• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TEORI

A. Pendidikan Humanistik

1. Pengertian Pendidikan Humanistik

Teori belajar humanistik pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila peserta didik telah memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Artinya peserta didik mengalami perubahan dan mampu memecahkan permasalahan hidup dan bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dengan kata lain peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya (Sukardjo dan komarudin, 2009: 56). Tujuan utama pendidik adalah membantu peserta didik untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri peserta didik itu sendiri (Dalyono, 2012: 43).

Menurut George F. Keller (dalam Suwarno, 2006: 20), pendidikan memiliki arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kemampuan fisik individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah proses mentransformasi pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh masyarakat melalui

16

lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau lembaga-lembaga lain.

Humanisme merupakan kesatuan dari manusia yang wajib memanusiakan manusia lainnya. Memanusiakan manusia dalam pendidikan berarti usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat-alat potensialnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah-masalah hidup dan kehidupan, mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah SWT (Muhaimin, 2007: 148).

Manusia sebagai makhluk yang dapat mendidik dan dididik (homoeducabile) pada dimensi ini manusia berpotensi sebagai objek dan subjek pengembangan diri. Oleh karena itu manusia tidak bisa berkembang tanpa rangsangan dari luar, seperti pendidikan misalnya. Maka, pendidikan harus berpijak pada potensi yang ada pada manusia tersebut. Artinya, manusia sebagai makhluk yang berpikir, memiliki kebebasan memilih, sadar diri, memiliki norma, dan kebudayaan. Implementasinya sebagai berikut:

a. Pendidikan lebih bersifat menyediakan stimulus agar peserta didik secara otomatis memberikan respon.

17

c. Demokratisi merupakan model pendidikan yang sangat relevan untuk pengembangan potensi dasar manusia, sekaligus membantu menanamkan sikap percaya diri dan tanggung jawab.

d. Proses pendidikan harus selalu mengacu pada sifat-sifat Ketuhanan (Assegaf, 2004: 205).

2. Humanisme Religius

Humanisme religius ialah sebuah konsep keagamaan yang memanusiakan manusia, serta upaya humanisasi ilmu-ilmu dengan tetap memperhatikan tanggung jawab hablum minallah dan hablum minannas. Sebagai makhluk yang multidimensional manusia mempunyai potensi insaniah, serta bersosialisasi dengan nilai-nilai ketrampilan yang dimiliki guna mengembangkan pola kehidupannya. Dengan mengembangkan potensi tersebut perlu adanya sebuah praktek kegiatan pendidikan yang menjunjung tinggi sebuah nilai kemanusiaan (humanistik) Mas‟ud (2002: 193).

Pendidikan Islam humanistik ialah pendidikan yang memandang manusia sebagai manusia, yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrah-fitrah tertentu, untuk dikembangkan secara optimal. Rasulullah bersabda :

Tidak ada seorangpun yang dilahirkan kecuali dengan fitrah, maka kadua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, dan Majusi”.

(HR. Bukhari Muslim).

Dengan adanya humanisme religius dalam kegiatan pendidikan diharapkan peserta didik dapat mengeksplore sendiri pengetahuan dengan

18

mempergunakan pemikiran sendiri, dengan demikian peserta didik dirasa benar-benar diakui eksistensinya yang hakiki, dan sebagai kholifatullah yakni pendidikan Islam humanistik pendidikan yang memanusiakan manusia. Sehingga dapat melahirkan peserta didik yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam humanistik, yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab sebagai insan manusia individual, namun tidak terangkat dari kebenaran faktualnya bahwa dirinya hidup ditengah masyarakat. Dengan demikian, ia memiliki tanggung jawab moral kepada lingkungannya berupa keterpanggilan untuk mengabdikan diri demi kemashlahatan masyarakat.

