 Normal
TB/U
z skor > 2 Gizi lebih
BB/TB z skor < -2 Gizi kurang (Wasting)
-2 ≤ z skor ≤ 2 Normal
z skor > 2 Gizi lebih
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
Besar Keluarga
Banyaknya anggota keluarga akan mempengaruhi konsumsi pangan.
Suhardjo (1989) mengatakan bahwa ada hubungan sangat nyata antara besar
keluarga dan kurang gizi pada masing-masing keluarga. Jumlah anggota keluarga
yang semakin besar tanpa diimbangi dengan meningkatnya pendapatan akan
menyebabkan pendistribusian konsumsi pangan akan semakin tidak merata.
Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga besar mungkin hanya cukup untuk
keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut. Keadaan yang demikian
tidak cukup untuk mencegah timbulnya gangguan gizi pada keluarga besar.
Seperti juga yang dikemukakan Berg (1986) bahwa jumlah anak yang menderita
kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan
keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota
banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit.
keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan lebih sulit untuk
memenuhi kebutuhan pangannya, jika dibandingkan keluarga dengan jumlah anak
sedikit. Lebih lanjut dikatakan bahwa keluarga dengan konsumsi pangan yang
kurang, anak balitanya lebih sering menderita gizi kurang.
Pendidikan Ibu
Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu
menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu di samping
merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga
berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga. Sanjur (1982)
menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal ibu rumah tangga berhubungan
positif dengan perbaikan dalam pola konsumsi pangan keluarga dan pola
pemberian makanan pada bayi dan anak.
Tingkat pendidikan akan mempengaruhikonsumsi melalui pemilihan bahan
pangan. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang
lebih baik dalam jumlah dan mutunya dibandingkan mereka yang berpendidikan
lebih rendah (Moehdji, 1986). Tetapi hasil penelitian lain menyatakan bahwa
tingkat pendidikan umum yang lebih tinggi tanpa disertai dengan pengetahuan di
bidang gizi terutama ibu, ternyata tidak berpengaruh terhadap pemilihan makanan
untuk keluarga (Sediaoetama, 1996).
Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan biasanya sangat erat kaitannya dengan kondisi
permukiman. Kusnoputranto (1983) mendifinisikan sanitasi lingkungan
sebagaiusaha-usaha pengendalian dari semua faktor-faktor lingkungan fisik
manusia yang mungkin menimbulkan atau dapat menimbulkan hal yang
merugikan bagi perkembangan fisik, kesehatan dan daya tahan hidup manusia.
Sedangkan menurut Entjang (1993) sanitasi lingkungan adalah pengawasan
lingkungan fisik, biologis sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan
manusia dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak,
sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sanitasi lingkungan
mempengaruhi kesehatan manusia. Pengelolaan sanitasi lingkungan di Indonesia
terutama meliputi faktor-faktor (1) penyediaan air rumah tangga yang baik, (2)
pengaturan pembuangan kotoran manusia, (3) pengaturan pembuangan sampah,
(4) pengaturan pembuangan air limbah, (5) pengaturan rumah sehat, (6)
pembasmian binatang-binatang penyebar penyakit seperti lalat dan nyamuk, (7)
pengawasan polusi udara dan (8) pengawasan radiasi dari sisa-sisa zat radio aktif.
(Entjang, 1993). Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang.
Syarief (1992) mengatakan status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu
pangan yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan
dan sanitasi termasuk sanitasi lingkungan permukiman.
Permukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik, seperti tidak
tersedianya air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran
pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi
yang menyebabkan seseorang dapat menderita kurang gizi. Penyakit infeksi
tersebut antara lain diare dan cacingan. Sediaoetama (1996) menambahkan
bahwa penyakit infeksi dari infestasi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi
dan hambatan utilisasi zat gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit kurang
energi-protein. Selain itu Suhardjo dan Riyadi (1990) juga mengatakan adanya
hubungan timbal balik antara infeksi bakteri, virus dan parasit dengan gizi kurang.
Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah semua hasil perolehan yang didapat oleh
anggota keluarga dalam bentuk uang sebagai hasil pekerjaannya. Sajogjo (1994)
menyatakan bahwa pendapatan keluarga meliputi penghasilan ditambah dengan
hasil-hasil lain. Pendapatan keluarga mempunyai peran yang penting terutama
dalam memberikan efek terhadap taraf hidup mereka. Efek di sini lebih
berorientasi pada kesejahteraan dan kesehatan, dimana perbaikan pendapatan akan
meningkatkan tingkat gizi masyarakat. Pendapatan akan menentukan daya beli
terhadap pangan dan fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan, dll) yang
Sanjur (1982) menyatakan bahwa pendapatan merupakan penentu utama
yang berhubungan dengan kualitas makanan. Hal ini diperkuat oleh Suhardjo
(1989) bahwa apabila penghasilan keluarga meningkat, penyediaan lauk pauk
akan meningkat pula mutunya.
