• Tidak ada hasil yang ditemukan

RIWAYAT HIDUP

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.5 Pendekatan Ekosistem

Pendekatan ekosistem adalah suatu pendekatan yang mengacu pada aplikasi dari berbagai metode ilmiah yang berfokus pada tingkat tatanan kehidupan yang melibatkan struktur, proses, fungsi dan interaksi antar organisme dengan lingkungannya (Aryani 2010). Yulianto (2010) menambahkan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam implementasi pendekatan ekosistem, yaitu kelestarian ekosistem, kesejahteraan masyarakat dan kemampuan untuk mencapai tujuan. Menurut FAO (2005) terdapat dua belas prinsip pelaksanaan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan, yaitu sebagai berikut:

1) Sasaran dari pengelolaan ini adalah pilihan dari masyarakat; 2) Pengelolaan harus terdesentralisasi pada tingkat yang rendah;

3) Pengelolaan harus mempertimbangkan dampak setiap aktivitas terhadap ekosistem lainnya;

4) Dibutuhkan pemahaman dan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem dalam konteks ekonomi dengan mempertimbangkan dampak positif dari pengelolaan tersebut. Pengelolaan tersebut antara lain:

(1) Mengurangi pengaruh pasar yang berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati;

(2) Mempromosikan konservasi sumberdaya dan pemanfaatan yang lestari dengan pemberian insentif;

5) Konservasi fungsi dan struktur ekosistem dalam rangka menjaga manfaat ekosistem, dimana yang dikonservasi merupakan lokasi prioritas;

6) Pengelolaan ekosistem harus mempertimbangkan daya dukung;

7) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan komponen spasial dan temporal;

8) Pengelolaan ekosistem harus mengacu pada pengelolaan jangka panjang; 9) Pengelolaan harus adaptif terhadap perubahan;

10) Pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan; 11) Pendekatan ekosistem harus mempertimbangkan beberapa informasi ilmiah,

adat istiadat, inovasi dan pengalaman;

12) Pendekatan ekosistem harus melibatkan para pihak dan lintas ilmu.

FAO (2005) juga menyebutkan dalam dokumen tentang implementasi pendekatan ekosistem pengelolaan perikanan mengenai beberapa opsi yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem. Opsi-opsi yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut:

1) Pengaturan secara teknis

Pengaturan secara teknis dapat dilakukan pada pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Pengaturan secara teknis ini dapat dilakukan dengan:

(1) Pengaturan jumlah alat tangkap dan ukuran mata jaring; (2) Pengurangan ikan hasil tangkapan sampingan (by-catch);

(3) Penyesuaian metode dan operasi penangkapan untuk mengurangi dampak negatif terhadap ekosistem dan spesies yang dilindungi;

(4) Mengedepankan pendekatan pencegahan atau kehati-hatian (precautionary approach).

2) Pengaturan secara spasial dan temporal

Pengaturan secara spasial merupakan pengaturan daerah penangkapan ikan. Pengaturan secara spasial ini dapat diimplementasikan dalam bentuk pengembangan kawasan konservasi laut. Pengaturan secara temporal merupakan pengaturan pelarangan penangkapan pada waktu tertentu.

3) Pengaturan input dan output

Pengaturan input penangkapan dapat dilakukan dengan pengendalian kapasitas penangkapan dan usaha penangkapan nelayan. Pengaturan output dapat

dilakukan dengan pengendalian hasil dan jenis tangkapan. Salah satu tujuan pengaturan ini adalah untuk menurunkan kematian akibat penangkapan (fishing mortality).

4) Manipulasi ekosistem

Manipulasi ekosistem dapat dilakukan dengan mencegah degradasi habitat, merehabilitasi habitat, pengembangan habitat buatan dan penebaran benih (restocking) ikan.

