• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pepres No 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Nasional Pencegahan & Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Gugus tugas sebagai lembaga kordinatif yang bertugas mengkordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang. Kebijakan ini merupakan beban tanggung jawab dari implementasi langsung UU No. 21 Tahun 2007 tetang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 58 ayat 7 yang mengatur ketentuan pembentukan Gugus Tugas yakni “Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan peraturan presiden”.

Struktur pembentukan Gugus Tugas dimulai dari tingkat nasional, provinsi dan juga kabupaten atau kota139

139

Pasal 1 ayat 1, 2 dan 3 Preturan Presiden No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

dan kordinasi dalam pencegahan dan perlindungan bagi setiap korban yang mengalami pendiskriminasian layanan baik berupa penegakan hukum, reintegrasi, maupun rehabilitasi sosial dan kesehatan.

Sebagaimana secara tegas Pasal 4 dalam Pepres tentang Gugus Tugas, mengatur mandat tugas dan tanggung jawab dari lembaga kordinasi ini yaitu140

a. mengkordinasikan upaya pencegahan dan penanganan masalah tindak pidana perdagangan orang,

:

b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama baik kerja sama nasional maupun internasional, memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial,

c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban yang meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial,

d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum, e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.”

Pencapaian dalam kerangka konsep dan teori pencegahan sebagaimana dalam Latar Belakang Permasalahan penelitian ini, pemenuhan perlindungan korban (sosial defence) serta pemenuhan perencanaan kelompok pemenuhannya dapat berupa pemulihan mental dan kesehatan, dari tiap anggota atau institusi gugus tugas. Sebagai mana dijelaskan dalam kebijakan ini, pusat berupaya mempermudah pencapaian dan perencanaan dari tiap unsur pemerintah, baik penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti serta akedemisi141

Kekuatan hukum dari Pasal 4 Peraturan Presiden ini penulis berpendapat tumpang tindih dengan aturan ketentuan UU No. 21 Tahun 2007 tentang

.

140

Pasal 4 Peraturan Presiden No. 69 tentang Gugus Tigas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

141

Lihat “Pasal 6” Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.142

Penulis berasumsi bahwa kebijakan hukum ini merupakan peraturan yang cukup persfektif meskipun harus mengabaikan sikap dan prilaku dari masing-masing institusi pembuat dan pelaksana. Sebagaimana jika dirujuk kepada teori masyarakat hubungan antara hukum disini bersifat menerangkan (law that describes) dan disisi lain hukum bersifat mengatur (law that ordains).

Namun guna efektifitas aturan tersebut terlaksana untuk mengikat keseluruhan institusi pemerintah termasuk legislative, kebijakan atau ketentuan UU Pembernatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rujukan penting untuk melibatkan seluruh elemen pemerintah.

143

Desain pelayanan langsung ditataran birokrasi atau layanan publik kebijakan hukum dituntut untuk responsive dan komunikatif. Hukum tidak hanya ditawarkan sebagai alat pencapaian keadilan. Hukum yang baik harus berkompeten yang mampu mengenal keinginan publik dan punya komitmen bagi tercapainya keadilan subtantif.144

Kembali kepada keterikatan antara masing-masing team gugus tugas merupakan wakil-wakil dari semua institusi, jika dikaitkan kepada kerangka teori komunikasi Jhon Baldoni dalam membangun komunikasi hukum dan sosialisasi hukum ada dua perbedaan yang mencolok dari keterikatan standart prilaku di masing-

142

Pasal 58 ayat (4) UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

143

Pemahaman penulis dari Roberto M. Unger “Teori Hukum Kritis, Posisi Hukum dalam

Masyarakat Modern”, Peneribit Nusa Media-2011, hal-55 144

Philippe Nonet dan Philip Selznick, “Hukum Responsif” Penerbit Nusa Media,-2011, hal- 84

masing team gugus tugas tersebut. Satu bersifat publik dan yang lain bersifat pribadi.145

Pasal 17-Pasal 29 yang merupakan pengaturan sinergitas koordinasi guna mengkomunikasikan pencapaian tujuan, pemantauan, dan pembahasan masalah serta kordinasi sejauh mana hambatan dalam mencapai langkah-langkah penanganan pencegahan tindak pidana perdagangan orang.146

Guna menyikapi pola pendekatan terhadap masalah prilaku dimasing-masing team gugus tugas baik secara publik dan pribadi, guna pencapaian sinergitas kordinasi, sangat diperlukan kesadaran sosial meskipun masalah sering berbenturan terhadap evolusi kesadaran, serta merta pengorganisasian masyarakat juga senantiasa berubah. Artinya sangat diperlukan pemisahan antara birokrasi (Negara) dengan masyarakat (organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat).

147

Pengorganisasian masyarakat sebagai struktur kelompok dalam tim gugus tugas akan mengandung beberapa implikasi langsung terhadap pemisahan Negara dan masyarakat, sehingga membutuhkan peraturan-peratuan publik yang lain sebagai perpanjangan tangan terhadap sinergitas kebijakan ini. Dengan kata lain adanya pembagian kerja secara langsung, secara hirarkhi keberadaan dan kedudukan status

145

Pemahaman langsung dari Roberto M. Unger, Op.cit, hal-75 146

Lihat Pasal 18 ayat 5 Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 berbunyi : “dalam koordinasi

nasional, wakil-wakil unsur pemerintah, penegak hukum, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi selalu berkoordinasi dengan induk instansi/lembaga masing-masing”.

