• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. Latar Belakang

Tuntutan terwujudnya good governance di Indonesia semakin meningkat dan perlu diterapkan dengan cara melakukan pelaksanaan akuntabilitas dan transparansi atas penyelenggaraan kegiatan pemerintah. Tuntutan penerapan good governance dapat menjadi salah satu upaya mencegahan dan memberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin banyak terjadi di sektor publik di Indonesia (Prihartini et al: 2015). Di Indonesia upaya pemerintah dalam mewujudkan good governance dilakukan melalui reformasi terhadap pengelolaan keuangan negara, dengan mengeluarkan paket perundang-undangan, yaitu: UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Upaya ini merupakan aksi nyata dalam memperbaiki pengelolaan keuangan Negara yang mengarah pada prinsip good governance (Widhianto: 2010).

Pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan bupati/walikota dapat dicapai dengan wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dilaksanakan dengan berpedoman pada Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP). SPIP sebagaimana bertujuan untuk memberikan keyakinan

2 yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan masing-masing. Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas sistem pengendalian perlu dilakukan pengawasan intern hal ini secara tegas dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 pengawasan intern merupakan seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah dilakukan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Aparat Pengawas Intern Pemerintah, terdiri atas: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); Inspektorat Jenderal; Inspektorat Provinsi; dan Inspektorat Kabupaten/Kota.

Sebagai aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif dan efisien seharusnya dapat menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian dengan baik. Dalam rangka mewujudkan peran APIP yang efektif telah dikembangkan sebuah konsep Internal Audit Capability Model (IA-CM).

3 Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor 6 Tahun 2015, Kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas pengawasan yang terdiri dari tiga unsur yang saling terkait yaitu kapasitas, kewenangan, dan kompetensi SDM APIP. BPKP menyediakan penjaminan kualitas (quality assurance) APIP dengan melakukan survei kapabilitas, diharapkan dengan kapabilitas pengawasan intern yang dimiliki aparat pengawasan intern pemerintah agar dapat mewujudkan perannya secara efektif.

Pada tanggal 10 oktober tahun 2015 Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melakukan survei mengenai assessment atas kapabilitas APIP dengan menggunakan konsep Internal Audit Capability Model (IACM) bahwa hasil pemetaan kapabilitas dari 476 APIP menunjukan 386 APIP masih berada di level-1 (initial), selanjutnya 88 APIP berada di level-2 (infrastructure) dan hanya 2 APIP yang berada di level-3 (integrated). Jika dirinci untuk: APIP Pusat level-3 ada 2 APIP, level-2 ada 19 APIP, dan level-1 ada 36 APIP. Sementara untuk APIP daerah untuk level-3 belum ada, level-2 ada 69 APIP, level-1 ada 350 APIP (aaipi.or.id: 07/01/2016).

Berdasarkan hasil survei, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar Aparat Pengawas Intern Pemerintah masih berada pada tingkat initial yang artinya bahwa APIP tidak memiliki pedoman (SOP) dalam penyelenggaraan pengawasan intern dan kemampuan APIP masih bergantung pada individu-individu. Kondisi tersebut menggambarkan peran aparat pengawasan intern yang belum efektif dalam melakukan pengawasan intern ditambah dengan

4 adanya kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) akan berakibat terhadap penurunan kualitas. Kenyataannya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme banyak terjadi di lingkungan Aparat Pengawas Intern Pemerintah. Kasus seperti itu terjadi pada, Inspektur Jenderal (Irjen) Kemendikbud, Sekretaris Inspektorat Jenderal (Ses-Itjen) Kementerian Kesehatan dan kasus-kasus lainnya (tabel 1.1) yang mengakibatkan pengendalian Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) masih dipertanyakan oleh publik.