3. Tujuan Konsep Humanisme

a. Akal Sehat (common Sense)

Manusia merupakan makhluk yang mulia, makhluk yang berbudaya. Manusia adalah makhluk pedagogik, juga sebagai khalifah dimuka bumi. Dalam memanfaatkan akal sehat secara proporsional dalam Islam, al-alim lebih utama dari al-abid. Dalam firman Allah dijelaskan bahwasanya orang-orang yang berilmu ditinggikan derajatnya oleh Allah dengan beberapa tingkatan

(Mas‟ud, 2002: 159). Dengan demikian jelas didalam konsep

humanisme religius sangat ditekankan, karena dalam proses pembelajaran ruang berfikir peserta didik sangat luas untuk menganalisis hal-hal yang terjadi disekitarnya. Artinya hal-hal

19

yang berhubungan dengan daya fikir sangat diminati oleh pendidik maupun peserta didik.

b. Individualisme (kemandirian)

Pengembangan individu menjadi individu yang saleh “insan kamil” dengan berbagai ketrampilan dan kemampuan serta

mandiri adalah sasaran utama pendidikan Islam. Mas‟ud (2002:

158) menyatakan, individualisme dalam konsep Barat yang diwakili dalam sebuah syair bahasa Arab yang cukup popular

yaitu: “Sesungguhnya seorang pemuda adalah mengandalkan dirinya sendiri, bukanlah seorang yang membanggakan ayahnya”.

Kemandirian atau Self-reliance ialah tujuan utama dalam konsep humanisme. Dalam Islam, individualisme bukanlah sebuah larangan. Jika penekananannya pada kemandirian dan tanggung jawab pribadi, justru menjadi seruan dalam Islam. Dalam surat Yasin disebukan bahwa : “Pada hari itu (kiamat) Allah akan menutup mulut mereka, dan berbicara tangan mereka, kakinya akan menjadi saksi terhadap apa yang telah mereka lakukan” (Q.S. Yasin : 35).

Semua anggota badan manusia akan dimintai pertanggung jawaban di depan sang pencipta, tentunya harus ditafsirkan sebagai tugas pendidikan dalam mengembangkan tanggung jawab pribadi, sosial, dan keagamaan individu (Mas‟ud, 2002: 114).

20

Dalam konsep individualisme Islam adalah pribadi yang beriman dan bertakwa, dinamis, progresif, serta tanggap terhadap lingkungan, perubahan dan perkembangan. Dengan demikian konsep individualisme bermaksud membentuk insan manusia yang memiliki komitmen. Humaniter sejati yaitu insan manusia yang memiliki kesadaran, kebebasan, beriman dan bertakwa, dinamis, progresif serta tanggung jawab terhadap perubahan dan perkembangan lingkunganya.

c. Pengetahuan yang tinggi (thirs for knowledge)

Islam adalah agama yang jelas menempatkan ilmu pengetahuan dalam posisi khusus. Allah akan mengangkat mereka yang beriman dan yang berilmu diantara manusia pada posisi mulia.

Sesuai dengan firman Allah dalam Q.S Al-Mujadillah: 11.

ْمُكَل ُ َّاللَّ ِحَسْفَي اىُحَسْفاَف ِسِلاَجَمْلا يِف اىُحَّسَفَت ْمُكَل َليِق اَذِإ اىُىَمآ َهيِذَّلا اَهُّيَأ اَي

َمْلِعْلا اىُتوُأ َهيِذَّلاَو ْمُكْىِم اىُىَمآ َهيِذَّلا ُ َّاللَّ ِعَفْزَي اوُزُشْواَف اوُزُشْوا َليِق اَذِإَو

َمْعَت اَمِب ُ َّاللََّو ٍتاَجَرَد

زيِبَخ َنىُل

Yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

21

Telah dijelaskan bahwasanya Allah SWT menjanjikan kepada orang-orang yang berilmu, derajat yang lebih tinggi dengan beberapa tingkatan. Berangkat dari konseptual bahwasanya manusia merupakan makhluk pedagogik, makhluk yang sejak lahir membawa potensi, dapat dididik sekaligus mendidik. Oleh karena itu potensi dasar (fitrah) yang insaniah, perlu dikembangkan serta sosialisasi dalam nilai-nilai ketrampilan. Selain itu konsep humanisme religius, manusia memang merupakan makhluk “curious” yang senantiasa ingin tahu. Rasa ingin tahu itu perlu diolah dan diterapkan dalam kebaikan.

d. Pendidikan Pluralisme (menghargai orang lain)

Sebagaimana yang telah dipahami bersama, Islam sangat menghargai dan menghormati keberagaman dan kebhinekaan. Dalam konsep Humanisme menghargai dan menghormati adanya perbedaan yang ada di sekitarnya baik dari segi sosial, ekonomi, budaya dan keagamaannya dengan tujuan ketika dalam proses pembelajaran tercipta lingkungan kondusif, damai serta mengajarkan kepada peserta didik untuk selalu menghargai

pendapat orang lain (Mas‟ud, 2002: 167).

e. Kontektualisme lebih mementingkan fungsi dari symbol

Dalam realitas sering dijumpai orang yang memiliki kualifikasi keilmuan yang bagus. Namun tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi berbagai problematika kehidupan yang

22

dihadapinya. Disisi lain, juga melihat ada orang yang kualitas keilmuannya tidak begitu menakjubkan tetapi dalam rill kehidupannya mereka begitu tangkas menjawab permasalahan hidupnya.

