• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku minoritas di Sumatera sebelah timur di kawasan hutan luas diantara sungai-sungai besar, rawa-rawa pantai dan pulau-pulau lepas pantai (Weintré 2003). Di antara suku-suku tersebut, yang paling unik sistem kekerabatannya adalah suku Minangkabau yang berada di Sumatera Barat.

Masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilineal yang merupakan sistem kekerabatan berdasarkan garis ibu. Sistem kekerabatan ini memberikan peran yang penting bagi perempuan tidak hanya sebagai sumber keturunan, tapi juga sebagai simbol kearifan, kebijakan, finansial, kekuatan, keindahan, kemegahan, dan masa depan. Penguasaan perempuan terhadap basis ekonomi,

fisik, dan budaya dengan berlandaskan sistem “matrilineal-nya”, membuat perempuan Minangkabau relatif memiliki akses penguasaan dan kemampuan pemanfaatan ekonomis yang tinggi dan mandiri (Khaidir 2005).

Filosofi adat Minangkabau yang tertuang dalam sistem matrilineal tersebut memberikan kedudukan ekonomis yang sangat kokoh pada perempuan. Hal ini direalisasikan dalam sistem pewarisan (harato pusako) berupa sawah, tanah, dan rumah yang diturunkan kepada anak perempuan. Sementara anak laki-laki mendapatkan tuah atau kehormatan dalam bentuk gelar adat (sako) dan kewenangan untuk mengatur anak kemenakan. Fatmariza et al. (2003) menyimpulkan bahwa perempuan yang sudah menikah akan tetap tinggal di rumah ibunya (rumah gadang) dan menganut sistem keluarga luas (extended family). Perempuan mendapat kepercayaan penuh untuk mengatur rumah tangga. Meskipun sistem kekerabatan Minangkabau adalah matrilineal, hal itu tidak serta merta menentukan posisi perempuan dalam penentuan kebijakan publik masyarakat. Menurut Syarizal dalam Surur (2009), posisi perempuan dalam masyarakat matrilineal Minangkabau terbilang unik karena terdapat perbedaan tajam antara struktur sosial dan ekonomi. Dalam kehidupan ekonomi, perempuan Minangkabau sangat terkenal sebagai perempuan pekerja keras sehingga tidak tergantung pada laki-laki. Namun, dalam struktur sosial, perempuan lebih banyak

berada pada ranah domestik, yaitu manajemen sumberdaya keluarga dan urusan rumah tangga, sementara pembuatan keputusan secara publik banyak didominasi oleh laki-laki yang disebut sebagai ninik mamak maupun datuk pemimpin kaum.

Abidin (2009) secara sarkastis menyatakan bahwa dalam masyarakat Minangkabau tradisional, pada hakekatnya peranan perempuan yang seimbang dengan laki-laki sudah melebihi apa yang diperlukan perempuan itu sendiri, sebagaimana yang mereka perlukan dalam kehidupan masyarakat modern. Dulu, tidak dipakai kata emansipasi, persamaan hak, atau gender sebagaimana yang sering disuarakan oleh kaum wanita barat masa kini. Namun, setelah dikaji, ternyata makna matrilineal dan feminisme sama-sama merujuk pada kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Hal itu memberikan arti bahwa masyarakat Minangkabau, terutama pada keberadaan dan posisi perempuannya, sudah menjadi modern sebelum kata modern itu ada. Sistem matrilineal bahkan sudah ada sebelum kata feminisme lahir.

Abidin (2009) melanjutkan, dari aspek sistem nilai, karakteristik perempuan Minangkabau telah terpola dalam suatu pembagian kerja yang seimbang antara laki-laki dan perempuan. Di dalam adat Minangkabau, perempuan adalah owner (pemilik), sedangkan laki-laki adalah manager (pengurus) terhadap semua aset keluarga matrilinealnya. Oleh karena itu, sistem matrilineal telah menempatkan perempuan pada suatu posisi yang mengharuskannya berpikir lebih luas, bijaksana, dan tegas terhadap putusan-putusan yang akan diambil terkait dirinya, keluarga, dan masyarakat.

