MAKNA PENDAMPINGAN PERSONAL
BAGI KECAKAPAN EMOSIONAL PENDERITA AUTIS
DI AROGYA MITRA KLATEN DALAM
PERSPEKTIF PASTORAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Lusia Sri Andayani
NIM: 061124001
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
MAKNA PENDAMPINGAN PERSONAL
BAGI KECAKAPAN EMOSIONAL PENDERITA AUTIS
DI AROGYA MITRA KLATEN DALAM
PERSPEKTIF PASTORAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Ilmu Pendidikan
Kekhususan Pendidikan Agama Katolik
Oleh:
Lusia Sri Andayani
NIM: 061124001
PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN
KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan :
Bagi Dia, Sang Pencipta dan Pemberi Hidup
Bagi adik-adik “spesial” di manapun mereka berada.
Bagi semua orang tua yang dianugerahi anak “spesial”.
Bagi semua insan yang mempunyai rasa peduli terhadap penderita autis di
manapun mereka berada.
Bagi Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus Propinsi Maria Bunda
Allah Surabaya-Jawa.
v
MOTTO
Kau bisa mendapatkan apapun yang kau inginkan
jika kau cukup kuat untuk menginginkannya.
Kau bisa menjadi apapun yang kau inginkan
dan melakukan apapun yang ingin kau capai
jika kau bertahan pada keinginan itu dengan satu tujuan yang pasti dan jelas
(
Abraham Lincoln)
“Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
dari saudara-Ku yang paling hina ini,
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sungguh bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,30
September
2011
Penulis
vii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama
:
Lusia
Sri
Andayani
Nomor Induk Mahasiswa
: 061124001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
MAKNA PENDAMPINGAN PERSONAL
BAGI KECAKAPAN EMOSIONAL PENDERITA AUTIS
DI AROGYA MITRA KLATEN DALAM
PERSPEKTIF PASTORAL
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan
dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 30 September 2011
Yang menyatakan
viii
ABSTRAK
Judul skripsi ini adalah “MAKNA PENDAMPINGAN PERSONAL BAGI
KECAKAPAN EMOSIONAL PENDERITA AUTIS DI AROGYA MITRA
KLATEN”. Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh adanya keprihatinan semakin
banyaknya penderita autis di masyarakat, dan berdasarkan tema kapitel jendral
Suster-Suster Misi Abdi Roh Kudus untuk membela kehidupan bagi mereka yang lemah dan
tersingkir.
Menanggapi situasi tersebut, penulis mengangkat topik pendampingan
personal bagi peningkatan kecakapan emosional penderita autis. Pendampingan
personal adalah suatu proses pendampingan yang membantu atau menolong individu
berdasarkan keunikannya masing-masing, agar individu dapat bertumbuh dan
berkembang sesuai potensi yang ada dalam dirinya. Ciri khas pelaksanaan
pendampingan personal baik pendampingan yang dilakukan secara individu maupun
pendampingan dalam kelompok tetap menekankan pada keunikan dari masing-masing
pribadi. Dengan demikian dapat diketahui sejauhmana makna pendampingan personal
dapat meningkatkan kecakapan emosional penderita autis. Tujuan pendampingan
personal yang dilaksanakan di Arogya Mitra Klaten adalah menolong penderita autis
agar dapat sembuh sehingga masa depannya baik dan diakui di masyarakat.
Pelaksanaan pendampngan ini dengan menggunakan metode
one on one
maupun
metode gabungan. Metode
one on one
adalah pelaksanaan pendampingan dengan satu
guru dan satu murid. Metode gabungan yaitu penderita autis dikelompokkan sesuai
dengan tingkat permasalahan individu tersebut.
Jenis penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenologis, yaitu
mengambarkan dan menganalisi data yang diperoleh baik melalui hasil pengamatan
maupun wawancara kemudian membandingkan dengan kejadian-kejadian di lapangan.
Fokus dalam penelitian ini pada pendampingan personal bagi peningkatan kecakapan
emosional penderita autis di Arogya Mitra Klaten. Dengan demikian dapat diketahui
makna pendampingan personal dapat membantu meningkatkan kecakapan emosional
penderita autis.
ix
ABSTRACT
The title of this thesis is “PERSONAL ASSISTING SIGNIFICANCE
FOR THE EMOTIONAL ABILITY OF AUTISM PATIENTS IN AROGYA
MITRA KLATEN”. The title is based on the thoughtfulness of the increasing
number of autism patients in the society and based on the Holy Spirit sisters’ capital
general theme to defend life for those who are weak and shoved aside.
Perceiving the situation, the writer adapts the topic of personal assisting to
emotional ability for autism patients. A personal assisting is assisting process which
helps and assists an individual based on their uniqueness, to make the individual
grows and develop as their potential. The characteristic of the implementation of
personal assisting either in individual or in group emphasizes on each individual’s
uniqueness. Thereby, it can be recognized how far the significance of personal
assisting can improve the emotional ability of autism patients. The aim of personal
assisting implemented in Arogya Mitra Klaten is to help healing the autism patients
so that their future is better and admitted by the society. The implementation of this
assisting uses either one on one method or mix method. One on one method is an
assisting implementation with a teacher and a student. Mix method is a method
which groups the autism patients as the problem level of the individual.
This is a qualitative research with phenomenological approach, which draws
and analyzes the obtained data through observation or interview result and then
compare it to the occurrence in field. The focus of this research is on the personal
assisting to emotional ability improvement of autism patients in Arogya Mitra
Klaten. Therefore, it is recognized the significance of personal assisting which help
to improve the emotional ability of autism patients.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah Tritunggal Maha Kudus yang telah menyertai
dan membimbing dengan kasih setia-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
Selama proses penulisan skripsi ini, penulis menyadari bahwa begitu besar campur
tangan Allah, lewat teman-teman, para dosen maupun semua pihak yang telah
mendukung penulis.
Oleh sebab itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak atas segala dukungan, bantuan, dorongan, bimbingan serta cinta baik
secara langsung maupun tidak langsung sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J., selaku kepala prodi yang telah memberi ijin,
kesempatan kepada penulis untuk menyusun skripsi.
2.
Bapak F.X. Dapiyanta, SFK., M.Pd., selaku dosen pembimbing utama dan
penguji I, yang dengan sabar meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, serta
memberikan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih
untuk masukan dan kritikan sehingga penulis diteguhkan dalam proses penulisan
skripsi ini.
xi
4.
Bapak Y. Kristianto, SFK., M.Pd., selaku dosen penguji III, yang telah berkenan
dan bersedia menjadi dosen penguji.
5.
Segenap staf dosen, sekretariat, perpustakaan dan karyawan-karyawati Prodi
IPPAK-USD yang telah memberi perhatian, dukungan, selama penulis menjalani
proses studi di IPPAK.
6.
Tim Pimpinan SSpS Propinsi Maria Bunda Allah Jawa, yang telah memberi
kesempatan penulis untuk belajar di Universitas Sanata Dharma. Para suster di
Komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang dengan caranya masing-masing telah
mendukung penulis selama studi hingga terselesainya skripsi ini.
7.
Seluruh keluarga yang telah mendukung dan memberi semangat kepada penulis
untuk terus berusaha menyelesaikan skripsi ini.
8.
Bagi sahabat-sahabatku yang telah mendukung, menguatkan dan membantu
sehingga terselesaikan skripsi ini.
9.
Teman-teman angkatan 2006, terima kasih untuk dukungan dan perhatian serta
kebersamaan selama studi di IPPAK.
xii
terutama Yafet, Teguh, Lina, Lani, David yang telah membagikan pengalaman
hidupnya.
Penulis menyadari, bahwa masih banyak keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang berguna demi
menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi mereka yang
mempunyai hati bagi penderita autis di mana mereka berada dan bagi siapa saja yang
membaca karya tulis ini.
Yogyakarta,
30
September
2011
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACK
... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR SINGKATAN ... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Rumusan Masalah ... 8
E. Tujuan Penulisan ... 8
xiv
G. Metode Penulisan ... 9
H. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA ... 12
A. Pendampingan ... 13
1. Pengertian Pendampingan ... 13
2. Pengertian Pendampingan Personal ... 14
a. Tujuan dan Fungsi Pendampingan ... 15
b. Unsur-Unsur dalam Pendampingan Personal ... 17
c. Sikap Dasar dalam Pendampingan Personal ... 17
d. Sikap Dasar Peserta Pendampingan Personal ... 19
e. Bentuk-Bentuk Pendekatan dalam Pendampingan Personal ... 20
3. Langkah-Langkah dalam Pelaksanaan Pendampingan Personal ... 22
a. Langkah Identifikasi ... 22
b. Langkah Diagnosis ... 23
c. Langkah Prognosis ... 23
d. Langkah Terapi ... 23
e. Langkah Evaluasi ... 23
B. Pendampingan Personal Sebagai Bentuk dari Pelayanan Pastoral ... 24
1. Pengertian Pastoral ... 24
a. Aspek-Aspek Karya Pastoral ... 25
b. Pastoral Sebagai Tindakan Pengembangan Iman ... 25
xv
d. Pastoral Merupakan Tindakan Pengungkapan Ciri Pelayanan
Gereja
...