Untuk itu dalam konsep kontektualisme yang dimaksud dalam konsep huamanisme religius ini merupakan konsep belajar yang membantu pendidik dalam mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan nyata sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Hasil belajar peserta didik tidak hanya dilihat dari tampilan kualitatif, melainkan lebih dilihat dari sisi kualitas penguasaan dan aplikasinya dalam kehidupan yang nyata. Dengan adanya konsep ini, hasil belajar tidak hanya sekedar wacana, akan tetapi merupakan hal yang harus membumi dan bermakna bagi peserta didik.

Dalam konteks yang demikian ini, Baharudin & Makin (2007: 210) berpendapat bahwa peserta didik perlu memahami apa sesungguhnya makna belajar itu bagi peserta didik, serta dalam status apa mereka dan bagaimana mencapainya. Sehubungan dengan hal ini, peserta didik perlu memiliki komprehensif mengenai tiga konsep yaitu: how to know (bagaimana

23

mengetahui), how to do (bagaimana mengerjakan atau melaksanakan), dan how to be (bagaimana menjadi dirinya) .

Dengan demikian dalam konsep humanisme sebuah strategi pembelajaran yang menghendaki keterkaitan antara pengetahuan dan kehidupan nyata. Maka hal itu akan mempermudah peserta didik untuk membuat formulasi atau batasan-batasan mengenai pengetahuan yang dipelajari. Hal ini relevan dengan prinsip pendekatan kontektual, yaitu: student learn best by antiviety contructing their own understanding.

f. Keseimbangan antara reward dan punishment

Dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal adanya “hadiah”.

Orang yang bekerja dengan orang lain hadiahnya upah/gaji, orang yang menyelesaikan suatu pendidikan disekolah hadiahnya ijazah, berprestasi dalam satu bidang olahraga tertentu hadiahnya medali/tropi dan uang, tepuk tang memberi selamat sejatinya juga merupakan hadiah. Pemberian hadiah tersebut secara psikologis akan berpengaruh terhadap tingkah laku individu.

Demikian pula dengan hukuman yang diberikan seseorang karena telah mencuri, menyontek, tidak mengerjakan tugas, melanggar peraturan, dan lain-lain yang pada dasarnya juga akan mempengaruhi tingkah laku orang yang menerimanya. Baik pemberian hadiah maupun hukuman merupakan respon seseorang kepada orang lain karena perbuatannya tersebut. Hanya saja

24

pemberian hadiah merupakan respon positif dan pemberian hikuman merupakan respon negatif.

Reward (hadiah/penghargaan) sebenarnya adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang karena sudah mendapatkan prestasi dengan dikehendaki, yakni mengikuti peraturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 1990: 182). Sedangkan punishmen adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh pendidik/orang lain sesudah terjadi suatu pelanggaran (Purwanto, 2007: 186).

Namun kedua respon tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu ingin mengubah tingkah laku seseorang (anak didik). Respon positif bertujuan agar tingkah laku yang sudah baik menjadi lrbih baik lagi. Sedangkan respon negative bertujuan agar tingkah laku yang negative tersebut berkurang atau bahkan hilang, pemberian respon yang demikian dalam proses interaksi edukatif disebut

“pemberian penguatan”.

Oleh karena itu dalam konsep pendidikan humanisme keseimbangan antara reward dan punishment harus diterapkan dalam proses belajar mengajar. Karena hal tersebut akan membantu meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan kata lain, pegubahan tingkah laku siswa (behavior modification) dapat dilakukan dengan pemberian penguatan.

25 B. Tokoh dalam Pendidikan Humanistik

1) Abraham Maslow

Abraham Maslow dikenal sebagai pelopor aliran psikologi humanistik. Maslow percaya bahwa manusia bergerak untuk memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis. Pada diri masing-masing orang memiliki perasaan takut, seperti takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, kearah berfungsinya semua kemampuan, kearah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia mampu menerima diri sendiri (self).

