• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gaya Pengasuhan, Pola Komunikasi, Kelekatan, dan Hubungannya dengan Kepuasan Remaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gaya Pengasuhan, Pola Komunikasi, Kelekatan, dan Hubungannya dengan Kepuasan Remaja"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

SRI WAHYUNI RAHAYU. Parenting Style, Communication Pattern, Attachment, and Corelation with Adolescence’s Satisfaction. Supervised by DIAH KRISNATUTI.

This research aimed to analyze parenting style, communication pattern (communication type and time allocation), attachment, and correlation with adolescence’s satisfaction. The location of this research is in SMP Negeri 1 Dramaga and adolescence’s house arround Dramaga Subdistrict, Bogor District. This research used cross sectional design, involved 30 male adolescences, 30 female adolescences and 60 mothers as participant. The samples choosen by stratified random sampling. Data was collected through interview using structured questionnaire. Data was analyzed by descriptive, independent sample t-test, and Pearson corellation analysis. The result of this research shows that mostly adolescence have democratic parenting style perception. Almost two-thirds of male adolescence perceive communication type structural traditionalism, more than two-thirds female adolescence and mother perceive family communication types expresiveness. More than half adolescence and mother have 5-15 minutes each day for communication each other. The categorize of attachment is high security for all adolescence and more than three-fourth adolescence’s satisfaction is average. There was positive significant correlation between parenting style with communication type, communication type with attachment, and attachment with adolescence’s satisfaction.

Keywords: adolescence, attachment, communication, mother, parenting style, satisfaction

ABSTRAK

SRI WAHYUNI RAHAYU. Gaya Pengasuhan, Pola Komunikasi, Kelekatan dan Hubungannya dengan Kepuasan Remaja. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gaya pengasuhan, pola komunikasi (tipe dan alokasi waktu komunikasi), kelekatan, dan hubungannya dengan kepuasan remaja. Lokasi penelitian bertempat di SMP Negeri 1 Dramaga dan rumah para siswa di sekitar Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional study, dengan sampel sebanyak 30 remaja laki-laki, 30 remaja perempuan, beserta 60 ibunya yang dipilih dengan metode stratified random sampling. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif, uji beda independent t-test, dan korelasi Pearson. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir seluruh remaja berpersepsi bahwa ibu cenderung menggunakan gaya pengasuhan demokratis. Hampir dua per tiga remaja laki-laki mempersepsikan tipe komunikasi structural traditionalism, sedangkan lebih dari dua per tiga remaja perempuan dan ibu mempersepsikan tipe komunikasi family expresiveness. Lebih dari separuh remaja dan ibu meluangkan waktu untuk berkomunikasi secara langsung selama 5-15 menit dalam sehari. Seluruh remaja berada pada kategori kelekatan high security dan lebih dari tiga per empat remaja berada pada kategori cukup puas. Terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara gaya pengasuhan dengan tipe komunikasi, tipe komunikasi dengan kelekatan, dan kelekatan dengan kepuasan remaja.

(2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Memasuki era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan tantangan, bangsa Indonesia dituntut untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal penting untuk membangun peradaban dan memajukan suatu negara. Salah satu aset SDM yang memainkan peranan penting dalam menentukan maju atau mundurnya suatu bangsa adalah kaum remaja yang besarnya mencapai 26,8 persen atau sekitar 63 juta jiwa penduduk Indonesia (BPS 2010).

Masa remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Pada tahap ini remaja berada pada kehidupan yang penuh gejolak, perubahan, dan penyesuaian dalam rangka mencari identitas diri. Masa remaja juga seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal ini disebabkan karena remaja banyak mengalami perubahan-perubahan baik pada fisik, psikis, dan sosial. Sejalan dengan perubahan-perubahan yang terjadi, remaja juga dihadapkan pada tugas-tugas yang berbeda dengan tugas pada masa kanak-kanak. Apabila remaja mampu menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik, maka akan tercapai kepuasan, dan kebahagian, serta akan menentukan keberhasilan remaja dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan pada fase berikutnya. Namun jika remaja gagal untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan tersebut, maka perilaku-perilaku menyimpang akan dilakukan oleh para remaja seperti yang saat ini sudah banyak terjadi (Atkinson dan Atkinson 1987).

(3)

Peran ibu saat ini menjadi amat berat dalam mengawasi penggunaan teknologi anaknya. Pada abad 21 ini segala informasi dan teknologi baik dari televisi, internet, dan handphone bisa dengan mudah didapat. Kemudahan dalam mengakses informasi ini membuat anak bisa mengakses berbagai informasi baik yang positif maupun negatif. Jika tidak terawasi, ada kemungkinan anak akan mengakses informasi yang seharusnya belum boleh dilihat seperti kekerasan dan seksualitas. Karakteristik remaja yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dapat membuat remaja mencoba hal-hal yang sebenarnya tidak boleh. Akibatnya, terjadilah berbagai kenakalan yang dilakukan oleh remaja.

Ibu sebagai pengasuh utama memiliki gaya tersendiri dalam mendidik remajanya. Menurut Baumrind (1991), gaya pengasuhan orang tua terhadap remajanya dibagi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Anak remaja merupakan anak yang sudah bisa mandiri namun masih perlu bimbingan dari ibunya. Untuk itu, gaya pengasuhan demokratis sangat cocok untuk mendidik anak remaja, sebab gaya pengasuhan ini memberikan kebebasan pada remaja untuk dapat mandiri, namun masih diberi aturan yang telah disepakati bersama. Anak yang diasuh dengan gaya pengasuhan demokratis cenderung akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Selain itu, anak juga akan lebih sadar untuk mematuhi aturan yang berlaku.

Gaya pengasuhan yang ideal menggunakan pendekatan diskusi dalam setiap tindakan pengasuhan. Ini menunjukkan bahwa dalam pengasuhan yang baik terdapat hubungan komunikasi yang baik pula baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang terbentuk bila hubungan timbal balik selalu terjalin antara ayah, ibu dan anak. Dengan adanya komunikasi dua arah ini, remaja akan terbiasa untuk berani mengungkapkan hal-hal yang dirasakannya (Gunarsa dan Gunarsa 2008).

(4)

Kelekatan yang sudah terjalin diantara ibu dan anak merupakan salah satu syarat tercapainya kepuasan hidup pada diri anak. Kepuasan hidup yang terbentuk pada diri anak merupakan modal penting untuk proses berlangsungnya kehidupan anak di masa depan, sebab cara anak untuk bisa beradaptasi serta berkorban demi orang lain tergantung kepuasan hidup yang dirasakannya (Antaramian et all 2008).

Perumusan Masalah

Remaja merupakan individu yang berusia 12-18 tahun berdasarkan Hurlock (1980). Masa ini merupakan masa yang penuh dengan kesempatan untuk dapat berkembang mempersiapkan masa dewasa yang cemerlang, namun disisi lain masa ini merupakan masa penuh tantangan karena semua perubahan baik secara fisik maupun psikis terjadi. Kebingungan pun kerap kali timbul dalam benak remaja mengenai statusnya yang masih berada di pertengahan. Remaja dianggap sudah besar, namun belum diberikan kebebasan sepenuhnya seperti orang dewasa.

Masa remaja merupakan masa transisi, sehingga remaja masih memerlukan bimbingan dan arahan dari orang tuanya, terutama ibu untuk dapat melewati masa remajanya dengan baik. Jika remaja tidak mendapatkan pengarahan dengan baik maka akan timbul berbagai kenakalan seperti yang telah sering terjadi saat ini. Beragam kenakalan remaja ini mendorong para ibu untuk lebih cerdas dalam mendidik anak. Hasil observasi yang dilakukan oleh Iyus (2010) pada anak SMP yang bermasalah, diketahui bahwa seluruh responden mengaku pernah berbohong dan pergi ke luar rumah tanpa pamit. Hampir seluruh responen (>75%) sering meminum minuman keras, begadang, dan keluyuran. Lebih dari separuh responden sering berkelahi, mengendarai motor tanpa SIM, berkebut-kebutan di jalan dan menggunakan narkoba.

(5)

anaknya sedari kecil agar orang tua tetap dapat mengontrol anaknya dengan baik sehingga tidak terjerumus pada kenakalan-kenakalan remaja.

Penelitian Puspitawati (2009), mengenai kenakalan remaja menyatakan bahwa kontribusi peran pengasuhan yang dilakukan oleh ibu mempunyai keistimewaan yang lebih besar dibandingkan dengan ayah, sebab dalam proses pengasuhan biasanya interaksi antara ibu dan remaja dalam berkomunikasi lebih sering terjadi, sehingga kelekatan yang terjalin diantara keduanya lebih besar. Hal ini terbukti bahwa pengasuhan ibu mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mencegah anaknya dari tindakan kenakalan, baik tipe kenakalan umum maupun kenakalan kriminal.

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang gaya pengasuhan, pola komunikasi, kelekatan, dan hubungannya dengan kepuasan remaja. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana gaya pengasuhan ibu terhadap remaja?

2. Bagaimana pola komunikasi antara ibu dan remaja menurut persepsi remaja dan ibu?

3. Bagaimana kelekatan yang terjalin antara ibu dan remaja? 4. Bagaimana kepuasan hubungan remaja terhadap ibunya?

5. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik remaja dengan tipe komunikasi?

6. Bagaimana hubungan antara karakteristik ibu, gaya pengasuhan, tipe komunikasi dan kelekatan dengan kepuasan remaja?

Tujuan Penelitian

Tujuan Umum

Mengetahui gaya pengasuhan, pola komunikasi, kelekatan, dan hubungannya dengan kepuasan remaja.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gaya pengasuhan ibu terhadap remaja.

