• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebuah Pendekatan Ekonomi Politik

Ide yang mendasari analisis kami sejauh ini, adalah bahwa perbaikan dalam tata kelola perekonomian daerah pada prinsipnya harus meningkatkan kinerja ekonomi. Dengan kata lain, kita telah memikirkan tata kelola pemerintahan sebagai sesuatu yang disetujui sebagai perbaikan untuk meningkatkan aksi kebijakan dan yang kemudian akan membantu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, banyak bukti yang ditunjukkan di atas menyarankan bahwa banyak variabel struktural yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, juga berdampak pada kualitas tata kelola perekonomian, mengacaukan hubungan antara keduanya.

Terdapat banyak literatur pada faktor penentu politik pada tata kelola pemerintahan, khususnya dalam desentralisasi (Bardhan dan Mookherjee 2000; Lockwood 2009). Banyak dari hal ini berfokus pada lembaga-lembaga politik dan insentif yang dihadapi oleh para aktor yang relevan dan bagaimana hal ini menentukan hasil yang diamati. Namun, insentif yang dihadapi oleh para aktor politik seringkali dipengaruhi oleh konteks ekonomi struktural di mana mereka beroperasi (misalnya jarak jauh atau dekat dengan kota-kota besar, dengan atau tanpa sumber utama alam). Oleh karena itu sangat penting untuk mengubah pertanyaan kita dan bertanya data apa yang menunjukkan tentang faktor-faktor penentu tata kelola pemerintahan.

Untuk melakukan ini kita harus menentukan lebih jelas apa aspek pemerintahan yang kita rujuk. Salah satu pendekatan akan mengambil sub-indeks dari EGI.

Namun, hal ini dibangun secara eksplisit untuk mewakili proses tata kelola pemerintahan yang mungkin menimpa pertumbuhan ekonomi yang bukan fokus kita di sini. Sebaliknya kita tertarik pada bagaimana variable-variabel struktural dapat mempengaruhi karakteristi-karakteristik tata kelola pemerintahan secara luas. Kita fokuskan pada empat karakteristik kunci dari tata kelola pemerintahan tingkat daerah: stabilitas, tingkat keinginan mencari keuntungan diri, kompetensi teknis dari petugas administrasi, serta transparansi dan akuntabilitas. Dataset kami berisi beberapa variabel yang dapat mengajukan sebagai pendekatan yang cocok untuk masing-masing atribut-atribut inti dari tata kelola pemerintahan.

Selanjutnya, kita tentukan karakteristik struktural yang kita harapkan, apriori, untuk mempengaruhi atribut-atribut tata kelola pemerintahan. Pertimbangkan sumber daya alam. Ada banyak literatur tentang kutukan terkait sumber daya alam (lihat misalnya Ross 1999; Dunning 2008), gagasan bahwa keberadaan sumber daya alam menimbulkan konflik atas kontrol sumber daya dan oleh karena itu, secara paradoks, pertumbuhan lambat. Jika ini benar pada tingkat sub-nasional mungkin terjadi bahwa tindakan-tindakan yang menimbulkan ketidakstabilan harus dapat dihubungkan dengan ketergantungan terhadap sumber daya alam. Demikian pula, keinginan untuk mengendalikan pencarian keuntungan dari sumber daya alam dapat melemahkan insentif untuk transparansi dan akuntabilitas.

Terkait dengan hal ini adalah ukuran dan mungkin pertumbuhan anggaran kabupaten. Terdapat literatur yang menyatakan bahwa tindakan pemerintah dalam memperlakukan sumber daya alam, memberikan insentif bagi para Kepala Daerah setempat sehingga kurang memperhatikan pemilih mereka melainkan lebih kepada donor eksternal (Moore 2004; Morrison 2009). Jika ini benar pada tingkat negara, juga mungkin benar di tingkat kabupaten, terutama sejak lebih dari 80% dari dana kabupaten masih berasal dari pusat. Namun, kita juga mengharapkan bahwa kabupaten yang menerima dana lebih per kapita dari yang lain juga harus lebih kompeten dibandingkan dengan kabupaten yang menerima dana lebih sedikit.