Menurut Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hierarki, mulai dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologi) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).

Teori Hierarchy of Needs (hirarki kebutuhan) yang dicetuskan oleh Maslow adalah sebagai berikut:

a) Kebutuhan fisiologis/dasar/jasmaniah (Besic Needs), seperti makan, minum, tidur.

b) Kebutuhan rasa aman (Safety Needs) seperti kesehatan, keamanan lingkungan, dan lainnya.

26

c) Kebutuhan rasa kasih sayang (Belongingness Needs) seperti keluarga, persahabatan, dan kelompok.

d) Kebutuhan untuk dihargai (Esteem Needs) seperti harga diri dan penghargaan orang lain.

e) Kebutuhan utntuk aktualisasi diri (Self Actualization Needs) seperti moralitas, ekspresi diri dan kreatifitas.

Implikasi teori ini terhadap pembelajaran sangatlah penting, jika guru menemukan kesulitan memahami mengapa siswa tertentu tidak mengerjakan tugas, mengapa siswa tidak tenang saat didalam kelas atau bahkan tidak memiliki motivasi dalam belajar. Menurut Maslow guru tidak dapat melimpahkan kesalahan ini terhadap si anak, karena bisa jadi kebutuhan anak belum terpenuhi secara baik. Guru haruslah dapat mengerti setiap karakter anak yang berbeda-beda, jadi wajar jika setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan demikian anak akan belajar dengan nyaman.

Dalam proses pembelajaran, maslow mengatakan bahwa anaklah yang aktif. Jika kita aktif maka kita terlibat, kita mencoba, kita berjuang, kita berusaha, kita dapat berhasil atau gagal, kita mencoba mengingat, memahami memecahkan masalah. Ini semua pengamalaman kehendak, pengalaman bertanggung jawab, pengalaman menjadi penggerak pertama, pengalaman memerintah

27

diri sendiri, ditentukan sendiri bukan orang lain (Maslow, 2004: 77).

2) Carl Ransom Rogers

Rogers ialah seorang psikolog humanistik yang menekan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka dalam membantu individu atau klien mengatasi masalah-masalahnya. Rogers meyakini bahwa klien sebenarnya memiliki jawaban sendiri atas permasalahannya dan tugas dari terapis hanya membimbing klien menemukan jawaban yang benar. (Herpratiwi, 2009: 49).

Rogers membedakan dua tipe belajar, yakni kognitif (kebermaknaan) dan esperiental (pengalaman atau signifikan). Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai, seperti mempelajari mesin mobil dengan tujuan untuk memperbaiki mobil. Experiental learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiental learning mencakup keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa. Menurut Rogers hal yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu sebagai berikut:

a. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar

28

c. pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. d. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern ialah belajar

tentang proses (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61).

Dari bukunya Freedom to learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik, diantaranya:

1. Manusia mempunyai kemampuan belajar secara alami.

2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan oleh murid memiliki relevansi dengan maksudnya sendiri.

3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri dianggap mengancam dan cenderung akan ditolak.

4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil

5. Apabila ancaman terhadap siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.

6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.

29

7. Belajar diperlancar apabila siswa dilibatkan langsung dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab dengan proses belajar itu.

8. Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan siswa seutuhnya, baik perasaan atau intelek, merupakan cara yang dapat memberi hasil yang maksimal.

9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, dan kreatifitas lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya sendiri. Penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.

10.Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya kedalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu (Sukardjo dan Komarudin, 2009: 61-62).

Teori Rogers dalam bidang-bidang pendidikan, pendidikan membutuhkan 3 (tiga) sikap yang harus dipahami oleh fasilitator belajar, yaitu realitas (dalam fasilitator belajar, penghargaan, penerimaan), kepercayaan, dan empati (Herpratiwi, 2009: 53). 3) John Dewey

Menurut John Dewey pendidikan merupakan perkembangan, perkembangan sejak lahir sampai menjelang kematian, jadi, pendidikan berarti sebuah kehidupan. Bagi Dewey, education is

30

growth, development, life. Proses pendidikan harus bersifat kontinu, merupakan reorganisasi, rekonstruksi, dan perubahan pengalaman hidup, pembentukan kembali pelngalaman hidup. Jadi pendidikan merupakan organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembai pengalaman hidup, juga perubahan pengalaman hidup itu sendiri.

