• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka

1. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

Pendidikan Agama Katolik merupakan seni, bakat saja tidak cukup, perlu latihan, persiapan dan kontemplasi supaya dapat menemukan intinya yang pokok substansi atau roh (Heryantno, 2008:20). Heryatno (2008: 15) juga menegaskan kembali pendapat Mangunwijaya yang menyatakan bahwa hakikat dasar PAK sebagai komunikasi iman

Mangunwijaya (1994) di awal kurikulum PAK 1994 dengan jelas menyatakan hakikat dasar PAK sebagai komunikasi iman, bukan pengajaran agama. Ia membedakan antara beragama atau punya agama (having religion) dengan beriman (being religion). Agama berkaitan dengan hukum, peraturan, ritus, kebiasaan dan lambang-lambang luar atau, segi-segi sosiologis. Agama merupakan jalan dan sarana kepenuhan dan kesejahteraan hidup, jalan manusia menuju kesatuannya dengan Tuhan. Lokakarya mengenai tempat dan peranan PAK di sekolah yang diadakan oleh Komkat KWI Malino (1981) dalam Dapiyanta (2011:4) mengemukakan bahwa PAK merupakan bagian dari katekese yang berusaha membantu siswa agar dapat menggumuli hidupnya dari segi pandang kristiani dengan demikian mudah-mudahan menjadi manusia paripurna (beriman).

Pengimplementasian Kurikulum 2013 di Indonesia membawa perubahan dalam mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik di sekolah, yaitu menjadi Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti. Setyowati (2009: 150) mengatakan bahwh Budi Pekerti bukan merupakan mata pelajaran, tetap merupakan program

pendidikan untuk menciptakan suasana kondusif dalam menerapkan nilai-nilai budi pekerti. Setyowati (2009: 149) juga mengatakan bahwa, Pendidikan Budi Pekerti diartikan sebagai penanaman nilai-nilai akhlak, tata krama, bagaimana berperilaku baik pada orang lain. Selain itu, menurut Angkowo & Kosasih (2007: 5) Budi Pekerti adalah sikap atau perilaku yang membantu orang untuk hidup baik bersama dengan orang lain, selain itu budi pekerti juga bisa diartikan sebagai bentuk kepribadian yang dimiliki seseorang dalam bentuk karakter, moral, dan sopan santun. Angkowo & Kosasih (2007: 5) juga menegaskan bahwa, Pendidikan Budi Pekerti merupakan pendidikan sistem nilai yang meliputi sosialitas, religiositas, emosi, dan rasa simpati terhadap sesama, maka dari itu pendidikan budi pekerti dimaksudkan sebagai upaya pembentukan nilai dan sikap yang mendasari pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 57 tahun 2014 mengartikan Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti sebagai usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh iman dan ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa sesuai dengan ajaran Agama Katolik. Silabus mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SD (2016: 1) juga menjelaskan bahwa, melalui Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekrti peserta didik dibantu dan dibimbing agar semakin mampu memperteguh iman terhadap Tuhan sesuai ajaran Agama Katolik dengan tetap memperhatikan dan mengusahakan penghormatan terhadap agama dan kepercayaan lain. Selain itu, dalam buku guru PAK dan BP

Belajar mengenal Yesus untuk SD Kelas V oleh Komisi Kateketik KWI (2017:9) menjelaskan bahwa:

Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti merupakan rangkaian usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan siswa untuk memperteguh iman dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan ajaran iman katolik. Semua itu dapat tercapai dengan menjalankan proses komunikasi iman.

Dari definisi di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa hakikat Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti merupakan salah satu usaha untuk memampukan memperkembangkan kedalaman hidup peserta didik sehingga peserta didik dapat berinteraksi (berkomunikasi), memahami, dan menghayati iman dalam hidup sehari-hari.

b. Tujuan Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

Menurut Heryatno (2008:22), Pendidikan Agama Katolik dipahami sebagai proses pendidikan iman yang diselenggarakan oleh gereja, sekolah, keluarga, dan komunitas atau kelompok basis untuk membantu peserta didik agar semakin beriman kepada Tuhan Yesus Kristus sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah dapat terwujud di tengah-tengah hidup mereka. Berdasarkan dokumen Konsili Vatikan II, tujuan Pendidikan adalah:

Tujuan Pendidikan dalam arti sesungguhnya mencapai pembinaan pribadi manusia dalam perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya, dan bila sudah dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya (GE, 1).

Selain itu, dokumen Konsili Vatikan II juga menjelaskan lebih lanjut jika,

Pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia seperti yang diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis Langkah demi Langkah makin mendalami misteri keselamatan, dan dari hari kehari makin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima (GE, 2).

Selain itu, Heryatno (2008:23) membahasakan kembali pandangan Groome tentang tujuan Pendidikan Agama Katolik bahwa “tujuan Pendidikan Agama Katolik memperhatikan kondisi kerinduan hati dan kehidupan konkret siswa, tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah harus mencakup segi kognitif, afeksi dan praksis”. Segi kognitif (pikiran), afeksi (perasaan), dan praksis (tindakan) tidak dapat dipisahkan karena saling mendukung dan membantu untuk memperkembangkan iman siswa, sehingga ketiganya harus diberikan secara seimbang oleh guru Pendidikan Agama Katolik kepada masing-masing siswa. Berikut ini disampaikan tiga tujuan Pendidikan Agama Katolik yaitu 1) Demi terwujudnya Kerajaan Allah: inti segala tujuan Pendidikan Agama Katolik di sekolah, 2) Demi kedewasaan iman: tujuan formal jangka panjang, 3) Iman yang dihayati: demi kebebasan manusia.