Tabel 1. 1

Kasus Korupsi di Sejumlah Aparat Pengawas Intern Pemerintah

Bersambung pada halaman berikutnya

No Nama APIP Kasus Tersangka

1 Inspektorat Kabupaten Bengkalis

Korupsi penyelewengan dana penyertaan modal Pemkab Bengkalis ke Badan Usaha Milik Daerah Bengkalis, PT Bumi Laksamana Jaya sebesar Rp. 300 Milyar. Kepala Inspektorat Bengkalis, Mukhlis (3/5/2016). 2 Inspektorat Kabupaten Seram Bagian Timur

Korupsi proyek Jembatan Gaa senilai Rp 2.162.782.000 Kepala inspektorat Seram Bagian Timur, Harun Lestaluhu (6/10/2015). 3 Inspektorat Kabupaten Lampung Timur

Kasus korupsi pemotongan dana insentif Badan Inspektorat Kabupaten Lampung Timur (Lamtim) sebesar Rp 1.116.320.000. Kepala Inspektorat Kabupaten Lampung Timur, Indrajaya (5/5/2014) 4 Inspektorat Jenderal Kemendikbud

Kasus korupsi pengelolaan anggaran pada tahun anggaran 2009 yang merugikan negara sebesar Rp13 milyar.

Inspektur Jenderal Kemendikbud, M Sofyan (11/7/2011)

5 Tabel 1.1 (Lanjutan)

Sumber: Data yang diolah, 2016.

Berdasarkan tabel diatas, maka dapat disimpulkan bahwa masih kurangnya pengawasan yang dilakukan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) sehingga menimbulkan perilaku negatif dalam lingkungan kerjanya dan akan berpengaruh terhadap penurunan kualitas. Ada situasi dibeberapa negara yang juga memberikan bukti bahwa audit internal masih membutuhkan perbaikan seperti di Amerika Serikat, Kanada dan Australia, situasi yang paling umum ditemukan adalah kurangnya cakupan audit terutama untuk daerah terpencil, manajer senior yang kurang memberikan perhatian dalam membantu pekerjaan auditor dan kurangnya efisiensi dan efektivitas. Di Afrika Sudan dibeberapa tempat audit internal yang beroperasi menyatakan bahwa telah gagal dalam memenuhi lima standar dari Institute of Internal Auditor Amerika Serikat (Azham Md et al: 2012). Kemungkinan salah satu penyebab terjadinya hal tersebut dikarenakan auditor dihadapkan dengan berbagai tekanan yang muncul dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitarnya (Arens, 2012:295) yang akan berakibat terhadap lemahnya pengawasan.

No Nama APIP Kasus Tersangka

4 Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan

Kasus korupsi biaya

perjalanan dinas pada tahun anggaran 2006 yang

merugikan negara sebesar Rp 1,8 miliar Sekretaris Inspektorat Jenderal Kementerian Kesehatan, Hendro Harry Tjahjono (19/03/2013)

6 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 program pengembangan kualitas mencakup seluruh aspek kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain di lingkungan Aparat Pengawas Intern Pemerintah. Program kegiatan audit merupakan salah satu bagian untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan organisasi. Audit intern adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektifitas, efisiensi, dan keandalan informasi pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah (Sukriah et al: 2009).

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 menyatakan bahwa pelaksanaan audit intern di lingkungan Instansi Pemerintah dilakukan oleh auditor. Untuk menjaga perilaku dan mutu hasil audit yang dilaksanakan aparat pengawasan intern pemerintah disusun kode etik dan standar audit aparat pengawasan intern pemerintah yang telah dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008. Kode etik merupakan pernyataan tentang prinsip moral dan nilai yang digunakan oleh auditor sebagai pedoman tingkah laku dalam melaksanakan tugas. Dan standar audit merupakan kriteria atau ukuran mutu minimal untuk melakukan kegiatan audit yang wajib dipedomani oleh APIP.

Setiap aparat pengawasan intern pemerintah wajib untuk menaati kode etik dan wajib melaksanakan audit sesuai dengan standar audit yang mengacu

7 pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan untuk audit internal di negara Afrika, Sudan auditor wajib memenuhi lima standar dari Institute of Internal Auditor Amerika Serikat, yaitu dalam hal independen, kemampuan profesional, lingkup pekerjaan, kinerja dan manajemen (Azham Md et al: 2012). Dengan adanya kewajiban tersebut, akan membuat masyarakat atau pengguna laporan dapat menilai sejauh mana auditor dalam menemukan penyimpangan dan penyelewengan yang terjadi, sehingga dapat menjamin kualitas yang dihasilkan. DeAngelo (1981) dalam Jurnal Riset Akuntansi Indonesia menyatakan kualitas audit adalah kemampuan auditor untuk menemukan dan melaporkan adanya suatu pelanggaran. Pihak auditor ini dituntut agar menunjukan kinerja yang tinggi supaya dapat menghasilkan audit yang berkualitas, terutama untuk sektor publik yang akan mempengaruhi kinerja pemerintah.