2.6 Daerah Penangkapan Ikan

Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan yang terdapat didalamnya (Simbolon 2006). Keberhasilan operasi penangkapan ikan dapat ditingkatkan dengan memenuhi paling sedikit persyaratan berikut:

1) Alat tangkap dapat dioperasikan dengan mudah dan sempurna pada daerah penangkapan ikan tersebut;

2) Daerah penangkapan ikan dapat dijangkau oleh kapal ikan;

3) Daerah penangkapan ikan mengandung sumberdaya ikan yang banyak dan bernilai ekonomis penting.

Salah satu langkah dalam proses optimasi penentuan daerah penangkapan ikan yang ekonomis dan menguntungkan, yaitu perlu mempertimbangkan tiga aspek utama sebagai berikut:

1) Aspek sumberdaya ikan;

2) Lingkungan perairan sebagai habitat sumberdaya ikan; 3) Teknologi alat penangkapan ikan.

2.7 Alat Tangkap Jaring Insang Tetap (Set Gillnet)

Jaring insang tetap (set gillnet) yaitu alat penangkap ikan yang khusus dikonstruksikan untuk menangkap ikan dengan menjerat insang, dioperasikan secara pasif dan menetap di perairan. Jaring insang tetap dioperasikan di danau dan perairan pesisir untuk menangkap ikan-ikan komersial. Jaring insang tetap diklasifikasikan ke dalam kelompok jaring insang (gillnet) (von Brandt 2005).

Jaring insang biasanya dioperasikan dengan menghadang arah migrasi ikan, sehingga ikan-ikan harus melewati mata jaring pada jaring insang. Jaring insang tetap di dasar perairan dioperasikan untuk menangkap ikan demersal. Perairan tempat jaring insang tetap digunakan merupakan perairan jernih, arusnya tidak terlalu kuat dan tidak ada tumbuh-tumbuhan terapung.

2.8 Hubungan Panjang dan Berat Ikan

Panjang ikan dapat diukur dengan menggunakan sistem metrik (Effendie 1979). Ada tiga macam pengukuran, yaitu:

1) Panjang total atau panjang mutlak, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan bagian kepala sampai ujung terakhir bagian ekornya;

2) Panjang cagak atau fork length, ialah panjang ikan yang diukur dari ujung terdepan sampai ujung bagian luar lekukan ekor;

3) Panjang standar atau panjang baku, ialah panjang ikan yang diukur mulai dari ujung terdepan dari kepala sampai ujung terakhir dari tulang punggungnya. Ujung tersebut letaknya sebelum pangkal jari-jari sirip ekor.

Menurut Effendie (1979) alat pengukur panjang ikan yang baik digunakan di lapangan adalah alat pengukur yang terbuat dari kayu. Bentuk yang perlu diperhatikan dari alat ini adalah bagian depannya, yaitu tempat menempel dari bagian depan ikan harus bertepatan dengan angka nol. Alat penimbangan diusahakan yang praktis dan tidak mudah rusak tetapi ketelitiannya cukup tinggi.

Hasil studi hubungan panjang dan berat ikan memungkinkan nilai panjang ikan berubah ke harga berat ikan atau sebaliknya. Berat ikan dapat dianggap sebagai suatu fungsi dari panjangnya dan hubungan panjang-berat ini hampir mengikuti hukum kubik yang dinyatakan dengan persamaan: W = aL3 (W adalah berat ikan, L adalah panjang ikan dan a adalah konstanta). Hal tersebut disertai dengan anggapan bahwa bentuk serta berat jenis ikan itu tetap selama hidupnya tetapi karena ikan itu tumbuh, dimana bentuk tubuh, panjang dan beratnya selalu berubah, maka menurut Hile (1936) vide Effendie (1979), persamaan umumnya adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L yang menunjukkan hubungan linier (Effendie 1979).

3

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011-April 2012 yang meliputi survei, pengambilan data dan analisis di laboratorium. Pengambilan data dilakukan pada bulan Januari dan Maret 2012 di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta (Lampiran 2). Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Ekobiologi dan Konservasi Sumberdaya Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan snorkeling, underwater camera, alat tangkap set gillnet, alat bedah, botol sampel, kertas label, mikroskop binokuler, cawan petri, pipet tetes, gelas objek dan peralatan lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini, yaitu: kamera digital, timbangan digital, ember, box, papan pengukur panjang ikan (measuring board), spidol permanen dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah bahan pengawet (formalin 10 %) dan aquades.

