• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan Non Penal Dalam Upaya Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Trafiking) (Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara)"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEBIJAKAN NON PENAL DALAM REGULASI SECARA NASIONAL DAN LOKAL KUSUSNYA SUMATERA UTARA TERKAIT PENCEGAHAN DAN

PERLINDUNGAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG (TRAFIKING)

D. Kebijakan Kriminal Dalam Pencegahan dan Perlindungan Korban Perdagangan Orang

1. Kebijakan Penal

Istilah “kebijakan” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris “policy” dan

dalam bahasa belanda “politiek” sedangkan untuk penggunaan istilah “penal”

diartikan sebagai penggunaan hukum pidana. Jika dirangkai dalam penggunaan

bahasa singkat kita, kebijakan hukum pidana bisa disebut juga sebagai “politik

hukum pidana” yang merangkum pokok bahasan politik hukum secara keseluruhan

karena hukum pidana adalah satu bagian dari ilmu hukum.42

Penggunaan hukum pidana menjadi salah satu upaya dalam penanggulangan

kejahatan, dengan memfungsikan sanksi hukumnya berupa pemidanaan.

Penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana termasuk sebagai

proses dalam mengatasi permasalahan sosial dalam bidang kebijakan kriminal

penegakan hukum.

43

42

Mahmud Mulyadi, “Criminal Policy Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy

dalam Penanggulangan Kejahatan dan Kekerasan” (Penerbit Pustaka Bangsa Press-Medan-2008), hal

65 43

(2)

Penanggulangan lewat jalur kebijakan penal, diartikan satu usaha

penanggulangan kejahatan yang menitik beratkan pada sifat “revresif” yakni :

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) setelah kejahatan itu terjadi. Marc Ancel

menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga kompenan

“criminology”, “criminal law”, dan “penal policy”. Lebih lanjut disebutkan beliau

“penal policy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai

tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih

baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang,

tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para

penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.44

Menurut Solly Lubis Politik Hukum adalah kebijaksanaan politik yang

menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya berlaku, mengatur berbagai hal

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.45

a. Usaha mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;

Menurut Sudarto, Politik Hukum adalah :

b. Kebijakan dari Negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan mencapai apa yang dicita-citakan.46

Pengertian diatas menyatakan bahwa pelaksanaan politik hukum pidana

merupakan satu wujud pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana

44

Refrensi dari bukuBarda Nawawi Arief, Op.cit, hal 23 45

M. Solly Lubis, “Seba-serbi Politik & Hukum”, (Penerbit PT. Sofmedia,Jakarta-2011) hal 51 46

(3)

yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam

kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan politik hukum pidana

berarti, usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan

keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.47

Lebih lanjut A. Mulder mengemukakan secara rinci tentang ruang lingkup

politik hukum pidana yang menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis

kebijakan untuk menentukan : a. seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang

berlaku perlu dilakukan perubahan atau diperbaharui; b. apa yang dapat diperbuat

untuk mencegah terjadinya kejahatan; c. cara bagaimana penyidikan, penuntutan,

peradilan dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.48

Defenisi Mulder diatas terinspirasi dari pendapat Marc Ancel terhadap “sistem

hukum pidana” yang menurutnya “bahwa tiap masyarakat yang terorganisir memiliki

sistem hukum pidana yang terdiri dari : a. peraturan-peraturan hukum pidana dan

sanksinya, b. suatu prosedur hukum pidana, dan c. mekanisme pelaksanaan pidana.49

Upaya penanggulangan kejahatan mempergunakan hukum pidana pada

hakikatnya merupakan suatu usaha penegakan hukum. Artinya secara politik atau

kebijakan hukum pidana, itu merupakan satu bagian kebijakan dalam penegakan

hukum (law inforcement policy), sedangkan proses perumusan atau pembuatan

hukumnya (undang-undang) pidana menjadi bagian terintegral dari usaha melindungi

masyarakat (social welfare) yang disebut sebagai bagian kebijakan atau politik sosial

47

Refrensi Barda Nawawi Arief, Op.cit 48

RefrensiMahmud Mulyadi, Opc.cit, hal 67 49

(4)

(social policy), yang dapat diartikan bahwa kebijakan sosial itu segala usaha yang

rasional dalam pencapaian kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup

perlindungan masyarakat.50

Sebagaimana halnya ungkapan dari keraguan yang dikutip secara tidak

langsung dari Mahmud Mulyadi yakni “mungkinkah pemidanaan dapat dijadikan

sebagai instrument dalam pencegahan kejahatan terhadap anggapan pemidanaan

bukan mengurangi terjadinya kejahatan tetapi justru menambah dan membuat

kejahatan semakin marak”

Permasalahan sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab I dalam latar belakang,

peningkatan kasus yang terjadi setiap tahun dari 49 korban yang telah melakukan

pengaduan, pelaku yang dilaporkan bagai kebal hukum. Menunjukan lemahnya

sistem penegakan hukum (law enforcement) dari pencapaian azas tanggung jawab

Negara dalam melindungi korban. Kemauan (will) dari aparatur penegak hukum

cendrung diragukan pada akhirnya dipertanyakan keseriusannya dalam berupaya

melindungi korban perdagangan orang sekaligus menanggulangi kejahatan.

51

Pertanyaan diatas tidak perlu muncul, bila ada sinkronisasi antara pencapaian

tujuan hukum

. Keraguan itu muncul karena gagalnya lembaga

permasyarakatan dalam mengintegrasikan narapidana kepada kehidupan sosial yang

lebih baik.

52

dan fungsi hukum53

50

Barda Nawawi Arief, Ibid, hal 28 51

Mahmud Mulyadi, Op.cit, hal 67 52

Pendapat Gustav Radbruch dalam buku Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian

Filosofis dan Sosiologis”, (PT. Toko Gunung Agung Tbk-2002), hal 83

(5)

sarjana diatas lalu dihubungkan dengan teori pencegahan yang dikemukakan oleh

Peter Hoefnagels upaya kebijakan kriminal yang bertujuan sebagai “kebijakan yang

dapat merubah prilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.

Aplikasi pelaksanaan undang-undang (Crim law application-practical

criminology) berfungsi dan terlaksana tentulah pertanyaan-pertanyaan dan

keragu-raguan terhadap fungsi penggunaan pidana terhadap permasalahan penghapusan

tindak pidana perdagangan orang ini tidak perlu muncul.

Sebagaimana ungkapan sarjana yang dipahami penulis dari Inkeri Antilla

atas permasalahan kejahatan yang dihadapi dengan fungsi pidana telah berlangsung

beratus-ratus tahun lalu, secara gambling Herbert L Packer juga mengemukakan

dimana “usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada

seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana”, merupakan “suatu problem

sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting”54

Ketidakmutlakan bidang kebijakan dikarenakan hakikat masalah kebijakan,

orang dihadapkan pada penilaian dan pemilihan dengan berbagai alternatif. Dengan

demikian masalah pengendalian atau pencegahan kejahatan menggunakan hukum

pidana bukan hanya merupakan problem sosial tetapi seperti yang diungkapkan

Packer bisa jadi merupakan masalah dari kebijakan itu sendiri (the problem of

policy)

.

55

53

Lihat buku Achmad Ali, Op.cit, hal 88 54

Analisa penulis dariTeguh Prasetyo, Op.cit, hal 20 55

(6)

Kaitannya dalam penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang, selain

hasil akhir dari penggunaan hukum pidana dengan penerapan sanksi yang tidak

maksimal, kemauan dan keinginan dari penegak hukum dalam menjalankan wibawa

hukum (law enforcement) tidak berjalan. Demikian halnya proses perlindungan dalam

pengajuan ganti rugi, sebagaimana contoh kasus yang penulis tangani secara bersama

dengan beberapa organisasi kemasyarakatan yakni : Putusan Pengadilan Negeri

Medan No. 1554/Pid.B/2012/PN.Mdn tentang Putusan Restitusi dan Sanksi Pidana

terhadap pelaku, keberpihakan hukum hanya diatas kertas semata namun putusan

restitusi itu tidak mampu dieksekusi atau dianmaning.