Menurut Berg (1986), terdapat hubungan antara pendapatan dan keadaan
status gizi. Hal itu karena tingkat pendapatan merupakan faktor yang menentukan
kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Sejak lama telah disepakati
bahwa pendapatan merupakan hal utama yang berpengaruh terhadap kualitas
menu. Pernyataan itu nampak seperti logis, karena memang tidak mungkin orang
makan makanan yang tidak sanggup dibelinya. Pendapatan yang rendah
menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan
dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan
keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi
terutama bagi bayi dan balita. Dalam kaitannya dengan status gizi, Sayogyo,
Soehardjo, dan Khumaidi (1994) menyatakan bahwa pendapatan mempunyai
hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi
pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik. Menurut
Berg (1986), pertambahan pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada
konsumsi pangan, karena walaupun banyak pengeluaran uang untuk pangan,
mungkin akan makan lebih banyak, tetapi belum tentu kualitas pangan yang dibeli
lebih baik.
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa antara pendapatan dan
gizi, jelas ada hubungan yang menguntungkan. Berlaku hampir universal,
peningkatan pendapatan akan berpengaruh terhadap perbaikan kesehatan dan
kondisi keluarga dan selanjutnya berhubungan dengan status gizi. Namun
peningkatan pendapatan atau daya beli seringkali tidak dapat mengalahkan
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
Kerangka PemikiranKetahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan setiap rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan konsumsi pangan bagi anggota keluarganya. Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dikonsumsi oleh seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan memenuhi kebutuhan gizi. Konsumsi pangan keluarga banyak dipengaruhi oleh kebiasaan makan. Pada umumnya kebiasaan makan suatu keluarga yang satu akan berbeda dengan kebiasaan makan keluarga yang lain.
Konsumsi pangan yang beragam, bergizi dan berimbang dalam keluarga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah pengetahuan gizi khususnya ibu rumah tangga, frekuensi makan, pendapatan dan harga pangan, dapat mempengaruhi pada pemilihan jenis dan jumlah yang harus dikonsumsi oleh anggota keluarganya.
Semakin tingginya pengetahuan gizi ibu rumah tangga, akan semakin baik pula pengaturan konsumsi dalam keluarga, dan akan lebih tahu tentang manfaat makanan yang dikonsumsinya. Semakin tinggi pengetahuan gizi semakin baik pula pengaturan frekuensi makan sehingga turut pula menentukan jumlah konsumsi pangan. Selanjutnya pendapatan terkait erat dengan jumlah dan jenis bahan pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Selain itu konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh harga pangan, semakin tinggi harga pangan akan semakin sulit untuk mencukupi kebutuhan konsumsi pangan keluarga. Selain itu dipengaruhi juga oleh beberapa hal diantaranya produksi pangan dan ketersediaan pangan.
[image:34.612.107.502.86.465.2]
Keterangan : Tidak diteliti Diteliti
Gambar 2 Kerangka pemikiran ketahanan pangan rumah tangga dan status gizi keluarga korban gempa dan tsunami di Kabupaten Pidie.
Status Gizi Konsumsi
Pangan
Sanitasi Lingkungan
Frekuensi Makan Pengetahuan
Gizi
Pelayanan Kesehatan Ketersediaan
Pangan Produksi Pangan
Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan ketahanan pangan rumah tangga.
METODE PENELITIAN
Desain, Waktu dan Tempat
Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional study yaitu
mengumpulkan informasi dengan satu kali survei yang dilakukan di Kecamatan
Kota Sigli, Simpang Tiga, Kembang Tanjong, Pantee Raja dan Trenggadeng.
Kelima kecamatan tersebut terkena musibah gempa dan tsunami pada tanggal 26
Desember 2004. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2006 sampai
Januari 2007.
Tehnik Penarikan Contoh
Pemilihan lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposif). Populasi
dalam penelitian ini adalah keluarga di wilayah yang terkena gempa dan tsunami.
Penentuan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah acak berlapis
dengan alokasi proporsional. Populasi dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan
pencatatan yang terdapat pada BPS. Populasi berjumlah 2158 keluarga dan
merupakan binaan dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat selama dua tahun.