3.3 Metode Pengambilan Data

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendapatkan data primer berupa struktur ekologis dan trofik level hasil tangkapan nelayan. Selain itu, data primer yang dikumpulkan diperoleh dari hasil wawancara dengan nelayan atau hasil pengisian kuesioner oleh responden. Data ini digunakan untuk melihat komposisi hasil tangkapan nelayan yang tertangkap pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka.

Data sekunder dikumpulkan dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian, yaitu Pemerintahah Administrasi Kepulauan Seribu, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta literatur yang relevan. Data yang dikumpulkan antara lain kondisi perikanan daerah penelitian, jumlah dan jenis unit penangkapan ikan yang ada di daerah penelitian, kondisi lamun, komposisi dan

kelimpahan plankton di sekitar padang lamun serta informasi lain yang dapat menunjang penelitian ini. Selengkapnya metode dan teknik pengumpulan datanya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Jenis data dan metode pengumpulannya

No. Jenis Data Metode Pengumpulan Alat dan Bahan Keterangan 1 Unit penangkapan

ikan

Snowball sampling Kuesioner, alat tulis, kamera

Data primer 2 Hasil tangkapan

nelayan

Experimental fishing dan wawancara

Alat tangkap set gillnet, kuesioner, alat tulis, kamera

Data primer

3 Panjang dan berat ikan

Pengukuran Papan ukur dan timbangan digital

Data primer 4 Isi perut ikan Jumlah, gravimetrik,

volumetrik dan frekuensi kejadian

Alat bedah, mikroskop binokuler, cawan petri, pipet tetes, gelas objek, formalin 10 % dan aquades Data primer 5 Keadaan umum daerah penelitian Pengumpulan dari instansi

Alat tulis Data sekunder 6 Kondisi lamun Pengumpulan dari

pustaka

Alat tulis Data sekunder 7 Komposisi plankton Pengumpulan dari

pustaka

Alat tulis Data sekunder

3.3.1 Pengisian kuesioner

Pengisian kuesioner dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap nelayan. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah snowball sampling. Metode snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi yang tidak jelas keberadaaan anggotanya dan tidak pasti jumlahnya, dilakukan dengan cara menemukan satu sampel, untuk kemudian dari sampel tersebut dicari (digali) keterangan mengenai keberadaan sampel-sampel lain, terus demikian secara berantai. Metode ini digunakan karena kurangnya informasi mengenai populasi nelayan yang menjadi tujuan wawancara.

3.3.2 Penelitian ikan 1) Pengambilan sampel

Pengambilan sampel ikan dilakukan dengan metode experimental fishing, yaitu berupa operasi penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang tetap (set gillnet). Jaring dipasang (setting) pukul 14.00 WIB sebanyak tujuh

piece, kemudian dilakukan perendaman jaring (soaking) dan dalam proses ini jaring insang tetap dioperasikan secara menetap di perairan dengan menggunakan jangkar berupa kayu dan didirikan secara tegak lurus. Pukul 06.00 WIB keesokan harinya, jaring diangkat (hauling) kemudian ikan hasil tangkapan dilepaskan dari jaring dan disimpan di dalam perahu.

2)Pengumpulan data dan pengawetan sampel

Ikan-ikan yang tertangkap diukur panjang totalnya dan ditimbang beratnya serta diidentifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi: Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan Jilid 1 dan Jilid 2 (Saanin 1984). Tahap selanjutnya yaitu ikan dibedah dengan cara menggunting bagian perut ikan dimulai dari anus sampai ke tutup insang, kemudian diambil ususnya. Masing-masing ujung usus diikat dengan benang agar makanan dalam usus tidak keluar, lalu dimasukkan ke dalam botol sampel dan diawetkan menggunakan formalin 10 % untuk keperluan perhitungan analisis makanan yang dilakukan di laboratorium. Botol sampel diberi kertas label yang ditempelkan di dinding luar. Kertas label tersebut bertuliskan: tanggal dan waktu pengambilan, nama ikan, nomor ikan, panjang ikan serta berat ikan.