Menjawab permasalahan diatas seyogianya kita kembali kepada semangat dan

tujuan dari satu kebijakan atau aturan hukum yang dibuat guna memberikan

kemanfatan, keadilan dan kepastian bagi semua pihak. Seandainya aturan kebijakan

itu tidak termanfaatkan, sepantasnya patut dipertanyakan, untuk apa disahkan dan

dilegalkan kalau hanya sebagai proses pencitraan Negara pada Internasional.

Sepatutnyalah guna memperkecil dan menurunkan jumlah korban, maka kebijakan

non penal baik sebelum terjadi kasus dan setelah terjadinya kasus perlu diwujudkan

sebagai pencegahan sedini mungkin terhadap penanggulangan kejahatan tersebut.

2. Kebijakan Non Penal

Penerapan kebijakan non penal lebih menitiktekankan terhadap tindakan

pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Sasaran utamanya bagaimana kebijakan itu

(7)

perdagangan orang dengan upaya “preventif” agar semua pihak bisa bergerak dan

bersinergi terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang secara langsung atau

tidak langsung dapat menumbuh suburkan upaya percaloan dalam perekrutan tenaga

kerja untuk ekploitasi atau perbudakan.

Kerangka teori yang dirangkum dari pendapat Peter Hofnagels dalam

kebijakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan sebagaimana halnya

dikemukakan oleh Barda Nawawi yakni 56

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application); :

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisthment);

c. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemindanaan lewat media massa (influencing views of society on crime

and punishment mass media).

Mengacu kepada sistematika kebijakan kriminal yang telah ada usaha-usaha

kebijakan non penal dalam pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang

(trafiking) menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief dapat berupa :

Penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, pengingkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontiniu oleh polisi dan aparat kemanan lainnya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas di seluruh sector kebijakan sosial57

56

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal 56 57

RefrensiAbintoro Prakoso, “Kriminologi Hukum & Hukum Pidana”, (Penerbit Laksbang Grafika-Yogyakarta), 2013, hal 159.

(8)

Pencegahan kejahatan (upaya non penal) memfokuskan diri pada campur

tangan sosial, ekonomi dan pelbagai area kebijakan publik dengan maksud mencegah

terjadinya kejahatan. Bentuk lain dari keterlibatan masyarakat, nampak dari upaya

pencegahan situasional dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam penggunaan

sarana kontrol sosial informal. Peningkatan pencegahan kejahatannya berorientasi

pada pelaku atau offender-centred crime prevention dan berorientasi pada korban atau

victim-centred crime prevention58

“Criminal policy must combine the varior preventive activities and adjust them so as

to from a single comprehensive machine and finally coordinate the whole into an

arganized system of activity” .

Tujuan utama dari usaha-usaha non penal bagaimana mampu memperbaiki

kondisi-kondisi sosial tertentu, secara langsung mempunyai pengaruh preventif

terhadap kejahatan. Upaya keseluruhan kegiatan preventif non penal itu memiliki

kedudukan strategis dalam memegang posisi kunci yang seyogianya terus

diintensifkan dan diefektifkan.

Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat

fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan. Oleh karena itu suatu kebijakan kriminal

harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif

non penal ke dalam satu sistem kegiatan Negara yang teratur dan terpadu.

Sebagaimana diungkapkan Radzinovics menyatakan :

59

58

Ibid, hal 160

59

Ibid, hal 161

(9)

(Kebijakan criminal harus menggabungkan variasi kegiatan pencegahan dan

menyesuaikannya sehingga ada satu kesatuan yang komprehensif dan akhirnya dapat

terkordinasikan dalam satu kesatuan sistem yang sama “diterjemahkan langsung

penulis”).

Penulis merangkum beberapa kebijakan yang telah dilahirkan guna

memahami sistematika kebijakan antara keterkaitan peristiwa dengan pihak atau

subjek pemangku tanggung jawab yang mampu mendorong masyarakat untuk

bersikap dan bertindak dengan menghubungkan fungsi hukum sebagai asas rule of

law dalam kaitan efektifitas hukum itu60

60

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat”, (PT. Raja Grafindo-Jakarta), 2013, hal. 70

. Dari kajian tersebut penulis mencoba

merangkai beberapa kebijakan hukum sebagai objek yang diteliti dalam tulisan ini,

(10)

Sebelum Terjadinya

Rangkuman Kebijakan Pencegahan Dan Perlindungan Korban Tindak Perdagangan Orang dalam Pola Pendekatan Non Penal di Sumatera Utara*)

Azas Equality Before

*) Rangkuman dari beberapa Kebijakan Hukum (sesuai dengan singkronisasi hukum)

**) UU No. 21 Tahun 2007 sebagai Payung Hukum ***) Pemilik kewajiban sebagai pemangku tanggung jawab ↑) Lembaga koordinatif atau rujukan

Kebijakan mengikat dalam pencegahan dan perlindungan korban perdagangan orang

Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan

(11)

E. Regulasi Nasional Pencegahan dan Perlindungan Korban Perdagangan Orang (Trafiking)

Permasalahan hangat isu perdagangan orang sudah cukup lama berlangsung,

hal itu dikarenakan kasus kejahatannya cukup terorganisir, sistimatis melibatkan

sindikat (banyak pihak). Guna pencegahan dan penanggulangan korban yang setiap

tahun jumlahnya mengalami peningkatan berbagai regulasi kebijakan secara nasional

dan lokal telah disahkan. Baik secara umum dan khusus dalam wujud komitmen

Negara dalam mengatur tugas dan tanggung jawab dalam mendorong para pihak

untuk berpartisipasi melakukan pencegahan dan perlindungan korban tindak pidana

perdagangan orang.

Permasalahan isu dalam tulisan ini, komitmen negara sudah cukup jelas dalam

menyikapi perlawanan terhadap perdagangan orang. Diawali dengan lahirnya RAN

(Rencana Aksi Nasional) Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan

Anak dan Pembentukan Gugus Tugas Nasional melalui Keppres No. 88 Tahun 2002.

Selanjutnya berbagai kebijakan hukum yang bertujuan dalam menyelamatkan

perempuan dan anak dari berbagai bentuk penindasan dan perbudakan perlahan-lahan

disahkan dan diratifikasi sebagai kebijakan nasional61

Sebelumnya kebijakan koordinasi penanganan korban secara khusus terhadap

korban kekerasan diatur melalui Kesepakatan Bersama antara Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial dan Kapolri tentang .

61 Kepres No. 88 Tahun 2002 tentang RAN Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan

(12)

pelayanan terpadu korban kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk korban

kekerasan-trafiking62

Konsep kebijakan kriminal dalam wujud pencegahan dan perlindungan, jika

dirujuk dari pemikiran Saparinah Sadli sebagaimana dikemukakan oleh Muladi dan

Barda Nawawi merumuskan kejahatan atau tindak kriminal merupakan salah satu

bentuk dari “prilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk

masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan. Sehingga prilaku yang

menyimpang itu menjadi ancaman yang nyata dan ancaman terhadap norma-norma

sosial yang mendasarkan pada kehidupan dan keteraturan sosial, yang menimbulkan

ketegangan individual maupun ketegangan sosial”

. Lalu dilanjutkan pengesahan Undang-undang tentang trafiking

sebagai payung hukum acuan dalam pembahasan tulisan ini.

