• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA PENGASUHAN, POLA KOMUNIKASI, KELEKATAN, DAN HUBUNGANNYA DENGAN KEPUASAN REMAJA

PENDAHULUAN Latar Belakang

Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal penting untuk membangun peradaban dan memajukan suatu negara. Salah satu aset SDM yang memainkan peranan penting dalam menentukan maju atau mundurnya suatu bangsa adalah kaum remaja yang besarnya mencapai 26,8 persen atau sekitar 63 juta jiwa penduduk Indonesia (BPS 2010).

Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada tahap ini remaja berada pada kehidupan yang penuh gejolak, perubahan, dan penyesuaian dalam rangka mencari identitas diri. Masa remaja juga seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal ini disebabkan karena remaja banyak mengalami perubahan-perubahan baik pada fisik, psikis, dan sosial. Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi, remaja juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dengan tugas pada masa kanak-kanak. Apabila remaja mampu menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, dan kebahagian, serta akan menentukan keberhasilan remaja dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Namun jika remaja gagal untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut, maka perilaku- perilaku menyimpang akan dilakukan oleh para remaja seperti yang saat ini sudah banyak terjadi (Atkinson dan Atkinson 1987).

Perilaku menyimpang yang dilakukan remaja merupakan dampak dari adanya perlakuan yang kurang hangat dari lingkungan keluarga dan lingkungan sosial. Orang tua sebagai tokoh kunci dalam mendidik remaja, memiliki peranan yang sangat besar, terutama ibu. Ibu merupakan salah satu unsur terpenting bagi terbentuknya sebuah generasi dan pendidik pertama bagi anak. Hal ini dikarenakan ibu adalah orang yang paling dekat dan kuat hubungannya dengan anak. Peran ibu sangat vital untuk perkembangan anaknya, karena ibu merupakan model yang mudah ditiru, dan juga ibu merupakan sumber informasi, konsultan serta pendidik yang memberikan pengarahan, dorongan dan pertimbangan dalam rangka membentuk perilaku anak (Gunarsa dan Gunarsa 2008).

Peran ibu saat ini menjadi amat berat dalam mengawasi penggunaan teknologi anaknya. Pada abad 21 ini segala informasi dan teknologi baik dari televisi, internet, dan handphone bisa dengan mudah didapat. Kemudahan dalam mengakses informasi ini membuat anak bisa mengakses berbagai informasi baik yang positif maupun negatif. Jika tidak terawasi, ada kemungkinan anak akan mengakses informasi yang seharusnya belum boleh dilihat seperti kekerasan dan seksualitas. Karakteristik remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dapat membuat remaja mencoba hal-hal yang sebenarnya tidak boleh. Akibatnya, terjadilah berbagai kenakalan yang dilakukan oleh remaja.

Ibu sebagai pengasuh utama memiliki gaya tersendiri dalam mendidik remajanya. Menurut Baumrind (1991), gaya pengasuhan orang tua terhadap remajanya dibagi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Anak remaja merupakan anak yang sudah bisa mandiri namun masih perlu bimbingan dari ibunya. Untuk itu, gaya pengasuhan demokratis sangat cocok untuk mendidik anak remaja, sebab gaya pengasuhan ini memberikan kebebasan pada remaja untuk dapat mandiri, namun masih diberi aturan yang telah disepakati bersama. Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan demokratis cenderung akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Selain itu, anak juga akan lebih sadar untuk mematuhi aturan yang berlaku.

Gaya pengasuhan yang ideal menggunakan pendekatan diskusi dalam setiap tindakan pengasuhan. Ini menunjukkan bahwa dalam pengasuhan yang baik terdapat hubungan komunikasi yang baik pula baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang terbentuk bila hubungan timbal balik selalu terjalin antara ayah, ibu dan anak. Dengan adanya komunikasi dua arah ini, remaja akan terbiasa untuk berani mengungkapkan hal- hal yang dirasakannya (Gunarsa dan Gunarsa 2008).

Hasil dari interaksi yang terjalin antara ibu dan remaja akan menimbulkan kelekatan atau ikatan emosi diantara keduanya. Kelekatan yang terjalin antara ibu dan remaja, sebenarnya merupakan hasil dari kelekatan antara ibu dan anak ketika masih bayi. Menurut Santrock (2003), kelekatan yang aman antara remaja dan orang tua dapat membantu remaja dari kecemasan dan kemungkinan perasaan tertekan atau ketegangan emosi yang berkaitan dengan transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Selain itu, kelekatan antara ibu dan anak akan mempengaruhi masa depan anak dalam menciptakan rasa aman dan membentuk dasar yang kuat bagi kesehatan mental yang positif.

Kelekatan yang sudah terjalin diantara ibu dan anak merupakan salah satu syarat tercapainya kepuasan hidup pada diri anak. Kepuasan hidup yang terbentuk pada diri anak merupakan modal penting untuk proses berlangsungnya kehidupan anak di masa depan, sebab cara anak untuk bisa beradaptasi serta berkorban demi orang lain tergantung kepuasan hidup yang dirasakannya (Antaramian et all 2008).

Perumusan Masalah

Remaja merupakan individu yang berusia 12-18 tahun berdasarkan Hurlock (1980). Masa ini merupakan masa yang penuh dengan kesempatan untuk dapat berkembang mempersiapkan masa dewasa yang cemerlang, namun disisi lain masa ini merupakan masa penuh tantangan karena semua perubahan baik secara fisik maupun psikis terjadi. Kebingungan pun kerap kali timbul dalam benak remaja mengenai statusnya yang masih berada di pertengahan. Remaja dianggap sudah besar, namun belum diberikan kebebasan sepenuhnya seperti orang dewasa.

Masa remaja merupakan masa transisi, sehingga remaja masih memerlukan bimbingan dan arahan dari orang tuanya, terutama ibu untuk dapat melewati masa remajanya dengan baik. Jika remaja tidak mendapatkan pengarahan dengan baik maka akan timbul berbagai kenakalan seperti yang telah sering terjadi saat ini. Beragam kenakalan remaja ini mendorong para ibu untuk lebih cerdas dalam mendidik anak. Hasil observasi yang dilakukan oleh Iyus (2010) pada anak SMP yang bermasalah, diketahui bahwa seluruh responden mengaku pernah berbohong dan pergi ke luar rumah tanpa pamit. Hampir seluruh responen (>75%) sering meminum minuman keras, begadang, dan keluyuran. Lebih dari separuh responden sering berkelahi, mengendarai motor tanpa SIM, berkebut-kebutan di jalan dan menggunakan narkoba.

Kenakalan yang terjadi pada remaja merupakan ekspresi dari ketidakpuasan cara pengasuhan, cara berkomunikasi dan kelekatan yang terjalin antara orang tua dengan remaja. Ketidakpuasan ini berawal dari adanya komunikasi yang kurang harmonis antara orang tua dan remaja kemudian berujung pada kerengangan hubungan diantara keduanya. Terlebih lagi pada masa remaja, ketertarikan hubungan remaja dengan orang tua cenderung semakin kecil dibandingkan dengan teman sebayanya (Wood 2007), sehingga remaja lebih senang menceritakan segala hal mengenai dirinya pada teman sebayanya. Oleh karena itu penting bagi orang tua menjaga kelekatan dengan

anaknya sedari kecil agar orang tua tetap dapat mengontrol anaknya dengan baik sehingga tidak terjerumus pada kenakalan-kenakalan remaja.

Penelitian Puspitawati (2009), mengenai kenakalan remaja menyatakan bahwa kontribusi peran pengasuhan yang dilakukan oleh ibu mempunyai keistimewaan yang lebih besar dibandingkan dengan ayah, sebab dalam proses pengasuhan biasanya interaksi antara ibu dan remaja dalam berkomunikasi lebih sering terjadi, sehingga kelekatan yang terjalin diantara keduanya lebih besar. Hal ini terbukti bahwa pengasuhan ibu mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mencegah anaknya dari tindakan kenakalan, baik tipe kenakalan umum maupun kenakalan kriminal.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gaya pengasuhan, pola komunikasi, kelekatan, dan hubungannya dengan kepuasan remaja. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana gaya pengasuhan ibu terhadap remaja?

2. Bagaimana pola komunikasi antara ibu dan remaja menurut persepsi remaja dan ibu?

3. Bagaimana kelekatan yang terjalin antara ibu dan remaja? 4. Bagaimana kepuasan hubungan remaja terhadap ibunya?

5. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik remaja dengan tipe komunikasi?

6. Bagaimana hubungan antara karakteristik ibu, gaya pengasuhan, tipe komunikasi dan kelekatan dengan kepuasan remaja?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Mengetahui gaya pengasuhan, pola komunikasi, kelekatan, dan hubungannya dengan kepuasan remaja.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gaya pengasuhan ibu terhadap remaja.

2. Mengidentifikasi pola komunikasi remaja dan ibu yang terdiri dari tipe dan alokasi waktu komunikasi menurut persepsi remaja dan ibu.

4. Mengidentifikasi kepuasan remaja terhadap ibunya.

5. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik remaja dengan tipe komunikasi.

6. Menganalisis hubungan antara karakteristik ibu, gaya pengasuhan, tipe komunikasi dan kelekatan dengan kepuasan remaja.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk meningkatkan kualitas diri dan pengalaman dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan ilmu yang peneliti kuasai.

2. Bagi para ibu dan anak, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan interaksi yang baik antara ibu dan anak untuk mencapai kepuasan dalam berinteraksi.

3. Bagi pengembangan ilmu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan-masukan untuk penelitian selanjutnya.

Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Menurut Anorog dan Widiyanti (1990) diacu dalam Hanifa (2005), semakin banyak yang sesuai dengan aspek keinginan individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan dan sebaliknya, semakin banyak aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keinginan individu, semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakan. Menurut Worldnet Dictionary dalam Hardiono (2008), kepuasan merupakan perasaan senang ketika telah berhasil memenuhi kebutuhan atau keinginan.

Kepuasan hidup juga didefinisikan sebagai penilaian subjektif seseorang terhadap kualitas hidupnya baik secara keseluruhan atau hanya pada bagian tertentu saja, serta merupakan kekuatan psikologi yang dapat membantu individu untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi. Kepuasan hidup merupakan kualitas dari kehidupan seseorang yang telah teruji secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (Antaramian et all 2008). Menurut Schrodt, Witt, dan Messermith (2008) kepuasan dalam hubungannya dengan keluarga adalah pengalaman atau persepsi yang dirasakan seseorang mengenai kualitas hubungannya dengan keluarga. Tipe komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga akan mempengaruhi persepsi mengenai kepuasan hubungan.

Teori whole life satisfaction menyatakan bahwa setiap orang di setiap tahapan usia dalam hidupnya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Seiring berubahnya tahapan usia tersebut, maka akan berubah pula tujuan yang diterapkan dalam kehidupannya. Meskipun dalam setiap tahapan kehidupan seorang individu memiliki tujuan yang berbeda, namun tetap saja individu tersebut ingin mencapai semua tujuannya dengan sukses. Kepuasan hidup yang dirasakan akan tercermin dari seberapa besar individu tersebut mampu merealisasikan tujuan-tujuannya (Suikkanen 2011).

Terdapat lima aspek yang berpengaruh terhadap kepuasan hidup remaja dalam hubungan orang tua-anak, yaitu kelekatan, konflik orang tua-anak, gaya pengasuhan demokratis, kehangatan, dan dukungan orang tua. Remaja yang mendapatkan kehangatan yang cukup, penerimaan serta dukungan dari orang tua akan memiliki kepuasan hidup yang tinggi. Sebaliknya, remaja yang banyak

memiliki konflik dengan orang tuanya akan memiliki kepuasan hidup yang rendah (Chappel 2011).

Gaya Pengasuhan

Orang tua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk mengajarkan remaja pada kedewasaan, orang tua harus memberi contoh yang baik karena sifat dasar anak-anak adalah suka meniru yang lebih tua atau orang tuanya. Dalam memberikan pengarahan kepada anak, hendaknya menggunakan cara demokratis, sebab memungkinkan untuk menghasilkan anak yang percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi dan disukai banyak orang (Karamoy 2008).

Baumrind (1967) mengemukakan gaya pengasuhan dengan elemen gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles). Menurut Baumrind, gaya pengasuhan memiliki dua komponen utama, yaitu demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Demandingness adalah kecendrungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness merupakan kecendrungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak.