3)Analisis isi perut ikan (stomach content analysis)

Sampel usus ikan satu persatu dikeluarkan dari botol sampel dan dibersihkan dari formalin ketika telah sampai di laboratorium. Metode yang digunakan dalam mengamati isi perut ikan-ikan herbivora dan pemakan plankton (plankton feeders) adalah metode volumetrik dan frekuensi kejadian. Metode ini menganalisis volume makanan ikan yang dinyatakan dalam persentase volume dari seluruh volume makanan seekor ikan. Isi usus dipisahkan dari daging usus dengan cara menekan daging usus sampai semua isinya keluar, diencerkan dengan aquades sebanyak 3-5 ml dan diaduk-aduk sehingga tidak terjadi penumpukan isi usus di suatu wilayah. Pengamatan 1 tetes pengenceran menggunakan mikroskop binokuler dengan perbesaran minimum terlebih dahulu dan pengambilan 5 lapang pandang setiap 1 kali pengamatan. Pengamatan diulang sebanyak 3 kali sehingga akan didapatkan data dari 15 lapang pandang. Apabila jenis organisme yang didapat adalah plankton, maka selanjutnya diidentifikasi dengan mengacu pada buku identifikasi: Illustration of the Marine Plankton of Japan (Yamaji 1976).

Buku Avertebrata Air Jilid 1 dan Jilid 2 (Suwignyo et al. 2005) juga digunakan yaitu untuk mengidentifikasi avertebrata air yang ditemukan di dalam perut ikan. Masing-masing organisme dapat diambil rata-ratanya dengan jumlah keseluruhan menjadi 100 % untuk semua sampel ikan yang diteliti. Metode frekuensi kejadian menghitung masing-masing organisme yang ditemukan sebagai bahan makanan di lambung ikan yang diteliti, namun tidak meliputi lambung yang kosong. Persentase frekuensi kejadian suatu organisme yang dimakan oleh ikan contoh dengan demikian dapat dilihat secara langsung.

Metode yang digunakan dalam mengamati isi perut ikan-ikan selain herbivora dan plankton feeders adalah metode jumlah, gravimetrik dan frekuensi kejadian. Metode jumlah menunjukkan semua organisme serta benda-benda lain yang dihitung satu persatu dan dipisahkan spesies demi spesies. Apabila masing- masing jumlahnya sudah diketahui, maka dapat dibandingkan yang satu dengan yang lainnya dan dapat ditarik kesimpulan dari macam-macam isi yang terdapat di dalam lambung ikan. Prinsipnya metode gravimetrik sama dengan metode volumetrik, tetapi makanan ikan bukan diukur volumenya melainkan diukur beratnya. Demikian pula untuk masing-masing organismenya. Hasilnya juga dinyatakan dalam persentase berat dari makanan ikan yang sedang diteliti.

3.4 Metode Analisis Data 3.4.1 Analisis kuesioner

Analisis kuesioner dilakukan secara deskriptif, yaitu dengan mendeskripsikan unit penangkapan ikan pada habitat padang lamun. Unit penangkapan ikan yang dianalisis yaitu kapal, alat tangkap dan nelayan.