Dari jumlah populasi diambil contoh secara acakberlapis proposional sebanyak
100 keluarga korban tsunami dengan kriteria adalah setiap keluarga mempunyai
anak balita (Tabel 3). Responden adalah ibu rumah tangga. Penentuan jumlah
contoh dalam penelitian ini menurut Cochran (1982) dapat menggunakan rumus
sebagai berikut :
2 2
2 2
δ
α
Z
CV
no
=
Keterangan : n = ukuran contoh z = nilai z tabel
cv = koefesien keragaman tingkat kecukupan konsumsi energi. akurasi
2 2
2
/
2
δ
α
z
cv
no
=
2
0478512
,
0
2
)
96
,
1
(
2
)
25
,
0
(
=
N
no
no
n
1
1
+
−
=
Dalam penelitian ini digunakan nilai ∝ = 0.05 p (tingkat kecukupan konsumsi energi) dan akurasi ,maka jumlah contoh minimal yang dibutuhkan sebesar :
= 104.8591
=
2158
8591
.
104
1
8591
.
104
+
Dengan demikian, jumlah contoh yang diambil adalah 100 keluarga. Adapun umlah contoh yang diambil ditentukan dengan rumus berikut :
Ni
ni = x 100
N Keterangan :
ni = Ukuran contoh
Ni = Ukuran populasi pada tiap kelompok contoh
[image:37.612.179.305.135.392.2]N = Ukuran populasi keseluruhan n = 100
Tabel 3. Jumlah populasi dan contoh
Puskesmas Populasi Keluarga Sampel
Jenis dan Cara Pengambilan Data
Data yang digunakan untuk penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data Primer meliputi: (1) karakteristik keluarga yang meliputi umur
isteri dan kepala keluarga, aset keluarga yang hilang/rusak akibat musibah
tsunami (2) karakteristik sosial dan kesehatan lingkungan yang mencakup besar
keluarga, pendidikan isteri dan kepala keluarga, frekuensi makan, sanitasi
lingkungan dan pelayanan kesehatan (3) ketahanan pangan dan gizi yang
mencakup akses pangan keluarga yaitu pendapatan, pengeluaran, harga dan
konsumsi pangan keluarga serta status gizi anak balita.
Data mengenai keadaan sosial dan kesehatan lingkungan serta akses pangan
keluarga, dikumpulkan melalui wawancara dengan responden. Data status gizi
anak balita yang di ukur dengan BB/U dikumpulkan dengan metode wawancara
menggunakan kuesioner dan penimbangan. Berat badan anak balita diukur dengan
timbangan injak merk Camry dengan ketelitian 0,1 kg sedangkan pengukuran
tinggi badan dengan microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. Data konsumsi pangan
rumah tangga dikumpulkan dengan wawancara menggunakan kuesioner dengan
metode recall 1x24 jam. Kuesioner terdapat pada Lampiran 1.
Data sekunder meliputi profil di Kabupaten Pidie Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam dan data keluarga yang memiliki anak balita. Data tersebut diperoleh
dari Kantor Kecamatan, Puskesmas setempat. Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 4 Jenis dan cara pengambilan data
No Jenis Data Cara Pengumpulan Keterangan
1. Karakteristik sosial dan kesehatan lingkungan yang mencakup besar keluarga, pendidikan orang tua, frekuensi makan, sanitasi lingkungan dan pelayanan kesehatan
Wawancara menggunakan
kuesioner 1 kali
2. Ketahanan pangan dan gizi a)Akses pangan keluarga
(pendapatan, pengeluaran, harga pangan ).
b)Konsumsi pangan keluarga.
c) Status gizi anak balita.
a) Wawancara
menggunakan kuesioner
b) Metode Recall 1X 24 jam
c) Melalui pengukuran berat badan dan umur BB/U
1 kali
3. Persepsi ketahanan pangan Wawancara menggunakan
kuesioner 1 kali
4. Data penyususun model rekomendasi konsumsi pangan keluarga (untuk 2 keluarga, miskin dan tidak miskin) a)Pendapatan keluarga, harga
pangan dan kebiasaan makan.