Penempatan perempuan sebagai pemilik aset keluarga matrilineal membuat perempuan Minangkabau memegang peran yang tinggi terhadap sumberdaya keluarganya. Hal ini mencerminkan kehidupan matrilineal di Minangkabau memiliki perspektif gender yang unik dibandingkan dengan sistem kekerabatan lainnya di Indonesia bahkan di dunia. Moser (2001) mendefinisikan bahwa gender berbeda dengan jenis kelamin yang maknanya mengacu pada perbedaan fisik yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang berlaku di masyarakat, serta mencakup hak dan kewajiban yang menyertai peran itu (Riley 1997).

3

Peran gender muncul dalam setiap segi kehidupan sosial manusia, seperti dalam institusi sosial, termasuk struktur keluarga, tanggung jawab pekerjaan rumah tangga, pasar tenaga kerja, sekolah, kesehatan, hukum, dan kebijakan publik. Hasil penelitian Oladeji (2008) menyatakan bahwa peran gender dan norma gender bersifat spesifik secara budaya dan juga beragam di seluruh penjuru dunia. Hampir di semua daerah, laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan, status, dan kebebasan yang berbeda dan bervariasi secara substansial. Gender memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pengambilan keputusan dan perilaku reproduktif dalam keluarga.

Hasil penelitian Gusnita (2011) mengenai pengaruh kontribusi ekonomi perempuan dan peran gender terhadap kesejahteraan keluarga di salah satu komunitas matrilineal Minangkabau menunjukkan bahwa kepemilikan aset pada perempuan Minangkabau memberikan pengaruh yang positif terhadap kontribusi ekonomi dirinya dalam keluarga, sehingga peran gender perempuan di Minangkabau, dalam hal ini istri, menjadi semakin signifikan. Jika peran gender istri semakin signifikan, maka peran istri terhadap pengelolaan sumberdaya keluarga juga semakin tinggi. Hal ini berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga subyektif yang dirasakan oleh istri. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap peran gender perempuan ini adalah kepemilikan aset dan kontribusi ekonomi perempuan. Sementara itu, faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap kesejahteraan keluarga subyektif adalah kepemilikan aset dan pendapatan total yang dimiliki keluarga.

Banyaknya penelitian mengenai keragaan sosial masyarakat matrilineal Minangkabau di luar negeri menunjukkan bahwa Minangkabau bukan lagi ranah penelitian yang perawan. Penerbitan tentang Minangkabau, baik yang ditulis oleh para ilmuwan sosial Minangkabau, maupun oleh orang-orang asing, tampak meningkat dalam jumlah dan keberagaman topiknya yang sebagian besar didasarkan pada penelitian di lapangan (Beckmann 2000).

Namun, masih sedikit literatur yang menyajikan data yang empiris untuk menjelaskan aspek manajemen sumberdaya keluarga dengan perspektif gender di Minangkabau. Ditambah lagi dengan semakin tergerusnya nilai-nilai budaya tradisional nusantara, tentulah cerita-cerita kaba dan tambo tradisional yang

menjadi rujukan untuk pengetahuan tentang matrilinealisme serta kebudayaan yang diturunkan secara fragmentaris dari generasi ke generasi saja menjadi kurang relevan. Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh mengenai peran istri terhadap pengelolaan sumberdaya keluarga dalam keluarga nelayan matrilineal Minangkabau.

Perumusan Masalah

Minangkabau sebagai representasi komunitas tempat diberlakukannya sistem matrilineal memiliki cakupan wilayah yang luas di Sumatera Barat. Daerah asli Minangkabau yang bertahan hingga kini adalah Luhak nan Tigo, yaitu Luhak Limo Puluah Koto, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Tiga daerah tersebut dikenal sebagai daerah darek atau kampung halaman. Sementara itu, daerah pesisir pantai Sumatera Barat secara adat disebut sebagai daerah rantau. Daerah pesisir ini menjadi cikal bakal tujuan perantauan bagi pemuda asli Minangkabau.