63

Ancaman lainnya, secara langsung berpotensi merusak tatanan sosial dan

ketertiban sosial, dengan demikian kejahatan itu menjadi satu permasalahan

kemanusian atau seperti dikatakan oleh Benedict S. Alper merupakan “The oldest

social problem”

.

64

62

Kesepakatan Bersama Menteri Negara PP RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI dan Kapolri, tgl 23 Oktober 2002 (Buku diperbanyak oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan-2006)

63

Kutipan tidak langsung dari Muladi dan Barda Nawawi, “Teori-teori dan Kebijakan Pidana” (Penerbit Alumni Bandung-1998), hal-148

64 Kutipan tidak langsung. Ibid

. Ancaman jika telah terjadi akan meninggalkan dampak yang

signifikan kepada korban. Menurut analisa penulis korban tindak pidana perdagangan

(13)

dalam kajian viktimologi, sebagai ilmu yang mempelajari korban dari berbagai

aspek65

Lebih lanjut Muladi menyebutkan bahwa secara keseluruhan viktimologi

bertujuan untuk : .

66

Perkembangan modus operandi kejahatan perdagangan orang semakin tidak

berperikemanusiaan. Tujuannya kerap untuk eksploitasi seksual, kerja paksa,

perbudakan, pembantu rumah tangga, adopsi illegal, jeratan hutang, pengantin a). Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan korban;

b). berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; c).

mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia dapat

diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari permasalahan tentang korban. Andi

Mattalatta menyimpulkan juga pengertian korban mendasari lahirnya kajian

viktimologi yang pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan.

Perkembangan kajian victimologi awalnya dilihat dari konteks kejahatan yang

dikaitkan dengan pelakunya (victim offender relationship). Pengkajian terhadap

eksistensi korban perlahan dianggap semakin penting. Tujuannya guna meninjau

hubungan korban dengan pelaku dan melihat kepentingan proses peradilan pidana.

Baik berupa penetapan pertanggung jawaban pelaku, juga dalam rangka menentukan

bentuk besaran restitusi dan atau kompensasi yang akan diterima oleh korban.

65

Refrensi Adhi wibowo, “Aspek Perlindungan Hukum, Korban Amuk Massa Sebuah Tinjauan

Viktimologi” (Penerbit Thafa Media-2013), hal-22 66

(14)

pesanan, tetapi berkembang pesat dengan modus perdagangan organ tubuh.67

67

Mahrus Ali dan Bayu Aji Pramono, “Perdagangan Orang, Dimensi, Instrumen Internasional

dan pengantarnya di Indonesia, Perbit PT. Citra Aditya Bandung-2011, hal 24

Tindakan ini jelas illegal dan melanggar hak-hak azasi manusia. Dampaknya seperti

diuraikan di latar belakang permasalahan. Berdampak panjang, hingga mengalami

gangguan fisik dan mental. Rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan tidak

dikehendaki, infeksi HIV/AIDS dan penyakit-penyakit menular seksual lainnya.

Semua kebijakan tertulis telah dirangkai pada Skema 4 sebagai rangkuman

terhadap pencegahan dan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang.

Upaya pencegahan dan perlindungan korban dikaitkan dengan kerangka teori sebagai

pisau analisis dalam konsep hukum dapat mengukur efektifitas dan kemanfaatan di

masyarakat yang dikaitkan dengan nilai-nilai atau norma budaya yang masih tertanam

dimasyarakat.

Nilai-nilai atau norma budaya yang masih tertanam tersebut sebagai potensi

dalam membangun rasa solidaritas untuk mewujudkan antipasi sosial. Lebih

memudahkan aparatur sebagai penanggung jawab bergerak guna mewujudkan

pemenuhan kepentingan dalam mengantisipasi peristiwa hukum dari waktu yang

semakin marak di Sumatera Utara. Paparan kebijakan itu juga akan digambarkan satu

(15)

2. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers

Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “pers adalah lembaga sosial dan wahana

komunikasi massa yang melakukan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari,

memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi, baik

dalam bentuk tulisan, gambar, suara, suara dan gambar, data dan grafik maupun

dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik, dan segala jenis

jalur yang tersedia”68

Tersimpulkan bahwa pers atau media merupakan sebuah lembaga

kemasyarakatan, yang membantu masyarakat dalam berkomunikasi, menyatakan diri,

menyampaikan dan menerima pesan atau gagasan, dalam berdialog dan menyerap

serta memberitahukan apa yang diketahuinya serta wibawa dalam menjaga ketertiban

dan perdamaian dimasyarakat .

69

Bab II pasal 3 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Pers nasional mempunyai fungsi

sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Sedangkan ayat

(2) menyebutkan “Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat

berfungsi sebagai lembaga ekonomi”. .

Secara garis besar dapat ditarik kesimpulan, bahwa secara tidak langsung pers

memiliki peranan penting dalam peningkatan pemahaman dalam pencegahan

68

Lihat Pasal 2 penjelasan tentang Azas keselarasan dan keseimbangan. 69

(16)

kejahatan di masyarakat baik dari segi sosial, budaya maupun ekonomi. Sebagai

mana Pasal 3 ayat (1) sisi peran dan fungsi pers yang disebutkan yakni

masing-masing sebagai 70

a. To inform (memberi informasi)

:

Media informasi merupakan bagian dari fungsi pers dari dimensi idealisme. Informasi

yang disajikan pers merupakan berita-berita yang telah diseleksi dari berbagai berita

yang masuk ke meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh para

reporter di lapangan. Menurut pembinaan idil pers, pers mengemban fungsi positif

dalam mendukung kemajuan masyarakat, mempunyai tanggung jawab

menyebarluaskan informasi tentang kemajuan dan keberhasilan pembangunan kepada

masyarakat pembacanya. Dengan demikian, diharapkan para pembaca pers akan

tergugah dalam kemajuan dan keberhasilan itu.

b. To educate (pendidikan)

Pers atau media massa harus dapat membantu pembinaan swadaya, merangsang

prakarsa sehingga pelaksanaan demokrasi Pancasila, peningkatan kehidupan spiritual

dan kehidupan material benar-benar dapat terwujud. Untuk memberikan informasi

yang mendidik itu, pers harus menyeimbangkan arus informasi, menyampaikan fakta

di lapangan secara objektif dan selektif. Objektif artinya fakta disampaikan apa

adanya tanpa dirubah sedikit pun oleh jurnalis dan selektif maksudnya hanya berita

70

(17)

yang layak dan pantas saja yang disampaikan. Ada hal-hal yang tidak layak diekspose

ke masyarakat luas.

c. To entertaint (Pers sebagai Media Entertainment)

Pasal 3 ayat 1 jelas menyebutkan bahwa fungsi pers adalah sebagai hiburan. Hiburan

yang diberikan pers semestinya tidak keluar dari koridor-koridor yang boleh dan tidak

boleh dilampaui. Hiburan yang sifatnya mendidik atau netral jelas diperbolehkan

tetapi yang melanggar nilai-nilai agama, moralitas, hak asasi seseorang, atau

peraturan tidak diperbolehkan. Hiburan yang diberikan pers kepada masyarakat yang

dapat mendatangkan dampak negatif, terutama apabila hiburan itu mengandung

unsur-unsur terlarang seperti pornografi dan sebagainya seharusnya dihindari.

d. Sosial control (kontrol sosial)

Maksudnya pers sebagai alat kontrol sosial dapat memaparkan peristiwa yang buruk,

keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa itu

tidak terulang lagi dan kesadaran berbuat baik serta mentaati peraturan semakin tinggi

dan tidak melakukan kejahatan atau peristiwa itu. Makanya, pers dikenal sebagai alat

kontrol sosial dalam bentuk “penyampai berita buruk”71

e. Pers sebagai lembaga ekonomi

.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa sebagian besar surat kabar dan majalah di

Indonesia memperlakukan pembacanya sebagai pangsa pasar dan menjadikan berita

sebagai komoditas untuk menarik pangsa pasar itu. Perlakuan ini menjadikan

71

(18)

keuntungan materi sebagai tujuan akhir pers. Konsekuensinya, pers senantiasa

berusaha menyajikan berita yang disenangi pembaca.