147

sosial otomatis akan menjadi kriteria dalam mengalokasikan pekerjaan atau program pencegahan dan penanggulangan itu sesuai prestise dan kekuasaannya.148

1. Anggaran pelaksanaan tugas Gugus Tugas Pusat dibebankan Anggaran

kepada anggaran pendapatan belanja Negara cq. Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan”.

Guna mendukung efektifitas kebijakan ini pengalokasian anggaran sebagai jaminan keberlangsungan lembaga kordinasi ini sebagai penyambung sinergitas dalam mengkomunikasikan pencapaian konsep pencegahan dan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang diatur lebih lanjut dalam Pasal 30 Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 menegaskan :

2. Anggaran pelaksanaan gugus tugas provinsi dibebenai kepada anggaran

pendapatan dan belanja daerah provinsi”.

3. Anggaran pelaksanaan tugas gugs tugas kab/kota dibebankan kepada

anggaran pendapatan belanja daerah kab/kota.”

Jamin efektifitas dari langkah-langkah pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang, dari gugus tugas pusat, gugus tugas provinsi, gugus tugas kab/kota dalam melakukan koordinasi, pemantauan dan evaluasi, serta pelaporan secara periodik dilakukan melalui evaluasi tahunan, evaluasi pertengahan periode, dan evaluasi akhir periode yang dilakukan secara internal dengan melibatkan pihak ketiga149

148

Roberto M. Unger, Ibid, hal-80 149

Lihat Pasal 16, 25-29 Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang perihal ketentuan pemantauan dan evaluasi.

F. Kebijakan Non Penal dalam regulasi Lokal Khususnya Sumatera Utara Terkait Pencegahan dan Perlindungan Korban Perdagangan Orang (Trafiking)

Provinsi Sumatera Utara telah berhasil melahirkan dua kebijakan daerah yakni: Perda No. 5 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan bentuk- bentuk pekerjaan terburuk bagi anak dan Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak. Dari dua aturan kebijakan tersebut membuktikan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara berupaya komit dengan acuan teori pencegahan yang dikemukakan sebagai pisau analisis yakni “Teori Peter Hoefnagels” dengan melibatkan seluruh institusi untuk terlibat dalam perencanaan pencegahan melalui beberapa aturan kebijakan yang akan diuraikan satu persatu dalam pokok bahasan selanjutnya.

Singkronisasi dan efektifitas pencegahan dan perlindungan korban perdagangan sebagaimana termaktub dalam kebijakan non penal di tataran kebijakan Sumatera Utara tetap mengacu kepada Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Perdagangan Orang sebagai titik tolak payung hukum kebijakan lokal dalam Penyusunan Anggaran Belanja Daerah Provinsi Sumatera Utara150

Ketegasan dalam melibatkan semua pihak (SKPD, keluarga dan lingkungan terdekat yakni masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, ormas, organisasi profesi) (legislatif dan yudikatif) diatur dalam aturan kebijakan yang harapannya dapat dilaksanakan secara terpadu dan terencana dengan baik.

.

150

Lihat konsideran alinea akhir Penjelasan PP No 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Mekanisme Pelayanan Terpadu Bagi Saksi dan/atau Korban Tindak Perdagangan Orang.

Sebagaimana pada awal penyusunan konsep Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perempuan dan Anak proses pengajuan/ usulannya bertujuan guna 151

1. Sebagai respon terhadap komitmen global dan nasional mengenai upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk perdagangan orang sekaligus respon atas permasalahan trafiking yang terjadi di Sumatera Utara

:

2. Agar Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Kab/ Kota, masyarakat, LSM, dan organisasi sosial lainnya menyelenggarakan upaya pencegahan, penghapusan dan penanggulangan terjadinya segala bentuk trafiking perempuan dan anak.

3. Peraturan Daerah ini nantinya akan menjadi dasar pelaksanaan kegiatan Gugus Tugas Daerah dalam rangka upaya pencegahan, penghapusan dan penanggulangan trafiking perempuan dan anak152

4. Untuk melakukan tindakan segera dan berkesinambungan dalam upaya pencegahan, penghapusan dan penanggulangan trafiking perempuan dan anak mengingat semakin meningkatnya korban trafiking di Sumatera Utara.

.

153

5. Membina dan membangun kerjasama dan koordinasi pada tingkat pusat, antar propinsi, antar instansi lintas sektor, organisasi masyarakat dan pemerintah kab/ kota.

Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah:

1. Untuk pencegahan, penghapusan dan penanggulangan trafiking khususnya perempuan dan anak.

2. Dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah kabupaten/kota.

3. Merumuskan model mekanisme perlindungan perempuan dan anak terhadap proses trafiking.

151

Sumber Biro PP, anak dan KB Setda Provsu, Laporan Histori dan Implementasi Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (Trafiking) Perenmpuan dan Anak, hal-2

152

Pasal 12 ayat 1 Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafiking) perempuan dan anak

153

Beberapa Kebijakan Non Penal yang telah berhasil disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Berita Daerah Sumatera Utara yakni :

1. Peraturan Daerah No. 6 Tahun 2004 Penghapusan Perdagangan (Trafiking)

Dokumen terkait