27
2. Makna Pendampingan Personal dalam Pelayanan Pastoral ... 27
C. Kecakapan Emosional ... 32
1. Pengertian Emosi ... 32
2. Perkembangan Emosi ... 33
3. Hal-Hal yang Mempengaruhi Emosi dalam Kehidupan ... 34
4. Peran Emosi dalam Kehidupan ... 35
a. Emosi Menciptakan Persahabatan dalam Kehidupan ... 36
b. Emosi Sebagai Dasar Kehidupan Seni ... 36
c. Emosi Memberi Tenaga Tambahan ... 37
d. Emosi Memacu Untuk Berbuat Baik ... 37
e. Emosi Sebagai Obat Penguat ... 37
5. Pengendalian Emosi ... 38
6. Kecakapan Emosi ... 39
7. Faktor Kecakapan Emosi ... 41
a. Memotivasi Diri Sendiri ... 41
b. Mengenali Emosi Diri ... 41
c. Mengelola Emosi ... 42
d. Mengenali Emosi Orang Lain ... 43
e. Membina Hubungan ... 44
xvi
D. Penderita Autis dan Permasalahannya ... 47
1. Siapa itu Penderita Autis ... 47
2. Ciri-Ciri Penderita Autis ... 49
a.
Komunikasi
...
49
b. Bersosialisasi (berteman) ... 50
c. Kelainan Pendengaran ... 50
d.
Bermain
...
50
e.
Perilaku
...
50
3. Perkembangan Penderita Autis ... 50
4. Keunikan Penderita Autis ... 52
8. Perilaku Penderita Autis ... 52
E. Pengertian Makna ... 54
F. Kerangka Pikir ... 54
G. Fokus Penelitian ... 55
H. Pertanyaan Penelitian ... 56
BAB III. METODOLOGI, HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN…. . 57
A.
Metodologi Penelitian ... 57
1.
Pendekatan Penelitian ... 57
2.
Pemilihan Setting ... 58
3.
Subjek Penelitian ... 58
4.
Tehnik Pengumpulan Data ... 59
xvii
b. Definisi Konseptual Kecakapan Emosional ... 60
c. Definisi Operasional Pendampingan Personal ... 60
d. Definisi Operasional Kecakapan Emosional ... 60
e. Kisi-Kisi Penelitian ... 61
f. Tahap Penelitian ... 63
5.
Pemeriksaan Keabsahan Data ... 64
a. Tingkat Kepercayaan / Validitas ... 65
b. Kebergantungan / Reliabilitas ... 67
c. Kepastian / Obyektivitas ... 68
6.
Tehnik Analisi Data ... 68
B.
Hasil Penelitian ... 68
1.
Temuan Umum ... 69
a. Latar Belakang Lembaga Arogya Mitra Klaten ... 69
b. Visi dan Misi Lembaga Arogya Mitra Klaten ... 71
c. Tujuan Lembaga Arogya Mitra Klaten ... 71
d. Motto Lembaga Arogya Mitra Klaten ... 71
e. Pendiri dan Staff Lembaga Arogya Mitra Klaten ... 71
2.
Temuan Khusus ... 72
a. Langkah-Langkah Pelaksanaan Pendampingan Personal
di Arogya Mitra Klaten ... 73
xviii
c. Kecakapan Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra
Klaten ... 84
d. Makna Pendampingan Personal Bagi Peningkatan Kecakapan
Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra Klaten ... 87
C.
Pembahasan Hasil Penelitian ... 91
1.
Langkah-Langkah Pelaksanaan Pendampingan Personal
di Arogya Mitra Klaten ... 91
2.
Sarana dan Metode dalam Pelaksanaan Pendampingan Personal
di Arogya Mitra Klaten ... 97
3.
Kecakapan Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra
Klaten ... 99
4.
Makna Pendampingan Personal Bagi Peningkatan Kecakapan
Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra Klaten ... 99
D.
Refleksi Kateketis ... 103
E.
Keterbatasan Penelitian ... 105
BAB IV. PENUTUP ... 107
A.
Kesimpulan ... 107
1. Pendampingan Personal di Arogya Mitra Klaten ... 108
2. Kecakapan Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra Klaten ... 110
3. Makna Pendampingan Personal Bagi Peningkatan Kecakapan
Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra Klaten ... 110
xix
xx
LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1 : Surat Permohonan Izin Penelitian ... 116
Lampiran 2 : Panduan Pertanyaan Penelitian ... 117
Lampiran 3 : Hasil Wawancara dengan Penderita Autis ... 118
Lampiran 4 : Hasil Wawancara dengan Pendamping ... 138
Lampiran 5 : Tabel Hasil Wawancara dengan Responden ... 160
Lampiran 6 : Tabel Hasil Wawancara dengan Pendamping ... 166
Lampiran 7: Surat Keputusan Tentang Data Guru Sekolah Autis
Hiperaktif Arogya Mitra ... 173
xxi
DAFTAR SINGKATAN
A. Singkatan
Kitab
Suci
Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci
Perjanjian Baru dan Kitab Suci Perjanjian Lama terjemahan Lembaga Alkitab
Indonesia, Jakarta 2006.
Kej
:Kejadian
Kor
:
Korentus
Luk :
Lukas
Mat :
Matius
Mzm :
Mazmur
Sam :
Samuel
Yak
:
Yakobus
Yer
:
Yeremia
Yoh
:
Yohanes
B.
Singkatan Dokumen Resmi Gereja
G.S :
Gaudium et Spes
: Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia
Dewasa ini.
C.
Singkatan Lain
xxii
E.Q
:
Emotional Quotient
Gb :
Gambar
Hal :
Halaman
I.Q
:
Intelligence Quotient
MAWI
: Majelis Agung Wali Gereja Indonesia
PKL
: Praktek Kerja Lapangan
Sisdiknas : Sistem Pendidikan Nasional
SMS :
Short Message Service
SSpS :
Serva
Spiritus Sancti
(Konggregasi Suster Misi Abdi Roh
Kudus)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Siapakah manusia itu? sebuah pertanyaan mengenai eksistensi manusia
yang tidak akan pernah tuntas terjawab. Meskipun demikian setiap pribadi harus
bisa memberikan sebuah jawaban atas pertanyaan ini. Jawaban yang paling
sederhana yang dapat diberikan yakni manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan.
Kitab Suci menjelaskan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah (Kej.1:26) ... dan baik adanya (Kej.1:31). Pernyataan Kitab Suci ini
menyatakan tentang eksistensi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang
memiliki martabat yang paling luhur di antara segala ciptaan lainnya, yang
dilengkapai dengan potensi-potensi rohaniah, intelektual, emosional dan spiritual.
Potensi-potensi ini akan dapat berkembang dengan baik jika setiap pribadi sejak
masa kecilnya diberi pendampingan dan pendidikan yang baik. Tindakan
pendampingan dan pendidikan tersebut merupakan tanggung jawab dari orang tua.
Karena itu sebutan orang tua bukan hanya sebagai status sosial tetapi sekaligus
memberikan tanggungjawab besar bagi masa depan anak.
Anak adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada orang tua sebagai buah
pertautan cinta suami-istri. Kelahiran anak merupakan saat-saat yang
ditunggu-tunggu. Hal ini tentunya sangat menggembirakan bagi orang tua. Setiap orang tua
mengharapkan agar anak mereka bertumbuh dan berkembang dengan baik.
berprestasi di sekolah, baik hati, menjadi orang yang bertanggung jawab, dan
berpikir positif mengenai diri sendiri. Singkatnya bahwa orang tua mengharapkan
anaknya untuk bahagia dan sukses dalam hidupnya (Azerrad, 2005;13). Namun apa
yang terjadi, jika orang tua mengetahui bahwa anak mereka menderita autis.
Mungkin orang tua merasa berdosa, bersalah dan segala perasaan yang tidak
menyenangkan berkecamuk dalam hati, bahkan mereka khawatir akan masa
depannya. Kondisi tersebut harus semakin memperkuat tanggung jawab orang tua
dalam pendampingan secara khusus atau pendampingan pribadi, serta bagi siapa
saja yang memberikan perhatian dan pendampingan personal bagi penderita autis.