Lima fungsi penting media atau pers diatas, secara tidak langsung dapat

mempengaruhi perubahan sikap dan prilaku dimasyarakat, dan bahkan juga mampu

melakukan perubahan kebijakan publik yang berlaku di masyarakat. Baik dari sisi

perubahan sikap dan prilaku aparatur sebagai pemangku kebijakan, content atau isi

aturan hukum dan bahkan budaya atau karakter di masyarakat.

2. UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Keterangan saksi merupakan satu alat bukti dalam upaya penegakan hukum72

Kebijakan perlindungan saksi dan korban adalah untuk mewujudkan

pemulihan hak-hak korban. Sebelumnya penegakan hukum untuk kepentingan korban

belumlah terakomodir. Sekalipun asas kesamaan dimata hukum (equality before the .

Adakalanya keberadaan saksi korban yang mengalami tindak kejahatan perdagangan

orang, cukup sulit diajak berkomunikasi karena rasa trauma dan malu akan dampak

buruk yang dialaminya. Tidak jarang, korban cendrung bungkam dan bahkan tidak

bersedia melakukan perlawanan. Pada akhirnya tugas dan tanggung jawab penyidik

sebagai penegak hukum cendrung tidak maksimal dikarenakan permasalahan saksi

yang cukup sulit diajak berkomunikasi.

72

(19)

law) yakni Saksi Korban dengan pelaku pada proses peradilan pidana memiliki hak

yang sama dimata hukum73

Pemenuhan itu dilakukan lewat penuntutan hak-haknya di depan hukum.

Pemenuhan itu diwakili oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebagai

institusi langsung penanggung jawab mendampingi korban di persidangan.

Prosedurnya korban telah benar-benar dipastikan mengajukan pelaporan ke pihak

yang berwajib, sehingga laporan tersebut menjadi dasar acuan pengajuan hak-hak

sebagai korban

.

74

. Kebijakan ini dibuat karena Negara dianggap telah gagal

memberikan perlindungan yang baik kepada warga negaranya dalam hal ini korban.75

a. Pasal 2

Beberapa titik tekan Perlindungan korban dari Kebijakan UU ini sebagai

acuan pemenuhan hak korban yaitu :

Undang-undang ini memberikan perlindungan pada saksi dan korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.

Setiap Pelapor atau korban kejahatan diberi perlindungan hukum dan keamanan

yang memadai atas laporannya, agar ia tidak terancam atau terintimidasi baik hak

maupun jiwanya. Jaminan perlindungan hukum dan keamanan itu, diharapkan

mampu menciptakan keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa

73 Lihat Konsideran Menimbang poin b dan Penjelasan UU No. 13 Tahun 2006 tentang

perlindungan saksi dan korban 74

Temuan penulis langsung kasus pemenuhan hak-hak korban penyekapan dan perbudakan asal NTT kasus Sarang Walet (saat ini masih berlangsung)

75

(20)

takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak

hukum karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.

Konsideran aturan kebijakan ini, berupaya memotivasi masyarakat untuk peduli

terhadap derita yang dialami para korban. Kaitan dengan upaya perlindungan dan

pencegahan perdagangan orang, masyarakat adalah sebagai ujung tombak dalam

mengantisipasi proses kejahatan itu tidak terjadi76. Sehingga kemauan dan

partisipasinya sangat membantu dalam memperkecil angka kejahatan menurun77

b. Pasal 3

.

Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada: a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman;

c. keadilan;

d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum.

Wujud perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana perdagangan orang

tetap mengacu kepada ketentuan UU No. 13 Tahun 200678

76

Lihat Konsideran Penjelasan alinea ke-2 “Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum”.

77

Pasal 60 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 “Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan dan penangan korban tindak pidana perdagangan orang”

78

Pasal 43 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang”

. Perdagangan orang

merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan patut dikategorikan sebagai

tindakan yang bertentangan atas penghargaan harkat dan martabat manusia, secara

tegas disebutkan wujud komitmen negara dalam melakukan pencegahan dan

(21)

internasional guna melakukan upaya pencegahan sedini mungkin penindakan

terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerjasama79

Jaminan rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif dan kepastian hukum atas

dampak dari kejahatan sebagai wujud komitmen negara menjamin persamaan atas

kesamaan didepan hukum (equality before the law). Guna memberikan kepastian

hukum bagi korban pencari keadilan dalam tindak pidana perdagangan orang .

80

c. Pasal 4

.

Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.

Perlindungan saksi dan korban disini jika dirujuk kepada Pasal 43 UU No. 21

Tahun 2007 yakni : “Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam

perkara tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan

lain dalam Undang-Undang ini”, cukup singkron dan saling berkaitan satu dengan

yang lain.

d. Pasal 5 ayat (1)

Seorang saksi dan korban berhak :

a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

79

Konsideran UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang point d.

80

(22)

c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah;

e. bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. mendapat identitas baru;

j. mendapatkan tempat kediaman baru;

k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum; dan/atau

m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir

Merujuk ketentuan Pasal 46 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, demi keamanan korban harus

ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapa pun untuk menjamin

agar Saksi dan Korban aman81

Hak memperoleh informasi bagi setiap perkembangan kasus yang dilaporkan,

korban juga berhak menerimanya sejauh mana perkembangan kasus yang

menimpanya

. Penempatan korban tersebut guna perlindungan

korban sementara ditempatkan di rumah aman “Pusat Pelayanan Terpadu” atau

P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) di tingkat

lokal.

82

81

Penjelasan Pasal 5 ayat 1 point a UU Perlindungan saksi dan korban 82

Penjelasan Pasal 5 ayat 1 point f UU Perlindungan saksi dan korban

. Ketentuan ini cukup bersinergi dengan aturan kebijakan Pasal 36

ayat (1) & (2) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana

(23)

1. Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan didepan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya83

2. Informasi tentang perkembangan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan

.

84

.

e. Pasal 6

Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan :

a. bantuan medis; dan

b.bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dasar acuan kejahatan terhadap tindak pidana perdagangan orang merupakan

satu tindak kejahatan atas pelanggaran hak azasi manusia, serta merta dalam

ketentuan kebijakan, korban tindak pidana perdagangan orang merupakan korban

pelanggaran hak azasi manusia85. Sebagaimana dikemukakan oleh Benjamin

Mendelsohn keterkaitan pemenuhan perlindungan korban dikarenakan terjadinya

kejahatan dapat dibedakan dalam 6 (enam) kategori yakni :86

a. Korban sama sekali tidak bersalah,

b. Seseorang menjadi korban karena kelalaiannya sendiri, c. Korban sama salahnya dengan pelaku,

d. Korban lebih bersalah dari pada pelaku, e. Korban adalah satu-satunya yang bersalah, f. Korban pura-pura dan korban berimajinasi.

83

Penjelasan Pasal 36 ayat 1 yaitu “Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan informasi tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang”.

84

Penjelasan Pasal 36 ayat 1 yaitu :” Yang dimaksud dengan “informasi tentang

perkembangan kasus setiap tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan tuntutan, serta putusan pengadilan”.

85

Landasan sosiologis dalam konsideran menibang UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, point b dan c

86

(24)

Terhadap korban tindak pidana perdagangan orang, telah masuk dalam kategori

pelanggaran hak azasi manusia maka penggolongannya dimasukan dalam kategori

point a yakni para korban perdagangan orang merupakan korban sama sekali tidak

bersalah namun mereka cendrung dirugikan dalam peristiwa pidana yang terjadi.

f. Pasal 7 ayat (1)

Korban yang diwakili oleh LPSK berhak mengajukan ke Pengadilan berupa :

a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, b.hak restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku

tindak pidana.