3.4.2 Analisis panjang dan berat ikan

Model pertumbuhan dengan analisis hubungan panjang dan berat ikan digunakan untuk mengetahui kondisi morfometrik ikan yang tertangkap secara temporal. Persamaan umum yang digunakan adalah W = aLb (a dan b adalah konstanta). Logaritma persamaan tersebut menjadi: log W = log a + b log L dengan dasar perhitungannya berdasarkan regresi. Nilai a dan b harus ditentukan dari persamaan tersebut, sedangkan nilai W (berat ikan) dan L (panjang ikan)

diperoleh dari hasil pengukuran (Effendie 1979). Analisis panjang dan berat ikan ini dilakukan menggunakan Solver pada Microsoft Excel. Nilai b sebagai penduga kedekatan hubungan antara panjang dan berat dihitung dengan kriteria: 1) Nilai b = 3, merupakan hubungan yang isometrik (pertambahan berat seimbang

dengan pertambahan panjang);

2) Nilai b > 3, merupakan hubungan alometrik positif (pertambahan berat relatif lebih besar dari pertambahan panjang);

3) Nilai b < 3, merupakan hubungan alometrik negatif (pertambahan berat relatif lebih kecil dari pertambahan panjang)

3.4.3 Analisis perbandingan hasil tangkapan

Data jumlah hasil tangkapan diuji kenormalannya dengan menggunakan Uji Mann-Whitney U test pada software SPSS Package (Santoso 1999). Uji Mann- Whitney U test merupakan uji non-parametrik yang digunakan untuk membandingkan dua mean populasi yang berasal dari populasi yang sama. Apabila data yang didapat menyebar secara normal, maka akan dilakukan analisis data menggunakan Uji-F untuk mengetahui perbandingan jumlah hasil tangkapan setiap pengambilan data. Bila data tidak menyebar normal, maka akan dilakukan analisis data non parametrik menggunakan uji Kruskall Wallis. Hipotesis untuk Uji Mann-Whitney U test yaitu:

H0: Jumlah hasil tangkapan menyebar normal;

H1: Jumlah hasil tangkapan tidak menyebar normal.

Dasar pengambilan keputusan:

Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima;

Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak.

3.4.4 Analisis isi perut ikan (stomach content analysis)

Analisis yang digunakan dalam mengevaluasi hubungan bermacam-macam makanan ikan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu Indeks Bagian Terbesar atau Index of Preponderance yang dikemukakan oleh Natarajan dan Jhingran (1961) vide Effendie (1979) dan Indeks Relatif Penting (IRP) atau Index of Relative Importance yang telah dikembangkan oleh Pinkas et al. (1971) vide

Effendie (1979). Index of Preponderance digunakan untuk menganalisis makanan golongan ikan herbivora dan plankton feeders dengan cara menggabungkan metode volumetrik dan frekuensi kejadian yang ditunjukkan oleh persamaan (1).

………... (1)

Keterangan:

Ii = Index of Preponderance

Vi = persentase volume satu macam makanan

Oi = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan ∑(Vi x Oi) = jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan

Index of Relative Importance digunakan untuk menganalisis makanan golongan ikan karnivora dengan cara menggabungkan metode jumlah, volumetrik atau gravimetrik dan frekuensi kejadian yang ditunjukkan oleh persamaan (2).

IRP = (N + V) F……….. (2)

Keterangan:

IRP = Index of Relative Importance

N = persentase jumlah satu macam makanan V = persentase volume satu macam makanan

F = persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

3.4.5 Analisis trofik level hasil tangkapan

Trofik level suatu jenis ikan ditentukan berdasarkan komposisi makanan dan trofik level masing-masing fraksi makanannya (food items) yang diperoleh dari hasil analisis isi perut (Froese dan Pauly 2000). Deskripsi kebiasaan makan dilakukan untuk mengestimasi trofik level yang meliputi tiga kasus, yaitu sebagai berikut:

Kasus 1: semua makanan adalah tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya = 2 dan kuadrat frekuensi kejadiannya = 0;

Kasus 2: hanya ada satu makanan dan tidak ada satupun tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya = 1 + trofik level makanan dan kuadrat frekuensi kejadiannya = kuadrat frekuensi kejadian makanan;

Kasus 3: terdapat beberapa macam makanan dan paling sedikit bukan tumbuhan atau detritus, maka trofik levelnya ditentukan dengan persamaan (3).