Sebagai auditor sektor publik harus menjamin pelaksanaan akuntabilitas agar dapat meningkatkan kinerja pemerintah (Azham Md et al: 2012). Oleh karena itu, auditor dituntut harus memiliki rasa kebertanggungjawaban (akuntabilitas) dalam setiap melaksanakan pekerjaannya. Menurut Mardiasmo (2009:21) prinsip akuntabilitas berarti proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan dan pelaksanaan harus benar-benar dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada pihak yang memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 bahwa Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang memiliki prinsip kerja

8 akuntabel akan memiliki rasa Sebagai auditor sektor publik harus menjamin pelaksanaan akuntabilitas dapat meningkatkan kinerja pemerintah (Azham Md et al: 2012). Oleh karena itu, auditor dituntut harus memiliki rasa kebertanggungjawaban dalam setiap melaksanakan pekerjaannya kesadaran mengenai kewajiban atas pekerjaan yang membuat auditor untuk melaksanakan tugasnya dengan usaha yang maksimal sehingga menghasilkan peningkatan kualitas.

Salsabila dan Prayudiawan (2011) menguji bahwa kualitas hasil pekerjaan auditor internal dapat dipengaruhi oleh rasa kebertanggungjawaban (akuntabilitas). Audit yang berkualitas memerlukan akuntabilitas yang tinggi dan dapat diukur dengan seberapa besar motivasi auditor dalam menyelesaikan pekerjaan, keyakinan bahwa pekerjaan mereka akan diperiksa oleh atasan dan mengukur seberapa besar usaha (daya pikir) auditor untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan tersebut (Mardisar dan Sari: 2007).

Sikap independensi diyakini memiliki hubungan interaksi secara simultan dengan akuntabilitas dalam menjamin kualitas yang dihasilkan (Prihatini et al: 2015). Independensi merupakan karakteristik auditor yang paling kritis dan menjadi salah satu komponen dari sikap mental yang harus senantiasa dijaga oleh auditor. Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 menyatakan bahwa aparat pengawasan intern pemerintah yang bekerja pada organisasi yang melakukan pemeriksaan harus mempunyai sikap independensi

9 dan harus tetap dipertahankan agar proses audit yang dilakukan dapat dipercaya oleh semua pihak yang berkepentingan.

Singgih dan Bawono (2010) menguji bahwa semakin tinggi tingkat independensi auditor akan semakin tinggi kualitas audit yang dihasilkan. Berdasarkan SPKN Tahun 2007 dalam Pernyataan Standar Umum kedua bahwa semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya. Dengan didukung sikap mental dan penampilan yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan dan tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi, 2011:26) akan menimbulkan kejujuran dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan obyektif tidak memihak dalam melakukan proses audit.

Supervisi audit diyakini dapat menjamin kualitas audit yang dihasilkan, pelaksanaannya dilakukan secara berkesinambung mulai dari awal hingga akhir penugasan audit untuk memastikan adanya kepatuhan terhadap standar audit, kebijakan, prosedur dan program audit yang telah disusun (Tawaf, 1999:75). Sangat penting, interaksi antara auditor dan pihak-pihak lain dalam organisasi. Tanpa interaksi tersebut, auditor akan kesulitan untuk melakukan pekerjaan mereka secara efektif (Azham Md et al: 2012). Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008 tentang standar audit, supervisi atas pekerjaan auditor internal sebaiknya dilaksanakan secara terus menerus untuk menjamin

10 adanya kesesuaian dengan standar audit internal, kebijakan-kebijakan aktivitas dan program audit. Dan supervisi dilaksanakan secara seksama, terdokumentasi dan dapat diuji keefektifannya atas pelaksanaan tugas secara berkelanjutan mulai dari perencanaan, penyusunan, program kerja, pelaksanaan tugas di lapangan, pelaporan, dan pemantauan tindak lanjut.