Rumah, keluarga, kampung, serta konsep anak tertantang secara agresif dan lantas tertransformasi di daerah pesisir perantauan ini. Masyarakat pesisir yang sebagian besar penduduknya bekerja sebagai nelayan, diasumsikan sebagai komunitas masyarakat di wilayah Minangkabau yang paling banyak menerima paparan budaya luar. Dalam kehidupan masyarakat nelayan yang banyak bercampur dengan kebudayaan lain sebagai pendatang, orang Minangkabau asli dipaksa mempertanyakan definisi-definisi budaya yang sangat elementer dan sudah menjadi nilai-nilai dasar. Kondisi perubahan fundamental dan tak terhindarkan inilah yang membuat daerah pesisir Minangkabau unik dan menarik (Hadler 2009).

Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan. Sedikitnya sekitar 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jiwa jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan (BPS 2009). Di sisi lain, nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam modernisasi peran kehidupan manusia. Nelayan termasuk agent of development yang paling reaktif terhadap lingkungan (Hadler 2009). Sifatnya yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima perkembangan zaman yang lebih modern. Sifat masyarakat nelayan yang terpapar dengan berbagai

5

budaya luar ini tentu mendorong terjadinya akulturasi dengan lebih pesat, begitupun di Sumatera Barat, khususnya Minangkabau.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berpusat pada masalah berikut:

1. Bagaimana penerapan sistem matrilineal yang terjadi pada keluarga nelayan?

2. Bagaimana tingkat kontribusi ekonomi istri nelayan pemilik dan buruh?

3. Bagaimana peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga?

4. Bagaimana hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat kontribusi ekonomi istri dan peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga serta kesejahteraan subyektif istri?

5. Bagaimana tingkat kesejahteraan subyektif istri nelayan pemilik dan buruh serta faktor-faktor yang mempengaruhinya?

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat peran istri dalam pengelolaan sumberdaya materi keluarga dan kesejahteraan subyektif istri dalam keluarga nelayan yang menganut sistem matrilineal di Sumatera Barat. Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi penerapan sistem matrilineal yang terjadi pada keluarga nelayan.

2. Menghitung tingkat kontribusi ekonomi istri nelayan pemilik dan buruh. 3. Menjelaskan peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga.

4. Mengidentifikasi hubungan antara karakteristik keluarga dengan tingkat kontribusi ekonomi istri dan peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga, serta kesejahteraan subyektif istri.

5. Mengukur tingkat kesejahteraan subyektif istri nelayan pemilik dan buruh serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya dimensi literatur yang menjelaskan mengenai keragaan masyarakat nelayan dan masyarakat matrilineal Minangkabau. Melalui penelitian ini, diharapkan kajian mengenai manajemen sumberdaya keluarga dan peran gender dalam masyarakat yang unik dan berbeda dari mayoritas kebudayaan masyarakat Indonesia semakin memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi, penelitian ini dapat digunakan sebagai tambahan informasi bagi pemerintah, dinas-dinas terkait, serta akademisi baik di bidang kebudayaan, keluarga, maupun daerah pesisir dan laut, dalam mengambil kebijakan.

7

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Definisi Keluarga

Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami, istri, dan anak. Keluarga adalah dua orang atau lebih yang memiliki ikatan darah, perkawinan, atau adopsi dan tinggal dalam satu rumah tangga.

Rumah tangga dan keluarga adalah dua istilah yang berbeda. Keluarga adalah unit terkecil yang menampung anggota yang terikat dalam ikatan darah, perkawinan, atau adopsi, sementara rumah tangga adalah sebuah kesatuan dari beberapa individu yang mengelola sumberdaya secara bersama-sama untuk mencapai kepuasan bersama, sehingga dalam sebuah keluarga pasti terdapat rumah tangga (bisa jadi lebih dari satu rumah tangga), akan tetapi dalam rumah tangga bisa jadi tidak terdapat hubungan keluarga (Puspitawati 2009).

Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga diterangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1996), dimana fungsi-fungsi tersebut ada delapan, yaitu: 1) Fungsi Keagamaan, 2) Fungsi Sosial Budaya, 3) Fungsi Cinta Kasih, 4) Fungsi Melindungi, 5) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, 6) Fungsi Reproduksi, 7) Fungsi Ekonomi, 8) Fungsi Pembinaan Lingkungan. Sementara itu, menurut resolusi majelis umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), fungsi utama keluarga adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta menciptakan kepuasan dan lingkungan yang sehat untuk tercapainya keluarga sejahtera (Megawangi, 1999).

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional

Pendekatan struktural fungsional merupakan salah satu pendekatan teori sosiologi yang digunakan dalam menganalisis keluarga. Keluarga dipandang sebagai institusi dalam masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan kehidupan sosial masyarakat. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan sosial yang merupakan sumber dari adanya struktur

dalam masyarakat. Keragaman struktur tersebut menciptakan peran yang beragam dalam sistem (Megawangi 1999).

Selanjutnya, Megawangi (1999) menyatakan bahwa keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib. Ketertiban sosial ini akan tercipta jika keluarga memiliki struktur atau strata yang jelas dan setiap individu yang ada dalam keluarga tersebut mematuhi sistem nilai yang ada dengan menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Menurut teori ini, keluarga dilihat sebagai salah satu subsistem yang tidak terlepas dari interaksinya dengan subsistem- subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Dalam interaksi tersebut, keluarga berfungsi sebagai pemelihara keseimbangan sosial masyarakat (equilibrium state). Persyaratan struktural yang diperlukan oleh keluarga agar dapat berfungsi sebagai sistem adalah: (1) diferensiasi peran yang merupakan sebentuk alokasi peran yang harus dilakukan oleh anggota keluarga, (2) alokasi solidaritas yang menyangkut distribusi hubungan antaranggota keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan, (3) alokasi ekonomi yang menyangkut distribusi barang dan jasa untuk mendapatkan hasil yang diinginkan, (4) alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan, peran, dan pengaruh dalam keluarga, serta (5) alokasi integrasi dan ekspresi yang merupakan distribusi teknik atau cara-cara bersosialisasi dan menunjukkan afeksi yang ditunjukkan keluarga dalam berinteraksi (Megawangi 1999).

Pendekatan struktural-fungsional menekankan pada keseimbangan sistem yang stabil dalam keluarga dan kestabilan sistem sosial dalam masyarakat. Adapun asumsi dasar dalam teori ini adalah: (1) masyarakat selalu mencari titik keseimbangan, (2) masyarakat membutuhkan kebutuhan dasar agar keseimbangan terpenuhi, (3) kebutuhan dasar terpenuhi apabila fungsi dijalankan, (4) fungsi terpenuhi apabila terdapat struktur demi berlangsungnya kondisi homeostatik (Megawangi 1999).

9

Manajemen Sumberdaya Keluarga Manajemen

Manajemen adalah upaya untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki seoptimal mungkin untuk mencapai hasil yang diharapkan. Proses dalam manajemen bermula dari perencanaan hingga pelaksanaan dari penggunaan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dalam mencapai tujuan. Manajemen memungkinkan individu dan keluarga untuk bertahan menghadapi tekanan dan kondisi yang berubah, serta menjadi jalan untuk menghadapi masa depan. Manajemen mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal dalam suatu ekosistem. Tindakan manajerial berorientasi pada tujuan dan terkait dengan sumberdaya yang dimiliki atau yang tersedia (Deacon dan Firebaugh 1988).

Sumberdaya

Sumberdaya adalah alat atau kekayaan yang tersedia untuk menyelesaikan persoalan atau masalah. Deacon dan Firebaugh (1988) mendefinisikan sumberdaya sebagai alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Sumberdaya juga didefinisikan sebagai segala bentuk komoditi, baik secara materi dan non materi yang bisa memuaskan kebutuhan fisik dan psikologis individu (Rettig dan Leichtentritt 1998). Sumberdaya ini mencakup cinta, status, informasi, uang, barang, dan jasa.