b)Konsumsi pangan keluarga
a) Wawancara menggunakan kuesioner
b) Metode Recall 1X 24 jam
1 kali
Pengolahan dan Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis dengan menggunakan program
komputer Microsoft Excel, SPSS 11.0 for windows dan program SAS. Proses
pengolahan meliputi editing, coding, entry dan analisis. Pengkategorian beberapa
Tabel 5 Pengkategorian beberapa variabel penelitian
No Variabel Kategori
1. Besar Keluarga (BPS, 2001) • Kecil (< 4 orang) • Sedang (5 – 7 orang) • Besar (> 7 orang) 2. Tingkat Pendidikan Kepala
Keluarga dan Isteri
• Tidak sekolah • Tidak tamat SD • SD
• SMP
• SMA
• PT 3. Pendapatan Keluarga
(Rp/Kap/Bulan) •• Rendah : x < Sedang : x - 1 SD
x - 1 SD ≤ x < x + 1 SD • Tinggi : x ≥ x + 1 SD
4. Kategori Kemiskinan (BPS, 2005)
• Miskin (< Rp. 150.000 kap/bulan) • Tidak miskin (> Rp. 150.000 kap/bulan) 5. Pengeluaran Pangan • Rendah : x < x - 1 SD
• Sedang : x - 1 SD ≤ x < x + 1 SD • Tinggi : x ≥ x + 1 SD
6. Pengeluran Non Pangan • Rendah : x < x - 1 SD
• Sedang : x - 1 SD ≤ x < x + 1 SD • Tinggi : x ≥ x + 1 SD
7. Pengeluaran Total • Rendah : x < x - 1 SD
• Sedang : x - 1 SD ≤ x < x + 1 SD • Tinggi : x ≥ x + 1 SD
8. Konsumsi Energi dan Protein (DepKes RI, 1996)
• Difisit berat (< 70%AKG) • Difisit sedang (70 – 79%AKG) • Difisit ringan (80 – 89%AKG) • Normal (90 – 119%AKG) • Lebih (> 119%AKG) 9. Ketahanan Pangan Rumah
Tangga (Chung, et.all.,
1997:FAO, 2001)
• Tidak tahan pangan (< 70% TKE) • Tahan pangan (> 70% TKE)
10. Status Gizi Balita (BB/U) (Gibbson, 1990; NCHS/WHO, 1993)
● Gizi kurang ● Normal ● Gizi lebih
Data konsumsi pangan rumah tangga dikonversikan ke dalam bentuk energi
dan zat gizi, dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan atau
DKBM (Depkes RI, 1995), dengan cara perhitungan sebagai berikut (Hardinsyah,
ij j j
ij xKG
100 BDD x 100 BP
G =
dimana:
Gij = Kandungan zat gizi tertentu (i) dari pangan – j per 100 gram yang dapat dimakan.
BPj = Berat pangan – j (gram)
BDDj = Bagian yang dapat dimakan dari 100 gram pangan – j. KGij = Zat gizi – i yang dikandung atau dikonsumsi dari pangan –j
Tingkat kecukupan gizi dihitung dengan membandingkan konsumsi zat gizi
dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan per orang per hari (Muhilal,
et al.. 1998) dengan cara perhitungan sebagai berikut :
TKG =
AKG KG
x 100%
dimana:
TKG = Tingkat kecukupan zat gizi KG = Konsumsi zat gizi
AKG = Angka kecukupan zat gizi yang dianjurkan
Status gizi anak balita, ditentukan dengan menghitung nilai z-skor berat
badan anak menurut umur, dengan cara perhitungan sebagai berikut WHO, 1993;
Gibson, 1990):
Z-Skor =
Rferens Populasi
StDev Nilai
Rferens Populasi
BB Median Aktual
BB −
Goal Programming untuk Rekomendasi Konsumsi Pangan.
Model rekomendasi konsumsi pangan keluarga dilakukan dengan cara
membuat bentuk model 2 contoh keluarga yang terdiri dari keluarga miskin dan
tidak miskin. Masing-masing keluarga tersebut dihitung jumlah jenis konsumsi
yang dimakan dalam per hari per 100 gram bagian makanan yang dapat dimakan
(BDD) dengan memperhatikan kandungan zat gizi masing-masing, kemudian
dibagi dengan Angka Kebutuhan Energi (AKE/P) keluarga. Data diolah
menggunakan program SPSS dan SAS, dengan mempertimbangkan konsumsi zat
Goal Programming :
a. Fungsi
Min z =
∑
= 5 1 d i i b. Constrain/kendala 1. Energi
TKE min ⎟⎟≤
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + + ≤ keluarga AKE ... 1 2 12 1
11x a x aixi
a
TKE mak
xi : Konsumsi bahan makanan p (per 100 gram)
a1i : Kandungan energi (kkal) per 100 gram bahan makanan p
AKE keluarga : Penjumlahan AKE setiap anggota keluarga
i : 1, 2, ...p
2. Protein
TKP min ⎟⎟≤
⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + + + ≤ keluarga AKP ... 2 2 22 1
21x a x a ixi
a
TKP mak
xi : Konsumsi bahan makanan p (per 100 gram)
a2i : Kandungan protein (gram) per 100 gram bahan makanan p
AKP keluarga : Penjumlahan AKP setiap anggota keluarga
i : 1, 2, ...p
3. Pendapatan
a31x1 + a32x2 + ...+ a3ixi≤ pendapatan
xi : Konsumsi bahan makanan p (per 100 gram)
a3i : Harga per 100 gram bahan makanan p
Pendapatan : Pendapatan keluarga per hari
i : 1, 2, ...p
4. Restriksi
xi min ≤ xi≤ xi mak
xi : Konsumsi bahan makanan p (per 100 gram)
i : 1, 2, ...p
• Keluarga tidak miskin.
