• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

3. Pendidikan Karakter

a. Pengertian Pendidikan Karakter

Di era moderen saat ini pendidikan merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter dan kepribadian seseorang menjadi baik. Pembentukan karakter ini dilakukan melalui adanya penerapan nilai-nilai karakter yang disertakan didalam setiap mata pelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013 yang mengharuskan adanya penguatan pendidikan karakter di dalam dunia pendidikan secara khusus dalam proses pembelajaran. Kurikulum 2013 diharapkan mampu mendekatkan peserta didik pada kultur masyarakat dan bangsanya.37

Secara umum pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara metodis, sistematis, dan tekun terus-menerus, berlangsung dalam jangka waktu tertentu,

35 Ishak Abdulhak, Teknologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013, hlm. 84-87

36 Hendra Kurniawan, op.cit., hlm. 134

37 Hendra Kurniawan, Kajian Kurikulum dan Bahan Ajar Sejarah SMA Menurut Kurikulum 2013, Yogyakarta: Sanata Dharma University Press, 2018, hlm. 158

untuk meneruskan, mendapatkan, dan merangsang pada peserta didiknya, pengetahuan, sikap, nilai, kecakapan, kemampuan, kompetensi, profesionalitas yang dinilai berguna untuk membuat peserta didik berkembang pribadinya dan membekali mereka dengan semua itu, agar pada waktunya mampu berkontribusi berupa produk atau dan jasa kepada masyarakat.38

Menurut Ahmad D. Marimba merumuskan pendidikan sebagai bimbingan atau didikan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan anak didik, baik jasmani maupun rohani, menuju kepribadian yang utama. Menurut pengertian ini, pendidikan hanya terbatas pada pengembangan pribadi anak didik oleh pendidik.39 Artinya bahwa pendidikan bertujuan untuk mengembangkan kepribadian anak menjadi pribadi yang tidak hanya unggul dalam prestasi tetapi juga berkarakter baik. Mengenai karakter Suyanto mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.40

Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, pendidikan karakter

38A. M. Mangunhardjana, Pendidikan Karakter: Tujuan, Bahan, Metode dan Modelnya, Yogyakarta: Grahatma Semesta, 2016, hlm. 20

39 Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasi Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi dan Masyarakat, Yogyakarta: AR-Ruzz Media, 2013, hlm. 26

tidak akan efektif.41 Selanjutnya Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi (2004), “sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya”. Sedangkan Fakry Gaffar (2010) mendefinisikan pendidikan karakter adalah “sebuah proses transformasi nilai-nilai kehidupan untuk ditumbuhkembangkan dalam kepribadian seseorang sehingga menjadi satu dalam perilaku kehidupan orang itu”.42 Sehingga yang dimaksud dengan pendidikan karakter yaitu mentransformasikan nilai-nilai kehidupan untuk mendidik seseorang menjadi pribadi yang dapat bertumbuh dan berperilaku yang baik. Dalam kaitannya dengan pendidikan maka tujuan pertama pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Sedangkan tujuan kedua pendidikan karakter adalah mengkoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah. Maksud dari kedua tujuan ini ialah bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak yang negatif menjadi positif.43

41 Akhmad Muhamimin Azzet, Urgensi Pendidikan Karakter Di Indonesia: Revitalisasi Pendidikan Karakter Terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016, hlm. 27

42 Dharma Kesuma dkk, Pendidikan Karakter: Kajian Teori dan Praktek di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011, hlm. 5

b. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. 44 Nilai berasal dari bahasa Latin valere yang memiliki arti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang.45 Nilai akan selalu berhubungan dengan kebaikan, kebajikan dan keluhuran budi serta akan menjadi sesuatu yang dihargai dan dijunjung tinggi serta dikejar oleh seseorang sehingga ia merasakan adanya suatu kepuasan, dan ia merasa menjadi manusia yang sebenarnya.46 Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan kebaikan sehingga dapat menjadi tolak ukur seseorang atau sekelompok orang dalam bertindak dan bertingkah laku.

Sedangkan menurut Darmiyati Zuchdi, memaknai watak (karakter) sebagai seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral seseorang.47 Karakter dimaknai sebagai “watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebijakan (virtues) yang diyakininya dan digunakannya sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebijakan terdiri dari atas sejumlah nilai, moral, dan norma seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, hormat kepada orang lain, dan

44 Syamsul Kurniawan, op.cit., hlm. 39-42

45 Sutarjo Adisusilo, J.R., Pembelajaran Nilai-Karakter: Konstruktivisme Dan VCT Sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2017, hlm. 56

46 Ibid, hlm. 57

sebagainya. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa”.48

Ada enam pilar penting karakter manusia yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak/perilakunya, yaitu: respect (penghormatan), responsibility (tanggung jawab), citizenship-civic duty (kesadaran berwarganegara), fairness (keadilan), caring (kepedulian dan kemauan berbagi), dan tustworthiness (kepercayaan).49

Tabel 1. Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Karakter

No. Nilai Deskripsi

1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

5 Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan

cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada

orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

9 Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat atau didengar.