Dewasa ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat.
Hal ini membawa dampak yang mendukung bagi kelangsungan hidup manusia.
Namun, sebaliknya dampak yang kurang mendukung dari pengaruh teknologi yang
berupa pencemaran atau polusi dan limbah yang berpengaruh terhadap timbulnya
autis. Penyebab lain timbulnya autis adalah pola hidup yang tidak sehat dan
makanan yang mengandung pengawet. Fenomena dalam masyarakat saat ini antara
kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia dewasa ini terutama bagi
mereka yang tersisih dan terpingirkan dari masyarakat salah satunya adalah
penderita autis.
Istilah autis sudah cukup populer di kalangan masyarakat, banyak media
cetak maupun elektronik yang mencoba untuk mengupasnya secara mendalam.
Namun di sisi lain masyarakat kurang paham mengenai autis. Autis merupakan
gangguan pada perkembangan otak sehingga penderita mengalami gangguan
autis umumnya mengalami gangguan interaksi sosial atau ketidakmampuan untuk
bergaul. Anak cenderung menyendiri atau mengasingkan diri, sangat tertutup,
terfokus pada diri sendiri sekaligus mengalami gangguan emosi yang
meluap-luap. Anak juga sulit untuk berkonsentrasi. Selain itu, anak autis juga mengalami
keterlambatan perkembangan dalam bidang komunikasi, imajinasi, yang gejalanya
mulai tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Dalam masyarakat muncul banyak
keprihatinan atas permasalahan penderita autis yang kompleks dan akhir-akhir ini,
penderita autis menunjukkan peningkatan jumlahnya (Safari, 2005;11).
Panggilan kemanusiaan untuk membela dan menyelamatkan kehidupan
terutama bagi mereka yang tersisih dan terpinggirkan menjadi tekad bagi
Konggregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus berdasarkan kapitel jendral ke XIII
tahun 2008. Tema dari kapitel jendral ini adalah ”membela kehidupan atau pro life”. Hal yang menjadi spirit dan mendorong penulis untuk ambil bagian dalam keprihatinan saat ini yang sesuai dengan konteks arah misi dan prioritas kapitel
jendral SSpS ke XIII untuk membela dan menyelamatkan kehidupan. Oleh karena
itu, penulis terpanggil untuk mendalami kehidupan para penderita autis dengan
segala permasalahan yang kompleks yang mereka hadapi. Hal ini bertujuan untuk
menemukan sebuah metode pendekatan yang tepat dalam memberikan
pendampingan terhadap penderita autis agar dapat bertumbuh dan berkembang
sesuai dengan potensi mereka.
Demikian halnya dengan Yayasan Arogya Mitra Klaten yang bertujuan
untuk mencerdaskan dan menyelamatkan anak bangsa khususnya para penderita
Pemerintah juga memberikan jaminan sepenuhnya kepada penderita autis untuk
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu sesuai dengan Undang-Undang
nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang
Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan 3 memuat beberapa hal penting tentang sistem
pendidikan nasional sebagai berikut:
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, dan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa (Sisdiknas, 2009;48).
Oleh karena itu, lembaga Arogya Mitra Klaten memberikan wadah pendampingan
dan pendidikan yang dapat membantu proses perkembangan dan pertumbuhan
penderita autis. Upaya penanganan terhadap penderita autis dilakukan melalui
pendampingan personal yang pelaksanaan dan proses pendampingannya
dilaksanakan dengan memperhatikan tingkat kebutuhannya. Adapun
pendampingan tersebut bertujuan untuk membantu meningkatkan kecakapan
emosional peserta didik. Pendampingan dapat tercapai dengan metode
pembelajaran yang menyentuh setiap pribadi. Keutamaan pendidikan dan
pendampingan personal ialah menerima keunikan, keanekaragaman individu
dengan menghargai perbedaan dan menciptakan iklim pembelajaran yang aman
dan ramah bagi setiap individu sehingga pendampingan dapat terlaksana dan
bermakna.
Pelaksanaan pendampingan personal di Arogya Mitra Klaten bagi penderita
kebutuhannya, serta ditunjang dengan penanganan medis. Dalam proses
pendampingan masing-masing penderita didampingi sesuai dengan keunikan dan
kekhasan mereka. Proses pendampingan ini disebut dengan pendampingan
personal.
Lembaga Arogya Mitra dengan visi-misinya, yang mengupayakan dan
menyelamatkan penderita autis agar dapat bertumbuh sebagaimana mestinya.
Harapan ini ditunjang dengan kurikulum pendidikan yang disesuaikan dengan
tingkat permasalahan dan keadaan dari peserta didik. Proses belajar mengajar di
Arogya Mitra berlangsung dari pukul 08.00 sampai dengan 16.00 WIB, dari hari
Senin sampai hari Sabtu. Proses pendampingan personal bagi kecakapan
emosional penderita autis membutuhkan waktu yang panjang untuk dapat
sungguh mengenal permasalahannya sehingga dapat melaksanakan proses
pendampingan yang kontinu dan intensif. Untuk menunjang keberhasilan dalam
pelaksanaan pendampingan bagi penderita autis agar dapat bertumbuh dan
berkembang potensinya, maka dibutuhkan materi-materi yang tepat dan didukung
oleh metode-metode yang kreatif dari pendamping.
Sekali lagi bahwa keberhasilan penderita autis bukan terletak dan
ditentukan oleh para pendamping yang profesional dan peralatan canggih.
Melainkan lebih dari itu, yakni peran serta orang tua, keluarga dan pendamping
dalam memberikan pendampingan secara personal dan intensif guna
memperkembangkan kecakapan emosionalnya. Di harapan pandangan dan
pemahaman masyarakat mengenai penderita autis dapat berubah menjadi
perkembangan penderita autis ke arah yang lebih baik. Namun pada kenyataannya
belum semua pendamping, orang tua, keluarga, masyarakat dapat memahami dan
mengerti mengenai pendampingan personal terhadap penderita autis.
Pelayanan pendampingan personal bertujuan untuk membantu dan
menolong pribadi berdasarkan kebutuhan, kesulitan agar dapat “keluar” dari
situasi tersebut sehingga penderita dapat tumbuh dan berkembang untuk mampu
bersyukur untuk mengalami pengalaman kasih Allah. Demikian halnya dengan
pendampingan pastoral yang bertujuan untuk membantu orang untuk mengenal
kasih Allah. Pendampingan personal bagi penderita autis untuk meningkatkan
kecakapan emosional masih sangat kurang, baik dari segi pendampingnya sendiri
maupun lembaga yang menangani penderita autis. Penulis berharap melalui
tulisan ini, penulis mampu menyumbangkan pemikiran dalam hal pendampingan
personal bagi kecakapan emosional penderita autis, sehingga penderita autis dapat
sungguh ditolong dan terselamatkan masa depannya. Mereka juga adalah
gambarah dan citra Allah yang mempunyai keunikan tersendiri sendiri, serta yang
membutuhkan perkembangan dan pertumbuhan sebagai pribadi manusia yang
utuh. Dengan pertumbuhan dan perkembangan tersebut diharapkan mereka
mampu memberi kontribusi baik bagi dirinya sendiri dalam hidup sehari-hari,
keluarga, masyarakat maupun bangsa dan Negara.
Bertitik tolak dari pemaparan di atas, penulis terpanggil untuk mendalami
kehidupan penderita autis dengan segala permasalahnya yang kompleks yang
PERSONAL BAGI KECAKAPAN EMOSIONAL PENDERITA AUTIS DI
AROGYA MITRA KLATEN“.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka ditemukan beberapa persoalan
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pendampingan personal?
2. Apa yang dimaksud dengan kecakapan emosional?
3. Bagaimana makna pendampingan personal bagi peningkatan kecakapan
emosional penderita autis di Arogya Mitra Klaten?
4. Bagaimana kualitas pendamping?
5. Bagaimanakah kurikulum di lembaga Arogya Mitra Klaten?
6. Sejauh mana perkembangan kecakapan emosional penderita autis selama
menempuh pendidikan di Arogya Mitra klaten?
7. Metode dan sarana apa saja yang dipakai dalam pendampingan personal bagi
penderita autis di Arogya Mitra Klaten?
C. Pembatasan Masalah
Mengingat bahwa fokus permasalahan penderita autis yang begitu luas dan
kompleks, maka penulis membatasi permasalahan ini pada “Makna
Pendampingan Personal Bagi Kecakapan Emosional Penderita Autis di Arogya
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dan permasalahan yang muncul maka
penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pelaksanaan pendampingan personal di Arogya Mitra Klaten?