a. Fungsi
Min z =
∑
= 5 1 d i i b. Constrain/kendala
1. Energi
0.8 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + + + + + + ≤ 1550 2050 1800 2355 362 251 103 86 226 337 364
360x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
1.1
= 0.8 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + + + ≤ 7750 362 251 103 86 226 337 364
360x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
1.1
2 Protein
0.8 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + + + + + + ≤ 39 50 50 60 35 3 , 16 22 6 , 0 3 9 , 7 0 8 ,
6 x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
1.3
= 0.8 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + + + ≤ 199 35 3 , 16 22 6 , 0 3 9 , 7 0 8 ,
6 x1 x2 x3 x4 x5 x6 x7 x8
1.3
3. Pendapatan
480x1 + 630x2 + 1500x3 + 2000x4 + 1500x5 + 1420x6 + 950x7 + 6000x8≤ 40000
c. Restriksi: 8 ≤ x1≤ 16
0,2 ≤ x2≤ 0,6
1,6 ≤ x3≤ 3,2
0 ≤ x4≤ 2
0,8 ≤ x5≤ 1,6
6 ≤ x6≤ 24
1,2 ≤ x7≤ 4,8
0,2 ≤ x8 ≤ 0,6
• Keluarga miskin.
a. Fungsi
Min z =
∑
= 5 1 d i i b. Constrain/kendala 1. Energi
0.75 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + + + + ≤ 1000 1550 1900 2550 162 109 86 367 364
360x1 x2 x3 x4 x5 x6
1.1
0.75 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + ≤ 7000 162 109 86 367 364
360x1 x2 x3 x4 x5 x6
1.1
2. Protein
0.75 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + + + + ≤ 25 39 50 60 8 , 12 6 , 0 3 , 4 22 0 8 ,
6 x1 x2 x3 x4 x5 x6
1.1
0.75 ⎟≤
⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ + + + + + ≤ 174 8 , 12 6 , 0 3 , 4 22 0 8 ,
6 x1 x2 x3 x4 x5 x6
1.1
3. Pendapatan :
480x1 + 630x2 + 2000x3 + 1500x4 + 1420x5 + 950x6≤ 20000
c. Restriksi :
8 ≤ x1 ≤ 16
0,2 ≤ x2≤ 0,6
0 ≤ x3≤ 2
0,8 ≤ x4 ≤ 1,6
6 ≤ x5 ≤ 24
1,2 ≤ x6 ≤ 4,8
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi PenelitianKabupaten Pidie merupakan salah satu dari 21 kabupaten atau kota yang
ada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dengan Luas wilayah ± 4.107,81
km². Seecara geografis berada antara Garis Lintas Utara 4,3° dan 4,60° dengan
Garis Bujur Timur 95,75° dan 96,20°. Sebelah Timur berbatas dengan Kabupaten
Aceh Jeumpa, sebelah Barat dengan Kabupaten Aceh Besar, sebelah Utara dengan
Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kabupaten Aceh Barat.
Kabupaten Pidie memiliki 30 kecamatan yang meliputi daerah dataran rendah
pantai, dataran tinggi lembah Tangse, Mane dan Geumpang, diantaranya terdapat
beberapa kecamatan yang mengalami musibah gempa dan tsunami. Kecamatan
yang terparah yaitu Kecamatan Trenggadeng, Pantee Raja, Keumbang Tanjong,
Simpang Tiga dan Kecamatan Kota Sigli.
Menurut BPS (2005) hasil sensus penduduk N.A.D. pasca gempa dan
tsunami, jumlah penduduk Kabupaten Pidie adalah 474.399 jiwa yang terdiri dari
228.404 jiwa laki-laki dan 245.955 jiwa perempuan. Di lima kecamatan terparah
musibah tsunami di Kabupaten Pidie mempunyai jumlah penduduk adalah 94.229
jiwa yang terdiri 43.926 jiwa laki-laki dan 50.303 jiwa perempuan yang tergabung
dalam 26.394 kepala keluarga. Rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 4,6
orang.