48 S. Hamid Hasan, “Pendidikan Sejarah Untuk Memperkuat Pendidikan Karakter”. Paramita Vol. 22 No. 1, Januari 2012, hlm 81-95 diakses pada tanggal 12 Mei 2020 pukul 13.30

49 H. Pupuh Fathurrohman dkk, Pengembangan Pendidikan Karakter, Bandung: PT Refika Aditama, 2013, hlm. 19

10 Semangat Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

11 Cinta Tanah Air

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

12 Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.

13 Bersahabat/ Komunikatif

Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

15 Gemar Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

16 Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18 Tanggung

Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, dan lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan YME.

Dalam penelitian ini nilai-nilai karakter di atas hanya akan dipilih tiga karakter yang dikembangkan dalam media audio visual sejarah yaitu nilai nasionalisme, toleransi dan multikultural.

c. Definisi Nilai Nasionalisme, Toleransi dan Multikultural 1. Nasionalisme

a. Pengertian Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Menurut Hans Kohn (1961), nasionalisme adalah satu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan.50 Sedangkan karakter nasionalisme merupakan suatu karakter hidup bersama dalam suatu komunitas yang selalu menjalankan peraturan bersama demi untuk kesejahteraan dan ketentraman bersama selaku warga negara. Adapun sikap nasionalisme merupakan semangat kebangsaan yang timbul sebagai wujud penghormatan terhadap sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang didalamnya terdapat jiwa patriotisme, ketulusan berkorban untuk kepentingan bersama, kemerdekaan dan persatuan bangsa.51

Menurut Sartono Kartodirdjo, Semangat nasionalisme dalam negara kebangsaan dijiwai oleh lima prinsip nasionalisme, yakni: 1) kesatuan (unity), dalam wilayah teritorial, bangsa, bahasa, ideologi, dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan dan policy kebudayaan; 2) kebebasan (liberty, freedom, independence), dalam beragama, berbicara dan berpendapat lisan dan tertulis, berkelompok dan berorganisasi; 3) kesamaan (equality), dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban; 4) kepribadian (personality) dan identitas (identity), yaitu memiliki harga diri (self estreem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (depotion) terhadap kepribadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dari dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya; 5) prestasi (achievment), yaitu

50 Heri Susanto, Seputar Pembelajaran Sejarah, Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2014, hlm. 20-21

cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemanusiaan (the greatnees and the glorification) dari bangsanya.52 Sehingga sikap nasionalisme dapat dirumuskan melalui sikap dan perilaku yaitu bangga sebagai bangsa Indonesia; cinta tanah air dan bangsa; rela berkorban demi bangsa; menerima kemajemukan; bangga pada budaya yang beraneka ragam; menghargai jasa para pahlawan; dan mengutamakan kepentingan umum.53 Untuk memperkuat sikap nasionalisme maka pendidikan sejarah selain bertugas memberikan pengetahuan sejarah (kognitif) juga sangat berperan penting untuk memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsanya (afektif). Menurut Aman, ”pendidikan sejarah akan mampu menumbuhkan sikap nasionalisme apabila diselenggarakan mengacu pada upaya pencapaian tujuan kurikulum yang salah satunya adalah pembentukan sikap nasionalisme”. Menurut Djoko Suryo, Sejarah merupakan mata pelajaran yang dapat menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai proses perubahan dan perkembangan masyarakat Indonesia dan dunia dari masa lampau hingga masa kini.54

Dalam konteks nasionalisme sejarah memberi peringatan kepada kita tentang pentingnya memahami identitas kebangsaan yang kita miliki dengan cara menengok kembali pada masa lalu pada waktu identitas tersebut terbentuk.55

Artinya dalam pembelajaran sejarah dapat memberikan pemahaman tersendiri bagi pembelajar atau peserta didik agar memiliki kemampuan untuk bisa memaknai dan merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap peristiwa

52 Aman, Model Evaluasi Pembelajaran Sejarah,Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2011, hlm. 40-41

53 Ibid., hlm. 42

54 Ibid., hlm. 43

sejarah, sehingga melalui pembelajaran sejarah dapat menjadi landasan dalam bersikap dan bertingkah laku.

2. Toleransi

a. Pengertian Toleransi

Bentuk pendidikan yang paling tepat dalam masyarakat multikultural adalah pendidikan yang mengedepankan toleransi dan sikap saling menghormati segala perbedaan. Pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam penanaman nilai toleran.56 Toleransi adalah sikap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Untuk itu penanaman sikap toleransi di mulai dalam satuan pendidikan untuk mendidik anak didik agar bisa menghargai keberagaman dan budaya disekitarnya yang berbeda dari dirinya.