2. Bagaimanakah kecakapan emosional penderita autis di Arogya Mitra Klaten?
3. Sejauhmana pendampingan personal bermakna bagi peningkatan kecakapan
emosional penderita autis di Arogya Mitra Klaten?
E. Tujuan Penulisan
Berdasarkan identifikasi dan rumusan permasalah, penulisan skripsi ini
bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan pendampingan personal di Arogya Mitra Klaten.
2. Mendeskripsikan kecakapan emosional penderita autis di Arogya Mitra
Klaten.
3. Mendeskripsikan makna pendampingan personal bagi peningkatan kecakapan
emosional penderita autis di Arogya Mitra Klaten.
F. Manfaat Penulisan
1. Bagi lembaga Arogya Mitra Klaten
Agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan bagi penderita autis di lembaga
Arogya Mitra Klaten.
Agar dapat menemukan metode pendampingan yang tepat bagi pengembangan
kecakapan emosianal penderita autis dalam memecahkan persoalan hidup
sehari-hari.
3. Bagi penderita autis di Arogya Mitra Klaten
Agar penderita autis menyadari mereka adalah kelompok manusia yang
berharga sebagai gambaran dan citra Allah.
4. Bagi penulis
Agar penulis memiliki wawasan yang tepat dan benar mengenai penderita
autis dan metode pendampingan yang sesuai serta bagian dari perutusan
penulis untuk membela dan menyelamatkan kehidupan terutama bagi
penderita autis.
5. Bagi lembaga pendidikan ilmu kateketik
Agar lembaga pendidikan kateketik menyadari bahwa pelayanan bagi
penderita autis juga merupakan bagian dari karya pendidikan dan pelayanan
pastoral.
6. Bagi masyarakat
Agar masyarakat berpandangan positif terhadap penderita autis supaya dapat
mengembangkan potensinya.
G. Metode Penulisan
Penulisan mengunakan metode deskriptif dan analisis, yang merupakan
metode kualitatif yang mengambarkan dan menganalisis data yang diperoleh
berhubungan dengan pendampingan personal dalam meningkatkan kecakapan
emosional penderita autis.
H. Sistematika Penulisan
Judul skripsi ini adalah “Makna Pendampingan Personal Bagi Kecakapan
Emosional Penderita Autis di Arogya Mitra Klaten”. Penulisan skripsi ini dibahas
dalam empat bab.
Bab I: Pendahuluan menguraikan, latar belakang, identifikasi masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
metode penulisan, sistematika penulisan.
Bab II: Kajian teori membahas tentang makna pendampingan personal bagi
kecakapan emosional penderita autis yang diuraikan dalam delapan bagian.
Bagian A, Pendampingan membahas tentang pengertian pendampingan dan
pendampingan personal. Pada bagian ini dibahas tentang tujuan dan fungsi
pendampingan personal, unsur-unsur dalam pendampingan personal, sikap dasar
pendampingan personal, sikap dasar peserta pendampingan personal,
bentuk-bentuk pendekatan dalam pendampingan personal. Langkah-langkah dalam
pelaksanaan pendampingan personal, langkah identifikasi, langkah diagnose,
langkah prognosis, langkah terapi, langkah evaluasai. Bagian B, membahas
tentang pendampingan personal sebagai bentuk dari pelayanan pastoral. Bagian
ini dibahas tentang pengertian pastoral, aspek-aspek karya pastoral, pastoral
sebagai tindakan pengembangan iman, pastoral sebagai tindakan pengungkapan
gereja, makna pendampingan personal dalam pelayanan pastoral. Bagian C,
membahas tentang kecakapan emosional. Pada bagian ini meliputi: pengertian
emosi, perkembangan emosi, hal-hal yang mempengaruhi emosi dalam
kehidupan, peranan emosi dalam kehidupan, pengendalian emosi, kecakapan
emosi, faktor-faktor kecakapan emosi, makna kecakapan emosi. Bagian D,
membahas tentang penderita autis dan permasalahannya. Pada bagian ini dibahas
tentang siapa penderita autis, ciri-ciri penderita autis, perkembangan penderita
autis, keunikan penderita autis, perilaku penderita autis. Bagian E, berisi makna.
Bagian F, berisi kerangka pikir. Bagian G, berisi fokus. Bagian H, berisi
pertanyaan penelitian.
Bab III: Metodologi, hasil dan pembahasan penelitian. Bagian A, metodologi
penelitian, berisi pendekatan penelitian, pemilihan setting, waktu penelitian,
subjek peneliti, tehnik pengumpulan data, pemeriksaan keabsahan penelitian,
tehnik analisi data. Bagian B, hasil penelitian, berisi temuan umum dan temuan
khusus. Bagian C, berisi hasil penelitian. Bagian D, berisi refleksi kateketis.
Bagian E, berisi keterbatasan penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Pada bab ini, akan dibahas tentang pendampingan personal, kecakapan
emosional penderita autis. Bagian A, Pendampingan membahas tentang
pengertian pendampingan dan pendampingan personal yang meliputi: tujuan dan
fungsi pendampingan personal, unsur-unsur dalam pendampingan personal, sikap
dasar pendampingan personal, sikap dasar peserta pendampingan personal,
bentuk-bentuk pendekatan dalam pendampingan personal. Langkah-langkah
dalam pelaksanaan pendampingan personal, langkah identifikasi, langkah
diagnose, langkah prognosis, langkah terapi, langkah evaluasai. Bagian B,
membahas tentang pendampingan personal sebagai bentuk dari pelayanan
pastoral. Pada bagian ini dibahas tentang pengertian pastoral, aspek-aspek karya
pastoral, pastoral sebagai tindakan pengembangan iman, pastoral sebagai tindakan
pengungkapan kharisma Gereja, pastoral merupakan tindakan pengungkapan ciri
pelayanan Gereja, makna pendampingan personal dalam pelayanan pastoral.
Bagian C, membahas tentang kecakapan emosional. Pada bagian ini dibahas
tentang pengertian emosi, perkembangan emosi, hal-hal yang mempengaruhi
emosi dalam kehidupan, peranan emosi dalam kehidupan, pengendalian emosi,
kecakapan emosi, faktor-faktor kecakapan emosi, makna kecakapan emosi.
Bagian D, membahas tentang penderita autis dan permasalahannya. Pada bagian
ini dibahas tentang siapa penderita autis, ciri-ciri penderita autis, perkembangan
makna. Bagian F, berisi kerangka pikir. Bagian G,berisi fokus. Bagian H, berisi
pertanyaan penelitian.
A. Pendampingan
1. Pengertian Pendampingan
Secara umum pendampingan merupakan usaha yang dilakukan oleh
pendamping terhadap orang tertentu atau kelompok tertentu yang mengalami
suatu masalah. Kegiatan pendampingan bertitik tolak dari sebuah keyakinan
bahwa permasalahan yang dihadapai dapat teratasi dan orang yang didampingi
mempunyai potensi untuk bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang baik
(Mangunhardjana, 1986;21-22). Dalam kegiatan pendampingan setiap
pendamping harus menghargai setiap pribadi yang didampingi dan tidak
menganggap mereka sebagai orang yang tidak tahu dan tidak mengerti apa-apa.
Kehadiran pendamping sedapat mungkin membantu individu yang didampingi
untuk menemukan kembali harga diri, kemampuan atau potensi yang ada dalam
dirinya, sehingga memungkinkan orang tersebut untuk mencapai keutuhan hidup.
Menurut Candra pendampingan sebagai sebuah proses pengajaran dan
pembelajaran antara pendamping dengan orang yang didampingi (Candra, 2010;
5). Pendamping adalah seseorang yang memiliki pengalaman yang lebih banyak
dan lebih ahli dalam bidang pendampingan. Berbeda dengan Candra, Mayeroff
berpendapat bahwa pendampingan dari kata kerja “mendampingi” yang berarti
menolong orang agar dapat menumbuhkan dan mengaktualisasikan dirinya secara
adanya keterlibatan aktif dari kedua belah pihak. Kegiatan pendampingan selalu
bertolak dari sebuah pendapat dasar bahwa persoalan yang dihadapi dapat diatasi
karena pribadi yang didampingi mempunyai kemampuan untuk dapat bertumbuh
dan berkembang menjadi pribadi yang baik.