Sumberdaya materi adalah sumberdaya yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan fisik, yaitu uang dan aset. Sementara itu, sumberdaya non materi adalah sumberdaya yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan psikologis dan relatif tidak berwujud, seperti cinta, status, informasi, dan jasa.

Manajemen Sumberdaya Keluarga

Menurut Iskandar (2007), manajemen sumberdaya keluarga adalah kemampuan keluarga untuk meraih hasil dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya melalui kegiatan suami, istri, anak-anak, dan anggota lainnya. Oleh karena itu, fungsi-fungsi dalam manajemen sumberdaya keluarga menjadi sangat penting.

Adapun fungsi dalam manajemen sumberdaya keluarga menurut Deacon dan Firebaugh (1988) ada empat, yaitu:

1. Perencanaan (Planning)

Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan berdasarkan kebutuhan dan sumberdaya yang dimiliki secara keseluruhan serta menetukan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Perencanaan merupakan proses yang penting dalam manajemen, karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tidak dapat berjalan.

2. Pengorganisasian (Organizing)

Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan membagi suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih sederhana. Pengorganisasian memudahkan keluarga untuk melakukan pengawasan dan menentukan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan menentukan tugas yang harus dikerjakan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas tersebut, bagaimana tugas tersebut diselesaikan, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya.

3. Pelaksanaan (Actuating)

Pelaksanaan adalah membuat perencanaan menjadi kenyataan. Pembagian tugas yang telah disepakati dilaksanakan dalam keluarga. 4. Pengawasan (Controlling)

Pengawasan adalah suatu tindakan untuk mengusahakan agar semua anggota keluarga berusaha mencapai tujuan sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati. Dalam fungsi pengawasan ini, jika diperlukan, akan dilakukan penyesuaian standar antaranggota keluarga.

Peran Gender dalam Keluarga Konsep Gender

Menurut Moser (2001), gender berbeda dengan jenis kelamin yang maknanya mengacu pada perbedaan fisik yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Gender mengacu pada peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan yang berlaku di masyarakat, serta mencakup hak dan kewajiban yang

11

menyertai peran itu (Riley 1997). Hasil penelitian Oladeji (2008) menyatakan bahwa peran gender dan norma gender bersifat spesifik secara budaya dan juga beragam di seluruh penjuru dunia. Hampir di semua daerah di dunia, laki-laki dan perempuan memiliki kekuasaan, status, dan kebebasan yang berbeda dan bervariasi secara substansial. Gender memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pengambilan keputusan dan perilaku reproduktif dalam keluarga. Gender menciptakan peran yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Besarnya porsi pembagian peran dan tanggung jawab ini diasosiasikan sebagai peran gender. Semakin seimbang peran gender, berarti semakin banyak tanggung jawab yang dibagi bersama antara laki-laki dan perempuan.

Peran

Peran adalah suatu bagian yang dimainkan seseorang dalam suatu pengaturan sosial yang dipengaruhi oleh norma kepantasan dan kepatutan. Suatu peran mengindikasikan tugas, tanggung jawab, kualifikasi, atau sesuatu yang diharapkan dari seseorang berdasarkan statusnya. Adapun peran gender maknanya adalah norma yang diterima dalam masyarakat yang dihubungkan dengan sifat laki-laki atau perempuan dalam suatu masyarakat tertentu.