2. Mengidentifikasi pola komunikasi remaja dan ibu yang terdiri dari tipe dan alokasi waktu komunikasi menurut persepsi remaja dan ibu.

(6)

4. Mengidentifikasi kepuasan remaja terhadap ibunya.

5. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dan karakteristik remaja dengan tipe komunikasi.

6. Menganalisis hubungan antara karakteristik ibu, gaya pengasuhan, tipe komunikasi dan kelekatan dengan kepuasan remaja.

Kegunaan Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk meningkatkan kualitas diri dan pengalaman dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan ilmu yang peneliti kuasai.

2. Bagi para ibu dan anak, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan interaksi yang baik antara ibu dan anak untuk mencapai kepuasan dalam berinteraksi.

(7)

Kepuasan merupakan hal yang bersifat individu. Setiap individu akan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi nilai-nilai yang berlaku pada dirinya. Menurut Anorog dan Widiyanti (1990) diacu dalam Hanifa (2005), semakin banyak yang sesuai dengan aspek keinginan individu, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan dan sebaliknya, semakin banyak aspek-aspek yang tidak sesuai dengan keinginan individu, semakin rendah tingkat kepuasan yang dirasakan. Menurut Worldnet Dictionary dalam Hardiono (2008), kepuasan merupakan perasaan senang ketika telah berhasil memenuhi kebutuhan atau keinginan.

Kepuasan hidup juga didefinisikan sebagai penilaian subjektif seseorang terhadap kualitas hidupnya baik secara keseluruhan atau hanya pada bagian tertentu saja, serta merupakan kekuatan psikologi yang dapat membantu individu untuk mengembangkan kemampuan beradaptasi. Kepuasan hidup merupakan kualitas dari kehidupan seseorang yang telah teruji secara keseluruhan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan (Antaramian et all 2008). Menurut Schrodt, Witt, dan Messermith (2008) kepuasan dalam hubungannya dengan keluarga adalah pengalaman atau persepsi yang dirasakan seseorang mengenai kualitas hubungannya dengan keluarga. Tipe komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi dengan anggota keluarga akan mempengaruhi persepsi mengenai kepuasan hubungan.

Teori whole life satisfaction menyatakan bahwa setiap orang di setiap tahapan usia dalam hidupnya memiliki tujuan yang ingin dicapai. Seiring berubahnya tahapan usia tersebut, maka akan berubah pula tujuan yang diterapkan dalam kehidupannya. Meskipun dalam setiap tahapan kehidupan seorang individu memiliki tujuan yang berbeda, namun tetap saja individu tersebut ingin mencapai semua tujuannya dengan sukses. Kepuasan hidup yang dirasakan akan tercermin dari seberapa besar individu tersebut mampu merealisasikan tujuan-tujuannya (Suikkanen 2011).

(8)

memiliki konflik dengan orang tuanya akan memiliki kepuasan hidup yang rendah (Chappel 2011).

Gaya Pengasuhan

Orang tua mempunyai peranan pertama dan utama bagi anak-anaknya selama anak-anak belum dewasa dan mampu berdiri sendiri. Untuk mengajarkan remaja pada kedewasaan, orang tua harus memberi contoh yang baik karena sifat dasar anak-anak adalah suka meniru yang lebih tua atau orang tuanya. Dalam memberikan pengarahan kepada anak, hendaknya menggunakan cara demokratis, sebab memungkinkan untuk menghasilkan anak yang percaya diri, mandiri, imajinatif, mudah beradaptasi dan disukai banyak orang (Karamoy 2008).

Baumrind (1967) mengemukakan gaya pengasuhan dengan elemen gaya pendisiplinan (parental disciplinary styles). Menurut Baumrind, gaya pengasuhan memiliki dua komponen utama, yaitu demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Demandingness adalah kecendrungan untuk menetapkan peraturan secara ketat dan kontrol yang kuat agar anak berlaku matang dan dewasa, sedangkan responsiveness merupakan kecendrungan bersikap hangat dan menerima permintaan serta perasaan anak.

Pada praktek pengasuhan, Baumrind lebih menyoroti segi pelimpahan kekuasaan antara orang tua dan anak atau gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin). Gaya pengasuhan dimensi arahan (disiplin) dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam gaya pengasuhan orang tua, yaitu authoritarian (otoriter), authoritative (demokratis), permissive (permisif), dan uninfolved (tak terlibat). Keempat gaya pengasuhan itu memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri dan masing-masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku anak.

1. Authoritarian (otoriter)

(9)

kehilangan aktivitas kreatifnya dan akan tumbuh menjadi anak yang tidak efektif dalam kehidupan dan interaksinya dengan lingkungan sosial (Santrock 2003).

2. Authoritative (demokratis)

Bentuk perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan cara melibatkan anak dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan keluarga dan diri anaknya merupakan gaya pengasuhan otoritatif. Orang tua yang otoritatif bersikap terbuka, fleksibel dan memberikan kesempatan kepada anaknya untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan peraturan yang rasional (Baumrind 1967). Hal ini menyebabkan orang tua mempunyai hubungan yang dekat dengan anak-anaknya dan selalu mendorong anaknya untuk ikut terlibat dalam membuat peraturan dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran.

Orang tua yang memiliki gaya pengasuhan otoritatif bertingkah laku hangat tetapi tetap tegas (Baumrind 1967). Kebiasaan-kebiasaan demokrasi, saling menghargai dan menghormati hak-hak orang tua dan anak-anak ditanamkan dalam keluarga yang otorotatif. Keputusan-keputusan yang penting akan diputuskan secara bersama-sama walaupun keputusan akhir seringkali berasa di tangan orang tua. Anak-anak diberi kesempatan untuk memberikan alasan mengapa mereka ingin memutuskan atau akan melakukan sesuatu. Apabila alasan-alasan itu masuk akal dan dapat diterima, maka orang tua yang otoritatif akan memberikan dukungan. Tetapi jika orang tua tidak menerima, maka orang tua akan menjelaskan alasannya mengapa dirinya tidak menerima keputusan anaknya tersebut. Orang tua yang otoritatif selalu berusaha menanamkan nilai-nilai kemandirian dan pengendalian diri yang tinggi pada anaknya, sekaligus tetap bertanggung jawab penuh terhadap tingkah laku anak-anaknya. Kebiasaan yang rasional, berorientasi pada masalah, terlibat dalam perbincangan dan penjelasan dengan anak-anak, dan memegang teguh tingkah laku yang disiplin selalu ditanamkan oleh orang tua yang menerapkan gaya pengasuhan otoritatif.

(10)

kemampuan sosial, meningkatnya rasa percaya diri, dan tanggung jawab sosial pada seorang anak.

3. Permissive (permisif)

Pola-pola perlakuan orang tua saat berinteraksi dengan anaknya dengan memberikan kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan yang ketat merupakan gaya pengasuhan yang permisif (Baumrind 1967). Orang tua yang permisif akan memberikan kebebasan penuh kepada anak-anaknya untuk bertindak sesuai dengan keinginan anaknya. Orang tua membuat sebuah peraturan tertentu, namun anak-anak tidak menyetujui atau tidak memamtuhinya, maka orang tua yang permisif cenderung akan bersikap mengalah dan akan mengikuti kemauan anak-anaknya.

Ketika anak-anaknya melanggar suatu peraturan di dalam keluarga, orang tua dengan gaya pengasuhan permisif jarang menghukum anak-anaknya, bahkan cenderung berusaha untuk mencari pembenaran terhadap tingkah laku anaknya yang melanggar peratauran tersebut. Orang tua yang seperti demikian umumnya membiarkan anak untuk menentukan tingkah lakunya sendiri. Mereka tidak menggunakan kekuasaan atau wewenangnya sebagai orang tua dengan tegas saat mengasuh dan membesarkan anaknya (Baumrind 1967). Akibatnya tingkah laku sosial anak kurang matang, kadang-kadang menunjukkan tingkah laku agresif, pengendalian dirinya amat buruk, tidak mampu mengarahkan diri, dan tidak bertanggung jawab (Santrock 2003).

4. Uninvolved (tak terlibat)

(11)

Pola Komunikasi

Komunikasi didefinisikan sebagai suatu proses simbolik transaksional dan menciptakan berbagai makna. Simbol dalam komunikasi terdiri dari berbagai bentuk, yaitu verbal atau kata-kata dan nonverbal seperti ekpresi wajah, kontak mata, gerakan, postur tubuh, penampilan, dan jarak spasial. Komunikasi keluarga merupakan suatu simbiosis, proses transaksional menciptakan dan membagi arti dalam keluarga. Seperti halnya setiap orang yang mempunyai gaya komunikasi yang berbeda, setiap keluarga pun mempunyai gaya dan pola komunikasi yang unik dan berbeda. Komunikasi merupakan cara individu untuk bisa berbagi ide dan perasaannya atau menanggapi ide dan perasaan orang lain. Dengan adanya komunikasi akan membantu individu untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan cara individu itu bergaul dengan orang lain (Galvin dan Brommel 2008).

Dalam komunikasi keluarga terdapat proses intersubjektivitas dan interaktivitas. Intersubjektivitas terkait dengan kemampuan kognitif dalam menangkap dan menerima pesan antar anggota keluarga, sedangkan interaktivitas terkait dengan perilaku keluarga yang membuat bentuk interaksi dan memelihara unit sosial (Koerner dan Fitzpatrick 2002).