………... (3) Keterangan:

= rata-rata trofik level

Pi = fraksi makanan ke-i

trofiki = trofik level makanan ke-i

Perhitungan trofik level ini mengacu pada konvensi Internasional Program Biologi pada tahun 60-an yang menyepakati produser primer (fitoplankton) dan detritus (termasuk bakteri) dikategorikan dalam trofik level satu (TL1), sementara zooplankton dalam trofik level dua (TL2).

4

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Posisi Geografis dan Kondisi Perairan

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdiri atas dua kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan. Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki luas wilayah daratan 565,90 ha dan luas wilayah perairan 3.554,25 km2. Pemerintahan dan pemukiman Kecamatan Kepulauan Seribu Utara memiliki tiga wilayah kelurahan, yaitu Kelurahan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Harapan dan Kelurahan Pulau Kelapa.

Luas wilayah Kelurahan Pulau Panggang 62,10 ha dengan batas-batasnya ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor: 1986/2000 tanggal 21 Juli 2000, tentang Pemecahan, Pembentukan, Penetapan Batas dan Nama Kelurahan di Kecamatan Kepulauan Seribu Wilayah Kotamadya Jakarta Utara Provinsi DKI Jakarta sebagai berikut:

1) Sebelah Utara : 05o41’41” – 05o45’45” LS; 2) Sebelah Selatan : 106o44’50” BT; 3) Sebelah Barat : 106o19’30” BT;

4) Sebelah Timur : 05o47’00” – 05o45’14” LS.

Kelurahan Pulau Panggang terdiri dari 3 RW dan 21 RT, semuanya merupakan tempat pemukiman penduduk. Pulau Pramuka sendiri terdiri atas 2 RW dan 8 RT, serta terdapat kantor kabupaten, sekolah dan perkantoran lainnya. Penduduk Pulau Pramuka mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, perkantoran dan persewaan dari pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Keadaan RT/RW tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Keadaan RT/RW di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka

RW Jumlah RT Keterangan

01 7 Pulau Panggang bagian barat, lingkungan pemukiman penduduk 02 7 Pulau Panggang bagian tengah, lingkungan pemukiman penduduk,

sekolah dan puskesmas

03 7 Pulau Panggang bagian timur, lingkungan pemukiman penduduk, sekolah dan rumah dinas guru

04 4 Pulau Pramuka bagian utara, lingkungan pemukiman penduduk, gedung balai warga, rumah dinas, rumah sakit, penginapan, TPI serta perlindungan hutan dan pelestarian alam

05 4 Pulau Pramuka bagian selatan, lingkungan pemukiman penduduk, kabupaten, sekolah, asrama, gedung serba guna, penginapan, perhubungan dan DEPAG

Kelurahan Pulau Panggang merupakan gugusan pulau-pulau yang terdiri dari 13 pulau, dimana 2 pulau diperuntukan sebagai pemukiman penduduk, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka dan 6 pulau diperuntukkan sebagai tempat peristirahatan; sisanya untuk pariwisata, perlindungan hutan dan pelestarian alam, perkantoran, tempat pemakaman umum dan mercusuar. Masing-masing pulau beserta peruntukkan dan luas wilayahnya secara rinci dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Luas pulau beserta peruntukkan di Kelurahan Pulau Panggang

No. Nama Pulau Peruntukan Luas (ha) Persentase ( %) 1 Pulau Opak Kecil Peristirahatan 1,10 1,77 2 Pulau Karang Bongkok Peristirahatan 0,50 0,81 3 Pulau Kotok Kecil Perlindungan hutan

umum 1,30 2,09

4 Pulau Kotok Besar Pariwisata 20,75 33,41 5 Pulau Karang Congkak Peristirahatan 0,60 0,97 6 Pulau Gosong Pandan Peristirahatan 0,00 0,00 7 Pulau Semak Daun Perlindungan hutan