2. Pengertian Pendampingan Personal
Istilah kepribadian “personality” berasal dari kata Latin “persona” yang berarti “topeng”. Allport berpendapat pribadi atau personal adalah susunan
sistem-sistem psikofisik (kebiasaan, sikap, nilai, keyakinan, keadaan, emosional,
perasaan) yang dinamis dalam diri sehingga individu mampu menyesuaikan
dengan lingkungannya (Hurlock, 1976;236-237).
Pendampingan personal atau cura personalis adalah proses pendampingan yang dilakukan dengan cara menyesuaikan dengan situasi masing-masing pribadi.
Baik itu keunikan atau kekhasan setiap pribadi menjadi penekanan utama dalam
pendampingan personal. Dengan demikian, maka seluruh materi pendampingan
yang diberikan disesuaikan dengan dinamika kehidupannya dari masing-masing
pribadi yang didampingi (Darminta, 1993;14).
Soenarja berpendapat, bahwa pendampingan personal adalah suatu
pertemuan antara dua pribadi yang saling mengkomunikasikan sehingga terjadi
suatu komunikasi timbal balik antara dua pribadi tersebut. Tujuannya untuk
mengarahkan seseorang atau pribadi guna menentukan jalan hidupnya yang akan
berlangsung dan berkesinambungan terus menerus. Pendampingan personal ini
hidupnya (Soenarja, 1984;76-77). Pendampingan personal menurut Prasetyo
merupakan usaha untuk membantu individu terus menerus dalam proses
memperbaharui diri atau menata hidup agar tidak “mandeg” dalam proses
pertumbuhan dan pembaharuan diri sesuai dengan tempat dan kemampuannya
(Prasetyo, 2000;14).
Pendampingan personal menurut ketiga pendapat di atas dapat dirumuskan
sebagai berikut, suatu proses pendampingan yang membantu atau menolong
individu berdasarkan keunikannya masing-masing, agar individu dapat bertumbuh
dan berkembang sesuai potensi yang ada dalam dirinya. Ciri khas pelaksanaan
pendampingan personal baik pendampingan yang dilakukan secara individu
maupun pendampingan kelompok atau bersama dengan tetap menekankan pada
keunikan masing-masing pribadi. Dalam pelaksanaan pendampingan personal
terjadi komunikasi timbal balik antara pendamping dan yang didampingi sehingga
terjadi suatu proses pembaharuan dalam diri individu tersebut untuk mengalami
syukur dan cinta Tuhan dalam hidupnya.
a. Tujuan dan Fungsi Pendampingan Personal
Pendampingan personal bertujuan untuk membantu pribadi mengenal latar
belakangnya, memahami situasi permasalahan yang ada dalam dirinya agar
mampu keluar dari permasalahan dan kesulitan yang dihadapinya, sehingga
individu mengalami kehadiran Allah dalam hidupnya (Darminta, 1993;14).
Fungsi pelayanan pendampingan personal adalah berfokus pada manusia
Manusia yang dimaksudkan di sini adalah manusia yang berkembang, yang terus
menerus berusaha mewujudkan manusia yang seutuhnya. Wahana paling utama
untuk terjadinya proses dan tercapainya tujuan perkembangan tersebut tidak lain
adalah pendampingan. Pendampingan personal merupakan upaya memanusiakan
manusia. Tanpa pendampingan seorang manusia yang lahir tidak akan mampu
memperkembangkan dimensi keindividualannya, kesosialannya, kesusilannya,
dan keberagamaannya. Ia akan menjadi “manusia alam”, bukan manusia budaya
yang hidup bersama dengan manusia-manusia lainnya dalam tatanan budaya
tertentu (Prayitno, 1999;181).
Dalam hal ini pendampingan dan pendidikan merupakan upaya untuk
membudayakan manusia muda. Upaya pembudayaan ini meliputi menyiapan
manusia muda menguasai alam lingkungannya, memahami dan melaksanakan
nilai-nilai, norma yang berlaku, melakukan peranan yang sesuai serta
menyelenggarakan kehidupan yang layak. Untuk tugas-tugas masa depan mereka
yaitu melalui proses pendampingan manusia yang memperkembangkan diri
sekaligus mempersiapkannya sesuai dengan potensi yang ada dalam diri mereka
serta ditunjang dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Pendampingan tersebut
merupakan upaya berkelanjutan. Sebagai proses, kegiatan pendampingan tidak
sekali jadi atau selesai. Hal ini diibaratkan bola salju yang menggelinding, makin
jauh menggelinding makin besar. Demikian halnya dengan proses pendampingan
personal yang dikatakan berhasil dan setiap kali memperkaya anak yang
didampingi semakin mantap pribadinya dalam pendampingan menuju pada
sampai pada pencapaian hasil itu saja, melainkan terus digelindingkan untuk
mencapai hasil-hasil perkembangan yang lainnya (Suparno, 2002;12-13).
b. Unsur-Unsur dalam Pendampingan Personal
Hal ini perlu disadari, bahwa keberhasilan dalam suatu kegiatan
pendampingan sangat ditentukan oleh beberapa unsur berikut yaitu, sikap
pendamping, sikap peserta pendampingan, metode pendekatan serta beberapa hal
lain yang juga turut menunjang keberhasilan kegiatan dalam pendampingan
personal, seperti halnya: kerjasama antara pendamping dengan yang didampingi,
antara pendamping dengan pendamping, lingkungan yang kondusif di dalam
pelaksanaan pendampingan personal, serta sarana dan prasarana yang menunjang
dan memadai (Mayeroff, 1993;25).
c. Sikap Dasar dalam Pendampingan Personal
Kegiatan pendampingan personal dapat berjalan dengan baik dan dapat
berhasil pertama-tama ditentukan oleh sikap pendamping. Sikap yang
dimaksudkan di sini adalah adanya keterbukaan dari pendamping, keramahan,
penerimaan, pengenalan terhadap pribadi peserta yang didampingi, kesabaran dan
ketulusan hati. Dengan sikap-sikap tersebut seorang pendamping dalam
pendampingan personal dapat menerima setiap pribadi dengan segala kekurangan
dan kelebihannya. Sikap menerima apa adanya merupakan kebutuhan yang paling
mendasar bagi pribadi yang didampingi untuk dapat memulihkan kembali harga
setiap pribadi yang didampingi dengan permasalahan yang dialami. Sikap
penerimaan seperti ini harus disertakan dengan suatu kesanggupan untuk dapat
membaca setiap situasi yang terjadi dalam diri pribadi yang didampingi, sehingga
kegiatan pendampingan tidak dipandang sebagai kegiatan monolog dan
membosankan, melainkan suatu kesempatan yang baik bagi peserta
pendampingan untuk saling belajar guna menemukan sesuatu yang baru yang
dapat memulihkan kembali harga diri mereka. Oleh karena itu dalam proses
pendampingan seorang pendamping harus peka terhadap situasi yang dialami oleh
setiap pribadi dalam pendampingan, sehingga kegiatan pendampingan tersebut
bisa menjawabi kebutuhan mereka.
Hal lain yang perlu disadari dan dipahami oleh setiap pendamping ialah
untuk mendapatkan hasil yang baik dari suatu proses pendampingan maka
dibutuhkan waktu yang lama. Maka dari itu diperlukan suatu sikap sabar dari
seorang pendamping. Sabar tidak dalam arti bersikap pasif dan putus asa
melainkan mengikuti perkembangan yang dialami oleh peserta atau individu yang
didampingi dari tahapan-tahapan pendampingan personal sambil memberikan
kesempatan bagi individu tersebut untuk berkembang sesuai dengan dinamika
kepribadiannya. Dalam kesabaran tersebut dituntut pula suatu kualitas lain dari
seorang pendamping yakni ketulusan dan kejujuran. Dengan hati yang tulus dan
nurani yang jujur seorang pendamping dapat menerima orang yang didampingi
sebagaimana adanya bukan sesuai dengan apa yang diinginkan atau diharuskan
oleh pendamping. Hanya dengan hati yang tulus dan nurani yang jujur seorang
didampingi untuk menumbuhkan rasa percaya diri dan menjadi pribadi otonom
dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi (Mayerroff, 1993;15-56).
