• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

B. Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

perkembangan jasmani sehingga peserta didik dapat mengembangkan dirinya (Mardiatmadja, 1986 : 50).

Pendidikan formal yang terjadi di sekolah merupakan tempat yang penting karena secara terus menerus sekolah mendidik kemampuan budi, memperkembangkan kemampuan untuk menilai sesuatu, memadukan peserta didik ke dalam nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa yang bersangkutan serta menyiapkan peserta didik untuk memasuki hidup berkarya. Maka pendidikan di sekolah ini pada dasarnya merupakan bantuan yang sudah tergorganisasikan dalam proses pembentukan dan pengembangan budi dan daya peserta didik menjadi pribadi yang utuh dan mandiri (Setyakarjana, 1997 : 9).

B. Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

1. Pengertian Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Pendidikan Agama Katolik membentuk manusia dalam segala dimensinya yang pokok dan dimensi Agama merupakan bagian yang integral dari pembentukan tersebut. Pendidikan Agama Katolik merupakan hak dan kewajiban yang sama dari siswa dan juga orangtua. Dalam Agama Katolik menjadi sarana yang sangat penting untuk mencapai kedalaman iman dan kebudayaan, maka Pendidikan Agama Katolik yang berbeda dan sekaligus tempat katekese harus merupakan bagian dari kurikulum di sekolah (Sewaka, 1991 : 70).

Pendidikan Agama Katolik juga perlu bervisi spiritual yang artinya Pendidikan Agama Katolik secara konsisten terus berusaha memperkembangkan kedalaman hidup naradidik, memperkembangkan jati diri atau inti hidup mereka.

Pendidikan Agama Katolik juga membantu peserta didik mengembangkan jiwa dan interioritas hidup mereka sehingga Pendidikan Agama Katolik di Sekolah tidak hanya mengejar prestasi akademis namun juga memperkembangkan kejujuran, kepekaan, kebijaksanaan, dan hati nurani naradidik (Heryatno, 2008 : 14).

Pendidikan Agama Katolik juga sebagai komunikasi iman, sebagai komunikasi iman perlu menekankan sifatnya yang praktis yang berarti Pendidikan Agama Katolik lebih menekankan tindakan (kehidupan) daripada konsep atau teori. Pendidikan Agama Katolik sebagai komunikasi penghayatan atau pengalaman iman karena menjadi mediasi transformasi iman yang berlangsung secara terus menerus (Heryatno, 2008 : 15-16).

Pendidikan Agama Katolik tidak dapat disamakan dengan mata pelajaran yang lain karena Pendidikan Agama Katolik merupakan pendidikan iman sehingga Pendidikan Agama Katolik merupakan upaya untuk pembentukan pribadi manusia beriman. Karena Pendidikan Agama Katolik juga sebagai salah satu usaha untuk menunjang tercapainya tujuan Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945 maka Pendidikan Agama Katolik di Sekolah juga terikat pada kurikulum dan waktu yang tersedia (Setyakarjana, 1997 : 9).

Ada tiga unsur dalam Pendidikan Agama Katolik Menurut Heryatno Wono Wulung (2008 : 50-53) :

a. Pengalaman Hidup Peserta

Pengalaman hidup peserta meliputi segala kegiatan hidup sehari-hari, pengalaman hidup peserta mencakup seluruh kenyataan hidup peserta.

Pengalaman hidup peserta dapat menjadi medan perjumpaan antara rahmat Allah dan tanggapan manusia, maka dengan adanya pengalaman hidup peserta, kegiatan pendidikan iman dapat menjadi relevan dan sungguh menanggapi kenyataan hidup dan kebutuhan peserta.

b. Visi dan Kisah Hidup Kristiani (Harta Kekayaan Iman Gereja)

Visi dan hidup Kristiani menjadi kerangka untuk menafsirkan pengalaman hidup konkret peserta, agar peserta dapat menyadari makna pengalaman hidupnya dan dihantar untuk sampai pada pengakuan iman Katolik yang lebih personal. Visi dan kisah hidup Kristiani digali dari sumber utamanya yaitu Kitab Suci dan harta kekayaan iman Gereja, keduanya ini perlu digunakan secara bersama-sama.

c. Komunikasi Hidup Konkret Peserta dengan Visi dan Kisah/Tradisi Kristiani Pendidikan Iman menjadi kegiatan yang bernilai edukatif dan transformatif jika pengalaman hidup konkret didialogkan dengan visi dan kisah Kristiani. Salah satu tugas utama Pendidikan Agama Katolik di Sekolah ialah mendialogkan pengalaman hidup dengan harta kekayaan Iman Katolik, menemukan makna dari pergulatan hidup sehari-hari merupakan kegiatan mendasar dari hidup manusia. 2. Tujuan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Gravissimum Educationis (dokumen Konsili Vatikan II tentang Pendidikan

Kristen) menegaskan adanya 2 tujuan dasar pendidikan yaitu memperkembangkan pribadi manusia dan memperjuangkan kesejahteraan umum. Kedua tujuan tersebut tidak dapat dipisahkan tetapi saling berkaitan dengan erat. Pengertian lain mengenai tujuan pendidikan adalah demi tercapainya perkembangan setiap pribadi secara utuh dan demi pembentukan masyarakat yang berkeadaban

(Heryatno, 2008 : 13). Perkembangan pribadi yang utuh dapat dipahami sebagai perkembangan dalam diri peserta didik, bukan hanya mengenai pengetahuan saja melainkan meliputi perkembangan iman peserta didik. Perkembangan iman peserta didik yang ingin dicapai ialah perkembangan iman yang berlangsung seumur hidupnya, sehingga ketika peserta didik sudah lulus dari sekolah maka mereka masih bisa untuk mengembangkan iman yang ada pada dirinya.

Pendidikan Agama Katolik merupakan proses pendewasaan iman yang menjadi tujuan formal pendidikan iman yang berlangsung seumur hidup. Dalam pendidikan iman, pendewasaan iman tidak dapat terpisahkan dari pendewasaan kepribadian seseorang. Fokus pendidikan iman ialah perkembangan manusia secara utuh. Iman yang dewasa dapat diartikan sebagai iman yang berkembang semakin matang secara penuh dan bersifat holistik yang mencakup segi pemikiran, hati, dan praksis (Heryatno, 2008 : 23).

Dari tujuan pendidikan terlihat dengan jelas bahwa perkembangan iman dan kepribadian peserta didik yang utuh merupakan hal yang sangat penting. Dalam proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik kebutuhan hidup beriman dan pribadi setiap peserta didik perlu diperhatikan, sehingga para peserta didik dapat terbantu dalam menghayati dan memperkembangkan imannya dalam kehidupan sehari-hari.

3. Peranan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah a. Pendidikan Agama Katolik sebagai Pendidikan Iman

Pendidikan Agama Katolik di Sekolah juga dapat dikatakan sebagai pendidikan iman karena Pendidikan Agama Katolik di sekolah mempunyai tugas

khusus untuk membentuk peserta didiknya menjadi orang Katolik yang utuh. Pendidikan Agama Katolik di sekolah juga dapat membantu peserta didik untuk semakin mengembangkan iman mereka sehingga peserta didik semakin terlibat aktif dalam hidup menggereja dan bermasyarakat, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok (Adisusanto, 2000 : 1). Konsili Vatikan II menggambarkan iman secara lebih biblis dan lebih menyeluruh, misalnya dalam Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu dan Iman antara lain demikian :

Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia wajib menyatakan “ketaatan iman” (Rom 16:26; lih. Rom 1:5; 2 Kor 10:5-6). Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan”, dan dengan secara sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu dan dikaruniakan oleh-Nya (DV, art 5).

Iman merupakan perjumpaan rahmat Allah yang tak terselami dan misteri kebebasan manusia. Iman juga merupakan tanggapan manusia terhadap Sabda Allah. Perlu diingat juga bahwa pertama-tama Sabda Allah bukanlah melulu suatu pengajaran, tetapi terutama merupakan suatu fakta keselamatan yang memiliki sifat hubungan antar pribadi. Inilah aspek eksistensial perwahyuan diri Allah dalam sejarah umat manusia. Dalam menghadapi kenyataan keselamatan semacam ini manusia tidak bisa menutup diri, manusia perlu memberi tanggapan dengan memutuskan sikap yang tepat dalam keseluruhan rencana keselamatan Allah.

Iman merupakan jawaban pribadi dan menyeluruh dari manusia kepada Tuhan. Iman bukan hanya sekedar persetujuan akal atau ketaatan moral, sesuai dengan hakekat Sabda Allah yang dinamis, hidup dan personal melainkan iman

tampak sebagai penyerahan pribadi secara menyeluruh. Manusia yang beriman ialah manusia yang bersedia untuk menyerahkan diri kepada Tuhan, untuk percaya kepada Tuhan secara menyeluruh serta mengandalkan dirinya kepada Tuhan.

Dalam hal ini, Pendidikan Agama Katolik tidak sekedar pendidikan yang mengajarkan mengenai perkembangan intelektual saja namun lebih mengarahkan peserta didik kepada hidup beriman dan berkepribadian yang utuh. Pendidikan iman yang terjadi hendaknya menolong peserta didik untuk bertumbuh dalam kesadaran akan dirinya, kesadaran akan lingkungannya, serta kesadaran akan umat beriman. Kesadaran akan dirinya peserta didik diajak untuk memahami dirinya sendiri melalui sikap dan perbuatan hidupnya, peserta didik juga belajar untuk memahami lingkungan sekitar dimana mereka tinggal baik sekolah maupun lingkungan masyarakat. Kemudian secara pribadi peserta didik juga akan menyadari hubungannya dengan Tuhan, peserta didik dibentuk dalam sikap-sikap dan nilai-nilai Kristiani (Setyakarjana, 1997 : 10).

b. Pendidikan Agama Katolik sebagai pembinaan sikap

Beriman adalah relasi seseorang dengan Tuhan, namun tidak bisa lepas dari peran serta orang lain yang selalu hidup berdampingan dengannya. Pembentukan pribadi yang utuh bagi peserta didik SMP, Pendidikan Agama Katolik di SMP hendaknya memungkinkan terjadinya proses pergumulan dalam diri peserta didik sehingga dapat membantu peserta didik untuk membangun sikap-sikap dasar dalam hidup berdasarkan penghayatan iman serta pengembangan manusia dari

dalam dengan membebaskan dia dari suasana yang mungkin menghalang-halanginya menjadi manusia yang sungguh-sungguh utuh (Sewaka, 1991 : 22). 4. Proses Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Proses Pendidikan Agama Katolik di sekolah menggunakan dialog partisipatif aktif, yang lebih diutamakan dalam Pendidikan Agama Katolik ialah komunikasi, interaksi atau dialog iman yang terjadi selama proses pembelajaran antar peserta didik serta antara peserta didik dengan guru yang berarti hubungan pribadi dengan peserta didik. Apabila seorang guru melaksanakan hubungan itu dengan keyakinan bahwa para siswa memiliki nilai-nilai yang pada dasarnya positif, hubungan tersebut akan memungkinkan keterbukaan dan dialog yang memudahkan pemahaman tentang kesaksian iman yang diungkapkan melalui perilaku guru (Sewaka, 1991 : 53).

Guru juga dapat menjadi sahabat atau teman bagi peserta didik sehingga dapat terjalin relasi yang harmonis dan secara aktif guru dapat membantu memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh peserta didik, sehingga dapat memudahkan proses pembelajaran Pendidikan Agama Katolik dan proses pembelajaran tersebut dapat berjalan dengan baik serta lancar sesuai dengan kebutuhan para peserta didik. Hal ini bertujuan agar peserta didik mampu mengolah segi-segi yang berkaitan dengan hidup berimannya dan peserta didik mampu untuk membentuk iman mereka masing-masing.

5. Kekhasan Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Pendidikan Agama Katolik di sekolah tidak bisa disamakan begitu saja dengan mata pelajaran yang lainnya. Pengetahuan memang dipentingkan tetapi itu

bukanlah satu-satunya, yang dipentingkan ialah bagaimana mempertanggungjawabkan pengetahuan itu. Pengetahuan disampaikan tidak semata untuk diketahui, tetapi harus lebih dimengerti dan dipahami “mengapanya”. Peserta didik diajak untuk mempertanggungjawabkan apa yang diketahuinya, diajak untuk memikirkan kenapa, dan bagaimana. Diharapkan juga bahwa pemahaman iman, penghayatan iman tumbuh sehingga sikap peserta didik terolah. Jadi Pendidikan Agama Katolik di sekolah adalah bentuk pelayanan demi pembinaan iman di sekolah dalam mengembangkan pribadi dengan situasi dan kondisinya, kelemahan dan kelebihannya berserta tuntutan-tuntutannya (Setyakarjana, 1997 : 9).

C. Peranan Guru Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Setiap orang yang membantu pembentukan manusia yang utuh adalah seorang pendidik, tetapi seorang pendidik menjadikan usaha membentuk peserta didik secara utuh sebagai profesi yang harus mereka jalankan (Sewaka, 1991 : 50). Tugas utama Guru Pendidikan Agama Katolik ialah mengajar Agama secara sistematis, namun tidak hanya itu saja. Seorang Guru Agama Katolik juga membantu untuk menjelaskan persoalan-persoalan yang muncul dari mata pelajaran lainnya. Peranan seorang Guru Agama Katolik itu penting, karena mereka tidak memberikan ajarannya sendiri melainkan mengajarkan tentang Yesus Kristus.

Pendidikan Agama Katolik di Sekolah adalah salah satu bentuk karya pewartaan Gereja yang dilaksanakan di Sekolah untuk membantu mewujudkan

tujuan Nasional Pendidikan. Dalam proses belajar mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti, sosok Guru yang dibutuhkan untuk mengembangkan pribadi peserta didik ialah Guru yang memiliki spiritualitas yang baik. Sosok Guru yang memiliki spiritualitas yaitu seorang Guru yang bersifat Kristosentris, yang berarti seorang Guru memandang hidup peserta didik dengan kacamata positif dimana peserta didik juga diciptakan oleh Allah menurut citra dan gambar-Nya. Relasi penuh kepercayaan dan persahabatan dengan Yesus menjadi dasar dan sumber spiritualitas seorang Guru Agama Katolik (Heryatno, 2008 : 95).

1. Guru Agama sebagai Pendidik Hidup Beriman

Sebagai seorang pendidik seorang Guru harus membantu peserta didik untuk mencapai hidup beriman, Guru mengajak peserta didiknya dengan penuh kepercayaan membuka hati untuk mengenal Bapa, Putra, dan Roh Kudus melalui doa pribadi maupun doa liturgi. Pengalaman iman bukan sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai suatu jawaban bebas dan cinta kepada Allah yang mencintai kita (Sewaka, 1991 : 116-117).

Seorang Guru Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti memiliki tugas untuk mendidik hidup peserta didik agar mereka semakin dewasa dalam iman dan juga pribadinya. Pendewasaan iman dalam diri peserta didik juga menjadi salah satu tujuan dalam Pendidikan Agama Katolik, oleh karena itu Guru diharapkan dapat mengarahkan peserta didiknya kepada perkembangan iman yang utuh. Seorang Guru juga diharapkan memiliki kedewasaan iman sehingga bisa menjadi teladan dan panutan untuk peserta didiknya.

2. Guru Agama sebagai Pembimbing Hidup Rohani

Membimbing adalah sebuah proses pemberian bantuan kepada individu untuk mencapai pemahaman yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimal terhadap keluarga, masyarakat dan sekolah. Seorang Guru diharapkan mampu menjadi pengarah dan pembimbing kepada peserta didik dengan cara memberikan fasilitas belajar serta mampu menciptakan suasana belajar yang nyaman dan kondusif bagi peserta didiknya. Hal tersebut tidak hanya dilakukan didalam kelas saja, namun guru juga harus menjadi pembimbing diluar kelas sehingga seorang Guru memiliki hubungan yang lebih dekat dengan peserta didik. Setiap guru memiliki tugas memberikan dan mendampingi peserta didik dalam memperoleh suatu pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman lain diluar fungsi sekolah seperti tingkah laku pribadi dan spiritual di masyarakat dengan cara mengajak peserta didik dengan mengadakan acara rekoleksi, retret, camping rohani dan acara persaudaraan kelas yang lainnya (Heryatno, 2008 : 3).

3. Guru Agama sebagai saksi Iman

Tugas seorang Guru ialah menjadi saksi Iman bagi peserta didiknya. Melalui kesaksian Iman maka pelajaran Agama Katolik menjadi hidup, kesaksian seorang Guru dapat menjadi contoh konkret bagi para peserta didiknya. Dengan kesaksian hidup membawa Yesus Kristus kepada seluruh peserta didik. Kesaksian hidup dan keteladanan menjadi cara yang utama untuk menghayati spiritualitas sebagai Guru Agama Katolik di Sekolah (Sewaka, 1991 : 96). Dengan begitu seorang Guru didorong untuk menghayati semangat pertobatan yang terus menerus yang

membawa seseorang pada persatuan dengan Yesus Kristus dan dengan peserta didik.

Dokumen terkait