• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN

5.5. Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga

Ekonomi Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Namun demikian, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat masih relatif besar jika dibandingkan dengan provinsi provinsi lain di Indonesia. Menurut data (BPS Jawa Barat, 2011), jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa barat pada tahun 2010 adalah sebesar 4.716.000 jiwa (Tabel 13). Jumlah tersebut menempatkan Provinsi Jawa Barat sebagai provinsi urutan ketiga di Indonesia yang memiliki tingkat kemiskinan terbesar, setelah Provinsi Jawa Timur (5.529.300 jiwa) dan Provinsi Jawa Tengah (5.369.200 jiwa). Kondisi laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan tidak diikuti dengan penyediaan lapangan kerja menyebabkan tingkat kemiskinan bertambah dan menciptakan paradoks antara pertumbuhan dan kemiskinan. Padahal secara teoritis laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan semakin banyaknya output yang di hasilkan dan tentunya ini mengindikasikan semakin banyaknya orang yang bekerja, sehingga meningkatkan kemakmuran masyarakat. Dengan demikian laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya juga akan mengurangi kemiskinan.

Tabel 13. Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat, 2009-2010

Tahun

Jumlah (orang) Persentase (%)

(1) (2) (3)

2009 4.852.520 11.58 2010 4.716.000 10.93

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan dengan permasalahan kemiskinan ini. Pertama, terdapat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Provinsi Jawa

yang tinggi sehingga berdampak kepada pengangguran dan akhirnya akan menimbulkan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor-sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia. Kedua, laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan tersedianya sarana dan prasarana infrastruktur transportasi yang mendukung kegiatan produksi dan kelancaran arus distribusi barang dan jasa dari produsen ke konsumen, sehingga pembangunan di Provinsi Jawa Barat hanya berkonsentrasi pada beberapa wilayah, terutama wilayah yang berbatasan dengan DKI Jakarta. Kondisi ini mengakibatkan laju pertumbuhan ekonomi tidak mampu mengatasi masalah kemiskinan khususnya bagi masyarakat yang berada di wilayah terpencil. Padahal melalui laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi diharapkan mampu mengurangi kemiskinan.

Paradoks antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan di atas mencerminkan bahwa tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi masih bersifat semu (belum berkualitas). Padahal laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi pengurangan kemiskinan. Disamping itu masih terdapat syarat lain yang belum dipenuhi di dalam pertumbuhan ekonomi ini yakni syarat kecukupan (sufficient condition). Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi mestinya menjadi modal untuk mengurangi kemiskinan. Untuk itu kebijakan pemerintah ke depan harus diarahkan agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus merata di setiap daerah dan dapat dinikmati oleh setiap golongan rumah tangga, termasuk golongan rumah tangga miskin (growth with equity). Salah satu cara untuk mencapai

5.5.2 Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga.

Penggolongan rumah tangga dalam penelitian ini dibedakan atas rumah tangga pertanian, rumah tangga industri dan rumah tangga selain pertanian dan industri yaitu mereka yang bekerja di sektor pertambangan, listrik, gas dan air minum, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa jasa lainnya. Sementara itu, rumah tangga pertanian dibedakan atas buruh tani dan petani yang memiliki tanah pertanian. Sedangkan rumah tangga industri dan rumah tangga non pertanian dan industri dikelompokkan lagi menjadi rumah tangga golongan rendah di desa dan kota, rumah tangga bukan angkatan kerja di desa dan di kota serta rumah tangga golongan atas di desa dan di kota. Sebagai tambahan, yang dimaksud dengan rumah tangga golongan rendah adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja sebagai buruh, pekerja kasar atau pekerja manual. Sementara itu, rumah tangga bukan angkatan kerja adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga penerima pendapatan seperti pensiunan, pemilik modal (tabungan, deposito, saham dsb). Sebagai tambahan, rumah tangga golongan atas adalah rumah tangga dengan kepala rumah tangga sebagai manajer, pekerja professional, ketatalaksanaan (supervisor) dan pekerjaan sejenis.

Karakteristik rumah tangga di Jawa Barat berdasarkan data jumlah penduduk dan rumah tangga yang merupakan tabel satelit dari SNSE Jawa Barat, merupakan rumah tangga non-pertanian. Sektor Pertanian yang berkontribusi sebesar 12% pada tahun 2010, dan merupakan sektor dimana bergantung sekitar 8.43 juta penduduk dari total penduduk Jawa Barat yang sebesar 43.02 juta atau sebanyak 2.18 juta rumah tangga. Sementara rumah tangga yang bergantung kepada sektor non pertanian seperti industri sebesar 9.83 juta penduduk atau 2.01 juta rumah tangga dan rumah

merupakan yang terbesar yaitu sebanyak 24.77 juta penduduk atau sebanyak 5.41 juta rumah tangga (Tabel 14).