Apabila kegiatan pendampingan personal itu dilaksanakan dalam sebuah
team atau lembaga maka sangat diharapkan kerjasama yang baik antar
pendamping. Kerja sama yang dimaksudkan di sini tidak hanya mengacu pada
aturan yang sama melainkan merencanakan bersama segala sesuatu yang
dibutuhkan dalam pendampingan personal. Dengan kerjasama ini pula maka
terciptalah sebuah lingkungan yang kondusif bagi pelaksanaan seluruh kegiatan
pendampingan personal (Mangunhardjana, 1986;49).
d. Sikap Dasar Peserta dalam Pendampingan Personal
Keberhasilan dalam pendampingan personal tidak hanya ditentukan oleh
pendamping dalam melaksanakan tugasnya dalam pendampingan, tetapi juga
ditentukan oleh peserta pendampingan itu sendiri. Karena itu, dalam kegiatan
pendampingan personal peserta pendampingan perlu memiliki beberapa sikap
sebagai berikut yaitu: mengenal diri sendiri, kemauan untuk berubah, kemauan
untuk belajar nilai-nilai yang baru, dan terlibat secara aktif dalam proses
pendampingan. Kemauan untuk berubah menunjukkan bahwa peserta mempunyai
keinginan untuk menolong dirinya sendiri serta bertanggung jawab atas hidupnya.
Karena itu perubahan yang dimaksudkan ialah usaha untuk memulihkan kembali
harga diri dengan cara mengintegrasikan nilai-nilai yang baru yang diperoleh
dalam kegiatan pendampingan dengan nilai-nilai yang sudah ada dalam dirinya.
kekurangan dan kelebihan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan sosial
disekitarnya.
Melalui kegiatan pendampingan setiap peserta melakukan kegiatan belajar.
Belajar yang dimaksudkan di sini bukan mempelajari teori atau konsep-konsep
melainkan belajar tentang nilai-nilai baru, hal-hal yang baru yang belum pernah
diketahui. Dengan pengalaman yang baru tersebut dapat membantu setiap pribadi
untuk melakukan perubahan dalam bertingkah laku. Agar nilai-nilai yang
diperoleh itu bermanfaat bagi perubahan yang diinginkan maka peserta
pendampingan harus terlibat secara aktif dalam seluruh kegiatan dan berinteraksi
dengan pendamping maupun sesama peserta pendampingan. Hanya dengan
berinteraksi dengan pihak lain peserta pendampingan dapat melaksanakan
nilai-nilai yang diperoleh dalam pendampingan sehingga nilai-nilai-nilai-nilai tersebut menjadi
miliknya (Mayeroff, 1993;15-56).
e. Bentuk-Bentuk Pendekatan dalam Pendampingan Personal
Dalam pendampingan personal terdapat bermacam-macam bentuk
pendekatan seperti: pendekatan ekshortatif, pendekatan ilmiah, pendekatan terjun langsung, dan pendekatan kelompok. Setiap bentuk pendekatan menekankan
aspek yang berbeda-beda serta memiliki kekuatan dan kelemahannya
masing-masing.
Pendekatan ekshortatif adalah suatu pendekatan yang berusaha untuk mencapai tujuan pendampingan dengan menanamkan nilai-nilai tertentu dengan
peserta pendampingan. Kekuatan pendampingan ini terletak pada pemberian
dorongan dan motivasi, kelemahannya peserta diberi dengan berbagai macam
nilai tanpa memperhitungkan minat, kebutuhan dan keadaan dari peserta
pendampingan.
Pendekatan ilmiah adalah usaha penanaman nilai-nilai melalui pemberian
informasi yang didasarkan pada hasil-hasil studi dan penelitian ilmiah. Dalam
pendekatan ini peserta kadang-kadang dilibatkan dalam proses penelitian.
Pendekatan ini efektif untuk memberikan penjelasan yang sifatnya informatif
sehingga peserta dapat mengetahui beberapa hal baru namun hal-hal baru tersebut,
belum tentu dapat diterapkan dalam kehidupannya karena peserta sendiri tidak
mempunyai kemampuan yang cukup dalam memilih mana yang cocok untuk
kehidupannya. Di samping itu pendekatan ilmiah cenderung menekankan aspek
kognitif (pikiran), bukan pada hati, kehendak, sikap, perbuatan, dan perilaku
hidup.
Pendekatan terjun langsung adalah suatu pendampingan personal yang
dilakukan dengan cara melibatkan peserta secara langsung masuk dalam situasi
nyata untuk menemukan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pendekatan ini
menekankan keterlibatan peserta dalam situasi hidup yang nyata. Dalam
pendekatan ini peserta dituntut mengalami sendiri, merefleksikan
pengalaman-pengalaman hidupnya dan menemukan sendiri nilai-nilai yang berguna bagi
kehidupannya. Banyak peserta dalam pendampingan ini tertolong dengan
pendekatan tersebut. Kendati demikian kelemahan pendekatan ini adalah arah
Pendekatan kelompok adalah bentuk pendampingan yang dilakukan dalam
kelompok. Kelompok dibentuk untuk dijadikan sarana belajar bersama dalam
mengolah dan menghayati nilai-nilai. Pendekatan ini membantu peserta untuk
berinteraksi dengan peserta lain, belajar, berlatih dan mempraktekkan hal-hal yang
berhubungan dengan pengembangan diri dalam suatu kelompok. Pendekatan ini
cukup efektif karena jumlahnya kecil sehingga mudah diarahkan dan peserta
sungguh-sungguh terlibat dalam menemukan sesuatu yang berarti baginya dan
mencoba mengahayati nilai-nilai yang ditemukan dalam kelompoknya.
(Mangunhardjana, 1986;52-53).
3. Langkah-Langkah dalam Pelaksanaan Pendampingan Personal
Dalam pelaksanaan pendampingan personal, terdapat langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Langkah identifikasi
Langkah ini adalah untuk mengenal latar belakang peserta pendampingan.
Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman yang sebaik-baiknya tentang
masalah atau kesulitan yang dialami oleh perserta pendampingan sehingga
pendamping dapat menetapkan jenis bantuan yang diberikan terhadap peserta
pendampingan. Dalam langkah ini pendamping mengumpulkan
b. Langkah Diagnosis
Langkah diagnosis adalah untuk menetapkan masalah yang dihadapi oleh
peserta pendampingan berkaitan juga dengan latar belakang. Dalam langkah ini
kegiatan yang dilakukan pendamping dapat juga pengumpulan data, mengadakan
studi terhadap peserta pendampingan, menggunakan berbagai teknik dalam
pengumpulan data. Setelah data terkumpul pendamping dapat menetapkan
masalah yang dihadapi oleh peserta pendampingan berkaitan juga dengan latar
belakangnya.
c. Langkah Prognosis
Langkah Prognosis adalah langkah untuk menentukan atau menetapkan
jenis bantuan yang akan dilaksanakan dalam proses pendampingan. Langkah
tersebut ditetapkan berdasarkan kesimpulan dalam langkah diagnosis, yaitu
setelah ditetapkan masalahnya dan latar belakangnya. Langkah prognosis ini
ditetapkan bersama setelah pertimbangan berbagai kemungkinan dan berbagai
faktor.
d. Langkah Terapi
Langkah terapi adalah pelaksanaan bantuannya pendampingan yang
pelaksanaannya berdasarkan ketetapan dalam langkah prognosis. Pelaksanaan
langkah terapi ini memerlukan banyak waktu dan membutuhkan suatu proses
e. Langkah Evaluasi
Langkah evaluasi dan tindak lanjut dimaksudkan untuk menilai atau
mengetahui sejauhmana terapi yang dilakukan dan telah mencapai hasilnya.
Dalam langkah tindak lanjut atau tindak lanjut yaitu, untuk melihat
perkembangan selanjutnya dalam jangka waktu yang lebih jauh (Salahudin,
2010;95-96).
B. Pendampingan Personal Sebagai Bentuk dari Pelayanan Pastoral
1. Pengertian Pastoral
Kata "pastoral" merupakan kata sifat dari kata “pastor" dalam bahasa Latin,
yang artinya: "Gembala". Jadi, secara harafiah kata "pastoral" berarti segala hal
yang berkaitan dengan tugas kegembalaan (Mardiatmadja, 1986;21). Dalam
perkembangannya selanjutnya kata pastoral mendapat perluasan makna yang
berarti: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang gembala. Makna tersebut
menggaris bawahi gambaran Allah sebagai Gembala (Mazmur 23), dan Yesus
yang menyebut diri-Nya sebagai Gembala yang baik (Yoh 10:11). Dengan
demikian secara biblis kata pastoral dimaksudkan untuk menyebut tindakan Allah
Sang Gembala Ilahi yang memelihara, melindungi dan prihatin akan keselamatan
umatNya.
Dalam Perjanjian Lama, Israel mengimani Yahwe sebagai Gembala mereka
(Mazmur 23), yang selalu menjaga dan membimbing umatNya menjadi satu
murid mengimani Yesus sebagai Gembala yang baik (Yoh 10:1-21). Dari
penjelasan di atas dapat di simpukan bahwa pastoral adalah segala hal baik sikap,
kata dan tindakan yang berkaitan dengan tugas kegembalaan Allah dan Yesus
Kristus yang dilanjutkan oleh Gereja hingga saat ini.
a. Aspek-Aspek Karya Pastoral
Karya pastoral dimengerti sebagai tindakan Gereja sebagai keseluruhan
umat Allah dalam rangka melaksanakan tugas perutusan serta panggilanNya.