Menurut Puspitawati (2012), berkaitan dengan peran gender, terdapat istilah kegiatan produktif, reproduktif, dan kemasyarakatan yang digunakan dalam analisis gender, yang bermakna: (1) kegiatan produktif atau peran publik yaitu kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat dalam mencari nafkah, (2) kegiatan reproduktif atau peran domestik yaitu kegiatan yang berhubungan erat dengan pemeliharaan dan pengembangan keluarga serta menjamin keberlangsungan sumberdaya manusia dalam keluarga yang biasanya dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik tanpa menghasilkan uang, dan (3) kegiatan sosial atau peran kemasyarakatan yang berkaitan dengan kegiatan politik dan sosial budaya. Peran Istri

Peran istri dalam pengelolaan sumberdaya keluarga adalah posisi tawar yang dimiliki oleh istri karena keterlibatannya dalam merencanakan, mengatur, dan mengelola sumberdaya keluarga serta mencakup penguasaannya terhadap faktor-faktor ekonomi baik materi maupun non materi. Ashraf et al. (2006)

menemukan bahwa pendapatan harus berada dalam wewenang istri dalam upaya untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam rumah tangga, bukan hanya dihasilkan oleh istri.

Duflo (2003) dan Rangel (2005) yang menemukan bahwa peningkatan pada kontribusi ekonomi istri diartikan sebagai meningkatnya peran istri dalam pengelolaan dan penguasaan sumberdaya keluarga yang akhirnya akan membawa kepada tingkat kepuasan yang lebih baik dari perspektif istri. Namun, perlu diperhatikan bahwa pendapatan yang lebih tinggi saja tidak cukup untuk membuat istri merasa lebih sejahtera. Hal yang terpenting adalah memberikan akses yang memadai kepada istri dalam mengatur pendapatan dan meningkatkan peran istri dalam mengelola sumberdaya materi dan non materi berdasarkan uang yang telah dialokasikan (Ashraf et al. 2006).

Di masa yang semakin modern ini, perempuan tampak semakin berperan di ranah publik termasuk dalam mencari nafkah. Hal tersebut mendorong perempuan untuk ikut serta berperan dalam sektor ekonomi demi menambah penghasilan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan. Berkaitan dengan hal ini, menurut Puspitawati 1998, terdapat 2 (dua) strategi yang dilakukan oleh keluarga dalam mengatasi masalah keuangan, yaitu: (1) generating additional income atau menambah penghasilan dan (2) cutting back expenses atau melakukan penghematan. Perempuan yang bekerja, dalam hal ini, melakukan peningkatan sumberdaya keluarga dengan cara bekerja hingga mampu berkontribusi dalam menambah pendapatan keluarga.

Kesejahteraan Keluarga

Pengertian Kesejahteraan Keluarga

Kesejahteraan adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material, maupun spiritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketenteraman lahir batin yang memungkinkan setiap warga negara untuk mengadakan usaha- usaha pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

13

Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan keluarga antara lain (Syarief dan Hartoyo 1993):

1. Faktor ekonomi.

Kemiskinan dapat menghambat upaya peningkatan pembangungan sumberdaya yang dimiliki keluarga, akhirnya dapat menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga.

2. Faktor budaya.

Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan budaya yang dicerminkan dengan penghayatan dan pengamalan nilai- nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya diharapkan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya.

3. Faktor teknologi.

Peningkatan kesejahteraan keluarga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaan teknologi dalam proses produksi harus diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan, kualitas sumberdaya manusia, dan kepemilikan modal. 4. Faktor keamanan.

Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin.

5. Faktor kehidupan beragama.

Kesejahteraan keluarga juga menyangkut masalah kesejahteraan spiritual. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing tanpa memaksakan agama yang satu kepada yang lain.

6. Faktor kepastian hukum.

Peningkatan kesejahteraan keluarga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum.

Kesejahteraan Keluarga Subyektif

Kesejahteraan digolongkan menjadi dua, yaitu kesejahteraan obyektif dan kesejahteraan subyektif. Kesejahteraan obyektif hanya dinilai berdasarkan kepuasan finansial atau materi. Menurut Krueger (2009), kesejahteraan subyektif adalah pengukuran tingkat kepuasan dan kebahagiaan seseorang secara subyektif terhadap keadaannya dalam waktu tertentu. Kesejahteraan subyektif ini

Dokumen terkait