• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. UU No 2 Tahun 2007 Tentang Kepolisian

4.2. Pendekatan Non Penal setelah terjadinya kasus.

. Bagaimana masing-masing unsur pemerintahan itu menyusun program real kegiatan dalam hal “penguatan, penanganan, pencegahan dan monitoring setiap tahunnya dalam upaya pencegahan semakin tingginya angka korban perdagangan orang setiap tahun.

Mandat yang diemban dalam kebijakan ini berupa perlindungan terhadap korban. Dirangkai dalam wujud komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai penanggung jawab dalam melakukan perlindungan langsung kepada korban. Penyadaran dan peningkatan pemahaman serta kemampuan yang dilakukan agar korban tidak kembali masuk dalam dunia tindak kejahatan untuk kedua kalinya.

Proses perlindungan itu meliputi rehabilitasi melalui peningkatan pengetahuan dan pemahaman akan hak-hak dari korban. Sekaligus pendidikan ketrampilan (skill) sebagai modal hidup. Hal itu sebagai persiapan korban apabila akan dikembalikan ke daerah asal. Proses perlindungan sebagai wujud antisipasi ini, dilakukan sebagai proses rehabilitasi (fisik, phisikis dan kesehatan), reintegrasi sosial dimana korban

120

Kerangka Teori Pencegahan Petter Hoefnagels, Bab I, hal-20 atau Peter Hoefnagels,” The Other Side Of Criminologi”, Kluwer-Deventer, Holland, hal 55.

121

harapannya mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar saat proses pemulangan kepada keluarga.

Praktek pola penangan ketika kasus perdagangan orang terjadi, kesenjangan yang melahirkan konflik ada kalanya pemerintah dalam hal ini Kepolisian menjadi pelaku kedua dikarenakan lemahnya kondisi penegakan hukum kita. Ditambah lagi kemiskinan terstruktural yang kerap memberi diskriminasi dan marginalisasi dalam status sosial-ekonomi-politik, dan pemanfaatan sumber daya dan bahkan kehidupan berbudaya122

Sebelum gelombang hujatan hukum tersebut lebih nyaring lagi disuarakan, prinsip penegakan hukum dalam konteks Negara Hukum (rechtsstaat), sebagai mana dikemukakan oleh E. J. Stahl, yang dikutip oleh Oemar Senoadji merumuskan unsur- unsurnya sebagai berikut:

.

Wujud ketidakadilan dan ketidakpuasan yang dialami para korban perdagangan orang tersebut berkecamuk dan bahkan bisa jadi pembangunan opini bahwa hukum hanya milik para pihak yang berduit saja. Dengan slogan “penegakan hukum bagai pisau terbalik, dia tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas”.

123

1. Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan Negara untuk menjamin hak-hak asasi manusia;

3. Pemerintah berdasarkan peraturan; 4. Adanya peradilan.

122

Zainuddin Ali, Op.cit, hal- 73 123

Merujuk asas persamaan hak di muka hukum (Equality before the law) beberapa aturan kebijakan yang terangkum secara tegas yang mengatur perlindungan korban diatur dalam beberapa pasal yakni :

a. Pasal 45 ayat (1) jo. Pasal 48 ayat (1)

tentang perlindungan korban dihadapan penegakan hukum yang lebih nyaman diperiksa dalam ruang pelayanan khusus yang wajib dibentuk untuk setiap Kota/Kab dan perolehan restitusi bagi korban perdagangan orang

Oemar Shapland, Jon Willmore dan Peter Duff menulis sebagaiman kutipan secara tidak langsung dari Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatullah124

Hingga akhirnya komitmen dalam wujud perlindungan terhadap korban kekerasan menjadi fenomena sosial termasuk juga korban perdagangan orang yang mengemukakan korban kejahatan kerap sudah dilupakan dari sistem peradilan pidana. Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana hampir tidak memperhatikan sama sekali kedudukan korban. Demikian juga dalam ilmu bantu yakni psikiatri forensic dan kriminologi, semuanya mengarah kepada si pelaku.

Perhatian terhadap kedudukan korban mulai berkembang pada tahun 1960-an. Dimana sejumlah perhatian muncul bagi korban kejahatan sebagai pihak yang paling dirugikan akibat kejadian tersebut. Sekitar tahun 1980, di banyak negara, melakukan gugatan dan kritikan yang mengkampanyekan untuk memperlakukan korban lebih baik lagi dalam sistem peradilan pidana, para kriminolog juga mulai berpikir dan berorientasi pada korban.

124

patut disikapi. Dengan modus ingin merubah nasib, mencari pekerjaan, yang pada akhirnya terjebak dalam konteks penipuan yang berdampak eksploitatif bagi mereka.

Faktor rendahnya perlindungan hukum kepada korban, dikarenakan factor pendidikan dan pemahaman korban yang terbatas saat dimintai keterangan oleh pihak penyidik dan ditambah kedangkalan pemahaman para penyidik dalam memahami psikologis para korban yang relatif rendah. Pembentukan unit-unit khusus penyidikan, menjadi bagian keharusan yang segera dipenuhi bagi setiap jajaran Polresta dan Poltabes. Hal itu untuk lebih menjamin pemenuhan acuan kebijakan yang diatur dalam pasal per pasal untuk mencapai komitmen perlindungan korban kekerasan khususnya korban perdagangan orang yang telah merugikan dirinya, baik materil dan imateril125

b. Pasal 46 ayat (1) jo. Pasal 51 jo. Pasal 52 ayat (1) .

tentang perlindungan korban mendapat pengamanan di rumah pelayanan terpadu atau P2TP2A, guna memperoleh rehabilitasi sosial, kesehatan, pemulangan dan reintegrasi sosial126

Perhatian terhadap korban akibat kejahatan tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kejahatan itu. Dimana perkembangan kejahatan dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat. Biasanya kejahatan yang terjadi dipengaruhi oleh bentuk masyarakat, artinya masyarakat yang kehidupan ekonominya lemah akan cendrung berpeluang menciptakan tingkat kejahatan semakin tinggi.

125

Pasal 1, point 13 UU No. 21 Tahun 2007 tentang PTPPO. 126

Lihat Pasal Pasal 51 ayat 1 berbunyi : “korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,

rehabilitasi social, pemulangan, dan reintegrasi social dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penederitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana”.

Kongres PBB ke-6 tahun 1980 di Caracas Venezuela, dalam pertimbangan resolusi mengenai crime trends and crime preventioan and strategies, bahwa masalah kejahatan yang merintangi kemajuan guna pencapaian terhadap kwalitas lingkungan hidup yang layak, pantas bagi semua orang (crime problem impedes progress towards

the attainment of an acceptable quality of live for all people)127

Serta merta sebagai peserta kongres dan anggota PBB, Indonesia juga merupakan bagian Negara yang terhimbau yakni : “Menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi- kondisi kehidupan yang menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi masalah-masalah pengangguran, kemiskinan, kebuta hurufan (kebodohan) diskriminasi rasial dan nasional serta macam-macam bentuk ketimpangan sosial”

.

Merujuk konsep kebijakan dalam pendekatan kepada korban dengan kebijakan sosial, strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan. Penyebab kejahatan yang timbul dibanyak Negara merupakan bentuk ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan diskriminasi nasional, standart hidup yang rendah, pengangguran dan kebuta hurufan (kebodohan) diantara golongan besar penduduk.

128

.

127

Barda Nawawi Arief, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana” Penerbit Kencana Prenada Media Group-2008, hal-46

128

c. Pasal 52 ayat (2) jo. 52 ayat (3)

Memberi mandat bagi penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi, kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial pemerintah dan pemerintah daerah wajib membentuk rumah aman perlindungan sosial atau pusat trauma.

Aspek-aspek sosial sebagai wujud membangun faktor pencapaian sasaran strategi pencegahan, kejahatan dan peradilan pidana dalam konteks pembangunan harus diberikan ruang utama129. Salah satu aspek kebijakan yang kiranya patut

mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (sosial hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat maupun kesehatan, kesejahteraan keluarga (termasuk kesehatan anak dan remaja) serta masyarakat luas pada umumnya130

Penggarapan “mental health”, “national mental health”, dan “child welfare” sebagai bagian skema pencegahan dalam teori yang dikemukakan oleh Peter Hoefnagels adalah salah satu jalur “prevention of crime without punisthment” (jalur non penal). Norma hukum yang tergambar dalam konteks pasal ini upaya yang dilakukan antara ilmu alam dan sosial

.

131

Ilmu Hukum disini menjadi bagian ilmu yang mempelajari peraturan- peraturan yang nota bene merupakan legislated law atau written law, yang bekerja dengan mengumpulkan peraturan-peraturan yang ada, memilah-milahnya, menggolongkan dengan metode tertentu yang selanjutnya diteruskan kepada

.

129

Abintoro Prakoso, Op.cit, hal-163

130 Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal-50

masyarakat. Bagian inilah the state of the art ilmu hukum sebagai seni,selanjutnya dapat meningkatkan studi kuantitatif menjadi kwalitatif.

5. UU No. 14 Tahun 2009 tentang Ratifikasi Protokol Palermo untuk

Dokumen terkait