Nadirsyah dan Razaq (2013) dan Pohan (2014) menguji bahwa supervisi berpengaruh terhadap kualitas hasil kerja yang dihasilkan auditor internal, semakin bagus supervisi yang diberikan oleh supervisor, maka akan meningkatkan kualitas hasil kerja auditor internal. Penelitian Azham Md et al. (2012) di malaysia menghasilkan bahwa adanya interaksi yang baik antara auditor dengan supervisor, seperti supervisor selalu memberikan penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan auditor, memberikan umpan balik atas rekomendasi dan temuan auditor dana melakukan kerjasama yang baik dalam melakukan setiap pekerjaan. Pentingnya tindakan supervisi juga dipertegas dalam Standar Audit, yang menyatakan bahwa staf harus diawasi (disupervisi) dengan baik. Anggota staf harus disupervisi secara tepat sehingga mereka dapat melaksanakan tanggungjawabnya secara layak. Aktivitas supervisi menunjukkan peranan supervisor dalam mengawasi dan mengendalikan pelaksanaan pekerjaan. Setiap supervisor audit internal memiliki tanggung jawab untuk memberikan instruksi secukupnya kepada staf dan menetapkan apakah pekerjaan telah dilaksanakan dengan benar.

Tekanan ketaatan (obedience pressure) diyakini juga dapat mempengaruhi kualitas audit. Secara khusus, literatur akuntansi memberikan

11 bukti bahwa auditor rentan terhadap tekanan ketaatan yang tidak tepat dari superior/atasan (Dezoort dan Lord: 2001) dan rekan kerja/peers dalam perusahaan. Dasar teoritikal dari teori obedience menyatakan bahwa instruksi atasan dalam suatu organisasi mempengaruhi perilaku bawahan karena atasan memiliki otoritas. Tekanan ketaatan dari atasan menjadi hal yang cukup ditakutkan oleh seorang auditor karena tekanan atasan melahirkan konsekuensi, hilangnya profesionalisme dan hilangnya kepercayaan publik dan kredibilitas sosial.

Nadirsyah dan Razaq (2013) menguji bahwa tekanan ketaatan berpengaruh negatif terhadap kualitas hasil kerja auditor, semakin tinggi tekanan ketaatan maka semakin rendah kualitas hasil kerja auditor. Bahwa bawahan yang mendapat tekanan ketaatan dari atasan dapat mengalami perubahan psikologis dari seseorang yang berperilaku mandiri, menjadi perilaku agen, tekanan dari atasan atau klien juga dapat memberikan pengaruh yang buruk.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian ini karena: Pertama, untuk meningkatkan kualitas audit Aparat Pengawas Intern Pemerintah harus melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar dan kode etik yang berlaku, serta dapat bertanggungjawab dalam memberikan informasi yang memadai kepada organisasi pemerintah tentang kelemahan pengendalian internal, kecurangan dan penyimpangan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi pada fenomenanya untuk meningkatkan kualitas audit kemungkinan masih dipengaruhi oleh sikap atau perilaku

12 auditor dalam melakukan fungsi pengawasan, terbukti dengan adanya pelanggaran yang melibatkan Aparat Pengawas Intern Pemerintah.

Kedua, berdasarkan survei kapabilitas Aparatur Pengawasan Internal (APIP) yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan pada tanggal 10 oktober tahun 2015 menyatakan bahwa hasil pemetaan dari 476 APIP menunjukkan 386 APIP termasuk Inspektorat Jenderal masih berada di level-1 (initial), yang artinya bahwa APIP masih belum dapat memberikan jaminan atas proses tata kelola sesuai peraturan dan belum dapat mencegah dan menemukan terjadinya korupsi.

Ketiga, faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas audit internal bukan saja disebabkan oleh tekanan yang muncul dari dalam diri auditor seperti akuntabilitas dan independensi, tetapi juga disebabkan oleh tekanan dari lingkungan pekerjaannya seperti tekanan ketaatan dan supervisi audit.