Beberapa ide Dewey (dalam Surna dan Pandeirot, 2014: 32) yang memberi kontrubusi penting bagi pendidikan yaitu:

a. Anak sebagai pribadi yang aktif dalam belajar (child as an active learner). Sebelumnya berkembang pandangan bahwa anak adalah pribadi yang pasif (anak hanya duduk dan mendengarkan penjelasan dari guru), Dewey dengan tegas

berpendapat bahwa belajar yang terbaik adalah “learn best by doing”.

b. Dalam melaksanakan pengajaran, anak harus dipandang sebagai pribadi yang utuh (whole child) dan menekankan makna penyesuaian anak terhadap lingkungannya. Pelaksanaan pembelajaran haruslah memberikan penekanan pada upaya guru untuk mendorong bagaimana belajar untuk berfikir dan beradaptasi dengan dunia diluar sekolah.

c. Dewey sangat percaya bahwa semua anak berhak mendapat keahlian dan ketrampilan yang semestinya.

31

Peran guru tidak hanya berhubungan dengan pelajaran, melainkan dia harus menempatkan dirinya pada seluruh interaksinya dengan kebutuhan, kemampuan, dan kegiatan siswa. . 4) Arthur W. Combs

Arthur Combs (dalam Suwarno, 2006: 71-72) berpendapat bahwa perilaku batiniah seperti perasaan, persepsi, keyakinan, dan maksud menyebabkan seorang berbeda dengan orang lain. Pendidik dapat memahami perilaku peserta didiknya jika ia mengetahui bagaimana peserta didik mempersepsikan perbuatannya pada suatu situasi.

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (Makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan dalam teori belajar humanistik. Dengan demikian, belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Pendidik tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai oleh peserta didik. Inilah yang menjadi tantangan bagi pendidik, bagaimana cara pendidik agar peserta didik menjadi tertarik untuk mempelajari materi tersebut.

Seorang pendidik harus memahami perilaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi peserta didik tersebut, sehingga apabila ingin merubah perilaku peserta didik tersebut, pendidik harus merubah keyakinan atau pandangan peserta didik tersebut.

32 5) Paulo Fiere

Sebagian sekolah hanya berfokus pada targetkuantitatif yang bisa diukur saja. Seperti misalnya peserta didik harus lulus dalam suatu mata pelajaran yang dengan nilai minimal tertentu. Menurut Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas model pendidikan semacam itu ia sebut sebagai banking education alias pendidikan bergaya bank.

“Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi,tetapi guru menyampingkan pernyataan-pernyataan dan “mengisi tabungan”

yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid (Friere, 2008: 52).

Dalam pendidikan model ini, peserta didik hanya dijejali dengan ilmu secara satu arah dengan tujuan mendapatkan nilai-nilai kuantitatif yang dituju. Praktek pendidikan hanya dipahami sebatas sarana pewarisanilmu. Pendidikan tidak dipahami sebagai transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang lebih menekan pada proses pendewasaan pemikiran dan mengartikan belajar sebagai proses memaknai dan mengkritisi realitas sosial yangada di lingkungan sekitar. Bukan hanya sekedar mencari ijazah dengan nilai yang tinggimaupun sebagai sarana meningkatkan status sosial.

Tujuan utama manusia adalah humanisasi yang ditempuh melalui pembebasan. Proses untuk menjadi manusia secara panuh hanya mungkin apabila manusia berintegrasi dengan dunia. Dalam kedudukannya sebagai subjek, manusia senantiasa menghadapi berbagai ancaman dan tekanan,

33

namun ia tetap mampu terus menapaki dan menciptakan sejarah berkat refleksi kritisnya (Murtiningsih, 2006: 55).

Pendidikan dengan pendekatan kemanusiaan sering diindentikkan dengan pembebasan, yaitu pembebasan dari hal-hal yang tidak manusiawi. Jadi, untuk mewujudkan pendidikan yang memanusiakan manusia dibutuhkan suatu pendidikan yang membebaskan dari unsur dehumanisasi. Dehumanisasi tersebut bukan hanya memandai seseorang yang kemanusiaanya telah dirampas, melainkan (dalam era yang berlainan) manandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokkan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh.