• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.3. Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi 1. Pengertian Layanan

2.4.6. Pendekatan-Pendekatan Pengukuran

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengukuran diantaranya telah dikemukakan oleh George Bonn yang disitir oleh Evans (2000) yang memberikan lima pendekatan umum terhadap pengukuran pada perpustakaan yaitu:

1. Pengumpulan data statistik semua koleksi yang dimiliki;

2. Pengecekan pada daftar standar seperti katalog dan bibliografi;

3. Pengumpulan pendapat dari pengguna yang biasa datang ke perpustakaan;

4. Pemeriksaan koleksi langsung;

5. Penerapan standar, pembuatan daftar kemampuan perpustakaan dalam

penyampaian dokumen, dan pencatatan manfaat relatif dari kelompok khusus.

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan pengukuran hasil belajar Sudrajad, (2008) yaitu:

Pengukuran yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau

norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian

Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan. Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan. Kriteria atau patokan itu dirumuskan dalam kompetensi atau hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi

Pengukuran dan penilaian kinerja layanan informasi memiliki tujuan-tujuan alternatif dan ini mempengaruhi evaluasi pada perpustakaan. Mengenal pada pandangan-pandangan yang beraneka ragam dan tidak semua pustakawan setuju pada pendekatan tersebut dalam melakukan pengukuran dan penilaian pada perpustakaan. Crawford (2002: 54 ) mengatakan bahwa ada beberapa pendekatan pengukuran dan penilaian yang bisa dipakai dalam mengevaluasi layanan informasi perpustakaan yaitu:

a. Pendekatan orientasi manajemen yaitu: penekanan pada pendekatan ini

terletak pada pengindentifikasian dan pemenuhan kebutuhan dari para pembuat keputusan pimpinan. Evaluator memberikan informasi dan alternatif-alternatif pada pembuat keputusan. Metode pengukuran dan penilaian ini biasanya dilakukan oleh evaluator-evaluator dari luar. Manajemen memberitahukan pada evaluator apa yang harus mereka periksa dan hasil-hasil yang diharapkan. Pendekatan evaluasi perpustakaan adalah penggunaan tanda untuk mengarah pada keputusan-keputusan

manajemen. Tanda tersebut adalah standar mifutu yang paling baik terhadap hasil-hasil lain yang sama diukur dan dinilai;

b. Pendekatan orientasi keahlian yaitu: penekanan dari pendekatan ini adalah

penerapan langsung keahlian profesional untuk menilai kualitas. Penilainnya dibuat dengan menggunakan standar-standar dan praktek-praktek yang diterima oleh para profesional. Pendekatan ini telah mengarah pada perkembangan standar-standar untuk perpustakaan-perpustakaan umum secara historis dan pendekatan ini banyak digunakan oleh negara-negara bagian Amerika Serikat. Dengan demikian pendekatan orientasi obyeknya terhadap pengukuran dan penilaian menjadi metode evaluasi yang populer, mengalahkan pendekatan orientasi keahlian;

c. Pendekatan orientasi obyektif yaitu: pendekatan ini penekankan pada

kekhususan tujuan-tujuan dan sasaran serta penentuan tingkat yang telah dicapai. Evaluator mengumpulkan bukti hasil-hasil program dan membandikannya dengan pelaksanaan yang sebenarnya terhadap sasaran program;

d. Pendekatan orientasi alamiah dan partisipan yaitu: pendekatan ini

menekankan pada keterlibatan partisipasi atau pemegang saham, modal dalam menentukan nilai-nilai, kriteria, kebutuhan dan data. Evaluator bekerja dengan pemegang saham/modal dan berinteraksi dengan kepentingan-kepentingannya. Pendekatan ini mengarahkan kegiatan-kegiatan penelitian pada pengukuran dan penilaian proyek-proyek perpustakaan digital saat ini.

Pengukuran layanan informasi pada perpustakaan yang dilakukan dengan berbagai pendekatan seperti yang telah dijelaskan di atas banyak diterapkan oleh perpustakaan dan pusat-pusat layanan dokumentasi dan informasi guna mendapatkan efektifitas dan efisiensi kerja, baik secara internal lembaga itu sendiri maupun eksternal pengguna jasa informasi. Jadi pendekatan orientasi manajemen, keahlian, objektifitas, dan alamiah serta partisipan terus dikembangkan. Tujuan akhir dari perpustakaan dan pusat layanan informasi, efektif dan efisiensi kerja secara eksternal adalah meningkatkan kepusan pengguna perpustakaan.

2.5. ISO (International Organization for Standardization)

ISO Didirikan pada 23 Februari 1947, ISO menetapkan standar-standar industrial dan komersial dunia. ISO, yang merupakan lembaga nirlaba internasional, pada awalnya dibentuk untuk membuat dan memperkenalkan standardisasi internasional untuk apa saja. Standar yang sudah kita kenal antara lain standar jenis film fotografi, ukuran kartu telepon, kartu ATM Bank, ukuran dan ketebalan kertas dan lainnya. Dalam menetapkan suatu standar tersebut mereka mengundang wakil

anggotanya tak lebih dari 140 negara untuk duduk dalam Komite Teknis (TC), Sub Komite (SC) dan Kelompok Kerja (WG).