Tabel 14. Struktur Rumah tangga Jawa Barat, Tahun 2010

Kelompok RT Jumlah Penduduk (juta orang) Jumlah Rumah tangga (juta RT) RT pertanian 8.43 2.18 Buruh pertanian 5.48 1.48 Pengusaha Pertanian 2.95 0.70 RT industri 9.83 2.01 Desa RT Golongan Bawah 2.17 0.38 Bukan Angkatan Kerja 1.28 0.28 RT Golongan Atas 0.64 0.15 Kota RT Golongan Bawah 3.00 0.53 Bukan Angkatan Kerja 1.95 0.45 RT Golongan Atas 0.80 0.23 Rt selain pertanian dan

industri 24.77 5.41 Desa RT Golongan Bawah 7.28 1.41 Bukan Angkatan Kerja 4.98 1.08 RT Golongan Atas 3.29 0.88 Kota RT Golongan Bawah 4.95 1.01 Bukan Angkatan Kerja 2.68 0.63 RT Golongan Atas 1.60 0.40 JUMLAH 43.02 9.61

Sumber: BPS Jawa Barat, 2011

Daya tarik ekonomis dari sektor non pertanian mendorong penduduk beralih dari sektor pertanian kepada sektor non pertanian. Pendapatan berupa upah dan gaji sektor non pertanian yang lebih besar mendorong mereka untuk beralih profesi dari petani menjadi pekerja pabrik, pedagang atau pekerja sektor restoran, jasa keuangan dan sebagainya.

5.5.2.1. Sumber Pendapatan Rumah tangga

Pendapatan rumah tangga bersumber dari pendapatan faktorial dan transfer. Pendapatan faktorial (factorial income) terdiri dari; (1) pendapatan yang bersumber dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja, (2) pendapatan yang bersumber dari balas jasa bukan tenaga kerja (modal) termasuk imputasi sewa rumah yang ditempati sendiri, pendapatan dari usaha setelah dikurangi dengan biaya tenaga kerja dsb. Sedangkan pendapatan transfer meliputi; (1) tansfer yang bersumber dari rumah tangga lain, (2) transfer dari perusahaan berupa bantuan sosial, tansfer dari pemerintah seperti bantuan sosial termasuk bantuan operasional sekolah (BOS) bantuan kesehatan (Jamkesmas, dsb) serta (3) transfer/bantuan dari luar negeri termasuk halnya yang berasal dari luar wilayah Jawa Barat.

Hasil estimasi dari SNSE Jawa Barat diketahui bahwa rata-rata pendapatan per kapita penduduk Jawa Barat adalah sebesar Rp 13.34 juta pertahun per orang. Sebagian besar dari total pendapatan tersebut berasal dari kegiatan bekerja sebagai buruh, karyawan atau pekerja keluarga sehingga menghasilkan pendapatan berupa upah dan gaji sebesar rata rata Rp 10.01 juta per penduduk. Pendapatan terbesar adalah rumah tangga golongan atas di sektor industri dengan pendapatan rata-rata 95.00 juta per orang per tahun. Rumah tangga golongan rendah di kota yang bekerja di sektor selain pertanian dan selain industri menerima pendapatan per kapita terendah dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain dalam kerangka SNSE Jawa Barat yaitu sebesar Rp 3.98 juta perkapita. Secara rata-rata penduduk yang bekerja di sektor industri memperoleh pendapatan paling besar dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Penerima pendapatan terendah di sektor industri adalah rumah tangga

sementara penerima pendapatan tertinggi di sektor industri adalah rumah tangga golongan atas yaitu sebesar Rp 95.01 juta (Tabel 15).

Sebagian besar pendapatan rumah tangga di Jawa barat adalah pendapatan dari upah dan gaji yaitu secara rata-rata sebesar 75.0% dari total pendapatan, pendapatan dari kapital (bunga, deviden, sewa dsb) sebesar 24.1% dan sisanya merupakan pendapatan dari transfer baik dari rumah tangga, pemerintah, perusahaan maupun dari transfer luar negeri yaitu 0.9% (Tabel 15). Pendapatan rumah tangga industri juga memiliki ketergantungan pendapatan yang berasal upah dan gaji sebagai kompensasi jasa tenaga kerja yang bekerja di sektor industri dengan persentase sebesar 75% sampai dengan 90.5% (bagi rumah tangga BAK) dari total pendapatan rumah tangga. Rumah tangga pertanian tidak terlalu berharap dari upah pertanian mengingat tingkat upah di sektor pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan tingkat upah di sektor lainnya seperti halnya upah pada sektor industri. Sekitar 85% pendapatan rumah tangga pertanian berasal dari upah dan gaji.