Tujuan diundangkannya UU No. 21 tahun 2007 tentang tindak pidana

perdagangan orang salah satunya adalah bagaimana upaya melakukan perlindungan

maksimal korban terhadap tuntutan ganti rugi yang telah dialaminya akibat kejadian

tindak pidana perdagangan orang itu87. Sebagaimana pengajuan kerugian yang

diderita korban itu berupa : “kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan,

biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau kerugian lain

yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang”.88

Barda Nawawi Arief yang mengemukakan upaya ganti rugi terhadap korban,

penulis memahaminya dimana sistem pidana dan pertanggung jawaban pidana

87

Lihat Konsideran penjelasan UU No. 21 tahun 2007 alinea 7 “Undang-Undang ini mengatur

perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu, Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang”.

88

(25)

hendaknya diorientasikan pada korban, maka kebijakan untuk mengenakan pidana

ganti rugi untuk deli-delik tertentu seyogianya juga ditarik atau diangkat menjadi

kebijakan umum untuk semua delik. Dengan kata lain, konsep restitusi dan

kompensasi ditetapkan sebagai sanksi (kebijakan) pidana tertentu89

Pemberian restitusi dan kompensasi sebagaimana Stephen Schafer yang

dikutip oleh Adhi Wibowo

.

90

a. Ganti rugi (damage) yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi oleh korban dari proses pidana,

menguraikan 5 (lima) sistem pemberian restitusi dan

kompensasi kepada korban kejahatan, yaitu :

b. Kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana, c. Restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan

melalui proses pidana,

d. Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan disokong oleh sumber-sumber penghasilan Negara,

e. Kompensasi yang bersifat netral, diberikan melalui prosedur khusus.

g. Pasal 8

Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Poin kebijakan ini hadir guna memberikan keseimbangan terhadap acuan

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Menitik beratkan terhadap perlindungan

pelaku atau tersangka. Sebelum lahirnya UU Perlindungan saksi dan korban, negara

masih lebih mengutamakan perlindungan terhadap pelaku kejahatan khususnya tindak

pidana perdagangan orang. Pada hal dampak dan akibat dari kejahatannya telah

89

Refrensi dariAdhi Wibowo, Opc.cit, hal-40 90

(26)

merupakan ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap

norma-norma kehidupan yang ada dalam masyarakat selama ini.

Asas persamaan hak didepan hukum (equality before the law) dari dua aturan

kebijakan yaitu KUHAP dan UU Perlindungan Saksi dan Korban memiliki

kedudukan yang sama. Dalam tataran konsep hukum, sama-sama mengakui

persamaan hak bagi siapapun dimuka hukum. Guna memberikan keselarasan dan

keseimbangan atas jaminan terhadap kedudukan korban kebijakan ini bersifat khusus

(lex specialis) terhadap peristiwa kejahatan perdagangan orang dalam mewujudkan

persamaan hak yang sama dimata hukum91

3. UU No. 2 Tahun 2007 Tentang Kepolisian .

Hakekat tugas dan fungsi Kepolisian bukan hanya semata-mata dalam ruang

penegakan hukum. Tetapi bagaimana institusi itu mampu menjaga dan memelihara

ketertiban umum demi kenyamanan dan keamanan di masyarakat. Terjaminnya

keamanan dan kenyamanan di masyarakat nota bene dapat dibuktikan meningkatnya

pengetahuan, pemahaman dan penguatan masyarakat akan satu dampak tindak

kenakalan atau kejahatan khususnya dalam hal ini pencegahan dan perlindungan

korban tindak pidana perdagangan orang (trafiking).

91

Konsideran penjelasan aliena ke-4 UU No. 13 Tahun 2006 “Perlindungan Saksi dan Korban

(27)

Tanggung jawab yang telah diamanahkan dalam regulasi pokok Kepolisian

ini, jelas menitik tekankan selain penegakan hukum upaya pencegahan sedini

mungkin dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam menurunkan angka

kriminalitas merupakan bagian yang tidak terpisahkan sebagai tanggung jawab

institusi Kepolisian92

a. Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 13 .

Ketentuan pokok kebijakan tertulis dari UU No. 2 Tahun 2007 tentang

Kepolisian dalam penerapan kebijakan non penal, tertuang dari beberapa point aturan

yakni :

Menyebutkan “Fungsi Kepolisian adalah “salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

Peran dan tanggung jawab yang diemban Kepolisian, bagaimana mampu

mendorong dan peningkatan pemahaman masyarakat untuk turut serta dan

berpasrtisipasi dalam pemeliharaan keamanan serta perlindungan dan pelayanan

kepada masyarakat. Penegakan hukum terkesan sebagai pelengkap dalam pencegahan

untuk menurunkan angka kriminalitas.

92

(28)

Kepolisian sebagai bagian dari sub sistem peradilan pidana dalam

menanggulangi kejahatan berada dalam batas-batas toleransi masyarakat, berfungsi

dan bertujuan93

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; :

b. Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi puas bahwa keadilan telah ditegakan dan pelaku kejahatan telah dipidana; dan c. Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan itu tidak

mengulangi perbuatannya lagi.

Rangkaian permasalahan yang dirangkum dalam latar belakang tulisan ini,

menggambarkan ketidak puasan terhadap sikap dan tanggung jawab kepolisian yang

tidak mampu melindungi korban perdagangan orang. Demikian juga atas tanggung

jawab untuk mendorong partisipasi masyarakat untuk tidak mengulangi

perbuatannya.

Konteks pencegahan dari teori kebijakan pencegahan dan penanggulangan

harus menunjang tujuan (goal), kesejahteraan masyarakat (sosial welfare) dan

perlindungan masyarakat (sosial defence). Aspek sosial welfare dan sosial defence

sangat mengutamakan aspek kesejahteraan dan perlindungan masyarakat yang

bersifat imateril, terutama pada tatanan nilai kepercayaan, kebenaran, kejujuran dan

keadilan94.

93

Refrensi Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, “Politik Hukum Pidana, Kajian

KebijakanKriminalisasi dan Dekriminalisasi”. (Penerbit Pustaka Pelajar-2005), hal 116

94

Barda Nawawi Arief, “Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

(29)

b. Pasal 14 ayat (1)

Sebagai tolok ukur dalam mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam kesadaran hukum95

c. Pasal 15 dalam point b .

Peran dan tanggung jawab kepolisian pada tataran kebijakan ini memberi

perintah agar melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Perintah sebagaimana

dimaksud adalah untuk meningkatkan partisipasi terhadap kesadaran hukum serta

ketaatan hukum dalam pembinaan hukum nasional dengan memelihara dan menjamin

ketertiban dan keamanan umum.

Upaya melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan

lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan

bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Melayani

kepentingan warga masyarakat sementara sebelum ditangani oleh intansi dan/atau

pihak yang berwenang merupakan bagian fungsi penting dalam fungsi dan tanggung

jawab Kepolisian.

Merumuskan mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit

masyarakat.

Beban ganda kepolisian jelas diatur dalam aturan kebijakan ini dimana dalam

melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan, seyogianya kepolisian

mampu memainkan pendekatan terintegral. Seimbang antara pendekatan penal dan

non penal. Pada sisi politik criminal, kebijakan yang paling strategis dapat dilakukan

95

(30)

melalui sarana penal karena bersifat prventif. yang memaksimalkan keterpadauan

antara penyembuhan/pengobatan simptomatik dan penyembuhan/pengobatan

kausatif96

d. Landasan sosiologis dalam penjelasan kebijakan Kepolisian alinea 4 dan alinea 7

.