Banyak pihak melihat adanya suatu ketidakcocokan antara nama lengkap “International Organization for Standardization” dengan kependekannya ‘ISO’, dimana ‘IOS’ dianggap lebih tepat. Anggapan itu benar bila penetapan nama didasarkan pada kependekannya. Yang sebenarnya, istilah ISO bukan merupakan kependekan, tapi merupakan nama dari organisasi internasional tersebut. Dimana Quality Talk, (2010: 1) menjelaskan bahwa:

Pengertian “ISO” berasal dari Bahasa Latin (Greek) “isos” yang mempaunyai arti “sama” (equal). Awalan kata “iso-“ juga banyak dijumpai misalnya pada kata “isometric”, “isomer”, “isonomy”, dan sebagainya. Dari kata “sama”

(equal) menjadi “standar” inilah “ISO” dipilih sebagai nama organisasi yang

mudah untuk dipahami. ISO sebagai nama organisasi juga dalam rangka menghindari penyingkatan kependekannya bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain dari negara anggota, misalnya IOS dalam bahasa Inggris, atau OIN (Organisation Internationale de Normalisation) dalam bahasa Perancis, atau OSI (Organsiasi Standardisasi Internasional) dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian apapun bahasa yang digunakan, organisasi ini namanya tetap ISO.

Meski ISO adalah organisasi nonpemerintah, kemampuannya untuk menetapkan standar yang sering menjadi hukum melalui persetujuan atau standar nasional membuatnya lebih berpengaruh dari pada kebanyakan organisasi non-pemerintah lainnya, dan dalam prakteknya ISO menjadi konsorsium dengan hubungan yang kuat dengan pihak-pihak pemerintah. Peserta ISO termasuk satu badan standar nasional dari setiap negara dan perusahaan-perusahaan besar. (Wikipedia, 2000: 1).

Sedangkan menurut McAdam, (2001: 80) menyatakan bahwa: “Standar ISO dapat menjadi suatu kebijakan yang strategis bagi banyak lembaga/organisasi di dunia. Pemerintah harus memberikan dukungan sepenuhnya agar mereka dapat mencapai standar secara nasional dan membuktikannya dalam persaingan di pasar internasional.”

Selanjutnya menurut Suwahyono, (2009) menjelaskan bahwa: “ISO mewadahi kepentingan bersama antara producen, pengguna (consumen), pemerintah, dan masyarakat ilmiah dalam hal penyiapan standar internasional.” Keanggotaan ISO diwakili oleh badan/lembaga standarisasi nasional dari suatu negara.

Dari uraian di atas dinyatakan bahwa Standardisasi internasional dibentuk untuk berbagai teknologi yang mencakup berbagai bidang, antara lain bidang informasi dan telekomunikasi, tekstil, pengemasan, distribusi barang, pembangkit energi dan pemanfaatannya, pembuatan kapal, perbankan dan jasa keuangan, dan masih banyak lagi. Hal ini akan terus berkembang untuk kepentingan berbagai sektor kegiatan industri pada masa-masa yang akan datang.

2.6. ISO (International Organization for Standardization) 11620

Pengukuran kinerja perpustakaan mulai banyak dibicarakan. Hal ini dibuktikan tahun 1993 adanya laporan implementasi pengukuran 14 indikator kinerja perpustakaan pada Institute of Development Studies University of Sussex Inggris (Postnett 1993). Kemudian pada tahun berikutnya Counsil of Australian State

Librarians Public Libreries Group berhasil mengidentifikasi 10 indikator kunci untuk

perpustakaan umum oleh (Poustie 1995). Pada konfrensi IFLA ke 61 di Turki tahun 1995 telah disosialisasikan pengukuran 20 indikator kinerja yang dapat digunakan untuk semua jenis perpustakaan di semua negara (Carbone, 1995). Selanjutnya

Evaluation and Quality in Library Performanc: System for Europe (EQLIPSE) tahun

1997 menetapkan pengukuran 54 indikator dengan 71 lembar data. Setelah mengalami proses yang panjang, Internatioan Organization for Standardization menerbitkan ISO 11620 pada tahun 1998 mengenai pengukuran kinerja perpustakaan. (Purnomowati, 2003: 35).

Sementara Lasa (2005: 318) menyatakan bahwa: “Standar ini dapat digunakan oleh semua jenis perpustakaan di dunia untuk mengetahui perbandingan perpustakaan satu dengan perpustakaan yang lain.”Sebagaimana disebutkan di atas bahwa terbitnya ISO 11620-1998 merupakan hal yang pantas ditunggu-tunggu agar dapat dijadikan rujukan dalam penyusunan pedoman untuk mengevaluasi kinerja perpustakaan. Sedangkan menurut Saleh (2001: 5). bahwa:

Kinerja perpustakaan didefenisikan sebagai efektivitas jasa yang disediakan oleh perpustakaan dan efisiensi sumber daya yang dialokasikan dan digunakan untuk menyiapkan jasa tersebut. Adapun indikator kinerja adalah pernyataan numerik, simbol atau verbal yang diperoleh dari statistik dan data perpustakaan yang digunakan untuk memberi ciri terhadap kinerja sebuah perpustakaan.

Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa pengukuran indikator kinerja perpustakaan dimaksudkan untuk membandingkan kinerja suatu perpustakaan dari waktu ke waktu, atau dengan alasan yang sangat kuat, dapat juga digunakan untuk membandingkan kinerja perpustakaan yang satu dengan yang lain dengan mempertimbangkan perbedaan misi perpustakaan, indikator yang digunakan dan hati-hati dalam menginterpretasikan data. Mengingat begitu bervariasinya perpustakaan yang ada, maka tidak semua indikator yang disusun cocok untuk semua perpustakaan. Untuk memilih indikator yang akan digunakan, perpustakaan dapat berkonsultasi dengan pihak lain, seperti: lembaga induk, instansi terkait, pemakai dan lain-lain.

2.7. Standar Indikator Kinerja Perpustakaan Perguruan Tinggi

Dokumen terkait