Dalam praksis Gereja, hal ini bukan hanya karya pastoral atau hirarki saja.
Melainkan juga menekankan keterlibatan seluruh umat beriman dalam
melaksanakan tugas perutusan serta panggilan Gereja (Adisusanto, 2000;13).
Demikian juga diungkapkan Van Hooijdonk bahwa karya pastoral adalah karya
keselamatan bagi semua orang dan merupakan misi Gereja dewasa ini. Dalam
menjalankan misi tersebut Gereja perlu memperhatikan beberapa aspek berikut
seperti isi, sifat dan bentuk tindakan (Hooijdonk, 1980;7). Ketiga aspek tersebut
mengarah kepada perkembangan iman, mengungkapkan kharisma Gereja, dan ciri
pelayanan pastoral Gereja.
b. Pastoral Sebagai Tindakan Mengembangkan Iman
Iman merupakan jawaban manusia terhadap sapaan Allah. Allah hadir
secara kongkrit di tengah manusia dalam diri PutraNya Yesus Kristus. Yesus
adalah gambaran Allah yang datang untuk menyelamatkan manusia. Hakekat dari
perbuatan adalah mati (Yak 2:14). Dengan ini Yakobus menegaskan bahwa iman
baru punya arti jika disertakan dengan tindakan atau perbuatan kongkret.
Tindakan yang dimaksudkan di sini adalah tindakan yang menyelamatkan
manusia sekaligus mengembangkan iman itu sendiri. Dalam konteks pastoral
setiap tindakan yang dilakukan oleh manusia terutama kepada sesama atau orang
lain yang menderita merupakan tindakan yang mengkonkritkan kehendak Allah
yang menyelamatkan manusia. Manusia adalah pengantara dan alat yang dipakai
oleh Allah untuk menyelamatkan sesama yang menderita dan tersingkirkan,
karena itu siapapun manusia yang ikut mengambil bagian dalam karya pastoral
adalah gambaran dari tindakan Allah yang menggembalakan umatnya. Dengan
keyakinan ini menyadarkan setiap orang beriman untuk sungguh memahami
bahwa dalam melaksanakan karya pastoral modal utama adalah iman dan melalui
karya-karya yang kita lakukan terutama pendampingan terhadap orang yang
menderita dan tersingkirkan memperteguh keyakinan kita bahwa dengan iman
manusia diselamatkan (Luk 18: 42).
c. Pastoral Sebagai Tindakan Pengungkapkan Kharisma Gereja
Salah satu kharisma utama dari Gereja adalah pelayanan. Yesus sebagai
kepala Gereja menegaskan bahwa “Aku datang bukan untuk dilayani melainkan
untuk melayani”. Tugas pelayanan ini diteruskan oleh Gereja, sejak Gereja
perdana sampai saat ini dan selanjutnya. Untuk menjalankan tugas tersebut setiap
anggota Gereja dianugerahi oleh Allah karunia-karunia khusus yang salah satunya
kepada Gereja dewasa ini yang dipanggil untuk melayani. Seluruh karya pastoral
Gereja merupakan karya yang mengungkapkan kharisma Gereja yakni dipanggil
untuk melayani.
d. Pastoral Merupakan Tindakan Pengungkapkan Ciri Pelayanan Gereja.
Tuhan Allah sebagai pencipta langit dan bumi menghendaki dan peduli
akan keselamatan dunia dan umat manusia. Karya Allah yang besar itu nampak
dalam karya Yesus Sang Gembala Agung dan kepala Gereja. Melalui karyaNya
Yesus mengungkapkan bagaimana Allah yang mengutusnya itu berbelas kasih
kepada manusia khususnya kepada orang tersingkirkan. Dalam pelayananya
Yesus menempatkan”orang sakit’’sebagai prioritas utama. Ia mendekati mereka,
menyentuh dan ada bersama orang sakit. Dengan ini Yesus sungguh konsisten
pada tujuan penciptaan Gereja yakni sebagai persukutuan umat beriman yang
bersifat mempedulikan, mendampingi dan merawat (Wiryasaputra, 1995;13).
Sikap kepedulian ini menjadi ciri khas Gereja dari abad ke abad. Dengan ciri yang
demikian orang akhirnya dapat memahami apabila gereja melalui pastoral care menjadi pelopor dalam pendampingan orang sakit.
2. Makna Pendampingan Personal dalam Pelayanan Pastoral
Pendampingan pastoral adalah suatu proses menolong yang bersifat jangka
panjang dan terjadi suatu perubahan yang fundamental dalam diri individu.
Hakekat dan tujuan dari pendampingan pastoral adalah untuk membantu orang
sesama. Yesus meringkas semua hukum Taurat dan Kitab para nabi di dalam
perintah “Kasih” (Imamat 19:18) dan dalam (Ulangan 6: 5), hal ini merupakan inti
dari seluruh pelayanan gereja (Camphell, 1994;11).
Manusia memiliki wilayah yang paling istimewa dalam dunia ciptaan. Sejak
dahulu kala manusia menganggap dirinya secara hakiki berbeda dengan makluk
ciptaan lainnya bahkan lebih baik dari ciptaan yang lain. Hal ini dicirikan oleh
adanya nilai intrinsik yang dimiliki oleh manusia yakni “martabat” yang
membuatnya bernilai mengatasi segala harga. Jika demikian manusia harus
diperlakukan sebagai tujuan dan bukan sebagai sarana. Hal ini berarti pada taraf
yang paling dasar kita mempunyai suatu kewajiban moral untuk berbuat baik
kepada orang lain, mempromosikan kesejahteraan mereka dan menaruh hormat
pada hak-hak mereka. Seperti halnya para penderita autis merupakan sekelompok
manusia yang mengalami gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan
kepribadian. Mereka adalah “pribadi” yang sering terlupakan bahkan cenderung
disingkirkan dari kehidupan. Meskipun demikian sebagai manusia mereka tetap
memiliki nilai intrinsik “martabat manusia”. Mereka adalah anggota dari suatu
keluarga, warga dari suatu komunitas Gereja dan masyarakat dari sebuah negara
dan dunia yang harus diselamatkan.
Pendampingan personal merupakan bagian dari karya pelayanan pastoral
Gereja dalam rangka menyelamatkan martabat manusia. Pendampingan personal
bagi penderita autis merupakan salah satu karya pastoral Gereja yang disebut juga
“Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang
merupakan kegembiraan dan harapan duka dan kecemasan para murid Kristus
juga” ( G.S.1).
Konsili menekankan sikap hormat terhadap pribadi manusia dan harus
diselamatkan sesuai dengan visi Perjanjian Baru tentang Gereja sebagai umat
Allah (2 Kor 6;16), suatu persekutuan yang bersifat mendampingi dan satu
kesatuan organis yang didalamnya setiap anggota mempunyai talenta dan
pelayanan yang unik. Misi Gereja adalah memperbesar kasih kepada Allah dan
kasih kepada sesama di antara manusia. Misi ini dilakukan oleh Gereja dalam
seluruh karya pastoralnya.
Dalam pendampingan pastoral itu terjadi dalam proses perjumpaan yang
dinamis antara pendamping dengan individu yang didampingi. Sebab
pendampingan pastoral bukan sekedar sebuah proses wawancara antara
pewawancara dengan orang yang diwawancarai, bukan pula hubungan antara
orang sehat dan orang sakit. Pendampingan pastoral adalah proses perjumpaan
timbal balik antara kedua belah pihak, pendamping dan yang didampingi,
pendamping pastoral dan pasien (Wiryasaputra, 1995; 7). Dengan demikian yang
ditekankan dalam pendampingan pastoral adalah bukan untuk memberi nasihat,
bukan wejangan, bukan teori, bukan latihan dengan media gambar, bukan
menegur, bukan memberi reward, bukan menyelidiki, bukan pula mengajar atau memberi terapi melainkan berada di samping penderita untuk mendengar segala
pergumulan hidup mereka. Tugas utama seorang pendamping dalam perspektif
mengalami penyembuhan, melainkan membiarkan dia untuk mengalami
pengalaman secara penuh dan menjadi penyembuh yang terluka bagi dirinya
sendiri.
Dalam pendampingan pastoral pendamping tidak boleh menghambat
penderita untuk mengalami pengalamnnya secara utuh tetapi memberikan
peneguhan kepadanya sambil memberikan nilai-nilai baru bagi kehidupannya.