Kemudian pertimbangkan besarnya perekonomian daerah. Salah satu fakta mengejutkan dari data kami adalah bahwa kota memiliki nilai tatakelola pemerintahan yang lebih buruk secara keseluruhan dari pada kabupaten yang

bersifat pedesaan. Namun, hal ini kurang mengejutkan jika kita berpikir bahwa besaran perekonomian daerah mungkin berpengaruh terhadap para pencari keuntungan (rent seeking). Rent seeking lebih menguntungkan bila memang ada keuntungan yang dapat dicari. Jadi kota-kota, serta perekonomian daerah yang lebih besar, mungkin lebih rentan terhadap para pencari keuntungan hanya karena insentif bagi perilaku tersebut jauh lebih tinggi di daerah kaya daripada di daerah yang miskin. Jika hal ini terjadi, ukuran perekonomian daerah harus menjadi penilai penting dari angka-angka pada pencarian keuntungan. Namun, kita juga berharap untuk tinggal di sebuah kabupaten yang lebih kaya untuk mendapatkan beberapa manfaat, dalam bentuk adanya pejabat-pejabat pemerintahan daerah yang lebih kompeten dan, mungkin, pemerintahan yang lebih terbuka dan transparan.

Variabel struktural lain mungkin termasuk populasi. Seperti dengan ukuran perekonomian daerah, populasi yang lebih tinggi dapat menciptakan lebih banyak peluang kesempatan untuk para pencari keuntungan. Mereka juga memberikan layanan secara lebih rumit yang berpotensi menurunkan persepsi masyarakat tentang kompetensi pejabat pemerintah daerah. Akhirnya, kita mengharapkan ketentuan tingkat pendidikan secara umum dari pejabat kabupaten agar memiliki pengaruh, baik terhadap kompetensi pejabat administratior di daerah maupun terhadap transparansi dan akuntabilitas pemerintahannya.

Tabel 2 menunjukkan hasil dari serangkaian regresi untuk memeriksa hipotesis di atas. Kolom 1 memeriksa pengaruh ukuran perekonomian dan ketergantungan terhadap sumber daya alam terhadap stabilitas. Secara khusus, kita melihat apakah jarang terjadinya konflik tanah26 dipengaruhi oleh PDB per kapita dan koefisien Gini

sektoral yang mengukur tingkat konsentrasi dari perekonomian lokal 27. Hasil

penelitian menunjukkan secara tepat, hubungan sesuai hipotesa - kabupaten di mana ekonomi lebih terkonsentrasi di sejumlah kecil sektor, melaporkan terjadinya konflik tanah dengan frekuensi yang lebih tinggi 28. Selain itu, kabupaten yang lebih

26 Jadi

angka-angka yang lebih tinggi menunjukkan konflik yang lebih jarang

27 Ini adalah Gini ratio dari kontribusi PDB di setiap sektor. Jadi jika suatu sektor mewakili seluruh

PDB maka Gini ratio akan sama dengan satu, sedangkan jika seluruh sektor mempunyai kontribusi yang sama maka Gini ratio akan bernilai nol

28 Hal yang sama akan terjadi bila menggunakan kontribui sektor pertambangan dan bukan Gini

kaya melaporkan lebih banyak terjadinya konflik tanah. Kolom 2 memperluas ide ini dengan menambahkan variabel dummy untuk pertanyaan apakah suatu daerah adalah sebuah kota atau bukan, dan sebuah dummy untuk menjawab apakah daerah tersbut di Jawa atau bukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada dua jenis konflik tanah muncul di dalam data. Pertama, ada konflik tanah yang dihasilkan dari tekanan penduduk di kota-kota, ditandai dengan koefisien positif yang kuat pada dummy kota. Kedua, adanya konflik tanah terjadi secara tipikal pada daerah-daerah yang lebih luas, jumlah penduduk yang jarang, dan sumber daya alam melimpah yang dimiliki daerah-daerah di luar Jawa, seperti yang ditunjukkan dengan besarnya koefisien negatif yang signifikan pada dummy Jawa dan signifikannya Gini sektor. Menariknya, koefisien pada pendapatan per kapita tidak lagi signifikan, menunjukkan bahwa konsentrasi perekonomian-lah yang penting bagi konflik tanah, bukan ukurannya.