5.5.2.2. Struktur Pengeluaran Rumah tangga.

Struktur pengeluaran rumah tangga dapat menggambarkan kemampuan rumah tangga dalam meningkatkan pendapatannya. Semakin rendah persentase konsumsi akhir semakin besar tabungan, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan kapital dari tabungan. Dari data Tabel 16 dapat diketahui bahwa rata rata lebih dari 80% pendapatan digunakan untuk konsumsi akhir. Bahkan untuk rumah tangga golongan rendah baik yang bekerja di sektor industri maupun diluar sektor industri dan pertanian mengkonsumsi lebih dari 90% dari total pendapatannya terutama buruh tani

sektor industri dan di kota dengan konsumsi sebesar 92.1% untuk meningkatkan pendapatannya kecuali ada campur tangan langsung pemerintah melalui bantuan pendidikan, kesehatan atau program cash transfer seperti halnya bantuan langsung tunai (BLT).

Besarnya konsumsi rumah tangga berhubungan linear dengan tingkat tabungan rumah tangga. Semakin besar konsumsi akhir semakin rendah tabungan rumah tangga. Rumah tangga golongan atas baik di sektor industri dan sektor jasa-jasa mempunyai tingkat tabungan (saving rate) relatif tinggi dibandingkan dengan golongan rumah tangga lain. Rumah tangga golongan atas di sektor jasa-jasa mempunyai tabungan sebesar 27.7% baik di desa maupun di kota. Sementara tabungan rumah tangga golongan atas di sektor industri di kota sebesar 20.7% dan di desa 18.8% (Tabel 16).

RT Golonga n Bawah Bukan Angkata n Kerja RT Golonga n Atas RT Golong an Bawah Bukan Angkatan Kerja

Jumlah Penduduk (juta orang) 43,02 5,48 2,95 2,17 1,28 0,64 3,00 1,95

Jumlah Rumah tangga (juta rt) 9,61 1,48 0,70 0,38 0,28 0,15 0,53 0,45

1. Upah dan gaji 75,0 85,6 86,2 85,9 75,2 86,6 89,7 90,5

2. Pendapatan kapital 24,1 12,2 13,1 12,2 23,7 13,1 10,0 9,3

3. Penerimaan transfer dari : 0,9 2,2 0,7 1,9 1,1 0,3 0,3 0,1

- RT 0,7 2,1 0,6 1,7 0,5 0,0 0,2 0,0

- Perusahaan 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1

- Pemerintah 0,1 0,0 0,0 0,0 0,4 0,2 0,1 0,0

- Luar Negeri 0,1 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0

4. Jumlah pendapatan 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0 100,0

5. Pembayaran pajak langsung 0,1 0,0 0,1 0,1 0,2 0,0 0,0 0,1

6. Pendapatan RT setelah pajak 99,9 100,0 99,9 99,9 99,8 100,0 100,0 99,9

7. Pembayaran transfer ke : 0,7 0,7 0,4 0,5 1,0 0,4 0,6 0,5 - RT 0,7 0,7 0,4 0,5 0,9 0,4 0,6 0,5 - Perusahaan 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 - Luar Negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,1 0,0 0,0 0,0 8. Pendapatan Disposabel 99,2 99,2 99,5 99,4 98,8 99,5 99,4 99,5 9. Pengeluaran konsumsi 81,6 96,5 84,6 91,3 91,2 80,8 92,1 90,4 10. Tabungan 17,6 2,7 14,9 8,1 7,6 18,8 7,3 9,1

Sumber: SNSE Jawa barat 2010 diolah Jumlah Pertanian Buruh Pengus aha Pertani an Industri Desa Kota

RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas RT Golongan Bawah Bukan Angkatan Kerja RT Golongan Atas 0,80 7,28 4,98 3,29 4.95 2.68 1.6 0,23 1,41 1,08 0,88 1.01 0.63 0.4 90,3 45,4 27,2 55,4 70.9 63.1 78.9 8,1 54,0 68,0 44,0 28.6 36.6 20.8 1,6 0,6 4,8 0,6 0.5 0.4 0.3 1,5 0,1 4,3 0,1 0.3 0 0 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 0,0 0,2 0,2 0,3 0 0.2 0.1 0,0 0,0 0,1 0,1 0 0.1 0.1 100,0 100,0 100,0 100,0 100 100 100 0,1 0,2 0,2 0,2 0.2 0.1 0 99,9 99,8 99,8 99,8 99.8 99.9 100 0,3 1,2 1,1 0,6 0.9 1.2 1.1 0,3 1,1 1,1 0,5 0.8 1.1 1 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0 0,0 0,0 0,0 0,0 0 0 0.1 99,6 98,6 98,7 99,3 99 98.7 98.8 78,9 82,4 90,0 71,5 93.5 92.5 71.1 20,7 16,2 8,7 27,8 5.4 6.2 27.7 Bukan Pertanian Bukan Industri

BAB VI

ANALISIS MULTIPLIER & DISTRIBUSI PENDAPATAN RUMAH TANGGA

6.1. Infrastruktur dan Kinerja perekonomian

Investasi infrastruktur transportasi di Provinsi Jawa Barat diharapkan dapat meningkatkan kinerja perekonomian dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dampak lanjut dari pertumbuhan ekonomi ini adalah tenaga kerja dapat terserap lebih banyak serta angka pengangguran dapat ditekan. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak, pada akhirnya diharapkan akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.

Penelitian tentang keterkaitan investasi infrastruktur dan perekonomian yang dilakukan oleh Aschauer (1989) yang menganalisa kontribusi akumulasi kapital pada sektor publik terhadap perubahan produktivitas dari sektor swasta di Amerika Serikat dapat menjadi referensi yang baik tentang pentingnya peran investasi infrastruktur transportasi bagi perekonomian. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa infrastruktur dasar seperti, jalan, bandara, sistem angkutan massal, air minum dan drainase memiliki pengaruh yang signifikan terhadap produktivitas perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, penelitian ini juga

menemukan bahwa keterlambatan dalam pengeluaran pembangunan

infrastruktur berperan dalam lambatnya produktivitas. Penelitian Aschauer tersebut dapat menjadi acuan penting untuk menekankan pentingnya sesegera mungkin memperbaiki infrastruktur di Jawa Barat dalam rangka meningkatkan produktivitas perekonomian Jawa Barat, mengingat kondisi infrastruktur transportasi (jalan) di Jawa Barat yang menunjukkan kondisi kurang baik pada

Temuan yang menunjukkan akan pentingnya infrastruktur selanjutnya dipertajam kembali oleh Canning (1999) yang secara umum mendukung apa yang ditemukan oleh Aschauer (1989) yang menemukan bahwa infrastruktur secara statistik signifikan mempengaruhi output. Beberapa temuan lain dari

Canning (1999) yang menarik, diantaranya adalah bahwa produktivitas physical

capital dan human capital pada tingkat makro (dalam hal ini adalah dunia yang diwakili oleh 57 negara) mendekati kondisi empirik yang terjadi pada level mikro yang dihitung berdasarkan pendapatan rumah tangga atas faktor atau

berdasarkan analisa cost-benefitnya. Selanjutnya temuan lainnya menunjukkan

bahwa investasi infrastruktur di bidang telekomunikasi, transportasi dan listrik

memiliki tingkat marginal productivity yang tinggi dibandingkan dengan jenis

infrastruktur lain.

Sementara itu, Dumont dan Somps (2000) mencoba menganalisa dampak dari adanya infrastruktur publik secara lebih detail, dimana tidak hanya melihat dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi tetapi juga terhadap daya

saing. Dumont dan Somps (2000) menggunakan Dynamic Computable General

Equilibrium (CGE) dengan database Social Acounting Matrix (SAM) Senegal tahun 1990. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa dampak infrastruktur

terhadap sektor manufaktur baik dalam hal output dan daya saing akan berbeda-

beda tergantung pada dampaknya terhadap tingkat harga domestik dan tingkat upah. Selain itu, hasil simulasi juga menunjukkan bahwa metode pembiayaan merupakan faktor penting yang harus diperhitungkan karena dampak yang akan ditimbulkan akan berbeda dan sekali lagi tergantung pada sejauh mana mempengaruhi harga domestik.

tersebut menunjukkan bahwa kontribusi infrastruktur terhadap GDP sangat substansial dan secara umum melebihi biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan infrastruktur tersebut. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa kapabilitas dari institusi yang akan menentukan kredibilitas dan efektivitas dari kebijakan pemerintah memiliki peran yang penting dalam proses pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi. Dengan kata lain, negara akan mendapatkan benefit yang sangat besar dalam hal output, jika pemerintah fokus pada peningkatan investasi dan kinerja dari infrastruktur.