Di Kabupaten Pidie (pasca 2 tahun bencana Tsunami) terdapat beberapa
sarana dan prasarana perhubungan, perekonomian dan pengairan. Sarana dan
prasarana sosial dilima kecamatan yang terkena tsunami meliputi Kantor Kepala
Desa (5 buah), gedung sekolah 7 buah terdiri dari SD (5 buah), SLTP (1 buah)
dan SMU (1 buah) tempat ibadah 14 buah (4 mesjid, langgar 10) dan tempat
pelayanan kesehatan ( puskesmas Pembantu 4, posyandu 4, praktek dokter 3,
bidan 5 orang). Pelayanan kesehatan yang terdapat di lima Kecamatan ditangani
oleh masing-masing 1 orang dokter, 5 orang bidan,10 orang Medis dan Para
Medis dan 10 kader pelayanan posyandu. Di tingkat kecamatan sedikitnya
terdapat sebuah Puskesmas untuk malayani kesehatan masyarakat dan di tingkat
desa, terdapat sebuah Poslindes dan sebuah Posyandu (BPS Kabupaten Pidie,
Gambaran Umum Contoh
Karakteristik Contoh
Jenis Kelamin Contoh. Berdasarkan sebaran jenis kelamin, sebagian
terbesar balita contoh berjenis kelamin laki-laki yaitu 56.0%. Contoh yang
berjenis kelamin perempuan sebanyak 43.0% (Tabel 6).
Umur Contoh. Umur anak balita contoh antara 4 – 56 bulan. Paling
banyak balita contoh berada pada selang umur yaitu 27.0% dan 22.0% pada umur
14 – 33 bulan. Rata-rata umur anak balita contoh adalah 27 bulan (Tabel 7).
Tabel 6. Sebaran keluarga berdasarkan jenis kelamin contoh
Karakteristik Contoh n %
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
56 43
56.0 43.0
Total 100 100.00
Tabel 7. Sebaran keluarga berdasarkan umur contoh.
Umur Balita (Bulan) n % 4 – 13
14 – 23 14 – 33 34 – 43 44 – 53 > 53
27 18 22 10 18 5
27.0 18.0 22.0 10.0 18.0 5.0
Total 100 100.00
Karakteristik Keluarga Contoh
Umur Kepala Keluarga dan Isteri. Umur kepala keluarga dan istei
berkisar antara 17 – 59 tahun. Sebagian besar kepala keluarga dan isteri berada
pada kisaran umur antara 27 – 36 tahun (60.0% dan 53.0%). Rata-rata umur
kepala keluarga adalah 35.3 tahun sedangkan isteri 26.9 tahun. Ada
kecenderungan umur isteri lebih muda dibanding dengan umur kepala keluarga
(Tabel 8).
turut mempengaruhi tingkat pendapatan keluarga. Pada akhirnya hal ini juga akan
berpengaruh pada pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan dalam keluarga.
Baik kepala keluarga maupun isteri memiliki tingkat pendidikan yang
hampir sama. Sebagian besar kepala keluarga merupakan lulusan SMA dan SMP
( 29.0% dan 28.0%), begitu pula dengan isteri yang juga sebagian besar
merupakan lulusan SMA dan SMP (28.0% dan 27.0%). Ada sekitar 6.0 – 7.0%
kepala keluarga dan isteri yang lulus Perguruan Tinggi. Namun demikian, ada
pula kepala keluarga maupun isteri yang tidak pernah sekolah yaitu sekitar 3.0 –
6.0% (Tabel 9). Tingkat pendidikan yang rendah ini, menyebabkan ada sebagian
orang tua contoh yang tidak dapat membaca dan menulis. Oleh karena itu, di
wilayah penelitian ini masih membutuhkan perhatian dari pemerintah daerah
khususnya di bidang pendidikan.
Tabel 8. Sebaran keluarga berdasarkan karakteristik kepala keluarga dan isteri Kepala Keluarga (KK) Isteri Karakteristik Keluarga
n % n %
Umur (Tahun) 17 – 26 27 – 36 37 – 46 47 – 56 > 56 4 60 28 3 1 4.0 60.0 28.0 3.0 1.0 33 53 13 1 0 33.0 53.0 13.0 1.0 0.0
Total 96 *) 96.0 100 100.0
Keterangan : *) = Ada 4 rumah tangga yang tidak memiliki kepala keluarga
Tabel 9. Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan KK dan istri
Tingkat Pendidikan KK Kepala Keluarga (KK) Isteri dan Isteri n % n % Tidak Sekolah
Tidak Tamant SD SD SMP SMA PT 6 14 16 28 29 7 6.0 14.0 16.0 28.0 29.0 7.0 3 12 24 27 28 6 3.0 12.0 24.0 27.0 28.0 6.0
Total 100 100.0 100 100.0
Besar Keluarga. Besar keluarga dilihat dari jumlah anggota keluarga
yang tinggal dalam satu pengelolaan sumberdaya keluarga. Besar keluarga contoh
keluarga ini dikelompokkan berdasarkan kriteria Norma Keluarga Kecil Bahagia
dan Sejahtera (BPS, 2001) yaitu terdiri dari ayah, ibu dan dua orang anak,
sebanyak 53.0% tergolong dalam kelompok keluarga kecil, sedangkan lainnya
tergolong keluarga sedang (37.0%) dan keluarga besar (10.0%) (Tabel 10).