Setyowati (2009: 151) menjelaskan bahwa, tujuan Pendidikan Budi Pekerti yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan dan kecakapan berpikir, menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat dan memiliki kemampuan yang terpuji. Selain itu, menurut Angkowo & Kosasih (2007: 7) Pendidikan Budi Pekerti bertujuan untuk membantu memberikan kesempatan secara luas bagi siswa agar memiliki kepribadian yang bermoralitas baik, religius, emosi seimbang, dapat mengolah rasa secara benar, dan memiliki rasa kasih sayang antar anggota masyarakat.

Silabus mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SD (2016: 1) menjelaskan bahwa, Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap

membangun hidup yang semakin beriman. Buku guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Belajar mengenal Yesus untuk SD Kelas V oleh Komisi Kateketik KWI (2017:3) menjelaskan bahwa Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bertujuan untuk membangun kopetensi anak didik sebagai pribadi beriman, memekarkan dan menumbuh kembangkan anak-anak menjadi pribadi kristiani yang berlandaskan pada iman anak Yesus Kristus. Selain itu, dalam buku guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Belajar mengenal Yesus untuk SD Kelas V oleh Komisi Kateketik KWI (2017:10) juga menjelaskan bahwa Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bertujuan untuk membantu siswa dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap membangun hidup yang semakin beriman. Oleh karena itu, berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti bertujuan untuk membantu peserta didik memiliki kemampuan dalam membangun hidup yang semakin beriman kristiani dan menghayati imannya di dalam hidup sehari-hari sehingga peserta didik sungguh-sungguh menjadi orang katolik yang imannya dewasa.

c. Ruang Lingkup Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti

Salah satu bentuk pelaksanaan pendidikan iman adalah pendidikan iman secara formal di sekolah yaitu mata Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti (Kemendikbud, 2016:1). Silabus mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti SD (2016: 5) menjelaskan bahwa, ruang lingkup Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti mencakup empat aspek yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, aspek tersebut adalah pribadi peserta didik, Yesus Kristus,

Gereja, dan Masyarakat. Selain itu, Heryatno (2008: 38) menjelaskan bahwa lingkungan hidup peserta didik di tengah keluarga, masyarakat, Gereja dan sekolah sebagai elemen-elemen konteks PAK dapat menjadi “guru” yang baik tetapi dapat pula menjadi “guru” tidak baik bagi proses pembentukan karakter, sikap dan tingkah laku hidup naradidik kita. Berdasarkan definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa konteks Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti meliputi keluarga, Gereja, masyarakat, dan sekolah.

d. Model-Model Pendidikan Agama Katolik Budi Pekerti

Heryatno (2008: 53) menjelaskan bahwa ada tiga model pendidikan iman yang dipandang dapat memberikan wawasan konseptual terkait model-model pendidikan iman yang digunakan baik di lingkungan sekolah maupun di tengah-tengah jemaat paroki:

1). Model Transmisi/Transfer

Model ini bersifat sangat instruktif dan preskriptif. Pendidik menyampaikan (mengoper dan mentransfer) materi (informasi) secara instruksional kepada para peserta didik. Pendidik meyakini informasi tersebut sebagai kebenaran yang harus dipelihara dan diteruskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Model ini berpusat pada pendidik yang mentransfer (mengoper) seluruh pengetahuannya pada peserta didik dengan menerapkan relasi guru dengan murid. Peserta diharapkan menghafal dan dari hafalan tersebut berkembang menjadi pemahaman dan keyakinan yang akhirnya diterapkan. Model ini berpusat pada pendidik, semua kegiatan pendidik dipandang sebagai yang paling penting, peserta didik tinggal mengikuti saja.

2). Model yang Berpusat pada Hidup Peserta

Model pendidikan yang berpusatkan pada hidup peserta ini merupakan reaksi yang ekstrim terhadap model pendidikan yang bersifat dogmatis. Model ini melihat secara negatif model pendidikan yang bersifat obyektif dan cenderung kuantitatif. Dalam proses pendidikan yang ditekankan bukan menambah informasi, juga bukan menyampaikan materi sebanyak-banyaknya tetapi secara kualitatif berusaha memanusiakan manusia dan memperkembangkan kepribadiannya. Kata kunci untuk model ini adalah proses. Model ini mendukung para peserta untuk menemukan manfaatnya sendiri, memilih materi dan kecepatannya, termasuk memilih bentuk evaluasinya.

3). Model Praksis

Model ini menghendaki jawaban yang jelas, bagaimana dapat menguasai hukum-hukum dan aturan-aturannya. Di sini pihak yang belajar bermaksud memahami, mengkait-kaitkan pokok yang satu dengan yang lain dan hendak masuk ke dalam inti ilmu itu sendiri. Dengan cara ini para naradidik tidak akan diperalat, tetapi dapat memperkembangkan dirinya sendiri secara bebas sesuai kemampuan, minat dan tujuan hidupnya. Tujuan praksis dalam model ini merupakan memperjuangkan terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam Yesus Kristus di tengah-tengah hidup manusia.

Dokumen terkait