• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Trofik Level Hasil Tangkapan

Hasil analisis trofik level menunjukkan bahwa delapan spesies yang tertangkap berada pada TL2 dan empat spesies pada TL3. Spesies-spesies pada

TL2 pun memiliki nilai trofik level yang bervariasi. Nilai trofik level ditampilkan secara lebih jelasnya oleh Tabel 25.

Tabel 25 Nilai trofik level hasil tangkapan nelayan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu

No. Nama Umum Panjang Total ± SD (cm) Panjang Maksimum (cm)** Lm (cm)** Nilai Trofik Level Keterangan* Trofik Level** 1 Baronang 18,0 42,0 - 2,00 TL2 2,68 2 Belanak 28,5 100,0 35,4 2,00 TL2 2,48 3 Cendro 65,9 ± 21,7 40,0 - 2,60 TL2 4,20 4 Jarang gigi 16,9 ± 4,6 38,0 23,0 3,00 TL3 3,32 5 Kalam pute 14,1 25,0 - 3,00 TL3 2,97 6 Kerapu koko 20,9 ± 3,3 40,0 18,0 3,68 TL3 4,02 7 Lencam 17,8 ± 0,6 40,0 - 2,25 TL2 3,78 8 Lingkis 18,1 ± 0,8 30,0 18,0 2,00 TL2 2,76 9 Pasir 18,1 25,0 - 2,50 TL2 3,61 10 Serak 17,4 ± 1,4 23,0 - 2,50 TL2 3,18 11 Swanggi 16,5 ± 1,6 32,0 - 2,06 TL2 3,53 12 Tanda-tanda 24,3 ± 1,4 35,0 12,0 3,00 TL3 4,44 Keterangan: * Klasifikasi trofik level menurut Stergiou et al. (2007)

** Nilai menurut metadata FishBase (Froese dan Pauly 2012) - = tidak ada data pada pustaka

Keseluruhan ikan tertangkap dengan rata-rata panjang total lebih kecil daripada panjang maksimumnya, namun ada tiga spesies ikan yang tertangkap dengan ukuran rata-rata panjang total di atas ukuran ikan pertama kali matang gonad (length at first maturity). Ukuran ikan ini dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan ikan, tingkat mortalitas atau kematian ikan dan selektivitas dari alat penangkapan (Effendie 1997). Penurunan ukuran hasil tangkapan menunjukkan bahwa alat tangkap yang tidak selektif menyebabkan ikan-ikan yang sedang tumbuh ikut tertangkap, padahal belum mencapai ukuran yang baik atau layak tangkap.

Ikan hasil tangkapan yang mempunyai nilai trofik level 2 adalah ikan baronang, belanak dan lingkis. Ikan yang mempunyai nilai trofik lebih dari 2 dan kurang dari 3 yaitu ikan swanggi, pasir, serak dan cendro. Ikan yang mempunyai nilai trofik level 3 adalah ikan jarang gigi, kalam pute dan tanda-tanda. Ikan yang mempunyai nilai trofik lebih dari 2 hanya satu jenis, yaitu ikan kerapu koko. Gambar 14 menjelaskan trofik level setiap jenis ikan yang menunjukkan bahwa rata-rata ikan yang tertangkap oleh nelayan memiliki nilai trofik level antara 2 sampai dengan 3.

Gambar 14 Grafik trofik level hasil tangkapan setiap jenis ikan yang tertangkap pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka

Teori mengatakan ikan yang berada di trofik level bawah harus lebih sedikit tertangkap daripada ikan pada trofik level diatasnya. Namun, kegiatan penangkapan pada habitat padang lamun ini menyebabkan ikan-ikan di trofik level bawah lebih banyak tertangkap, hal ini diperlihatkan oleh Gambar 15 yang menunjukkan bahwa total biomassa hasil tangkapan pada TL2 jauh lebih besar daripada total biomassa hasil tangkapan di TL3.

Gambar 15 Grafik total biomassa hasil tangkapan pada setiap tingkat rantai makanan di habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka

Banyaknya hasil tangkapan ikan yang tertangkap pada TL2 menyebabkan trofik level hasil tangkapan nelayan menjadi tidak seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan berpotensi merusak keseimbangan ekosistem pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.

