• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pendekatan Valuasi Ekonomi

Teori valuasi ekonomi bukanlah hal baru dalam menghitung sumberdaya alam. Konsep ini telah dimulai sejak tahun 1902 ketika Amerika melahirkan

Undang-Undang River and Harbor Act of 1902 yang mewajibkan para ahli untuk

melaporkan tentang keseluruhan manfaat dan biaya yang ditimbulkan oleh proyek-proyek yang dilakukan di sungai dan pelabuhan. Konsep ini kemudian lebih dikembangkan setelah perang dunia kedua dimana konsep manfaat dan

biaya lebih dikembangkan ke pengukuran nilai tidak langsung (intangible) atau

nilai yang tidak nampak (Cantlon dan Herman, 1999).

Menurut Suparmoko (2005) pendekatan valuasi ekonomi terhadap

sumberdaya alam dapat dilakukan dengan empat metode. (1)Perubahan produksi,

dimana terdiri dari jenis produksi apa saja, seperti produksi pertanian, perikanan, produksi air, dan juga perubahan tingkat kesehatan dalam masyarakat yang

menyebabkan penurunan produktivitas serta Opportunity Cost (biaya peluang)

juga dapat menyebabkan menurunnya produktivitas, misal sebelum kuliah pendapatan 1 juta, setelah kuliah uang 1 juta tersebut hilang, ini yang disebut

dengan Opportunity Cost. (2) Nilai property (hedonic approach) nilai lahan, beda

pendapatan/upah. Terjadi perubahan pendapatan, misalnya tadinya sebagai petani,

sekarang menjadi buruh tambang. (3) Metode survey (survey method) seperti

Contingan Valuation Method (CVM), dilakukan dengan mengsurvey orang

tentang seberapa besar mereka mau membayar. (4) Pasar pengganti (surrogate

market).

Barbier et al. (1997), mengatakan bahwa dalam melakukan penilaian

terhadap ekosistem alam memiliki tiga tipe pendekatan, yaitu:

1. Analisis dampak (impact analysis) penilaian ini dilakukan apabila nilai

akibat dari aktivitas tertentu, misalnya pertambangan terhadap ekosistem hutan.

2. Partial analysis, pendekatan ini dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem hutan, sedangkan

3. Total valuation dilakukan untuk menduga total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat.

Nilai ekonimi (Economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan

menjumlahkan kehendak membayar dari banyak individu terhadap barang atau

jasa yang dimaksud (CVM, Willingness To Pay/WTP). Jadi dengan demikian,

valuasi ekonomi dalam kontek lingkungan hidup adalah pengukuran preferensi masyarakat untuk lingkungan yang baik dibandingkan dengan yang buruk. Valuasi bersifat fundamental untuk memikirkan pembangunan yang berkelanjutan

(sustainable development), namun hal yang terpenting adalah mengetahui apa dan bagaimana melakukan valuasi ekonomi (Djijono, 2002).

Hasil valuasi ekonomi dinyatakan dalam nilai uang, sebagai cara dalam

mencari preference revelation, misalnya dengan menanyakan “Apakah

masyarakat berkehendak untuk membayar?”. Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan nilai uang memungkinkan membandingkan antara nilai lingkungan hidup dengan nilai pembangunan. Pada prinsipnya valuasi ekonomi bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai nyata dari sudut pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan valuasi ekonomi perlu diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai nyata yang seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut.

Ilmu ekonomi sebagai perangkat melakukan valuasi ekonomi adalah ilmu tentang pembuatan pilihan-pilihan dari alternatif-alternatif. Alternatif-alternatif yang dihadapkan kepada kita tentang lingkungan hidup adalah lebih komplek dibandingkan dengan pembuatan pilihan dalam kontek barang-barang privat murni yang mudah dinilai (Suparmoko, 2008). Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah bagaimana menilai suatu sumberdaya alam secara komprehensif. Dalam hal ini tidak hanya nilai pasar dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga jasa yang

ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Pertanyaan yang lazim timbul adalah bagaimana menilai dan mengukur sumberdaya tersebut sementara tidak memiliki konsumen tetap. Salah satu metode yang digunakan untuk mengukur sumberdaya alam adalah melakukan valuasi ekonomi yaitu dengan menghitung Nilai Ekonomi Total (NET) (Kusnandar, 2008).

Nilai ekonomi total adalah nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan bermanfaat. Nilai ekonomi total ini dapat dibagi dalam beberapa komponen, sebagai ilustrasi misalnya dalam kontek penentuan alternatif penggunaan lahan dari ekosistem hutan sekunder dan perkebunan berdasarkan hukum biaya dan manfaat keputusan untuk mengembangkan ekosistem hutan menjadi pertambangan dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari pertambangan lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi dihitung dengan NET dari ekositem hutan dan perkebunan tersebut yang juga berfungsi sebagai pendukung

kesejahteraan rakyat (Suparmoko, 2008).