Tipe Komunikasi

Penelitian mengenai komunikasi keluarga telah dilakukan lebih dari tiga dekade dan dirasakan memiliki banyak manfaat baik bagi kalangan akademisi maupun praktisi. Komunikasi dalam keluarga menghasilkan berbagai efek. Efek tersebut yaitu menyangkut gaya konflik, kemampuan berkomunikasi, sosialisasi anak, kepuasan keluarga, kebiasaan gaya hidup sehat, dan masih banyak lagi (Burns dan Pearson 2011).

(12)

communication environment (FCE) atau lingkungan komunikasi keluarga. FCE ini terdiri dari tiga dimensi yaitu, family expresiveness, structural traditionalism, dan conflict avoidance.

Dimensi family expresiveness menunjukkan komunikasi keluarga yang tinggi dalam diskusi dan mendorong setiap anggota keluarga untuk mengeluarkan pendapatnya. Keluarga yang menerapkan tipe komunikasi family expresiveness lebih sering mendorong anggota keluarganya untuk berdiskusi mengenai ide dan perasaannya daripada kedua tipe komunikasi lainnya. Anggota keluarga yang sering menerapkan tipe ini akan memiliki kemampuan komunikasi yang baik.

Dimensi structural traditionalism menggunakan pemaksaan dan kekuasaan orang tua dalam mengkomunikasikan berbagai hal kepada anaknya. Keluarga yang menggunakan tipe komunikasi ini cenderung masih memegang teguh nilai-nilai tradisional dalam kehidupan keluarga dan pernikahan. Tipe komunikasi ini juga digunakan untuk menghindari topik yang tidak menyenangkan serta untuk menyamakan nilai dan kepercayaan dalam keluarga. Anggota keluarga structural traditionalism ini hanya memiliki sedikit kemampuan mengenai komunikasi interpersonal dan lebih rendah dari keluarga yang menerapkan family expresiveness.

Dimensi yang terakhir adalah conflict avoidance, pada dimensi ini orang tua sebisa mungkin menghindari konflik dengan anaknya yaitu dengan menggunakan kekuasaannya. Tidak pernah ada penjelasan bagi setiap masalah sehingga tidak pernah terselesaikan dengan baik. Dimensi ini merupakan dimensi dengan level terendah dalam kemampuan komunikasi interpersonal dan menyelesaikan masalah (Burns dan Pearson 2011).

Alokasi Waktu Komunikasi

Sumber daya waktu adalah sumber daya yang tidak dapat dimasukkan sebagai sumber daya materi ataupun sumber daya manusia. Biasanya yang menjadi titik perhatian dari masalah sumber daya waktu adalah penggunaannya oleh setiap individu yang belum optimal. Hal ini mengingat bahwa konsep waktu adalah sumber daya yang tidak dapat diperbaharui dan tidak dapat digantikan, bersifat terbatas serta dimiliki oleh setiap individu dalam jumlah yang sama yaitu 24 jam dalam sehari (Guharja, et all 1992).

(13)

1. Waktu produktif atau waktu bekerja

2. Waktu subsisten atau waktu yang digunakan untuk makan, tidur, perawatan diri dan kesehatan

3. Waktu antara yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan ke tempat kerja (work related time), dan

4. Waktu luang (free time)

Komunikasi sangat dibutuhkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Untuk dapat memenuhi kuantitas dalam komunikasi, orang tua bekerja tetap bisa menjalin komunikasi secara hangat dengan anak-anak baik melalui telepon ataupun email. Sebab pada dasarnya anak sangat membutuhkan kedekatan dengan orang tuanya baik kedekatan fisik, seperti mengobrol, bersenda gurau, memeluk, mencium, dan mengusap, maupun kedekatan psikis, seperti rasa kasih sayang dan kehangatan (Chomaria 2011).

Selain komunikasi dengan kuantitas yang cukup, kualitas komunikasi antara ibu dan anak juga perlu diciptakan agar dapat mencapai hubungan yang harmonis. Pembagian waktu yang tepat antara pekerjaan dan keluarga perlu disiasati dengan cermat agar dapat mencapai komunikasi yang berkualitas, sebab jika ibu lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk pekerjaan maka sudah pasti anaknya akan terabaikan. Namun tidak ada jaminan pula bagi ibu yang tidak bekerja atau ibu rumah tangga untuk dapat melakukan komunikasi yang berkualitas, jika ibu hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak memperdulikan anaknya, meskipun secara fisik berada pada tempat yang sama (Barrazidni 2011).

Orang tua harus memiliki waktu khusus untuk berkomunikasi dengan anaknya. Akan sangat sulit jika orang tua menggunakan waktu sisa dalam berkomunikasi dengan anak. Sebab kondisi orang tua harus dalam keadaan yang prima agar dapat memberikan anak nasehat dan ilmu yang berguna untuk kehidupannya kelak (Syarbini dan Khusaeri 2012).

Kelekatan

(14)

gangguan emosi atau psikologi yang terjadi pada individu saat ini, bisa dilihat penyebabnya dengan menelusuri hubungan individu tersebut dengan figur lekatnya di masa kecil. Mary Ainsworth, sebagai ahli kelekatan lainnya mengklasifikasikan kelekatan individu kedalam dua jenis yaitu secure dan insecure (ambivalent atau avoidant). Jika Bowlby melakukan penelitian pada bayi, Ainsworth melakukan penelitian pada anak usia pra sekolah. Peneliti selanjutnya yang melihat kelekatan saat ini merupakan pengaruh dari kehidupan masa lalunya dalah Weiss. Penelitian Weiss dilakukan pada anak remaja. Weiss menyatakan bahwa remaja yang matang dan percaya diri mempunyai orang tua yang konsisten dan percaya diri dalam mengasuh remajanya. Artinya remaja mencontoh apa yang dilakukan oleh orang tuanya (Armsdern dan Greenberg 1987).

Remaja tidak dapat dengan mudahnya keluar dari pengaruh orang tua menuju kebebasan untuk dapat membuat keputusan sendiri. Seiring dengan menjadi lebih bebasnya remaja, sebaiknya secara psikologis remaja memiliki kelekatan yang kuat dengan orang tuanya (Santrock, 2003). Kelekatan (attachment) adalah pengalaman seseorang dalam hubungan antar pribadi yang terjadi secara berkesinambungan terhadap figur tertentu yang membentuk suatu ikatan dan berperan terhadap kualitas dari hubungan tersebut (Utami 2007).

Para ahli teori kelekatan seperti berpendapat bahwa kelekatan yang aman pada masa bayi adalah pokok bagi perkembangan kecakapan sosial. Dalam kelekatan yang aman (secure attachment), bayi menggunakan pengasuhnya, biasanya ibu sebagai landasan rasa aman untuk memulai mengeksplorasi lingkungan. Kelekatan yang aman dicirikan sebagai landasan penting bagi perkembangan psikologis berikutnya pada masa kanak-kanak, remaja, dan dewasa. Pada kelekatan yang tak aman (insecure attachment), bayi agak menghindari pengasuhnya, atau menunjukkan perlawanan atau keduanya, terhadap pengasuhnya. Kelekatan tak aman berkaitan dengan kesulitan berhubungan dan masalah-masalah perkembangan selanjutnya.

(15)

orang lain. Kepercayaan merupakan salah satu komponen hubungan yang kuat antara anak dengan figur lekatnya. Rasa percaya ini dibangun oleh pembelajaran dan pengalaman anak yang positif terhadap figur lekatnya secara konsisten.

Dimensi yang kedua adalah komunikasi (communication). Komunikasi yang baik antara ibu dan anak akan membantu menciptakan ikatan emosi yang kuat diantara keduanya. Ikatan tersebut dapat terbentuk dengan adanya harmonisasi dan timbal balik antara pemberi dan penerima pesan (ibu dan anak). Untuk menciptakan iklim komunikasi yang bagus dibutuhkan keterbukaan antara ibu dan anak. Keterbukaan ini merupakan modal penting dalam menjalin hubungan antara ibu dengan anak remaja, sehingga kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara terbuka harus sudah dilatih sejak dini. Kemampuan untuk menciptakan komunikasi yang terbuka antara ibu dan anak dipengaruhi oleh rasa aman diantara keduanya.

Dimensi terakhir dalam kelekatan adalah pengasingan. Pengasingan diartikan sebagai penghindaran dan penolakan oleh figur lekat dimana kedua hal tersebut merupakan hal yang sangat mempengaruhi kelekatan anaknya. Ketika sosok figur lekat menjadi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka hal ini dapat menciptakan kelekatan yang tidak aman antara anak dengan figur lekatnya.

Remaja

Masa remaja merupakan transisi dari kanak-kanak menuju dewasa. Dalam masa ini, remaja berkembang ke arah kematangan seksual, memantapkan identitas sebagai individu yang terpisah dari keluarga, dan menghadapi tugas menentukan cara mencari mata pencaharian. Suatu tahap transisi menuju ke status dewasa mempunyai beberapa keuntungan. Tahap transisi memberi remaja itu suatu masa yang lebih panjang untuk mengembangkan berbagai keterampilan serta untuk mempersiapkan masa depan, tetapi masa itu cenderung menimbulkan masa pertentangan (konflik) kebimbangan antara ketergantungan dan kemandirian.

(16)

sebagian besar merupakan nilai dan standar dari orang tuanya. Pada saat remaja sudah mengenal dunia yang lebih luas nilai-nilai kelompok sebaya menjadi lebih penting. Jika pandangan orang tua sangat berbeda dengan nilai teman sebaya serta tokoh penting lain, kemungkinan akan terjadi konflik dan remaja akan mengalami kebingungan peran (Atkinson,Atkinson 1987).