Estimasi trofik level berhubungan dengan tingkat hidup ikan (juvenil atau dewasa). Gambar 16 menunjukkan hubungan antara spesies ikan, rata-rata trofik levelnya dengan panjang total ikan tersebut.

Gambar 16 Grafik hubungan antara trofik level dengan panjang maksimum spesies ikan hasil tangkapan di habitat padang lamun perairan Pulau Pramuka

Analisis regresi atau persamaan linear menghasilkan nilai slope atau kemiringan sebesar 2,220. Nilai slope yang positif ini menunjukkan bahwa spesies yang lebih besar cenderung menjadi piscivorous atau pemakan ikan daripada spesies yang lebih kecil. Hubungan makan dan dimakan ini dapat dilihat lebih jelas pada rantai makanan. Gambar 17 menunjukkan rantai makanan pada habitat tersebut.

I II III IV

Gambar 17 Gambar rantai makanan pada habitat padang lamun di perairan Pulau Pramuka berdasarkan analisis feeding guilds hasil tangkapan

Keterangan: = hasil pengukuran = sumber pustaka = teridentifikasi = tidak teridentifikasi Leiognathus nuchalis Sargocentron rubrum Epinephelus quoyanus Pentapodus trivittatus Fitoplankton Copepoda Choerodon

anchorago Larva Crustacea Zooplankton Diatoms dan Macrophtyes Mugil cephalus Siganus canaliculatus Siganus guttatus Ikan herbivora Crustacea kecil Lutjanus ehrenbergii Lethrinus reticulatus Zooplanktonic Detritus Moluska Tylosurus strongylura Scolopsis lineata Anelida Echinodermata Neoglyphidodon crossi

Studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih baik tentang struktur rantai makanan (food chain). Studi ini dilakukan dengan meningkatkan intensitas penangkapan agar diperoleh sampel ikan yang lebih mewakili populasi di lokasi tersebut. Berbagai alat tangkap dan metode penangkapan perlu diterapkan untuk memperoleh data yang lebih baik namun penangkapan untuk memperoleh sampel ini pun harus memperhatikan prinsip- prinsip ekologis agar tidak berpotensi merusak keseimbangan ekologi pada habitat tersebut.

Berkaitan dengan tanggung jawab kegiatan penangkapan ikan yang harus disertai dengan manajemen, salah satu prinsip yang terkait dalam pengelolaan perikanan menurut FAO (2005) yaitu pendekatan ekosistem harus seimbang antara konservasi dan pemanfaatan. Pilihan-pilihan yang dapat dilakukan dalam mengimplementasikan pendekatan ekosistem yaitu pengaturan alat tangkap yang digunakan oleh nelayan serta pengaturan secara spasial dan temporal.

Pengaturan alat tangkap dapat dilakukan dengan mengatur ukuran mata jaring, dalam hal ini berarti memperbesar ukuran mata jaring agar ikan-ikan yang berukuran kecil tidak ikut tertangkap. Pengubahan ukuran mata jaring juga harus memperhatikan ukuran ikan untuk pertama kali matang gonad sehingga dapat dipastikan ikan-ikan yang tertangkap minimal sudah pernah memijah. Penyesuaian metode penangkapan yang lebih ramah lingkungan perlu dilakukan untuk mengurangi dampak negatif terhadap habitat dan spesies yang dilindungi, misalnya tidak menangkap ikan di daerah pengasuhan.

Pengaturan secara spasial dapat dilakukan apabila habitat sudah dalam kondisi sangat terancam. Kawasan yang dulunya daerah penangkapan ikan untuk selanjutnya dijadikan kawasan konservasi laut dan nelayan diberi alternatif daerah penangkapan lain yang belum dimanfaatkan atau masih dalam status baik. Pengaturan secara temporal dilakukan dengan memperhatikan musim pemijahan ikan dan waktu migrasi ikan. Menurut Effendie (1997), hal ini dilakukan dengan tujuan agar jumlah induk ikan tidak berkurang dan tingkah lakunya pada waktu pemijahan tidak terganggu.

Dokumen terkait