BAB II. KAJIAN PUSTAKA
D. Penderita Autis dan Permasalahannya
Istilah autistic berasal dari kata bahasa Yunani “autos” yang berarti diri (self). Istilah ini digunakan untuk menyebut tentang seseorang yang sibuk dengan dirinya sendiri atau dengan dunianya sendiri sehingga kelihatan tidak tertarik dengan orang lain (Ginanjar, 2008;23). Berdasarkan gejalanya banyak para ahli mencoba mendeskripsikan penderita autis dengan menekankan gejala-gejala tertentu.
Secara medis istilah autis merupakan gangguan perkembangan perpasif yang menyeluruh yang dapat mengganggu fungsi kognitif, psikomotorik dan emosi, yang lebih sering dikenal dengan istilah gangguan neurobiologist (Safari, 2005:1-2). Berbeda dengan Safari, Prasetyono menyebut autis sebagai kumpulan sindrom yang mengganggu saraf sehingga perkembangan anak mengalami gangguan pada ketidak mampuan mengadakan interaksi sosial dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri, menarik diri dari lingkungan sosial dan menciptakan fantasi sendiri. Bahkan seringkali berbicara sendiri, menangis dan tertawa sendiri tanpa sebab (Prasetyono, 2008;11-15). Selain pendapat dari beberapa ahli diatas pendapat lain menyebutkan bahwa autis yang berarti aku. Semua kegiatan yang dilakukan oleh penderita yang mengarah kepada diri sendiri dikategorikan sebagai penderita autis. Karena itu istilah autistik dapat diartikan “absorbed in the self” atau keasikan dalam dirinya sendiri (Yuwono, 2009;24). Menurut Geniofam, autis diartikan sebagai anak yang mengalami hambatan perkembangan otak terutama pada area bahasa, sosial dan fantasi. Hambatan
perkembangan inilah yang menjadikan anak autis memiliki perilaku yang berbeda dengan anak-anak biasanya (Geniofam, 2010;29).
Autisme dapat diartikan sebagai suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi, yang gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Diperkirakan 75% - 80% penyandang autis mempunyai keterbelangan mental, sedangkan 20% penderita autis mempunyai kemampuan yang cukup tinggi di bidang-bidang tertentu. Autisme pertama kali ditemukan oleh Kanner pada tahun 1943 (Safaria, 2005;1).
2. Ciri-Ciri Penderita Autis
Penderita autis sejak lahir sampai dengan umur 24-30 bulan anak-anak yang terkena autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu mulai terlihat perubahan yang terjadi dan anak cenderung untuk menyendiri (tidak mau sosialisasi). Autisme adalah kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku di bawah ini adalah beberapa kelainan dari autisme.
a. Komunikasi
Penderita autis mengalami gangguan dalam hal kemampuan berbahasa yaitu, keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Penderita autis dalam mengunakan kata-kata tanpa menghubungkan dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan mengunakan bahasa tubuh dan hanya berkomuniksi dalam waktu singkat.
b. Bersosialisasi (berteman)
Penderita autis lebih banyak mengunakan waktunya sendiri dari pada dengan orang lain, tidak tertarik untuk berteman juga tidak bereaksi dengan isyarat-isyarat dalam bersosialisasi dan berteman seperti halnya: tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum.
c. Kelainan Pendengaran
Penderita autis mengalami kelainan pada pendengaran, di mana penderita juga sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai yang ringan sampai berat.
d. Bermain
Penderita autis tidak spontan atau reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Penderita autis juga tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura-pura.
e. Perilaku
Penderita autis dapat berperilaku menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam), juga marah tanpa alasan yang masuk akal. Penderita autis juga amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide dan aktifitas ataupun orang lain. Tidak dapat menunjukkan akal sehat. Penderita autis dapat sangat agresif kepada orang lain atau diri sendiri, seringkali sulit untuk mengubah rutinitas sehari-hari (Yuwono, 2009;28-29).