Manfaat dari pemberian nilai ekonomi lingkungan antara lain: (1) dapat menyajikan potret yang lebih lengkap tentang nilai proyek pertambangan dengan menyajikan manfaat dan kerugian lingkungan (2) mendorong pertimbangan konsekwensi lingkungan pertambangan secara lebih cermat dan sistematis (3) dapat digunakan sebagai dasar yang jelas dan beralasan dalam menerima atau menolak pertambangan (4) dapat mengeliminasi investasi proyek-proyek yang cenderung mengeksploitasi dan atau merusak sumberdaya alam (Irham, 1999).

Valuasi ekonomi pada suatu ekosistem merupakan suatu pendekatan yang sangat dianjurkan oleh pemerintah untuk menilai secara ekonomi pemanfaatan ekosistem hutan (Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1997). Akan tetapi permasalahan yang paling utama adalah kompleksitas ekosistem hutan. Sehingga menimbulkan berbagai persoalan dalam mengkuantifikasi parameter-parameter yang dapat digunakan sebagai standar dalam valuasi ekonomi pemanfaatan ekositem hutan. Berbagai penelitian yang telah berhasil melakukan penilaian ekonomi ekosistem hutan yang dimanfaatkan sebagai hutan maupun sebagai areal

lainnya, adalah sebagai berikut.

Godoy (1992) mengatakan beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam valuasi ekonomi hutan sekunder, yaitu: (1) Sewa hutan, (2) penerimaan dari produk-produk selain kayu dan pelayanan, (3) konservasi tanah dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), (4) pendapatan dari turis dan keanekaragaman hayati. Riley dan Scrimgeour (1991) menerapkan penghitungan NPV hutan di Selandia

baru. Nilai hutan yang dominan untuk rekreasi dan pengontrolan erosi (non-use

values) adalah berbeda nyata dibandingkan dengan penggunaan untuk tahan pertanian.

Patz (1990) memperkenalkan tiga metode valuasi hutan di Jerman Timur tergantung pada tujuan ekonomi, berdasarkan pada nilai langsung dan nilai tak langsung dari harga kayu umum. Pearce (1991) membuat perkiraan penghitungan valuasi ekonomi hutan di Inggris yang mempertimbangkan: (1) keuntungan alamiah dari investasi hutan, (2) kegagalan pasar dan valuasi keuntungan hutan, (3) nilai ekonomi alam, dan (4) komponen CBA dari kayu, rekreasi, konservasi kehidupan liar, dampak sumberdaya air, evaluasi bentang lahan, dampak rumah kaca keamanan ekonomi dan integritas masyarakat.

Grimes et al. (1994) menghitung 3 ha hutan primer Amazona di Equador

berdasarkan ekstraksi potensi produk-produk non kayu. Nilai NPVnya adalah US $ 2.830 pada lahan kering dan US $ 1.257 pada lahan Aluvial. Nilai-nilai ini secara nyata lebih tinggi dari biaya total pemanfaatan lahan untuk tujuan lainnya. Voon (1992) melaporkan pemanfaatan lahan kering berlereng yang digunakan untuk tujuan parawisata secara berlebihan ternyata berdampak negatif dalam jangka panjang. Tobias dan Mendelsohn (1991) melakukan valuasi ekoturisme hutan hujan tropis di Costa Rica dengan metoda biaya perjalanan.

Analisis ekonomi cara rehabilitasi lahan dapat menggunakan analisis manfaat dan biaya, atau penghitungan biaya pengendalian erosi sampai erosi yang terjadi tidak membahayakan produktivitas tanah. Untuk mengendalikan erosi sampai 25 ton/ha/thn (berkurang sebesar 63%), dibutuhkan biaya sebesar US $ 0,33/ton tanah hilang. Bila erosi dikurangi sampai 80% (12,6 ton/ha/thn), maka dibutuhkan biaya US $ 0,45/ton tanah hilang (Council for Agricultural Science and Technology, 1982).

Kurnia (1996) melaporkan bahwa biaya pengendalian erosi dengan mulsa

jerami padi dan mulsa Mucuna sp berturut-turut Rp2.175 dan Rp1.640/ton tanah

tererosi. Pupuk kandang mempunyai biaya pengendalian erosi lebih tinggi, yaitu Rp4.085/ton tanah tererosi. Sedangkan biaya kerusakan lahan Podsolik Merah

Kuning Bogor tanpa rehabilitasi adalah Rp291.175/ha sehingga biaya rehabilitasi

kerusakan lahan dengan mulsa padi dan mulsa Mucuna sp hanya 1,2-9,2% dari

biaya kerusakan lahan tanpa rehabilitasi.

Dokumen terkait