Jika demikian pertanyaan kita adalah bagaimana makna pendampingan personal
dalam pelayanan pastoral. Pendampingan terjadi dalam sebuah perjumpaan
dinamis antara pendamping dengan individu yang didampingi dan melibatkan
seluruh keberadaan mereka berdua. Kedudukan mereka sama dan sederajat. Di
sana ada hubungan timbal balik, ada dialog kendati inisiatif datang dari
pendamping. Pusat perhatian dalam pendampingan adalah pengalaman individu
yang didampingi. Segala daya upaya pihak pendamping harus ditujukan untuk
kesejahteraan lahir dan batin individu yang didampingi. Dalam proses perjumpaan
antara keduanya ada dua dinamika utama yakni dinamika pemecahan masalah dan
dinamika hubungan. Dinamika pemecahan masalah menyangkut permasalahan
yang dialami oleh penderita dan pendamping dengan pengetahuan dan
pengalamannya berkewajiban menolong memahami persoalan yang dihadapi lalu
mencari solusi pemecahannya. Dinamika kedua menekankan sikap pendamping
dalam merelasikan diri dengan pihak yang di dampingi dan sebaliknya. Dalam
dinamika relasional ini muncul proses pertukaran nilai, pandangan, kepercayaan,
memandang berbagai perubahan dalam kehidupan penderita autis baik
menyangkut kognitif, psikomotorik maupun emosionalnya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa model pendampingan personal dalam
pelayanan pastoral mempunyai perbedaan cukup besar dengan model-model
pendekatan personal lainnya dalam mengembangan kecakapan emosional
penderita autis. Menurut hemat penulis perbedaan itu nampak pada beberapa hal
berikut “cara pandang, proses dan orientasi”. Pertama, dalam metode terdahulu
penderita autis sungguh dipandang sebagai penderita yang siap menerima
pertolongan atau bantuan, sedangkan model pastoral penderita adalah tetap
manusia yang perlu diberi kesempatan untuk menggali pengalamannya sendiri
sesuai dengan kemampuannya. Penderita harus mampu menyembuhkan dirinya
sendiri. Kedua proses; dalam pendampingan pastoral proses pendampingan
dilakukan dalam sebuah dialog kendati inisiatif dari pendamping, ada tukar
menukar nilai, pandangan, saling belajar. Ketiga orientasi; pendampingan pastoral
tidak hanya berorientasi pada proses penyembuhan atas penderitaan yang dialami
melainkan dengan latihan-latihan yang dilakukan penderita harus mampu
menyembuhkan dirinya sendiri dengan memunculkan kembali rasa kepercayaan
terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain dan terhadap Tuhan pemberi
C. Kecakapan Emosional
1. Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu movere, yang berarti
“menggerakkan, bergerak” menjauh. Pengertian ini menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi, karena emosi pada
dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Karena itu, Rochelle memahami
emosi sebagai perasaan yang kita alami seperti sedih, gembira, kecewa, semangat,
marah, benci, cinta.Perasaan-perasaan tersebut berpengaruh terhadap pikiran dan
tindakan seseorang. Misalnya tingkah laku seorang ibu dalam keadaan sedih
berbeda dengan tingkah laku pada saat ia dalam keadaan gembira. Senada dengan
Rochelle, Sundari memahami emosi sebagai bagian dari perasaan yang sangat
luas. Emosi tampak berupa rasa yang bergejolak sehingga yang bersangkutan
mengalami perubahan dalam situasi tertentu mengenai perasaannya (Sundari
dalam Sobur, 2005;23). Menurut Walgito (1982;17), emosi merupakan tindakan
seseorang yang berpengaruh dari keadaan pikirannya, pertimbangan akalnya dan
tidak jarang juga situasi lingkungan juga berpengaruh. Contohnya marah, jengkel,
senang, sedih.
Berbeda dengan ketiga ahli di atas Golemen memahami emosi dalam
konteks yang lebih luas yang merujuk pada perasaan dan pikiran-pikiran khas
sekaligus mencakup keadaan biologis dan psikologis dengan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak (Goleman 1996;411). Emosi pada dasarnya adalah
dorongan untuk bertindak dan bereaksi terhadap setiap stimulus dari luar diri
sehingga terjadi perubahan suasana hati, emosi sedih mendorong seseorang untuk
menangis. Berdasarkan pemahamannya ini Goleman mengelompokkan emosi
sebagai berikut antara lain: marah, sedih, takut, nikmat, cinta, terkejut, takjub,
jengkel dan malu.
Emosi merupakan dorongan seseorang untuk bertindak dan bereaksi
terhadap rangsangan yang datang baik dari dalam maupun dari luar karena
pengaruh situasi lingkungan sekitar. Perubahan situasi dalam diri seseorang
menimbulkan bermacam-macam reaksi baik itu reaksi yang mengembirakan
maupun reaksi yang mengecewakan.
2. Perkembangan Emosi
Emosi berkembang sejak individu mulai mengalami sesuatu, yaitu sejak ia
lahir. Dengan pengalamannya ia mulai mengadakan penyesuaian diri, meluaskan
atau mengekang emosinya yang tengah berkembang. Pada usia anak-anak
penularan emosinya lebih mudah daripada waktu dewasa. Mula-mula emosi pada
usia muda sangat sukar dibedakan pernyataannya. Semakin dewasa anak, semakin
banyak dipelajari cara-cara pernyataan emosi ini dari sekitarnya. Pada masa
kanak-kanak cara menyatakan emosi cukup dengan suatu tangisan. Hal ini dapat
diartikan marah, sakit, gelisah, takut, sedih, lapar dan sebagainya. Jika sudah
meningkat usianya, dapat dibedakan keadaan emosi anak, apakah anak tersebut
senang, benci, marah, takut, ataupun sedih dan sebagainya. Anak makin dapat
Emosi selalu disertai sikap luar yang sesuai dan dipelajari dari cara-cara
yang berlaku dalam lingkungannya. Sikap emosi seseorang ditujukan kepada
hal-hal yang ada disekitarnya, baik benda maupun seseorang. Keadaan seseorang juga
mempengaruhi macamnya emosi yang diharapkan, misalnya rupa yang baik,
keadaan jasmani yang normal, jaminan sosial ekonomi yang baik (Sobur,
2003;404-416). Lingkungan yang berlainan mengharapkan cara-cara pernyataan
emosi yang berlainan pula, maka keadaan orang, kewajiban, cita-cita,
angan-angan, pandangan hidupnya turut membentuknya pula. Misalnya dalam
pernyataan kemarahannya, seorang perwira pada jaman dulu, bila dibuat marah
mungkin ia menantang berduel atau berkelahi (Walgito, 1984;19).
3. Hal-Hal yang Mempengaruhi Emosi dalam Kehidupan
Emosi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan seseorang. Kehidupan
menjadi lebih berarti, dimanis dan berwarna dengan adanya emosi. Emosi
seseorang berkembang selama individu mulai mengalami sesuatu perubahan
dalam dirinya. Maka dari itu dapat dimengerti bahwa keadaan yang
mempengaruhi seseorang memberikan corak dalam perkembangan emosinya.
Keadaan keluarga, rumah, lingkungan sosial, sekolah, jabatan, pergaulan, bahkan
cita-cita atau anggan-anggannya juga turut berpengaruh didalam kehidupan.
Pengaruh emosi terhadap sikap manusia: emosi memberi arah sikap yang
akan dilakukan oleh pribadi. Dalam perkembangan anak emosi lebih ditujukan
kepada orang dewasa yang ada di sekitarnya, sehingga sikap orang dewasa turut
dewasa yang bijaksana dapat membantu anak untuk mengembangkan emosi yang
baik. Ada beberapa gangguan anak dalam hal bicara seperti halnya: gagap,
disebabkan oleh situasi emosi pada waktu itu. Pengaruh emosi sangat besar sekali
terhadap kesehatan jasmani, dan penyembuhan yang disertai dengan suasana yang
menyenangkan akan mempercepat proses penyembuhan. Gugup, gelisah akan
berpengaruh dan menghambat pencernakan.
Pendidikan emosi membantu seseorang untuk melatih dan menyalurkan
emosi dengan baik atau disebut dengan pengendalian emosi, dan membiasakan
bereaksi dengan emosi yang positif. Latihan pengendalian emosi ini melalui sikap
hidup yang wajar, menyesuaikan pernyataan emosi yang berlaku atau sesuai
dengan sikap hidupnya. Penyaluran emosi pada taraf yang tinggi melalui katarsis,
yaitu suatu cara