dan pelestarian alam

0,75 1,21

8 Pulau Panggang Pemukiman 9,00 14,49

9 Pulau Karya Perkantoran 6,00 9,66

10 Pulau Pramuka Pemukiman 16,00 25,77 11 Pulau Gosong Sekati Peristirahatan 0,20 0,32

12 Pulau Air Peristirahatan 2,90 4,67

13 Pulau Peniki Mercusuar 3,00 4,83

Total 62,10 100,00

Sumber: Pemerintah Kelurahan Pulau Panggang 2011

Kedalaman laut di Kepulauan Seribu pada umumnya bervariasi antara 0-40 meter. Pulau Pramuka memiliki ketinggian 1 meter di atas permukaan laut dan suhu udara berkisar antara 27-32 oC. Arus permukaan laut pada Musim Barat dan Musim Timur memiliki kecepatan relatif sama, dengan kecepatan maksimum 0,5 m/detik. Gelombang laut pada Musim Barat berkisar antara 0,5-1,75 meter dan Musim Timur 0,5-1,0 meter. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh ITB Bandung pada tahun 2001, kondisi pasang surut di Kepulauan Seribu dapat dikategorikan sebagai harian tunggal. Kedudukan air tertinggi dan terendah adalah 0,6 dan 0,5 meter. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani adalah 0,9 meter dan rata-rata tunggang air pada pasang mati adalah 0,2 meter (Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011). Kondisi lingkungan perairan sangat memengaruhi kelangsungan hidup biota perairan tersebut. Berikut (Tabel 8) merupakan parameter fisika dan kimia perairan di Pulau Pramuka berdasarkan

hasil studi terakhir yang dilakukan antara lain oleh Andono (2004), Dwindaru (2010) dan Apramilda (2011).

Tabel 8 Kondisi parameter fisika-kimia perairan Pulau Pramuka

Tahun penelitian 2004 2010 2011 Parameter Fisika Suhu (oC) 29-31 29 29-31 Kedalaman (cm) - 55-102 31-95 Kecerahan (%) - 100 100 Parameter Kimia Salinitas (PSU) 30-31 28-31 27-30 pH 7,2-7,6 8 7,5-8,0 DO (mg/l) 6,90-7,40 9,33-10,55 9,64 Nitrat (mg/l) 0,072-0,092 0,031-0,072 0,088-0,249 Orthofosfat (mg/l) 0,002-0,006 < 0,001 0,018-0,041

Sumber: Andono (2004), Dwindaru (2010) dan Apramilda (2011) Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka

4.2 Keadaan Umum Perikanan Tangkap

Kepulauan Seribu merupakan wilayah kepulauan dengan luas laut sebesar 11,8 km2, menyimpan kekayaan sumberdaya alam laut yang sangat besar namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu (2011) melaporkan bahwa armada (1.367 kapal perikanan) yang dipergunakan masih sederhana dengan ukuran relatif kecil dan perlengkapan sederhana, misalnya alat tangkap jaring (1.394 buah) dengan jumlah nelayan tangkap sebanyak 4.880 orang. Rumah singgah ikan (fish shelter) disediakan sebanyak 527 buah agar ikan berkumpul di tempat yang ditentukan. Keadaan umum perikanan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Keadaan umum perikanan Kepulauan Seribu

No. Uraian 2009 2010 2011

1 Nelayan budidaya ikan laut dan

rumput laut (orang) 632 521 250

2 Nelayan penangkap ikan laut (orang) - 4.880 4.880

3 Jumlah fish shelter (buah) 362 362 527

4 Jumlah kapal perikanan (kapal) - 1.367 1.367

5 Alat tangkap jaring (buah) - 1.354 1.394

6 Rata-rata terumbu karang (persen) 33,40 33,60 40,00

7 Transplantasi karang (unit) - 5.476 8.119

Sumber: Pemerintah Administrasi Kepulauan Seribu 2011 Keterangan: - = tidak ada data pada pustaka

Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menambahkan data statistik mengenai alat tangkap. Total alat tangkap yang terdata di Provinsi DKI Jakarta

Dokumen terkait