Secara jelas menyebutkan filosofi dari lahirnya kebijakan UU No. 2 Tahun 2007 tentang Kepolisian bagaimana mampu mendorong tingkat partisipasi masyarakat97

e. Alinea 8 menitik beratkan upaya dan tanggung jawab kepolisian bagaimana

mengutamakan tindakan preventif sebagai asas yang hendak dicapai dalam

kebijakan ini .

Sebagaimana harapan dan cita-cita UU No 21 Tahun 2007 tentang Tindak

Pidana Perdagangan orang, berharap adanya kemaksimalan pencegahan sedini

mungkin dalam sinergitas peningkatan kordinasi semua lini dan peran serta

masyarakat dalam pencegahan sedini mungkin.

98

96

Barda Nawawi Arief, Op.cit, hal-78 dan 83 97

Lihat penjelasan konsideran UU No. 2 Tahun 2007 yakni : “perkembangan kemajuan

masyarakat yang cukup pesat seiring dengan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigm baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya dan Alinea 7

menyebutkan : sesuai dengan UU D 1945 perubahan kedua, ketetapan MPRRI No. IV/MPR/2000 dan

Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakan hukum, serta melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidaritas dan asas partisipasi.

.

98

Lihat Penjelasan konsideran alinea 8 “namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan

(31)

Kandungan kebijakan ini sebagai wujud layanan psikologis manusia, secara

jasmaniah merupakan organisme yang serasi, secara rohani manusia itu dihayatkan

pada tiga asas yakni “asas kenikmatan, asas realitas dan asas keserasian”. Dimana

asas-asas tersebut menghasilkan beberapa hasrat yaitu99

a. Asas kenikmatan yang menghasilkan hasrat untuk hidup bebas. :

b. Asas realitas yang menghasilkan hasrat untuk hidup tertib.

c. Asas keserasian yang menghasilkan hasrat untuk hidup serasi.

Singkronisasi kebijakan antara UU Kepolisian dan UU Tindak Pidana

Perdagangan Orang mengacu kepada cita-cita pencapaian dalam asas rule of law.

Kepolisian merupakan bagian terpenting sebagai penanggung jawab. Bertugas

melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan, demikian juga jika kita

hubungkan dengan konteks asas realitas siapapun pasti akan memiliki hasrat untuk

hidup tertib dan serasi.

f. Alinea 10 konsideran dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian sangat menjunjung tinggi penghormatan dalam perlindungan dan pemajuan hak azasi manusia100

Terhadap tiga kebijakan diatas UU Perlindungan saksi dan korban, UU

Kepolisian dan UU Tindak Pidana Perdagangan orang, diundangkan dan disahkan .

Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri”

99

Soerjono Soekanto, “Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat” , PT. Raja Grafindo Pesada- 2013, hal-63

100

(32)

semata-mata untuk mengupayakan perlindungan terhadap Hak Azasi Manusia. Secara

jelas pengaturan atas penghormatan dan pengakuan terhadap hak azasi setiap orang

benar-benar menjamin perlindungan bagi setiap orang dalam hal ini penulis

mengasumsikan juga ditujukan kepada korban perdagangan orang.

Korban tindak pidana perdagangan orang (trafiking) adakalanya merasa

dirugikan, dipihak lain pelaku merasa diuntungkan. Sebagaimana dikemukakan oleh

mantan salah satu Jendral Besar Kepolisian (Momo Kelana) yakni : banyak

pandangan dan anggapan wibawa Polisi sering melahirkan citra yang negatif. Hampir

disetiap institusi bersikap anti pati terhadap Polri, namun terkadang yang antipati

itulah cendrung membutuhkan bantuan Polisi, hingga kesannya posisi Polisi ibarat

“benci tapi rindu” atau “acuh tapi butuh.101

Institusional Kepolisian memiliki peran yang sangat penting keikutsertaannya

dalam penegakan disiplin masyarakat tidak dapat diabaikan guna melindungi dan

berupaya melakukan pencegahan terhadap kejahatan khususnya dalam pengurangan

angka korban perdagangan orang (trafiking)102

101

Kunarto, “Merenungi Kritik Terhadap Polri”, 1995. PT. Cipta Mandiri Manunggal-Jakarta. 1995, hal-3

102

Pasal 47 UU No. 21 Tahun 2007 “Untuk melindungi saksi dan/atau korban beserta

keluarganya mendapatkan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara”.

. Polisilah sebagai institusi terdepan

(33)

keinginan saling menjaga, memotivasi berbuat kebaikan dan tidak berbuat yang

dilarang oleh aturan norma kebijakan hukum yang ada103

Wewenang dan tanggung jawab kepolisian secara harfiah diartikan sebagai

hak dan kekuasaan yang terletak dibidang publik guna bertindak secara hukum.

Seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Raharjo ”perpolisian adalah fungsi dari

masyarakat dan perkembangannya masyarakat. Artinya Polisi bersifat progresif yang

setiap saat dapat melakukan penyesuaian (adjusment) terhadap perubahan dan

perkembangan masyarakat yang dilayani.

.

104

Sebagai mana dalam menunjang

wewenang dan tanggung jawabnya Kepolisian menganut dan mengenal beberapa asas

dalam pelaksanaan tugasnya yakni:105

a. Asas Legalitas, sebagai asas yang paling mendasar dalam negara hukum terutama negara hukum formal yang menyatakan bahwa tindakan kepolisian harus didasarkan kepada undang-undang. Hal ini jika dipahami dalam upaya antisipasi dampak perubahan dan perkembangan masyarakat dalam mengantisipasi sedini mungkin tanggung jawab pengayoman dan pelayanan masyarakat dalam antisipasi pencarian akar masalah penyakit kejahatan yang berkembang di masyarakat sendiri.

b. Asas Kewajiban, pemberian wewenang dalam melakukan tindakan-tindakan yang dimaksudkan dalam Undang-undang dengan beberapa pembatasan, namun diberikan wewenang untuk bertindak menurut penilaian sendiri atau penilaian bebas (freies ermessen), yang dikenal dengan istilah ”diskresi”.

c. Asas Partisipasi, merupakan satu asas yang mempersyaratkan peran serta masyarakat dalam mendukung tugas kepolisian. Hal ini juga guna memudahkan pengembangan metode dan startegi dalam membina potensi di masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat dalam memecahkan masalah yang dihadapinya

103

Lihat Pasal 61 dan Konsideran penjelasan alinea 8 (Polisi juga merupakan bagian dari Pemerintah) UU No. 21 Tahun 2007

104

Momo Kelana, “Konsep-konsep Hukum Kepolisian Indonesia” PTIK-Press-2007, hal 145 105

(34)

bersama dengan kepolisian (probelem orited policing atau commonitity

policing).106

d. Asas Preventif (pencegahan) digunakan sebagai metode dalam menyelediki penyebab terjadinya kejahatan, hal ini guna mengefisienkan peran dan keberadaan dari kepolisian, sebagaimana dilansir oleh London Raya dalam ”the Metropolitan Police” mengungkapkan : ”Tujuan dari kepolisian yang efisien ialah pencegahan adanya kejahatan, kemudian menyelidiki dan penghukuman pelanggar apabila terjadinya kejahatan. Adapun/perlindungan atas jiwa dan harta benda, pemeliharaan ketentraman umum dan tidak adanya kejahatan ini hanyalah merupakan bukti, apakah tujuan-tujuan pembentukan Kepolisian telah dicapai”107 e. Asas Subsidiritas, sebagai asas peran ganda polisi dalam mengambil alih fungsi

dan tanggung jawab bila diperlukan saat tidak adanya institusi lain yang bertugas melakukan tanggung jawabnya.

4. UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Pemberantasan

Perdagangan Orang (Trafiking)

Rangkaian pola kerja UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Pemberantasan Perdagangan Orang (Trafiking) sebelumnya telah dijelaskan dalam

skema alur Pencegahan dan Perlindungan korban perdagangan orang yakni

penanganan secara penal dan non penal108

106

Lihat Konsideran UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian huruf b “bahwa pemeliharaan

keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

107

Momo Kelana, Op cit, hal 155 108

Bab I, tentang Latar belakang Permasalahan, hal-14

. Pada konsepsi penulisan yang hendak

dipaparkan dalam penelitian ini, pendekatan pencegahan akan dibatasi “pada upaya

yang bersifat penanggulangan, dimana penangananya berpusat pada masalah-masalah

atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat

(35)

Pendekatan perlindungan adalah “segala upaya pemenuhan hak dan

pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi atau korban yang

wajib dilaksanakan sesuai prosedur standart penanganan tindak pidana perdagangan

orang”. Masing-masing pendekatan dipaparkan secara detail sesuai rujukan kebijakan

yaitu :

4.1. Pendekatan Non Penal sebelum terjadinya kasus yang terdiri dari :

Arah kebijakan UU No. 21 Tahun 2007 adalah wujud tanggung jawab negara

dalam penanganan dan penegakan hukum terhadap dampak konsekuensi politis

penandatanganan “Protokol Palermo tahun 2000”. Untuk menunjukan komitmen

terhadap pendekatan penanganan, terangkum dalam satu strategi bersama baik

dijajaran pemerintah dan juga masyarakat yakni secara tegas konsideran menimbang

point d menyebutkan :

“bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai-nilai luhur, komitmen nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban dan peningkatan kerjasama”.

Ada 2 (dua) model pendekatan yang terangkum dari konsideran tersebut

“pendekatan setelah terjadinya kasus dalam penindakan terhadap pelaku dan

perlindungan korban dengan pencegahan sejak dini yang melibatkan kerjasama

seluruh unsur”. Merujuk kepada teori pencegahan dalam kerangka teori sebagai alat

uji penulisan ini, antara teori dan rencana kebijakan yang dituangkan cukup singkron

keinginan pemerintah dengan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

(36)

Konsep pola pendekatan yang diatur dalam komitmen tersebut, jika dikaitkan

dengan konsep teori pencegahan awal, dimana penanganan dan upaya pencegahan

sebelum terjadinya kejahatan dalam UU No. 21 Tahun 2007 mengatur bagaimana

pemerintah pusat, daerah dan internasional dapat melakukan upaya pencegahan

melalui109

a. Peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak-hak perempuan dan anak terutama di daerah.

:

b. Peningkatan peran serta masyarakat dan kelompok masyarakat dalam melakukan perlindungan terhadap perempuan dan anak.

c. Peningkatan program perlindungan dan sosial bagi masyarakat.

Tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah berkewajiban melakukan

peningkatan pemahaman dan pendidikan agar masyarakat peduli dan bertanggung

jawab dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak ketika menemukan korban, bersedia

melakukan perlindungan bagi korban dan pemerintah juga melakukan program

perlindungan sosial dalam masyarakat sekitar.

Secara jelas dan tegas wujud aturan dalam pasal per pasal penulis jelaskan sebagai

berikut :

a. Pasal 56 dan Pasal 57 ayat (1)

“pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini mungkin”

ayat 1 “pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, dan keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang”.

109

(37)

Merujuk arah dan tujuan dari pencapaian UU tindak pidana perdagangan

orang guna peraturan atau kebijakan itu dapat terlaksana memahami makna hukum

ini suatu perintah yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang bertanggung jawab.

Teori pencegahan Peter Hofnagels sebagai bagian tolok ukur mengemukakan

pencegahan itu merupakan upaya yang rasional dalam memanggulangi kejahatan

dengan mempergunakan sarana penal dan non penal.

Sebagaimana diungkapkan lebih lanjut oleh Petter Hofnagel “The fields application are the aplication of criminal law, the mass media and fields of prevention without criminal law application. The press is the channel through which the publicness of the trial proceedings becomes publicity. There are many complaints about the inadequacy of criminal trial reporting in the press, but preciously little is being done to improve this channel through reguler information. If journalists do not

fully understand the ritual in court, what about the defendant and society”110

110

Peter Hoefnagels, “The Other Side of Criminology”, Kluwer-Deventer, Holland, hal-67.

(Bidang penerapan merupakan penerpan hukum pidana melalui media publikasi dan pencegahan tanpa penerapan hukum pidana. Publikasi media merupakan upaya peningkatan pemahaman tanpa menimbulkan konflik baru. Bagaimana upaya media melakukan peningkatan dan pemahaman untuk merubah diri dan bersikap solider dalam menjaga kepentingan satu dengan yang lain, untuk menciptakan kondisi yang aman dan damai, diterjemahkan langsung oleh penulis).

Merujuk pada prinsip kebebasan pers sesuai dengan azas keseimbangan dan

keselarasan serta praduga tidak bersalah, media massa merupakan alat dalam

peningkatan pemahaman masyarakat yang menjunjung nilai-nilai etik profesi jurnalis

yang diemban sebagaimana secara tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) UU

(38)

b. Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2)

“pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk menyelesaikan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan orang”

“untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengambil langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana peragangan orang”.

Hans Kelsen mengemukakan keterkaitan antara kondisi hukum dengan

konsekuensi hukum dalam aturan kebijakan ini “Hukum merupakan alat koersif yang

nilainya tergantung pada tujuan yang lebih penting dari pada hukum sebagai alat.

Penafsiran terhadap fakta materil yang dipahami sebagai hukum itu bebas dari semua

idiologi fakta materil, diakui dengan tegas sebagai kondisi dari histori yang pada

gilirannya memberikan wawasan kedalam hubungan intrinsik antara tekhnik sosial

sistem koersif dan kondisi masyarakat yang dipertahankan dengan tekhnik

tersebut111.

Sebagaimana pernyataan sosialis kondisi tersebut diatas khususnya yang

memiliki karakter dominasi kelas eksploitatif, akan berbeda dengan “Pure Theory”

tidak mempertimbangkan tujuan yang dicari atau dicapai dengan sistem hukum, tetapi

hanya mempertimbangkan sistem hukum sebagai sebab akibat tertentu antara alat dan

tujuan, pure theory mempertimbangkan sistem hukum sebagai makna otonomi secara

normatif.

111

(39)

c. Pasal 58 ayat 2, jo. Pasal 58 ayat (3-6)

Mengatur tanggung jawab dari team Gugus Tugas dalam mengambil langkah-langkah dalam mengkoordinasikan upaya pencegahan dan pelaksanaan pemantauan kegiatan Gugus Tugas yang telah dibentuk112

Konsep kebijakan hukum ini, mengacu kepada upaya pencapaian kerangka

teori dalam melaksanakan pencegahan dan perlindungan bagi para korban. Secara

sosiologis pencapaian hukum di tataran organisasi atau institusi pemerintahan,

menyimpulkan aturan kebijakan ini sebagai perintah atau norma hukum. Sebagai

kewajiban pemerintah (baik legislatif, eksekutif dan yudikatif) dalam bersikap dan

berbuat untuk pencapaian efektifitas hukum tersebut. Pencapaian tujuan hukum

secara filosofis merupakan nilai positif yang tertinggi, yang nota bene merupakan

tanggung jawab pemerintah dalam pengemban tanggung jawab pelaksana sebagai

sabjek hukum

.

113

Gambaran dalam pembuatan kebijakan ini, institusi sebagai leading sector

dalam melakukan kordinasi, menitik tekankan antara legislator sebagai kapasitas

orang tertentu dan kapasitas pribadinya sebagai orang lain. Ketika bertindak sebagai .