Agar dapat memperkecil terjadinya konflik antara orang tua dan remaja dibutuhkan kerjasama antara ayah dan ibu dalam pengasuhan, meskipun pada kenyataannya tanggung jawab utama pengasuhan berada pada pundak ibu. Selama ini masyarakat meyakini bahwa ibu merupakan pengasuh utama dalam membesarkan anak-anaknya, sehingga apabila terjadi gangguan pada perkembangan anaknya maka masyarakat akan dengan mudah menyalahkan ibu, meskipun sebenarnya hal itu bukan merupakan faktor utama. Ibu membutuhkan pengetahuan yang luas agar dapat mendidik anak remajanya dengan tepat. Remaja tidak suka dikekang, namun remaja juga tidak ingin dibiarkan begitu saja. Oleh sebab itu ibu harus mengetahui kapan remaja butuh diatur dan butuh dilepas (Santrock 2003).

(17)

Masa remaja merupakan proses transisi menuju kedewasaan. Pada masa ini, individu akan mengalami berbagai perubahan dan berkembang ke arah kematangan baik fisik maupun psikis. Tahap transisi ini, juga memberikan kesempatan bagi remaja untuk mengembangkan berbagai keterampilan serta untuk mempersiapkan masa depan (Atkinson 1987), sebab remaja merupakan generasi penerus yang akan melanjutkan pembangunan negara. Selain itu masa remaja cenderung dihubungkan dengan pertentangan dan konflik terutama dengan orang tua.

Konflik antara orang tua dan remaja terjadi karena adanya kesalahpahaman (missunderstanding) diantara keduanya. Kesalahpahaman terjadi akibat kurangnya komunikasi antara remaja dan orang tua. Seringnya konflik yang terjadi akan membawa pengaruh yang tidak baik bagi hubungan antara orang tua dan remaja.

Orang tua sebagai bagian dari keluarga memiliki peranan penting dalam mendidik remaja, terutama ibu. Interaksi antara ibu dan anak merupakan interaksi sosial pertama yang terjadi dalam kehidupan anak, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga lain (Puspitawati dan Herawati 2009).

Proses interaksi antara ibu dan remaja akan menimbulkan persepsi, baik dari ibu ataupun remaja mengenai kepuasan hubungan yang telah terjalin. Saat kepuasan hubungan dirasakan oleh remaja, maka remaja akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan masanya dan akan menghasilkan remaja-remaja yang berkualitas. Kualitas remaja dapat dilihat dari perilaku yang baik serta berbagai prestasi yang dihasilkan.

Menciptakan remaja yang berkualitas tentunya dipengaruhi oleh lingkungan keluarga yang mendukung serta kualitas pendidiknya (ibu). Kualitas seorang ibu dapat menentukan penerapan gaya pengasuhan, tipe komunikasi yang digunakan, kelekatan yang terbentuk serta kepuasan remaja. Remaja yang merasa puas terhadap hubungannya dengan ibu, berkaitan erat dengan gaya pengasuhan dan tipe komunikasi yang dilakukan ibu serta kualitas kelekatan yang terbentuk.

(18)

   

              

           

   

 

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

   

Karakteristik Keluarga : - Besar Keluarga - Pendapatan keluarga

Karakteristik Ibu : - Usia

- Pendidikan - Pekerjaan Karakteristik

Remaja : - Usia

- Jenis Kelamin

Gaya Pengasuhan

Tipe Komunikasi

Kelekatan

(19)

METODE PENELITIAN

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian interaksi keluarga yang

memfokuskan pada interaksi antara ibu dengan anak. Desain yang digunakan

dalam penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengamatan yang

dilakukan pada satu waktu tertentu. Lokasi penelitian bertempat di SMP Negeri 1

Dramaga dan rumah para siswa di sekitar Kecamatan Dramaga, Bogor, Jawa

Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan

pertimbangan bahwa SMP Negeri 1 Dramaga tergolong sekolah yang memiliki

banyak prestasi, sehingga ingin diketahui hubungan antara kualitas siswa

dengan kepuasan dalam berhubungan dengan ibunya. Waktu penelitian

termasuk persiapan, pengumpulan data, pengolahan, dan analisis data serta

penulisan laporan mulai dilaksanakan pada bulan Mei 2011 sampai Februari

2012.

Teknik Penarikan Contoh

Populasi penelitian ini adalah remaja kelas delapan dan masih tinggal

serumah serta diasuh oleh ibunya. Jumlah kelas delapan di SMP Negeri 1

Dramaga ini terdiri dari sembilan kelas, yaitu kelas 8.1 sampai dengan 8.9. Dari

sembilan kelas ini dipilih secara acak dua kelas yang akan dijadikan sampel

penelitian yaitu kelas 8.4 dan 8.6. Jumlah siswa kelas 8.4 dan 8.6 adalah 82

siswa yang terdiri dari 35 siswa laki-laki dan 47 siswa perempuan. Dari jumlah

siswa ini, diambil contoh secara acak sebanyak 60 responden yang terdiri dari 30

laki-laki dan 30 perempuan, serta 60 orang ibunya. Selanjutnya dilakukan

wawancara terhadap 60 responden terpilih di sekolah sedangkan ibunya

diwawancarai di rumah.

Purpossive

Purposive

Purposive

Simple Random

Stratified Random

Gambar 2. Metode Pengambilan Contoh Bogor

SMP Negeri 1 Dramaga

Siswa kelas 8 (9 kelas)

Siswa kelas 8.4 dan 8.6 n=82

(20)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data

primer dikumpulkan melalui kuesioner yang diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji

coba kuesioner dilakukan sebelum penelitian untuk mengetahui reliabilitas alat

ukur. Setelah dilakukan uji coba reliabilitas dan validitas kuesioner didapatkan

hasil sebagai berikut: nilai Cronbach alpha untuk alat ukur gaya pengasuhan

sebesar 0,601, nilai Cronbach alpha untuk alat ukur kelekatan sebesar 0,684,

dan nilai Cronbach alpha untuk alat ukur kepuasan remaja terhadap ibunya

sebesar 0,698.

Data primer diperoleh langsung dari kuesioner yang ditanyakan kepada

keluarga yang memiliki ibu dan anak usia remaja. Data primer yang akan

diperoleh dengan bantuan kuesioner, meliputi karakteristik keluarga, karakteristik

ibu, karakteristik remaja, gaya pengasuhan, tipe komunikasi dalam keluarga,

kelekatan dan kepuasan). Data sekunder yang diperoleh adalah data

karakteristik sekolah dan data jumlah murid kelas delapan SMP Negeri 1

Dramaga (Tabel 1).

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

Jenis Data Variabel Skala Data Kategori Data

Primer Karakteristik Keluarga :

Rasio

Gaya Pengasuhan Ordinal Penelitian Wulandari (2009)

Pola Komunikasi: 1. Tipe komunikasi 2. Alokasi waktu

Ordinal Rasio

Burns dan Pearson (2011) -

Kelekatan Ordinal Armsden dan Greenberg

(1987)

Kepuasan Hubungan Ordinal Tidak puas, cukup puas,puas

Sekunder Karakteristik Sekolah

SMP Negeri 1 Dramaga

dan Jumlah Siswa Kelas

8

Rasio Data sekolah SMP Negeri 1

(21)

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer

yang sesuai. Data yang telah dikumpulkan diolah melalui proses editing, coding,

scoring, entry, cleaning, dan analyzing. Pengolahan dan analisis data dilakukan

secara deskriptif dengan melakukan tabulasi data dan analisis inferensia dengan

melakukan uji hubungan antar variabel.

Pengolahan Data

Pada kuesioner terdapat data mengenai karakteristik keluarga,

karakteristik ibu, karakteristik remaja, gaya pengasuhan, tipe komunikasi, alokasi

waktu komunikasi, kelekatan, dan kepuasan. Berikut merupakan pengolahan

data yang dilakukan pada setiap variabel:

Karakteristik keluarga terdiri atas besar keluarga dan pendapatan per

kapita. Data besar keluarga dikelompokan berdasarkan data BKKBN (1998),

yaitu keluarga kecil (≤4 orang), sedang (5-7 orang), dan besar (≥8 orang). Data

pendapatan per kapita keluarga diperoleh dari pendapatan keluarga setiap bulan

dibagi dengan jumlah tanggungan dalam keluarga. Pendapatan per kapita per

bulan dikelompokkan menjadi empat berdasarkan garis kemiskinan Kabupaten

Bogor BPS (2010), yaitu kurang dari Rp 197.319, Rp 197 .319- Rp 394.638, Rp

394.639 – Rp. 591.957, dan lebih dari Rp. 591.957.

Karakteristik ibu terdiri atas usia, pekerjaan, dan pendidikan.

Berdasarkan Hurlock (1980), usia ibu dibagi menjadi tiga kategori, yaitu dewasa

muda (18-40 tahun), dewasa tengah (41-60 tahun), dan dewasa tua (>60 tahun).

Tingkat pendidikan ibu diukur berdasarkan pendidikan formal terakhir yang

pernah diikuti ibu, yaitu (1) Tidak sekolah, (2) Tamat SD/sederajat, (3)

SMP/sederajat, (4) SMA/ sederajat, (5) Diploma dan (6) Perguruan Tinggi. Jenis

pekerjaan ibu merupakan pekerjaan utama yang dilakukan ibu untuk menghidupi

keluarga, yaitu (1) PNS, (2) ABRI/TNI/Polisi, (3) Wiraswasta, (4) Karyawan

swasta, (5) Pensiunan, (6) Buruh, (7) Ibu rumah tangga dan (8) Lainnya dengan

menyebutkan pekerjaan yang tidak terdapat dalam daftar kuesioner.