Dalam Kolom 3 kita menguji gagasan bahwa sumber daya anggaran dari pemerintah pusat juga memberikan insentif untuk ketidakstabilan dan konflik. Kami menyertakan dua variabel, ukuran anggaran pemerintah (per kapita) dan pertumbuhan anggaran per kapita antara 2001 dan 2007. Anggaran daerah telah berkembang sangat pesat sejak desentralisasi, dua kali lipat antara tahun 2005 dan 2007 saja.

Kami menemukan bukti yang mendukung gagasan bahwa peningkatan besar di dalam sumber daya telah menghasilkan konflik. Koefisien pada pertumbuhan anggaran besar dan signifikan secara statistik, sedangkan pada besaran anggaran kecil dan tidak signifikan. Secara keseluruhan kita menemukan dukungan yang kuat dalam data kami untuk gagasan bahwa sumber daya alam dan pesatnya pertumbuhan anggaran telah menyebabkan ketidakstabilan dan tata kelola pemerintahan yang buruk, khususnya di kota-kota dan di kabupaten-kabupaten yang kaya sumber daya alam di luar Jawa.

Tabel 11 : Faktor-faktor Penentu Konflik Lahan

VARIABEL Konflik lahan Konflik lahan Konflik lahan PDB bukan minyak per

kapita 2007 tercatat 0.0822*** 0.0269 0.00826 [0.0279] [0.0458] [0.0483] Gini Sector 2007 0.299* 0.383 0.370 [0.177] [0.246] [0.255] Kota 0.138** 0.155*** [0.0538] [0.0548] Jawa -0.168*** -0.149*** [0.0331] [0.0374] Pengeluaran Pemerintah per kapita 2007 -0.00365 [0.00781] Pertumb dlm pengeluaran

pemerintah per kapita

2001-2007 0.825** [0.412] Konstanta -1.091*** -0.232 -0.0949 [0.419] [0.627] [0.684] Observasi 211 211 206 R-squared 0.066 0.196 0.199

Standard errors dlm kurung *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Kita bisa melakukan uji coba yang sama untuk mengukur pencarian keuntungan diri. Tabel 3 menunjukkan regresi tingkat pembayaran tidak resmi dalam proses perijinan terhadap satu set variabel struktural. Kami katakan sebelumnya bahwa ukuran perekonomian akan menambah tingkat pencarian keuntungan bagi diri sendiri, yang akan terjadi juga bila daerah tersebut memiliki populasi (dan kepadatan) yang lebih besar. Kolom 1 menunjukkan dukungan yang kuat untuk hipotesis kami. Pada daerah yang kaya benar-benar terjadi pembayaran tidak resmi yang lebih banyak, seperti halnya daerah dengan populasi yang lebih besar dan khususnya kota-kota. Sebaliknya, konsentrasi sektoral dan anggaran tidak nampak berpengaruh secara signifikan terhadap timbulnya para pencari keuntungan.

Untuk mengetahui faktor-faktor penentu kompetensi para pejabat daerah, kami meneliti jumlah hari yang digunakan untuk memperbaiki jalan di daerah. Hipotesis kami akan menunjukkan bahwa jalan akan lebih cepat diperbaiki di lokasi yang lebih

kaya, tetapi lebih lambat di daerah yang lebih padat penduduknya. Kami juga akan mengantisipasi bahwa anggaran yang lebih besar akan mengurangi waktu yang dibutuhkan, dan kami menambahkan ukuran tingkat pendidikan dari pejabat daerah yang juga kami harapkan dapat mempersingkat waktu.