Pada tahun 1995, UNESCO mengeluarkan deklarasi prinsip-prinsip toleransi, salah satunya berbunyi “toleransi adalah penghargaan, penerimaan, dan penghormatan terhadap kepelbagaian cara-cara kemanusiaan, bentuk-bentuk ekspresi dan kebudayaan”. Dalam lingkup kultural, toleransi dapat dipahami sebagai sikap saling mengerti dan menerima segala diversitas kultural dalam hubungan dengan yang lain.57 Sedangkan dalam kehidupan bersama beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan toleransi misalnya sikap menahan diri dalam hubungan dengan apa yang tidak kita sepakati. Kita bisa saja tidak menyukai cara hidup orang lain, tetapi kita harus tetap menghormati kebebasannya. Kita harus

56 Suciartini, Ni Nyoman Ayu.“Urgensi Pendidikan Toleransi Dalam Wajah Pembelajaran Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan”. Jurnal Penjamin Mutu, 28 Februari 2017, hlm. 17 http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/JPM/article/view/88 diakses pada tanggal 4 Maret 2020 pukul 13.40 WIB

memberi ruang untuk segala kehidupan karena semuanya adalah bagian dari kemajemukan dan keberagaman.58 Dengan demikian peserta didik harus memahami dan memaknai arti dari toleransi sehingga dapat menerapkannya dalam kehidupannya bersama orang lain.

Menurut Poerwadarminta (1976), istilah toleransi berarti menghargai, membolehkan, membiarkan pendirian pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya yang lain atau yang bertentangan dengan pendirinya sendiri, misalnya agama, ideologi, ras.59 Sejalan dengan itu menurut Yamin dan Vivi, toleransi merupakan kemampuan untuk dapat menghormati sifat-sifat dasar, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki orang lain. Selain itu, toleransi juga bisa dipahami sebagai sifat atau sikap menghargai, membiarkan atau membolehkan pendirian (pandangan, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) orang lain yang bertentangan dengan kita, atau dengan kata lain, hakikat toleransi adalah hidup berdampingan secara damai dan saling menghargai keragaman.60

b. Sikap Toleransi

Dalam menanamkan sikap toleransi Tilman (2004) menyatakan karakter toleransi sebagai sikap saling menghargai melalui pengertian dengan tujuan

58 Ibid., hlm. 42

59 Ratna Aprilia, Romadi, “Persepsi Siswa Tentang Toleransi dalam Pemebelajaran Sejarah Sub Materi Indonesia Masa Hindu-Buddha Pada Kelas X SMK AL-ASOR Semarang”. Jurnal Penelitian dan Inovasi Pembelajaran Sejarah. Vol. 8 No. 1, Juni 2019, hlm 80 diakses pada tanggal 4 Maret 2020 pukul 14.22 WIB

60 Ratna Aprilia, Romadi, “Persepsi Siswa Tentang Toleransi dalam Pemebelajaran Sejarah Sub Materi Indonesia Masa Hindu-Buddha Pada Kelas X SMK AL-ASOR Semarang”. Jurnal Penelitian dan Inovasi Pembelajaran Sejarah. Vol. 8 No. 1, Juni 2019, hlm 80 diakses pada tanggal 4 Maret 2020 pukul 14.22 WIB

kedamaian. Sedangkan Galtung (1976) mengkonsep makna damai itu sendiri sebagai kondisi internal manusia yang memiliki pikiran damai terhadap dirinya sendiri ketika dihadapkan pada situasi tertentu. 61

Tilman (2004) dalam Siti Hamida (2015) menyebutkan butir-butir refleksi dalam toleransi, sebagai berikut: (1) kedamaian adalah tujuan, toleransi adalah metodenya. (2) toleransi adalah terbuka dan reseptif pada indahnya perbedaan. (3) toleransi menghargai individu dan perbedaanya, menghapus topeng dan ketegangan yang disebabkan oleh ketidakpedulian. Menyediakan kesempatan untuk menemukan dan menghapus stigma yang disebabkan oleh kebangsaan, agama dan apa yang diwariskan. (4) toleransi adalah saling menghargai satu sama lain melalui pengertian. (5) benih dari intoleransi adalah ketakutan dan ketidakpedulian. (6) benih dari toleransi adalah cinta, disiram dengan kasih dan pemeliharaan. (7) jika tidak cinta tidak ada toleransi. (8) yang tahu menghargai kebaikan dalam diri orang lain dan situasi memiliki toleransi. (9) toleransi juga berarti kemampuan menghadapi situasi sulit. (10) toleransi terhadap ketidaknyamanan hidup dengan membiarkan berlalu, ringan, membiarkan orang lain ringan. (11) melalui pengertian dan keterbukaan pikiran, orang yang toleran memperlakukan orang lain secara berbeda, dan menunjukkan toleransinya.62