Karakteristik remaja terdiri dari usia dan jenis kelamin. Usia remaja

tergolong remaja awal (Hurlock 1980), yaitu 13 tahun, 14 tahun, dan 15 tahun.

Jenis kelamin dibedakan menjadi (1) laki-laki, (2) perempuan.

Kuesioner gaya pengasuhan dikembangkan dari Wulandari (2009) yang

terdiri dari gaya pengasuhan otoriter, permisif, dan demokratis. Gaya

(22)

dari 8 pernyataan, dan gaya pengasuhan demokratis terdiri dari 8 pernyataan.

Gaya pengasuhan merupakan pernyataan tertutup dengan skala likert (1= tidak

pernah mengalami gaya pengasuhan seperti yang dinyatakan dalam kuesioner

sampai 4= sangat sering mengalami gaya pengasuhan yang dinyatakan dalam

kuesioner). Penilaian terhadap data persepsi gaya pengasuhan, yaitu semakin

tinggi persentase dari skor yang diperoleh pada suatu gaya pengasuhan tertentu

maka semakin ibu menerapkan gaya pengasuhan tersebut. Penentuan gaya

pengasuhan paling dominan yang diterapkan, didasarkan pada jawaban dari

masing-masing pertanyaan yang kemudian masing-masing dijumlahkan dan

dibagi dengan jumlah skor maksimal pada masing-masing jenis pengasuhan

dimensi arahan (otoriter, permisif, demokratis), kemudian dipersentasekan dan

dikategorikan.

Pola komunikasi terdiri atas tipe komunikasi dan alokasi waktu

komunikasi antara remaja dan ibu. Tipe komunikasi terdiri atas tipe family

expresiveness, structural traditionalism, dan conflict avoidance (Burns dan

Pearson 2011). Tipe interaksi terdiri dari 25 item kegiatan yang sering dilakukan

oleh anak remaja. Semua kegiatan ini ditanyakan baik pada remaja maupun ibu

mengenai cara ibu mengkomunikasikan semua kegiatan tersebut dengan

menggunakan skala (1= diabaikan, 2=paksaan, 3=diskusi). Skor total dari semua

kegiatan kemudian dikategorikan ke dalam tiga tipe komunikasi tersebut, yaitu

family expresivness (51-75), structural traditionalism (26-50), dan conflict

avoidance (0-25).

Alokasi waktu komunikasi antara ibu dan remaja, terdiri dari jumlah

waktu yang diluangkan oleh remaja dan ibu untuk berkomunikasi dalam sehari.

Informasi mengenai alokasi waktu untuk berkomunikasi diperoleh dengan cara di

recall kemudian diperoleh data rincian kegiatan dalam sehari baik remaja

maupun ibu beserta waktunya. Jumlah waktu yang sering digunakan untuk

berkomunikasi antara remaja dan ibu dibagi ke dalam empat kategori, yaitu: 5-15

menit, 16-30 menit, 31-45 menit, dan 46-60 menit.

Kelekatan diukur dengan menggunakan kuesioner dari Armsden dan

Greenberg (1987) yang berjudul Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA)

yang terdiri atas tiga dimensi, yaitu kepercayaan, komunikasi, dan pengasingan.

Kuesioner kelekatan ini terdiri dari 25 pernyataan tertutup dengan skala likert

(1=sangat tidak setuju, 2= tidak setuju, 3= ragu-ragu, 4= setuju, dan 5= sangat

setuju). Hasil skor total tiap dimensi dikategorikan menjadi rendah, sedang dan

(23)

berbeda-beda. Dimensi kepercayaan (Rendah: 10-23, Sedang: 24-37, Tinggi:

38-50), dimensi komunikasi (Rendah: 9-21, Sedang: 22-33, Tinggi: 34-45), dan

dimensi Pengasingan (Rendah: 6-14, Sedang: 15-22, Tinggi: 23-30). Selanjutnya

hasil pengkategorian dibagi menjadi dua tipe kelekatan yaitu high security (skor

dimensi kepercayaan dan dimensi komunikasi minimal sedang dan skor dimensi

pengasingan kurang) dan low security (skor dimensi pengasingan minimal

sedang dan skor dimensi kepercayaan serta dimensi komunikasi kurang).

Kepuasan terdiri dari 10 item pernyataan yang dirumuskan sendiri serta

diukur dengan dengan menggunakan skala likert (1=sangat tidak setuju, 2= tidak

setuju, 3= ragu-ragu, 4= setuju, dan 5= sangat setuju). Hasilnya dijumlahkan dan

dibuat persentase kemudian dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu tidak puas

(<60%), cukup puas (60%-80%), dan puas (>80%).

Analisis Data

Analisis data yang digunakan yaitu analisis deskriptif dan analisis

inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik keluarga,

karakteristik ibu, karakteristik remaja, gaya pengasuhan, tipe komunikasi antara

ibu dan remaja, alokasi waktu komunikasi ibu dan remaja, kelekatan, dan

kepuasan remaja terhadap ibu.

Analisis korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara

karakteristik keluarga, karakteristik ibu dan karakteristik remaja, gaya

pengasuhan, tipe komunikasi antara ibu dan remaja, kelekatan dan kepuasan.

Koefisien korelasi Pearson dapat diperoleh dengan menggunakan rumus :

n ∑xy – (∑x) (∑y)

rxy =√[n ∑x2 – (∑x)2] [n ∑y2 – (∑y)2]

Keterangan : x= variabel pertama y= variabel kedua n= jumlah data

Dilakukan pula uji beda independent sample t-test untuk mengetahui

perbedaan gaya pengasuhan, tipe komunikasi, kelekatan, dan kepuasan

berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, uji beda independent sample t-test ini

digunakan untuk mengetahui perbedaan persepsi komunikasi antara ibu dan

(24)

X1 - X2

t = (n1 – 1)s21 +(n2 – 1)s22 1 + 1

√ n1 + n2 – 2 n1 n2

Keterangan :

X1 = Rata- rata variabel 1 X2 = Rata- rata variabel 2 n = Jumlah data

(25)

Definisi Operasional

Contoh adalah ibu dan anak remaja kelas 8 yang bersekolah di SMP Negeri 1 Dramaga.

Karakteristik Remaja adalah ciri-ciri khas remaja yang diteliti meliputi usia dan jenis kelamin.

Karakteristik Ibu adalah ciri-ciri khas ibu yang diteliti meliputi usia, pendidikan, dan pekerjaan.

Karakteristik Keluarga adalah keadaan keluarga yang meliputi besar keluarga dan pendapatan keluarga.

Besar Keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah, dikelompokkan menjadi kecil (< 4 orang), sedang (5-7

orang), dan besar (≥ 7 orang).

Pendapatan Keluarga adalah jumlah pendapatan anggota keluarga yang dinyatakan dalam rupiah per bulan.

Pendidikan Ibu adalah jenjang pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh ibu contoh, meliputi sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi.

Pekerjaan Ibu adalah jenis pekerjaan yang ditekuni ibu (pekerjaan tetap).

Gaya Pengasuhan adalah bentuk-bentuk perlakuan ibu ketika berinteraksi dengan remaja yang mencakup tiga aspek gaya pengasuhan, yaitu

otoriter, permisif, dan demokratis.

Pola Komunikasi adalah bentuk atau pola hubungan antara remaja dan ibu dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan yang terdiri dari tipe

komunikasi (famili expressiveness, structural traditionalism, dan conflict

avoidance) dan alokasi waktu komunikasi antara remaja dan ibu (jumlah

waktu untuk berkomunikasi antara ibu dan remaja per hari).

Kelekatan adalah ikatan emosional yang dibentuk oleh remaja terhadap ibunya dan dikembangkan melalui interaksi antara ibu dan remaja yang meliputi

tiga dimensi, yaitu kepercayaan, komunikasi dan pengasingan.

Kepuasan Remaja adalah keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan yang dirasakan oleh remaja terhadap hubungannya

(26)

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sekolah yang dijadikan lokasi penelitian adalah SMP Negeri 1 Dramaga

yang terletak tepat di belakang kampus IPB Dramaga, beralamat di jalan

Babakan Dramaga nomor 122 Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa

Barat. Sekolah ini memiliki luas lahan sebesar 6.740 m², yang terdiri dari

4.989 m² luas bangunan, 637 m² luas halaman, 380 m² luas lapangan olahraga,

200 m² luas kebun, dan luas lainnya sebesar 534 m². Sekolah ini memiliki

akreditasi A dan menggunakan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan) dalam kegiatan belajar mengajar. Kepala sekolah yang memimpin

saat ini bernama Drs. H. Hardjasah, MM (2009-sekarang).

SMP Negeri 1 Dramaga memiliki 26 ruang belajar, ruang guru, ruang

perpustakaan, laboratorium, ruang TU, dan ruang kepala sekolah. Untuk

kegiatan organisasi dan ekstrakulikuler, sekolah ini memiliki ruang OSIS,

koperasi, lab. komputer, lab. multimedia, ruang seni degung, ruang praktek

masak, dan ruang seni musik. Selain itu terdapat pula ruang UKS dan mushola.

Jumlah siswa yang bersekolah di SMP Negeri 1 Dramaga tahun ajaran

2010/2011 sebesar 1170 siswa. Berdasarkan Tabel 2, jumlah siswa lebih banyak

yang berjenis kelamin perempuan (54,79%) dibandingkan laki-laki( 45,21%).