Kolom 2 Tabel 3 keduanya menegaskan dan membantah apa yang kami kemukakan sebelumnya. Daerah yang kaya memang memperbaiki jalan lebih cepat, dan daerah yang berpenduduk lebih banyak membutuhkan lebih banyak waktu. Namun, waktu juga dibutuhkan lebih banyak pada daerah dengan perekonomian yang terkonsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah di daerah tersebut memusatkan perhatian mereka pada pelayanan sektor-sektor inti, mengabaikan pemeliharaan jalan yang lebih umum. Mengkhawatirkan, bahwa alokasi anggaran per kapita tidak berkorelasi dengan waktu untuk memperbaiki jalan, dan pertumbuhan anggaran berkorelasi secara positif dengan dengan waktu perbaikan jalan, yaitu daerah yang melihat peningkatan proporsional yang lebih besar membutuhkan waktu lebih lama untuk memperbaiki jalan mereka. Ini menunjukkan adanya masalah kapasitas dalam menggunakan sumber daya tambahan secara efektif. Akhirnya, sekolah yang lebih baik meningkat, ketimbang mengurangi waktu untuk memperbaiki jalan. Hal ini menarik karena menunjukkan bahwa hambatan kapasitas yang mungkin tidak berhubungan dengan keterampilan tetapi lebih terkait dengan insentif yang diciptakan oleh arus sumber daya.

Melihat faktor penentu struktural transparansi dan akuntabilitas, kami menggunakan dua ukuran keterbukaan: ukuran konkret, dalam bentuk adanya mekanisme pengaduan, dan pengukuran persepsi - sejauh mana perusahaan- perusahaa/perusahaan percaya bahwa Kepala Daerah betul-betul memecahkan masalah yang mereka hadapi. Kami kemukakan sebelumnya bahwa Daerah yang lebih kaya dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih terbuka. Kolom 3 dan 4 dari Tabel 3 menunjukkan hasilnya. Kami menemukan bahwa daerah kaya dan daerah di Jawa lebih cenderung memiliki mekanisme pengaduan. Kami juga menemukan bahwa kabupaten dengan populasi yang lebih besar nampaknya kurang suka melaporkan adanya mekanisme tersebut (mungkin karena penyebaran informasi akan lebih sulit di daerah yang lebih besar). Namun, tidak ada hubungan antara bentuk transparansi dengan pendidikan yang lebih baik.

Tabel 12: Faktor-Faktor Penentu dari Pencarian Keuntungan Bagi Diri Sendiri, Kompetensi, dan Transparansi

(1) (2) (3) (4)

VARIABEL Pungutanillegal

Waktu perbaikan

jalan MekanismePengaduan

Kepala Daerah

Memecahkan Masalah PDB Bukan minyak per

kapita 2007 tercatat 0.0557* -4.348 0.0856*** 1.042 [0.0333] [2.699] [0.0307] [2.271] Gini sektor 2007 0.144 52.54*** -0.147 -12.81 [0.188] [14.76] [0.168] [12.42] Kota 0.195*** 2.467 0.0169 -4.341 [0.0527] [4.066] [0.0462] [3.421] Jawa -0.0372 -0.897 0.193*** -5.090** [0.0391] [3.006] [0.0342] [2.529]

Jumlah penduduk tercatat

2007 0.148*** 3.542* -0.0376 -7.176*** [0.0268] [2.060] [0.0234] [1.733] Pengeluaran Pemerintah per kapita 2007 0.00932 0.0865 0.0104 -0.764 [0.0110] [0.842] [0.00957] [0.709] Pertumb dlm pengeluaran Pemerintah per kapita

2001-2007 -0.251 95.91*** 0.220 42.59 [0.422] [32.79] [0.373] [27.58] Jml penduduk dg tkt pendidikan SLTP 2007 99.98** -0.833 -50.39 [49.84] [0.566] [41.93] Konstanta -1.531*** 15.24 -0.469 143.1*** [0.514] [39.91] [0.453] [33.58] Observasi 206 206 206 206 R-squared 0.257 0.149 0.207 0.223

Standard errors dlm kurung *** p<0.01, ** p<0.05, * p<0.1

Akhirnya, mengingat tidak adanya hubungan antara anggaran dan pelayanan yang lebih baik, mungkin timbul pertanyaan mengapa para Kepala Daerah mengeluarkan begitu banyak upaya untuk meningkatkan anggaran mereka. Sebagian jawaban diberikan pada Kolom 4. Hal ini menunjukkan faktor yang memiliki pengaruh terbesar pada persepsi bahwa Kepala Daerah akan memecahkan masalah mereka adalah pertumbuhan dari anggaran daerah. Mengingat bahwa para Kepala Daerah

dipilih secara langsung, maka tidak mengherankan bahwa peningkatan besaran anggaran daerah merupakan prioritas.

Dokumen terkait