Besarnya jumlah anggota rumah tangga (extended family) di daerah penelitian
disebabkan oleh adanya tambahan anggota keluarga lain selain keluarga inti.
Anggota keluarga lain tersebut seperti : kakek, nenek, keponakan atau sepupu.
Tabel 10. Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga
Besar Keluarga n %
Kecil ( < 4 orang ) Sedang ( 5 – 7 orang ) Besar ( > 7 orang )
53 37 10 53.0 37.0 10.0
Total 100 100.0
Frekuensi Makan
Seluruh contoh (100.0%) mempunyai frekuensi makan terutama pada
makanan pokok 3 kali sehari. Frekuensi makan lauk pauk (ikan) persentase
terbanyak (38.0%) dengan 3 kali konsumsi sehari. Untuk sayur (18.0%)
mengkonsumsi 2 kali sehari sedang buah yaitu 16.0% contoh mengkonsumsi 2
kali sehari, sementara untuk gula dijumpai (63.0%) contoh mengkonsumsi 1 kali
sehari. Bahan pangan lainnya secara lebih rinci dapat dilihat pada sajian (Tabel.
11).
Tabel 11. Sebaran keluarga menurut frekuensi konsumsi pangan.
Frekuensi konsumsi
3 2 1 0 TOTAL Jenis/Kelompok
Pangan
n % n % n % n % n % Pangan Pokok 100 100 0 0 0 0 0 0 100 100 Lauk Pauk - Ikan - Daging - Telur 38 0 2 38 0 2 21 0 3 21 0 3 6 1 17 6 1 17 35 99 78 35 99 78 100 100 100 100 100 100 Sayur dan Buah
Aset Keluarga yang Rusak/Hilang Akibat Tsunami
Aset keluarga korban gempa dan tsunami ada yang hilang/rusak semua,
hilang /rusak sebagian dan ada yang tidak hilang/rusak sama sekali. Proporsi
terbanyak jenis aset keluarga yang rusak/hilang semua pada ke lima lokasi
penelitian adalah rumah (52.0%), perahu (15.0%), binatang ternak (11.0%),
sepeda motor yaitu 9.0% dan kepemilikan kebun/pekarangan 6.0%.
Proporsi aset yang hilang/rusak sebagian adalah kebun/pekarangan, yaitu
sebanyak 50.0%, binatang ternak (47.0%). Aset yang tidak hilang/rusak hanya
sebagian kecil dimiliki oleh responden. Data mengenai aset yang hilang/rusak
secara lebih rinci disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12. Sebaran keluarga berdasarkan aset yang rusak/hilang akibat tsunami
Ya, Semua Ya, Sebagian Tidak Rusak Tidak memiliki Total Jenis Aset
n % n % n % n % n %
Rumah Sawah Ternak Tambak Kebun/Pkrngn Perabotan Mesin Jahit Perahu Sepeda Motor 52 0 11 3 6 15 5 15 9 52.0 0.0 11.0 3.0 6.0 15.0 5.0 15.0 9.0 38 4 47 7 50 3 0 3 1 38.0 4.0 47.0 7.0 50.0 3.0 0.0 3.0 1.0 10 0 2 3 39 0 0 0 0 10.0 0.0 2.0 3.0 39.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0 96 40 87 5 82 95 82 90 0.0 96.0 40.0 87.0 5.0 82.0 95.0 82.0 90.0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0
Sumber : Data Primer,Januari 2007
Kesehatan Lingkungan
Sanitasi Lingkungan
Sanitasi lingkungan tempat tinggal contoh dilihat berdasarkan keadaan
ruangan rumah, keadaan dapur dan lantai rumah, keadaan lingkungan rumah,
tempat buang hajat, mandi dan tempat cuci.