112

Lihat Pasal 58 ayat 2, jo. Pasal 58 ayat (3-6) UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, secara spesifik Pasal 58 ayat 4 menyebutkan :

Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan lembaga koordinatif yang bertugas:

a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang; b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama;

c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;

d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi

113

(40)

kapasitas awal dia sebagai pembuat hukum atau kebijakan yang menimpakan

kewajiban pada orang-orang lain, dan juga termasuk kewajiban yang menimpa

dirinya secara pribadi114

Ciri kebijakan non penal ini tidak sebagai perintah-perintah paksaan. Tetapi

berfungsi sebagai janji. Untuk menciptakan komitmen atau kewajiban bagi si

pembuat janji seyogianya kebijakan ini memberi efek, harus ada peraturan yang

menetapakan bahwa aturan ini sebagai prosedur dalam mengambil langkah-langkah

dalam kordinasi tersebut tersampaikan kepada aparatur yang tepat sebagai pemangku

tanggung jawab

.

115

Kewajiban dimaksud terhadap institusi pembuat janji merupakan wujud

komitmen, yang bertujuan memiliki efek lebih lanjut diatur dalam perencanaan

program kebijakan. Proses pencapaiannya disesuaikan dengan prosedur pemenuhan

kwalifikasi yang berlaku bagi semua pihak. Dengan merujuk kepada tugas pokok dan

fungsi institusi ketika institusi telah berjanji akan berpengaruh kepada

prosedur-prosedur untuk mengubah situasi moral yang membebankan kewajiban pada diri

sendiri dan memberikan hak kepada orang lain .

116

d. Pasal 60 (ayat 1-2) Jo. Pasal 61

.

memberi mandat secara tegas bagaimana upaya pencegahan juga merupakan tanggung jawab masyarakat, artinya masyarakat dalam hal ini

114

H.L.A. Hart, “Konsep Hukum”, Penerbit Nusa Medai- 2010, hal-67 115

H.L.A. Hart, Op.cit, hal-68 116

(41)

terlibat sepenuhnya dalam pencapaian proses pencegahan dan penangan korban tindak pidana perdagangan orang117

117

Pasal 60 ayat 2 : “Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang”

.

Motto pihak medis selalu berucap “lebih baik mencegah dari pada

mengobati”. Begitu selalu ungkapan-ungkapan yang disampaikan kala seorang

pasien meminta saran guna mengantisipasi kambuhnya penyakit yang dideritanya.

Bicara tentang efektifitas hukum dalam masyarakat, juga membicarakan daya kerja

hukum itu sejauh mana mampu mengatur dan atau memaksa masyarakat untuk taat

kepada hukum.

Efektivitas dimaksud juga berlaku bagi pihak kepolisian. Karena dalam setiap

koordinasi selalu memberi penafsiran bahwa biaya dalam penegakan hukum

membutuhkan anggaran yang cukup tinggi dalam melakukan penyelidikan dan

penyidikan. Pada hal jika kita merujuk dari saran pihak medis ketika sudah

mengetahui penyakitnya maka akan memudahkan untuk mengobati dalam hal ini

penanganan.

Kepolisian sebagai institusi perpanjang tangan negara dalam mengantisipasi

sedini mungkin pencegahan korban tindak pidana perdagangan orang, memiliki tugas

dan kewajibannya untuk bersikap dan berbuat dalam penguatan dan pengayoman di

masyarakat. Supaya siap menjaga dan bertindak dalam pengantisipasian diri agar

(42)

Banyak masalah yang melatarbelakangi korban masuk dalam perangkap

perdagangan orang. Seyogianya faktor masalah itu yang seharusnya ditemukenali

guna melakukan pendekatan sosial, ekonomi dan budaya. Dimana yang jelas ketika

pemerintah serius ingin megantisipasi penanggulangan dan pencegahan dapat

diperkuat melalui perpaduan 3 (tiga) kemauan yakni : “political will, sosial wiil, dan

individual will”118

Kemauan dari political will dari pemerintah itu, harus didukung dari citra

sosial (sosial will). Melalui dukungan berbagai media untuk melancarkan kehendak

pemerintah. Serta kekuatan yang tidak boleh dilupakan adalah human atau individual

will, berupa kesadaran atau patuh/taat pada hukum serta senantiasa berusaha

menghindarkan diri dari untuk tidak berbuat atau terperangkap dalam kejahatan tidak

pidana perdagangan orang. Konsepsi penanggulangan dan pencegahan tingkat

kriminalitas perdagangan orang senantiasa dipengaruhi oleh penggalian kausalitas

dan sifat fenomena kejahatan. .

119

Tugas dan tanggung jawab pencegahan perdagangan orang dari kebijakan

aturan UU No. 21 Tahun 2007 adalah kewajiban dan tanggung jawab seluruh institusi

pemerintah dan non pemerintah. Pemerintah dalam hal ini Pusat dan Daerah. Non

pemerintah adalah organisasi sosial (LSM), keluarga atau masyarakat dan ditambah

lagi intitusi yang telah dibangun Gugus Tugas. Lingkup pemerintah tidak sebatas

eksekutif, tetapi juga legislatif dan yudikatif. Artinya seluruh elemen pemerintah

118

Adi Wibowo, “Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa, Sebuah Tinjauan

Viktimologi”, Thafa Media-2013, hal 3 119

(43)

berkewajiban untuk turun tangan dalam proses pencegahan sedini mungkin sebagai

wujud upaya mengobati penyakit sosial yang terjadi di masyarakat120

Unsur penting dalam mewujudkan komitmen tersebut pembentukan task force

(Gugus Tugas) sebagai bagian yang cukup penting

.

121

4.2. Pendekatan Non Penal setelah terjadinya kasus.

. Bagaimana masing-masing

unsur pemerintahan itu menyusun program real kegiatan dalam hal “penguatan,

penanganan, pencegahan dan monitoring setiap tahunnya dalam upaya pencegahan

semakin tingginya angka korban perdagangan orang setiap tahun.

Mandat yang diemban dalam kebijakan ini berupa perlindungan terhadap

korban. Dirangkai dalam wujud komitmen Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai

penanggung jawab dalam melakukan perlindungan langsung kepada korban.

Penyadaran dan peningkatan pemahaman serta kemampuan yang dilakukan agar

korban tidak kembali masuk dalam dunia tindak kejahatan untuk kedua kalinya.

Proses perlindungan itu meliputi rehabilitasi melalui peningkatan pengetahuan

dan pemahaman akan hak-hak dari korban. Sekaligus pendidikan ketrampilan (skill)

sebagai modal hidup. Hal itu sebagai persiapan korban apabila akan dikembalikan ke

daerah asal. Proses perlindungan sebagai wujud antisipasi ini, dilakukan sebagai

proses rehabilitasi (fisik, phisikis dan kesehatan), reintegrasi sosial dimana korban

120

Kerangka Teori Pencegahan Petter Hoefnagels, Bab I, hal-20 atau Peter Hoefnagels,” The Other Side Of Criminologi”, Kluwer-Deventer, Holland, hal 55.

121

Referensi

Dokumen terkait

Program pelatihan keterampilan sangat bermanfaat bagi para pemuda, karena dapat mendorong untuk menciptakan lapangan kerja baru terutama bagi dirinya maupun orang

MPEG-4 Visual provides a highly flexible toolkit of coding techniques and resources, making it possible to deal with a wide range of types of visual data including rectangular

populasi dari penelitian ini adalah semua pihak yang langsung terkena dampak sosial, ekonomi dan lingkungan pada pengoperasian jalan tol di kota Brebes khususnya

[r]

[r]

Microsoft Visual Basic 6.0 merupakan suatu bahasa pemrograman yang bekerja dalam lingkup Ms.Windows dan memanfaatkan Ms.Windows itu sendiri secara optimal yang kemudian dapat

[r]

[r]