Keempat, sampai tahap penelitian ini belum ada yang melakukan penelitian untuk variabel independen tekanan ketaatan dan supervisi audit yang mempengaruhi kualitas audit internal pemerintah di Inspektorat Jenderal Kementerian Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Tekanan Ketaatan, Akuntabilitas, Independensi, dan Supervisi Audit terhadap Kualitas Audit Internal”.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Prihartini et al. (2015) dan Nadirsyah dan

13 Safri A. Razaq (2013). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah sebagai berikut :

1. Populasi dalam penelitian ini adalah staf auditor yang bekerja di Inspektorat Jenderal Kementerian Republik Indonesia. Sedangkan, populasi penelitian Prihartini et. al., (2015) adalah staf auditor yang bekerja di kantor Inspektorat Kabupaten Buleleng, Inspektorat Kabupaten Gianyar, Inspektorat Kabupaten Bangli, Inspektorat Kabupaten Tabanan, dan Inspektorat Kabupaten Jembrana yang berlokasi di Bali. Dan populasi penelitian Nadirsyah dan Safri A. Razaq (2013) adalah staf auditor BPK-RI Provinsi Aceh.

2. Variabel yang digunakan oleh Prihartini, et. al., adalah kompetensi, independensi, obyektivitas, integritas dan akuntabilitas. Variabel yang digunakan Nadirsyah dan Safri A. Razaq adalah supervisi audit dan tekanan pengaruh sosial. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti menambahkan tekanan ketaatan menjadi variabel independen, yang mana disarankan oleh peneliti sebelumnya untuk meneliti pengaruh dengan menggunakan variabel-variabel lain, serta menghilangkan kompetensi, integritas dan objektifitas dikarenakan variabel tersebut kurang relevan jika dikaitkan dengan topik yang akan penulis teliti.

3. Tahun penelitian yang digunakan peneliti terdahulu adalah tahun 2015 dan tahun 2013, sedangkan dalam penelitian ini dilakukan pada tahun 2016.

14 B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Apakah tekanan ketaatan berpengaruh terhadap kualitas audit internal? 2. Apakah akuntabilitas berpengaruh terhadap kualitas audit internal? 3. Apakah independensi berpengaruh terhadap kualitas audit internal? 4. Apakah supervisi audit berpengaruh terhadap kualitas audit internal? 5. Apakah tekanan ketaatan, akuntabilitas, independensi, supervisi audit

bersama-sama berpengaruh terhadap kualitas audit internal ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk menemukan bukti empiris atas hal-hal sebagai berikut:

a. Pengaruh tekanan ketaataan terhadap kualitas audit internal. b. Pengaruh akuntabilitas terhadap kualitas audit internal. c. Pengaruh independensi terhadap kualitas audit internal. d. Pengaruh supervisi audit terhadap kualitas audit internal.

e. Pengaruh tekanan ketaatan, akuntabilitas, independensi, dan supervisi audit terhadap kualitas audit internal.

2. Manfaat Penelitian a. Kontribusi Teoritis

15 1) Mahasiswa jurusan Akuntansi, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya dan pembanding untuk menambah ilmu pengetahuan.

2) Peneliti berikutnya, sebagai bahan referensi bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai topik ini. 3) Penulis, sebagai sarana untuk memperluas wawasan serta

menambah referensi mengenai auditing, terutama tentang kualitas audit internal pemerintah sehingga diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis di masa yang akan datang.

b. Kontribusi Praktis

1) Auditor Intern Lembaga/Kementerian (Inspektorat), sebagai tinjauan yang diharapkan dapat dijadikan informasi dalam melaksanakan pengawasan sehingga dapat meningkatkan kualitas audit.

2) Kementerian Republik Indonesia, sebagai tinjauan yang diharapkan dapat digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas audit yang dilihat dari atribut tekanan ketaatan, independensi, akuntabilitas dan supervisi audit.

3) Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah, sebagai tambahan informasi mengenai faktor-faktor (tekanan ketaatan akuntabilitas, independensi dan supervisi audit) yang dapat bermanfaat untuk dijadikan salah satu tinjauan dalam menilai kualitas audit inter

16

Dokumen terkait