Berdasarkan keadaan ruangan rumah, sebagian besar (53.0%) rumah
contoh mempunyai ventilasi dan hanya sebagian kecil yang tidak memiliki
ventilasi (6.0%). Jumlah ventilasi yang ada sangat berpengaruh terhadap jumlah
sinar matahari yang masuk dalam rumah. Sebanyak 59.0% rumah contoh
rumah contoh yang tidak ada sinar matahari (Tabel 13). Jumlah sinar matahari
yang masuk rumah bisa menciptakan rumah yang sehat.
Tabel 13. Sebaran keluarga menurut keadaan ruangan rumah
Keadaan Ruangan Rumah n %
Keberadaan Ventilasi Punya Kurang Tidak ada 53 41 6 53.0 41.0 6.0
Total 100 100.0
Mendapatkan penyinaran Sinar Matahari Tidak Sedikit Banyak 12 29 59 12.0 29.0 59.0
Total 100 100.0
Pada Tabel 14 terlihat bahwa sebagian lantai rumah contoh masih terbuat
dari tegel/plaster dan bambu/kayu yaitu sekitar (37.0% dan 41.0%) dan 22.0%
masih berupa bata/tanah. Namun demikian, keadaan dapur rumah contoh memiliki
kebersihan tingkat sedang (42.0%) sampai tidak ada kecoa, lalat dan tikus
(38.0%). Ada sekitar 20.0% dapur contoh yang masih banyak kecoa, lalat dan
tikus. Dapur yang kotor inilah yang dapat memberikan kontribusi penyebaran
penyakit melalui makanan.
Tabel 14. Sebaran keluarga berdasarkan keadaan lantai dan dapur rumah
Keadaan Lantai dan Dapur n %
Lantai Bambu/kayu Bata/tanah Tegel/Plaster 41 22 37 41.0 22.0 37.0
Total 100 100.0
Keberadaan kecoak,lalat dan tikus didapur Banyak Sedang Tidak ada 20 42 38 20.0 42.0 38.0
Total 100 100.0
Saluran air kotor sangat dibutuhkan dalam lingkungan keluarga, supaya
tidak terjadi genangan air sebagai sarang nyamuk yang bisa menyebabkan
lingkungan pekarangan persentase paling tinggi (60.0%) bersih dan sebagian lagi
keluarga contoh kurang bersih dan kotor. Sebanyak (58.0%) keluarga contoh
membuang sampah dengan cara membakar dan (33.0%) sudah melakukan
pembuangan sampah ke lubang sampah yang sudah disediakan, terdapat (9.0%)
yang sudah mengerti sampah dijadikan kompos. Sebaran ini disajikan pada Tabel
[image:52.612.137.500.208.429.2]15.
Tabel 15. Sebaran keluarga menurut keadaan lingkungan rumah
Keadaan Lingkungan Keluarga n %
Keberadaan Saluran Air Kotor Tidak ada
Ada, tidak mengalir Ada dan mengalir
27 17 56 27.0 17.0 56.0
Total 100 100.0
Pekarangan Kotor Kurang bersih Bersih 4 36 60 4.0 36.0 60.0
Total 100 100.0
Perlakuan keluarga terhadap Sampah Dibakar
Dibuang ke lubang sampah Dibuat kompos 58 33 9 58.0 33.0 9.0
Total 100 100.0
Tabel 16. Sebaran keluarga berdasar tempat buang hajat, tempat mandi dan tempat cuci
Tempat Hajat, Mandi dan Cuci n %
Tempat Buang Hajat cendrung menurut kebiasaan Di kebun Di sungai Di WC 17 10 73 17.0 10.0 73.0
Total 100 100.0
Tempat Mandi cendrung menurut kebiasaa Kamar mandi Sungai Pancoran 78 3 19 78.0 3.0 19.0
Total 100 100.0
Tempat Cuci cendrung menurut kebiasaa Kolam Sungai Pancoran 23 1 76 23.0 1.0 76.0
Total 100 100.0
[image:52.612.120.498.477.696.2]Umumnya (78.0%) tempat mandi keluarga contoh adalah di kamar mandi
sendiri, tempat keluarga buang hajat adalah di WC milik sendiri (73.0%), dan
76.0% pancoran sebagai tempat cuci. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 16.
Pelayanan Kesehatan
Kesehatan adalah merupakan suatu anugrah yang Maha kuasa dan yang
perlu selalu dijaga oleh setiap kehidupan manusia. Pelayanan kesehatan untuk
masyarakat yang menjadi korban gempa dan tsunami di Kabupaten Pidie
khususnya di 5 kecamatan wilayah penelitian ini sudah memadai. Hal ini
ditunjukkan sudah adanya Puskesmas Pembantu, Poslindes dan Postu yang