Tabel 2. Jumlah siswa SMP Negeri 1 Dramaga berdasarkan kelas dan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Kelas VII Kelas VIII Kelas IX Jumlah

N % n % n % n %

Laki-laki 194 47,20 173 44,59 162 43,67 529 45,21

Perempuan 217 52,80 215 55,41 209 56,33 641 54,79

Jumlah 411 100,00 388 100,00 371 100,00 1.170 100,00

Tabel 3 menunjukkan hampir dua per tiga pegawai (60,00%) memiliki

tingkat pendidikan sampai S1 dan hanya sebagian kecil saja (5,71%) yang

memiliki tingkat pendidikan hingga S2. Sebagian besar guru tetap yang bertugas

memiliki tingkat pendidikan sampai S1 (82,98%) dan hampir seluruh tenaga

(27)

Tabel 3. Sebaran pegawai SMP Negeri 1 Dramaga berdasarkan tingkat pendidikan

Remaja yang dijadikan responden pada penelitian ini adalah remaja yang

duduk di kelas delapan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dengan kisaran usia

13-15 tahun. Menurut Hurlock (1980), kisaran usia tersebut tergolong pada

kategori remaja awal (12-17 tahun). Pada Tabel 4, dapat dilihat bahwa kelompok

usia remaja terbanyak adalah 14 tahun, yang terdiri dari hampir tiga per empat

remaja laki-laki (70,00%) dan dua per tiga remaja perempuan (66,67%) dengan

rata-rata usia pada remaja laki-laki 14,10 tahun dan remaja perempuan 14,00

tahun.

Tabel 4. Sebaran contoh berdasarkan usia

Karakteristik

Rata-rata ± SD 14,10±0,55 14,00±0,59 14,05±0,56

Usia, Tingkat Pendidikan, dan Pekerjaan Orang Tua

Sebanyak tiga per empat ayah (75,00%) dan lebih dari separuh ibu

(56,67%) berada pada kategori usia dewasa madya (Tabel 5). Rata-rata usia

ayah 45,30 tahun dengan kisaran antara 30-59 tahun, sedangkan ibu

mempunyai usia rata-rata lebih muda yaitu 40,93 tahun dengan kisaran antara

(28)

Hampir sepertiga ayah menamatkan pendidikan terakhir hingga SMA

(30,36%) dan SD (26,68%). Tidak berbeda jauh dengan ayah, lebih dari

sepertiga ibu menamatkan pendidikan SMA (35,00%) dan hampir sepertiga SD

(28, 33%). Namun terdapat sebagian kecil ibu (6,67%) yang tidak bersekolah

sama sekali, karena terkait dengan masalah biaya.

Berdasarkan jenis pekerjaan yang dijalani ayah responden, diketahui

sebanyak sepertiga (33,93%) bekerja sebagai buruh, seperti buruh bangunan,

buruh tani, tukang parkir, penjaga kos, tukang ojek, dan buruh cuci mobil. Selain

itu sebanyak lebih dari seperempat ayah (28,57%) bekerja sebagai pegawai

negeri sipil (PNS), terdiri dari dosen, guru, dan pegawai di dinas pemerintahan.

Lebih dari separuh ibu (55,00%) tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga

dan sebanyak kurang dari seperempat ibu (23,33%) bekerja sebagai wiraswasta,

meliputi pedagang keliling dan usaha warung (Tabel 5). Jumlah ayah responden

hanya 56 orang, karena terdapat 4 orang remaja yang sudah tidak mempunyai

ayah.

Tabel 5. Sebaran contoh berdasarkan usia, tingkat pendidikan dan pekerjaan ibu

Karakteristik Ayah Ibu

n % n %

Usia

Dewasa awal (19-40) 14 25,00 26 43,33

Dewasa madya (40-60) 42 75,00 34 56,67

Total 56 100,00 60 100,00

Tingkat Pendidikan

Tidak sekolah 0 0,00 4 6,67

SD 15 26,78 17 28,33

SMP 8 14,28 8 13,33

SMA/SMK 17 30,36 21 35,00

Diploma 5 8,93 3 5,00

Perguruan tinggi 11 19,64 7 11,67

Total 56 100,00 60 100,00

Pekerjaan

Pegawai Negeri Sipil 16 28,57 6 10,00

Wiraswasta 14 25,00 14 23,33

Buruh 19 33,93 7 11,67

Karyawan Swasta 7 12,50 0 0,00

IRT 0 0,00 33 55,00

Total 56 100,00 60 100.00

Besar Keluarga Inti

Besar keluarga merupakan banyaknya jumlah anggota keluarga yang

tinggal dalam satu rumah serta menggunakan sumber daya yang sama.

Berdasarkan besar keluarga inti, lebih dari separuh contoh keluarga remaja

(29)

rata-rata jumlah anggota keluarga, yaitu 4 orang. Pada keluarga remaja perempuan

hampir dua per tiga (61,67%) berada pada kategori keluarga sedang dengan

rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 5 orang. Jumlah anggota keluarga

berada pada kisaran 3-9 orang.

Tabel 6. Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga

Remaja Laki-laki

Remaja Perempuan

Jumlah

n % n % n %

Keluarga kecil (≤4 orang) 13 43,33 9 30,00 22 36,67

Keluarga sedang (5-7 orang) 17 56,67 20 66,67 37 61,67

Keluarga besar (≥8 orang) 0 0,00 1 3,33 1 1,67

Total 30 100.00 30 100.00 60 100.00

Min-max (orang) 3-6 3-9 3-9

Rataan±SD (orang) 4,73±0,83 5,03±1,13 4,88±0,99

Pendapatan Per Kapita Keluarga

Separuh remaja laki-laki (50,00%) dan hampir separuh remaja

perempuan (43,33%) memiliki pendapatan keluarga per kapita per bulan lebih

dari Rp 591.957,00 (Tabel 7). Rata-rata pendapatan per kapita per bulan pada

keluarga remaja laki-laki sebesar Rp 607.950 dengan kisaran Rp 144.000 –

Rp 1.333.333, lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pendapatan per kapita

keluarga remaja perempuan, yaitu sebesar Rp 592.330 dengan kisaran

Rp 200.000 – Rp 1.333.333. Berdasarkan angka garis kemiskinan kabupaten

Bogor (BPS 2010), terdapat 3,33% keluarga remaja laki-laki yang berada di

bawah standar.

Tabel 7. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita perbulan

Pendapatan Perkapita Remaja

Laki-laki

Remaja Perempuan

(Rupiah) n % n %

≤ 197.319* 1 3,33 0 0,00

197.320- 394.638 9 30,00 9 30,00

394.639- 591.957 5 16,67 8 26,67

> 591.957 15 50,00 13 43,33

Total 30 100,00 30 100,00

Min-max 144.0000-1.333.333 200.000-1.333.333

Rata-rata ± SD 607.950 ± 309.148,5 592.330 ± 306.589,7

(30)

Gaya Pengasuhan

Setiap gaya pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak akan

membawa dampak yang berbeda bagi perkembangan anak. Terdapat dua

dimensi gaya pengasuhan arahan (disiplin) menurut Baumrind (1991) yaitu

demandingness (kontrol) dan responsiveness (kehangatan). Gaya pengasuhan

arahan (disiplin) ini dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu gaya pengasuhan

Authoritarian, Authoritative, dan Permissive. Gaya pengasuhan Authoritarian atau

biasa disebut gaya pengasuhan otoriter, merupakan gaya pengasuhan yang

umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Gaya

pengasuhan permisif merupakan gaya pengasuhan dengan cara memberikan

kelonggaran atau kebebasan kepada anaknya tanpa kontrol atau pengawasan

yang ketat. Gaya pengasuhan Authoritative atau lebih dikenal dengan sebutan

gaya pengasuhan demokratis merupakan bentuk perlakuan ibu dengan anaknya

dengan cara melibatkan anak dalam pengambilan keputusan yang berkaitan

dengan keluarga dan diri anak.

Pada dimensi otoriter (Tabel 8) menunjukkan bahwa sebagian besar

remaja menyatakan tidak pernah mengalami pengasuhan secara otoriter dari ibu.

Sebagian besar remaja laki-laki (80,00%) dan remaja perempuan (83,00%)

menyatakan bahwa ibu tidak pernah memberikan hukuman tanpa memberi

kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalannya. Sebagian besar remaja

perempuan (90,00%) dan lebih dari tiga per empat remaja laki-laki (77,00%)

menyatakan bahwa ibu tidak pernah menuntut remaja untuk mendapatkan

prestasi tanpa memenuhi kebutuhan remaja. Lebih dari tiga per empat remaja

laki-laki (80,00%) dan remaja perempuan (77,00%) mengaku bahwa ibu tidak

pernah menentukan teman bermain untuk remaja. Artinya ibu memberikan

kebebasan kepada remaja untuk memilih teman bermainnya. Hampir dua per

tiga remaja laki-laki (60,00%) dan hampir tiga per empat remaja perempuan

(73,00%) mengaku selalu mendapat pujian ketika remaja mentaati peraturan

yang sudah ditetapkan ibu.

Dilihat dari dimensi permisif, hampir seluruh remaja laki-laki (93,00%) dan

lebih dari tiga per empat remaja perempuan (77,00%) menyatakan bahwa ibu

selalu menuntut remaja untuk berperilaku baik sehari-hari di rumah. Persentase

yang besar pada remaja laki-laki menunjukkan bahwa ibu lebih banyak mengatur

remaja laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan. Hampir tiga per empat

(31)

(80,00%) mengaku bahwa ibu tidak membebaskan remaja pergi sesuai dengan

kebutuhan dan keinginan remaja. Ini menunjukkan bahwa ibu belum memberikan

kepercayaan sepenuhnya kepada remaja untuk pergi kemana saja meskipun

para remaja sudah bisa pergi tanpa orang tua. Lebih dari tiga per empat remaja

laki-laki (80,00%) dan hampir seluruh remaja perempuan (97,00%) menyatakan

bahwa ibu masih membatasi pergaulan yang dilakukan oleh remaja. Proteksi ibu

pada perempuan lebih besar dibandingkan dengan remaja laki-laki, meskipun

sebagian besar ibu masih memperlakukan sama antara remaja laki-laki dan

remaja perempuan.

Tabel 8.Sebaran contoh berdasarkan persepsi remaja terhadap pernyataan tentang gaya pengasuhan ibu

No Pernyataan

Persentase (%) Tidak Pernah Sering

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

Otoriter

1 Ibu memberikan hukuman tanpa memberi kesempatan menjelaskan duduk persoalannya.

80 83 10 0

2 Ibu menuntut untuk mendapatkan prestasi yang baik namun mengabaikan apa saja yang dibutuhkan.

77 90 13 7

3 Ibu menyuruh untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa boleh membantah.

43 47 37 33 4 Ibu menentukan teman bergaul. 80 77 17 13 5 Ibu memaksa mengikuti les tambahan tanpa

memperhatikan kegiatan anak.

57 87 43 10 6 Ibu jarang memberikan hadiah ketika anak

memiliki prestasi yang baik di sekolah.

43 63 47 30 7 Ibu jarang memberikan pujian, jika anak mentaati

semua peraturan yang sudah ditetapkan.

60 73 20 23

Permisif

8 Ibu tidak menuntut berperilaku baik sehari-hari di rumah.

93 77 7 10

9 Ibu membebaskan kemanapun anak untuk pergi sesuai dengan kebutuhannya.

70 80 23 13

10 Ibu tidak mengekang untuk melakukan kegiatan apapun selepas sekolah.

23 27 70 67 11 Ibu tidak menerapkan aturan apapun di rumah. 50 67 43 27

12 Ibu membebaskan pergaulan tanpa ada batasan. 80 97 13 0 13 Ibu tidak marah walaupun anak membantah apa

yang menjadi keinginannya.

70 70 17 17 14 ibu saya tidak pernah menyarankan jam tidur atau

jam bangun pagi.

47 60 47 37 15 Ibu selalu mengalah dan mengikuti semua

keinginan anak.

53 53 17 13

Demokratis

16 Anak dapat berdiskusi tentang apapun dengan ibu . 17 10 73 70 17 Ibu memberikan sanksi sesuai dengan perbuatan. 13 10 83 87 18 Ibu akan memberikan peringatan terlebih dahulu

sebelum menjatuhkan sanksi.

17 13 80 87 19 Ibu akan mentoleransi perbedaan pendapat. 23 13 70 80

20 Ibu menanyakan keadaan anak yang sedih. 37 13 13 77

21 Ibu bekerja sama memutuskan masalah penting menyangkut masa depan anak.

13 10 83 80 22 Ibu bersedia mendengarkan keluhan anak. 13 0 80 93

23 Ibu melarang melakukan sesuatu, maka dibarengi dengan alasan di balik larangan itu.

(32)

Pada dimensi demokratis lebih dari tiga per empat remaja laki-laki dan

remaja perempuan menyatakan sering mengalami pengasuhan dengan gaya

demokratis oleh ibunya. Para remaja menyatakan bahwa ibu sering berdiskusi

tentang apapun dengan remaja dan ibu pun menghargai pendapat remaja serta

mau mendengarkan keluhan remaja, ibu memberi sanksi yang sesuai dengan

perbuatan remaja dan terlebih dahulu memberi peringatan sebelum betul-betul

menjatuhkan sanksi, ibu juga ikut bekerja sama dengan remaja dalam

memutuskan masa depan remaja. Lebih dari tiga per empat remaja perempuan

(77,00%) dan sebagian kecil remaja laki-laki (13,00%) menyatakan bahwa ibu

sering menanyakan keadaan remaja jika remaja terlihat sedih. Persentase ini

menunjukkan bahwa ibu kurang memperhatikan keadaan remaja laki-lakinya dan

lebih banyak memperhatikan remaja perempuan. Hal ini disebabkan karena

adanya anggapan bahwa anak laki-laki itu lebih kuat dari pada anak perempuan.

Hampir seluruh remaja laki-laki (90,00%) dan seluruh remaja perempuan

(100%) menyatakan cenderung diasuh oleh ibu dengan menggunakan gaya

pengasuhan demokratis dan hanya sebagian kecil remaja laki-laki saja yang

mengaku cenderung mengalami gaya pengasuhan otoriter dan permisif (Tabel 9).

Hal ini menunjukkan bahwa hampir seluruh responden mendapatkan

pengasuhan yang hangat tetapi tetap tegas dari ibunya. Hasil penelitian ini

senada dengan yang dilakukan oleh Rahmaisya (2011) yang menunjukkan

bahwa sebagian besar responden mempersepsikan gaya pengasuhan dari orang

tuanya adalah demokratis (86,00%), otoriter (8,00%), dan permisif (6,00%).

Berdasarkan hasil uji beda, diketahui bahwa tidak ada perbedaan yang nyata

pada gaya pengasuhan ibu terhadap remaja laki-laki dan remaja perempuan.

Tabel 9. Sebaran contoh berdasarkan gaya pengasuhan ibu terhadap remaja

Gaya Pengasuhan

Remaja Laki-laki Remaja Perempuan Subtotal

n % n % n %

Otoriter 2 6,67 0 0,00 2 3,33

Permisif 1 3,33 0 0,00 1 1,67

Demokratis 27 90,00 30 100,00 57 95,00

Total

p-value

30

100,00 0,191

(33)

Pola Komunikasi Tipe Komunikasi

Komunikasi dalam keluarga merupakan hal yang sangat penting untuk

diperhatikan karena menyangkut kepuasan dalam hubungan keluarga. Selain itu,

cara berkomunikasi dalam keluarga akan mempengaruhi cara berinteraksi antar

anggota keluarga. Fitzpatrick’s dan Ritchie (1994) dalam Burns dan Pearson

(2011) mengidentifikasi tipe komunikasi keluarga dari Family Communication

Environment (FCE) atau lingkungan komunikasi keluarga ke dalam tiga tipe.

Ketiga tipe tersebut adalah family expresiveness, structural traditionalism, dan

conflict avoidance.

Family expressiveness merupakan tipe komunikasi yang berorientasi

pada diskusi, dimana anak dapat bebas mengekspresikan ide dan perasaannya.

Structural traditionalism adalah tipe komunikasi yang berorientasi pada

pemaksaan dimana anak diharuskan untuk mematuhi segala sesuatu yang orang

tua perintahkan. Tipe yang terakhir yaitu conflict avoidance, dimana pada tipe ini

orang tua sangat jarang berinteraksi dengan anak dan banyak membiarkan

segala sesuatu yang anak lakukan. Tipe yang terakhir ini merupakan tipe paling

buruk dari kedua tipe yang lain.

Sebagian besar remaja laki-laki (Tabel 10) memiliki persepsi bahwa ibu

mengkomunikasikan kegiatan meminta uang jajan (93,00%) dan makan fast food

(83,00%) dengan tipe family expresiveness, sedangkan untuk kegiatan

membantu pekerjaan rumah sebagian besar remaja laki-laki (83,00%)

mempersepsikan tipe structural traditionalism. Hampir seluruh remaja laki-laki

memiliki persepsi komunikasi yang dilakukan ibu dengan tipe conflict avoidance

pada kegiatan membaca komik (80,00%) dan penggunaan aksesoris (90,00%).

Hampir seluruh ibu menggunakan tipe komunikasi family expresiveness

pada remaja laki-laki dalam mengkomunikasikan kegiatan meminta uang jajan

(87,00%) dan makan fast food (83,00%). Hampir dua per tiga ibu

mengkomunikasikan kegiatan mengaji (63,00%) dan membantu pekerjaan rumah

(60,00%) pada remaja laki-laki dengan menggunakan tipe structural

traditionalism. Sebagian besar ibu (83,00%) mengkomunikasikan kegiatan

penggunaan aksesoris dengan menggunakan tipe conflict avoidance.

Terdapat 22 kegiatan yang dipersepsikan sama oleh remaja laki-laki dan

ibu berdasarkan cara mengkomunikasikan kegiatan tersebut (Tabel 10).

(34)

ekstrakulikuler, bermain ke rumah teman, bermain ke mall, pemilihan teman,

pacaran, penggunaan handphone, meminta uang jajan, makan fast food, dan

tidur), tiga kegiatan termasuk tipe structural traditionalism (shalat, ngaji dan

membantu pekerjaan rumah), dan delapan kegiatan termasuk tipe conflict

avoidance (makan, mandi, olahraga, nonton tv, nonton dvd, main games, baca

komik, penggunaan aksesoris).

Tabel 10. Sebaran contoh berdasarkan tipe komunikasi menurut persepsi remaja laki-laki

dan ibu terhadap kegiatan sehari-hari

No Jenis Kegiatan Laki-laki (%) Ibu (%) p-value

FE ST CA FE ST CA

1 Bangun tidur 43 20 37 53 27 20 0,182

2 Shalat 27 40 33 30 50 20 0,393

3 Ngaji 20 43 37 27 63 10 0,060

4 Makan 13 37 50 33 27 40 0,150

5 Mandi 3 47 50 20 37 43 0,189

6 Olahraga 37 0 63 47 0 53 0,441

7 Sekolah 73 0 27 73 0 27 1,000

8 Ekstrakulikuler 63 3 33 73 0 27 0,489

9 Belajar 7 47 47 13 53 33 0,233

10 Nonton TV 23 20 57 20 20 60 0,757

11 Nonton DVD 26 20 53 27 13 60 0,769

12 Main games 10 40 50 17 30 53 1,000

13 Baca Komik 10 10 80 17 10 77 0,589

14 Bermain ke rumah teman 60 13 27 73 17 10 0,195

15 Bermain ke mall 57 10 33 67 3 30 0,581

16 Pemilihan teman 57 10 33 47 13 40 0,495

17 Pacaran 50 23 27 43 37 20 1,000

18 Cara berpakaian 13 43 43 37 30 33 0,103

19 Penggunaan aksesoris 0 10 90 10 7 83 0,203

20 Penggunaaan handphone 43 23 33 53 17 30 0,565

21 Penggunaan internet 47 3 50 73 3 23 0,031

22 Uang jajan 93 3 3 87 13 0 0,732

23 Makan fast food 83 0 17 83 0 17 1,000

24 Membantu

pekerjaan rumah 7 83 10 17 60 23

0,812

25 Tidur 47 17 37 53 10 37 0,784

Keterangan :FE= family expresiveness, ST=structural traditionalism,CA=conflict avoidant

Terdapat perbedaan yang nyata antara remaja laki-laki dan ibu dalam

mengkomunikasikan kegiatan penggunaan internet (p<0,05). Menurut persepsi

(35)

tipe conflict avoidance sedangkan menurut persepsi ibu adalah family

expresiveness. Perbedaan ini terjadi karena menurut sebagian besar remaja, ibu

tidak terlalu memperdulikan saat remaja ingin menggunakan internet. Ketika

remaja ingin menggunakan internet, maka remaja langsung pergi ke warnet

tanpa batasan waktu ataupun larangan dari ibu. Sedangkan menurut ibu, anak

remajanya selalu meminta izin sebelum menggunakan internet, sehingga ibu bisa

membuat beberapa perjanjian terlebih dahulu dengan remaja, baik waktu

maupun situs apa saja yang boleh dibuka.

Terdapat perbedaan persepsi tipe komunikasi antara ibu dan remaja pada

saat mengkomunikasikan cara berpakaian. Hampir separuh remaja laki-laki

(43,00%) memiliki persepsi tipe komunikasi structural traditionalism dan conflict

avoidance pada kegiatan tersebut, sedangkan lebih dari sepertiga (37,00%) ibu

mempersepsikan kegiatan ini dikomunikasikan dengan menggunakan tipe family

expresiveness. Adanya perbedaan ini diduga karena cara penyampaian ibu yang

disalah artikan oleh remaja laki-laki. Ibu merasa mengkomunikasikan cara

berpakaian dengan sangat terbuka dan dengan diskusi, tetapi remaja

menangkap sebagai sebuah pemaksaan dan pengabaian. Namun setelah

dilakukan uji statistik (uji beda t-test) ternyata tidak ada perbedaan yang

signifikan antara tipe komunikasi ibu dengan remaja (p>0,05).

Sebagian besar remaja perempuan (Tabel 11) memiliki persepsi bahwa

ibu mengkomunikasikan kegiatan bermain ke rumah teman (87,00%), bermain ke

mall (90,00%), penggunaan internet (87,00%), meminta uang jajan (97,00%) dan

makan fast food (83,00%) dengan tipe family expresiveness. Hampir dua per tiga

remaja perempuan mempersepsikan kegiatan shalat (60,00%) dan cara

berpakaian (60,00%) dikomunikasikan oleh ibu dengan mengunakan tipe

structural traditionalism. Hampir seluruh remaja perempuan memiliki persepsi

komunikasi yang dilakukan ibu dengan tipe conflict avoidance pada kegiatan

olahraga (93,00%) dan membaca komik (93,00%).

Hampir seluruh ibu menggunakan tipe komunikasi family expresiveness

pada remaja perempuan dalam mengkomunikasikan kegiatan bermain ke rumah

teman (93,00%), bermain ke mall (80,00%), penggunaan internet (80,00%),

meminta uang jajan (90,00%) dan makan fast food (80,00%). Sebagian ibu

mengkomunikasikan kegiatan shalat (50,00%) pada remaja perempuan dengan

(36)

mengkomunikasikan kegiatan olahraga (93,00%), membaca komik (83,00%) dan

penggunaan aksesoris (87,00%) dengan menggunakan tipe conflict avoidance.

Tabel 11. Sebaran contoh berdasarkan tipe komunikasi menurut persepsi remaja

perempuan dan ibu terhadap kegiatan sehari-hari

No Jenis Kegiatan Perempuan (%) Ibu (%) p-value

Keterangan :FE= family expresiveness, ST=structural traditionalism,CA=conflict avoidant

Terdapat 20 kegiatan yang dipersepsikan sama oleh remaja perempuan

dan ibu berdasarkan cara mengkomunikasikan kegiatan tersebut (Tabel 11).

Sebanyak 11 kegiatan termasuk tipe family expresiveness (bangun tidur, sekolah,

ekstrakulikuler, bermain ke rumah teman, bermain ke mall, pemilihan teman,

penggunaan handphone, penggunaan internet, meminta uang jajan, makan fast

(37)

dan makan), dan enam kegiatan termasuk tipe conflict avoidance (olahraga,

nonton tv, nonton dvd, main games, baca komik, penggunaan aksesoris).

Terdapat perbedaan yang nyata antara persepsi remaja perempuan dan

ibu dalam mengkomunikasikan kegiatan membantu pekerjaan rumah (p<0,05).

Menurut persepsi remaja perempuan, ibu mengkomunikasikan kegiatan

membantu pekerjaan rumah dengan tipe structural traditionalism sedangkan

menurut persepsi ibu adalah family expresiveness. Perbedaan ini terjadi karena

remaja perempuan merasa dipaksa ketika ibu meminta tolong untuk membantu

pekerjaan rumah, sedangkan ibu merasa ketika memberikan tugas pada

anaknya tidak dilakukan dengan memaksa, tetapi berdasarkan kesepakatan.

Terdapat perbedaan persepsi tipe komunikasi antara ibu dan remaja pada

saat mengkomunikasikan kegiatan mandi, belajar, pacaran dan cara berpakaian.

Remaja perempuan berpersepsi bahwa ibu mengkomunikasikan kegiatan

tersebut dengan menggunakan tipe structural traditionalism, sebab remaja

melihat cara penyampaian ibu mengenai keempat hal tersebut dengan penuh

penekanan dan menangkap adanya paksaan dari ibu terutama pada kegiatan

mandi, pacaran dan cara berpakaian. Disisi lain, ibu menganggap tipe

komunikasi yang digunakan pada kegiatan mandi dan belajar adalah tipe conflict

avoidance, serta family expresiveness pada kegiatan pacaran, dan cara

berpakaian. Namun setelah dilakukan uji statistik (uji beda t-test), ternyata pada

keempat kegiatan tersebut tidak ada perbedaan yang nyata antara tipe

komunikasi ibu dengan remaja (p>0,05).

Tabel 12. Sebaran contoh berdasarkan tipe komunikasi ibu dan remaja menurut

persepsi remaja dan ibu

Tipe Komunikasi

Persepsi Remaja Persepsi Ibu

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

n % n % n % n %

Family Expressiveness 12 40,00 19 63,33 19 63,33 21 70,00 Structural Traditionalism 18 60,00 11 36,67 11 36,67 9 30,00

Conflict Avoidance 0 0,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00

Total 30 100,00 30 100,00 30 100,00 30 100,00

p-value 0,052 0,613

p-value 0,192

Hampir dua per tiga remaja laki-laki (60,00%) mempersepsikan

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2. Metode Pengambilan Contoh
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data
Tabel 3. Sebaran pegawai SMP Negeri 1 Dramaga berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan mengukur biomassa serasah dan tumbuhan bawah secara destruktif dan mengukur biomassa tegakan secara non destruktif menggunakan persamaan

Nilai biomassa dan stok karbon serasah yang lebih rendah dari tumbuhan bawah diduga berkaitan dengan proses dekomposisi bahan organik yang berlangsung lebih cepat

[r]

ABSTRAK PENGEMBANGAN PROTOTIPE SOAL TES ASESMEN HASIL PENDIDIKAN KARAKTER BERSAHABAT DAN KARAKTER CINTA DAMAI BERBASIS FILM KARAKTER DI SMP Uji Coba Terbatas pada Siswa Kelas VII A

Tarif parkir mobil kisaran 3.000 rupiah sedangkan tarif parkir motor hanya 1.000 rupiah saja.Setelah itu kita dapat berjalan dari arah utara hingga ke arah selatan, sepanjang jalan

sebagai pembentuk hukum. Dalam hal ketentuan peraturan undang-undang tidak. mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu

Sesuai dengan yang disimpulkan Achmadi (2014, hlm. 127) bahwa promosi kesehatan adalah proses untuk memungkinkan individu mengontrol faktor-faktor yang memengaruhi

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap karakteristik individu res- ponden, diperoleh informasi bahwa sebagian besar mahasiswa IPB peserta PKMK dan PPKM berjenis kelamin laki-