Pada praktek pengasuhan, Baumrind lebih menyoroti segi pelimpahan kekuasaan antara orang tua dan anak atau gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin). Gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin) dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam gaya pengasuhan orang tua, yaitu authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive (permisif), dan uninfolved (tak terlibat). Keempat gaya pengasuhan itu memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing- masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian (otoriter)

Gaya pengasuhan otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua yang bergaya otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa- basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Gaya pengasuhan ini menyebabkan seorang anak akan

kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock 2003).

2. Authoritative (demokratis)

Bentuk perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orang tua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional (Baumrind 1967). Hal ini menyebabkan orang tua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas (Baumrind 1967). Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orang tua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang otorotatif. Keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berasa di tangan orang tua. Anak-anak diberi kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima, maka orang tua yang otoritatif akan memberikan dukungan. Tetapi jika orang tua tidak menerima, maka orang tua akan menjelaskan alasannya mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Orang tua yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif.

Santrock (2003) berpendapat bahwa kualitas pola interaksi dan gaya pengasuhan orang tua yang otoritatif akan memunculkan keberanian, motivasi, dan kemandirian anak-anaknya dalam menghadapi masa depannya. Gaya pengasuhan seperti ini dapat mendorong tumbuhnya

kemampuan sosial, meningkatnya rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak.

3. Permissive (permisif)

Pola-pola perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan gaya pengasuhan yang permisif (Baumrind 1967). Orang tua yang permisif akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Orang tua membuat sebuah peraturan tertentu, namun anak-anak tidak menyetujui atau tidak memamtuhinya, maka orang tua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua dengan gaya pengasuhan permisif jarang menghukum anak- anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar peratauran tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan anak untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya (Baumrind 1967). Akibatnya tingkah laku sosial anak kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat buruk, tidak mampu mengarahkan diri, dan tidak bertanggung jawab (Santrock 2003).

4. Uninvolved (tak terlibat)

Gaya pengasuhan tidak terlibat adalah gaya pengasuhan dimana orang tua tidak mau terlibat dan tidak mau pula pusing-pusing dengan kehidupan anaknya (Baumrind 1967). Gaya pengasuhan orang tua yang tidak terlibat lebih berdampak buruk dibandingkan dengan gaya pengasuhan permisif karena tidak adanya ikatan emosi ditambah dengan penerapan batasan kabur. Orang tua yang demikian hanya fokus pada pemenuhan kebutuhan materi atau fisik saja terhadap anak-anaknya, pemenuhan kebutuhan immateri atau psikis anaknya terabaikan atau bahkan sama sekali tidak pernah diperhatikan (Baumrind 1967).

Pola Komunikasi

Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses simbolik transaksional dan menciptakan berbagai makna. Simbol dalam komunikasi terdiri dari berbagai bentuk, yaitu verbal atau kata-kata dan nonverbal seperti ekpresi wajah, kontak mata, gerakan, postur tubuh, penampilan, dan jarak spasial. Komunikasi keluarga merupakan suatu simbiosis, proses transaksional menciptakan dan membagi arti dalam keluarga. Seperti halnya setiap orang yang mempunyai gaya komunikasi yang berbeda, setiap keluarga pun mempunyai gaya dan pola komunikasi yang unik dan berbeda. Komunikasi merupakan cara individu untuk bisa berbagi ide dan perasaannya atau menanggapi ide dan perasaan orang lain. Dengan adanya komunikasi akan membantu individu untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan cara individu itu bergaul dengan orang lain (Galvin dan Brommel 2008).

Dalam komunikasi keluarga terdapat proses intersubjektivitas dan interaktivitas. Intersubjektivitas terkait dengan kemampuan kognitif dalam menangkap dan menerima pesan antar anggota keluarga, sedangkan interaktivitas terkait dengan perilaku keluarga yang membuat bentuk interaksi dan memelihara unit sosial (Koerner dan Fitzpatrick 2002).

Tipe Komunikasi

Penelitian mengenai komunikasi keluarga telah dilakukan lebih dari tiga dekade dan dirasakan memiliki banyak manfaat baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi. Komunikasi dalam keluarga menghasilkan berbagai efek. Efek tersebut yaitu menyangkut gaya konflik, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi anak, kepuasan keluarga, kebiasaan gaya hidup sehat, dan masih banyak lagi (Burns dan Pearson 2011).