3. Perkembangan Penderita Autis
Anak-anak normal berkembang secara bertahap pada semua bidang perkembangannya. Bagi pederita autis perkembangannya secara umum terlambat, terutama dalam aspek bahasa, ketrampilan sosial, motorik halus, pembentukan konsep-konsep atau imajinasi. Tetapi ada pula aspek-aspek perkembangan penderita autis berkembang normal dan di atas rata-rata. Sebagian besar dari mereka mempunyai visual yang amat baik sehingga unggul pada bidang-bidang computer, berhitung, membaca pada usia dini tanpa pelatihan khusus (Ginanjar, 2008;26-27). Menurut Prasetyono (2008;22-23) Perkembangan penderita autis dari umur enam bulan memiliki ciri sebagai berikut: anak tidak mau tersenyum bila diajak tersenyum, anak tidak bereaksi bila namannya dipanggil, anak temperamennya pasif pada umur enam bulan. Anak cenderung terpukau dengan benda-benda tertentu, anak kurang interaksi sosial atau interaksi sosialnya kurang. Ekspresi muka yang kurang hidup pada saat mendekati umur dua belas bulan. Pada umur satu tahun anak mengalami gangguan komunikasi dan bahasa, bahasa tubuh anak kurang. Pengertian bahasa dan ekspresif anak rendah.
Menurut Andriana S. Ginanjar (2008;23) gangguan autis merupakan masalah perkembangan yang sangat kompleks, yang di tandai dengan ciri utama yaitu: masalah pada interaksi sosial timbal balik, masalah pada komunikasi, pola tingkah laku yang berulang-ulang disertai dengan minat yang sempit.
4. Keunikan Penderita Autisme
Menurut Prasetyono (2008;25) anak autis memiliki gambaran unik dan karakter yang berbeda dengan dari anak lainnya. Karakter anak autis adalah sebagai berikut:
a. Anak sangat selektif terhadap rangsangan, sehingga kemampuan anak menangkap isyarat yang berasal dari lingkungan sangat rendah atau terbatas. b. Kurang motivasi, anak sering manarik diri, dan asyik sendiri, namun juga
cenderung tidak termotivasi sehingga anak cenderung pasif dan kurang menjelajahi lingkungan baru atau memperluas lingkungan perhatian mereka. c. Memiliki respon stimulasi tinggi, sehingga anak menghabiskan waktunya untuk
merangsang dirinya sendiri. Misalnya: mengepak-ngepak tangan, bertepuk tangan, memandangi jari jemari sehingga kegiatan ini tidak produktif.
d. Memiliki respon terhadap imbalan, anak mau belajar jika mendapat imbalan.
5. Perilaku Anak Autisme
Penderita autis memiliki perilaku yang berbeda dari perilaku anak normal (Prasetyono, 2008;26-27). Anak autis memiliki perilaku yang berlebihan (excessive), perilaku yang berkekurangan (deficient). Perilaku berlebihan pada anak autis, seperti halnya mengamuk (tantrum) dan stimulasi diri, perilaku ini mengaggu orang lain baik di rumah maupun di tempat umum. Misalnya: anak menjerit, menendang, mencakar atau mengigit, mencubit, menangis, membuat berantakan ruangan, memukul sehingga anak melukai diri sendiri maupun orang lain.
Perilaku berkekurangan adalah gangguan bicara, dimana anak autis
berbicara nonverbal, sedikit suara, sedikit kata-kata, ada juga yang
“echolalia”(membeo), misal: saat ditanya “Nama kamu siapa?”, bukannya
menjawab, melainkan merespon,“Nama kamu siapa?”. Perilaku kekurangan
lainnya adalah perilaku sosial yang tidak tepat, karena menganggap orang lain sebagai benda. Misalnya: Anak memanjat kepangkuan ibunya bukan untuk mendapatkan kasih sayang melainkan untuk meraih toples kue, anak tidak merespon bila dipanggil, anak memutar-mutar mainannya berjam-jam bahkan anak juga sering menunjukkan emosi yang tidak stabil. Anak autis terkadang juga menjerit atau tertawa sangat sedikit. Bahkan ada juga anak autis yang hampir tidak menunjukkan emosional misalnya anak menatap kosong saat digelitik.
Beberapa perilaku yang berlebihan (excessive) pada anak autis di antaranya adalah sebagai berikut :
a. Perilaku self abuse anak melukai diri sendiri misalnya: anak berperilaku memukul, menggigit atau bahkan mencakar diri sendiri.
b. Perilaku agresif, misalmya: anak autis berperilaku dengan menendang,
memukul, menggigit, atau mencubit.
c. Perilaku marah dan mengamuk (tantrum), misal: anak berperilaku menjerit, menangis, atau meloncat-loncat, membuat berantakan ruangan, anak masuk ke dalam lemari, memberantakkan buku-buku dan mainan, beramain-main di air.
d. Perilaku stimulasi diri, misalnya: anak menatap jari jemari, berayun, mengepak-ngepakkan tangan.