Penelitian mengenai skema komunikasi keluarga merupakan hasil dari pengembangan dua teori umum yaitu Fitzpatrick (1988) mengenai tipologi komunikasi pasangan menikah dan Ritchie (1991) mengenai pola komunikasi keluarga. Kedua peneliti ini setuju bahwa tipe komunikasi pasangan menikah dan tipe komunikasi antara orangtua – anak menggambarkan skema komunikasi keluarga. Adanya kesamaan pada kedua penelitian tersebut Fitzpatrik dan Ritchie (1994) dalam Burns dan Pearson (2011) menganalisis dan mengidentifikasi tiga dimensi berdasarkan pada skema komunikasi pasangan menikah dan hubungan orang tua – anak. Dimensi ini mewakili bentuk dari family

communication environment (FCE) atau lingkungan komunikasi keluarga. FCE ini terdiri dari tiga dimensi yaitu, family expresiveness, structural traditionalism, dan conflict avoidance.

Dimensi family expresiveness menunjukkan komunikasi keluarga yang tinggi dalam diskusi dan mendorong setiap anggota keluarga untuk mengeluarkan pendapatnya. Keluarga yang menerapkan tipe komunikasi family expresiveness lebih sering mendorong anggota keluarganya untuk berdiskusi mengenai ide dan perasaannya daripada kedua tipe komunikasi lainnya. Anggota keluarga yang sering menerapkan tipe ini akan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.

Dimensi structural traditionalism menggunakan pemaksaan dan kekuasaan orang tua dalam mengkomunikasikan berbagai hal kepada anaknya. Keluarga yang menggunakan tipe komunikasi ini cenderung masih memegang teguh nilai-nilai tradisional dalam kehidupan keluarga dan pernikahan. Tipe komunikasi ini juga digunakan untuk menghindari topik yang tidak menyenangkan serta untuk menyamakan nilai dan kepercayaan dalam keluarga. Anggota keluarga structural traditionalism ini hanya memiliki sedikit kemampuan mengenai komunikasi interpersonal dan lebih rendah dari keluarga yang menerapkan family expresiveness.

Dimensi yang terakhir adalah conflict avoidance, pada dimensi ini orang tua sebisa mungkin menghindari konflik dengan anaknya yaitu dengan menggunakan kekuasaannya. Tidak pernah ada penjelasan bagi setiap masalah sehingga tidak pernah terselesaikan dengan baik. Dimensi ini merupakan dimensi dengan level terendah dalam kemampuan komunikasi interpersonal dan menyelesaikan masalah (Burns dan Pearson 2011).

Alokasi Waktu Komunikasi

Sumber daya waktu adalah sumber daya yang tidak dapat dimasukkan sebagai sumber daya materi ataupun sumber daya manusia. Biasanya yang menjadi titik perhatian dari masalah sumber daya waktu adalah penggunaannya oleh setiap individu yang belum optimal. Hal ini mengingat bahwa konsep waktu adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dan tidak dapat digantikan, bersifat terbatas serta dimiliki oleh setiap individu dalam jumlah yang sama yaitu 24 jam dalam sehari (Guharja, et all 1992).

Pemanfaatan waktu antara satu individu dengan individu lainnya berbeda. Dilihat dari jenis penggunaannya, waktu dibagi dalam empat tipe yaitu :

1. Waktu produktif atau waktu bekerja

2. Waktu subsisten atau waktu yang digunakan untuk makan, tidur, perawatan diri dan kesehatan

3. Waktu antara yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan ke tempat kerja (work related time), dan

4. Waktu luang (free time)

Komunikasi sangat dibutuhkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk dapat memenuhi kuantitas dalam komunikasi, orang tua bekerja tetap bisa menjalin komunikasi secara hangat dengan anak-anak baik melalui telepon ataupun email. Sebab pada dasarnya anak sangat membutuhkan kedekatan dengan orang tuanya baik kedekatan fisik, seperti mengobrol, bersenda gurau, memeluk, mencium, dan mengusap, maupun kedekatan psikis, seperti rasa kasih sayang dan kehangatan (Chomaria 2011).

Selain komunikasi dengan kuantitas yang cukup, kualitas komunikasi antara ibu dan anak juga perlu diciptakan agar dapat mencapai hubungan yang

Dokumen terkait