Dalam hal ini butir-butir refleksi dalam toleran sangat penting untuk diwujudkan dalam diri peserta didik sebagai landasan dalam menanamkan sikap

61 Agus Spriyanto dan Amien Wahyudi, “Skala Karakter Toleran: Konsep dan Operasional Aspek Kedamaian, Menghargai Perbedaan dan Kesadaran Individu”. Jurnal Ilmiah Counselia. Volume 7 No. 2, Nopember 2017, hlm. 63 diakses pada tanggal 4 Maret 2020 pukul 11.34 WIB

62 Ratna Aprilia, Romadi, “Persepsi Siswa Tentang Toleransi dalam Pemebelajaran Sejarah Sub Materi Indonesia Masa Hindu-Buddha Pada Kelas X SMK AL-ASOR Semarang”. Jurnal Penelitian dan Inovasi Pembelajaran Sejarah. Vol. 8 No. 1, Juni 2019, hlm 80-81 diakses pada tanggal 4 Maret 2020 pukul 14.22 WIB

toleran bagi siswa yang majemuk. Proses penanaman sikap toleran tersebut dapat dilakukan oleh guru melalui materi pembelajaran, secara khusus pada pembelajaran sejarah yang memuat nilai karakter.

3. Multikultural

a. Pengertian Multikultural

Kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran atau paham). Sedangkan multikultural sebagai kata sifat mengacu pada jenis masyarakat yang terdiri dari beraneka macam kelompok budaya.63 Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.64

Sehingga secara khusus ketika berbicara mengenai multikulturalisme berarti berhubungan dengan kebudayaan.

Multikulturalisme sebagai sebuah paham yang menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya lokal tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang lain penting kita pahami bersama dalam kehidupan yang multikultural seperti di Indonesia. Pada prinsipnya, pendidikan mutikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan. Pendidikan multikultural senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap kebudayaan bisa melakukan ekspresi.65 Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang

63 Andre Ata Ujan., dkk, Multikulturalisme: Belajar Hidup Bersama Dalam Perbedaan, Jakarta: PT Indeks, 2011, hlm, 153

64 Choirul Mahfud, Pendidikan Multicultural, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006, hlm. 75

diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah.

Pendidikan multikultural mempunyai dua tujuan, yaitu tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural di kalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka mampu untuk menjadi transformator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme, dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya. Adapun tujuan akhir pendidikan multikultural ini adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapkan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis.

Menurut James Banks, pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color. Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan). James Banks menjelaskan, bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa dimensi yang saling berkaitan satu dengan yang lain, yaitu: 1) Content Integration, yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi

dan teori dalam mata pelajaran/ disiplin ilmu, 2) The Knowledge Construction Process, yaitu membawa siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran, 3) An Equity Paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya, ataupun sosial, 4) Prejudice Reduction, yaitu mengidentifikasi karakteristik siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian, melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik yang toleran dan inklusif.66

b. Sikap Multikultural

Adapun sikap yang perlu dikembangkan dalam msyarakat yang multikultural yaitu:

a. Solidaritas multikultural

Solidaritas multikultural artinya solider terhadap keanekaragaman budaya. Solidaritas itu perlu dibangun dengan kesadaran bahwa ketermasukan seseorang ke dalam satu budaya hendaknya dilihat sebagai “teman seperjalanan” (fellow traveler) yang harus saling membantu, bahu-membahu, dan bukannya saling meniadakan. Teman seperjalanan itu bisa dari agama yang berbeda, bahasa yang berbeda, suku, gender, dan kelas sosial.

b. Terbuka terhadap kebudayaan lain

Terbuka terhadap kebudayaan lain berarti bersedia mempelajari kebudayaan lain. Studi-studi kebudayaan membuktikan bahwa setiap kebudayaan sebenarnya mempunyai pengetahuan dan nilai-nilai kebudayaan yang cukup untuk kebutuhan kebudayaan dari partisipan masyarakat budaya tersebut.

66 Suciartini, Ni Nyoman Ayu. “Urgensi Pendidikan Toleransi Dalam Wajah Pembelajaran Sebagai Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan”. Jurnal Penjamin Mutu, 28 Februari 2017. http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/JPM/article/view/88 diakses pada tanggal 4 Maret 2020 pukul 21.05 WIB

c. Sikap menghargai realitas multikultural

Keanekaragaman budaya adalah sesuatu yang tak bisa ditolak; bahkan harus dilestarikan karena menunjukkan kekayaan kreativitas manusia; dasar kreativitas manusia; memperluas pilihan budaya; berarti juga merupakan hak asasi manusia. Untuk itu perlu disadari bahwa membangun persepsi diri yang menolak keanekaragaman budaya adalah hal yang mustahil. Kalau dipaksakan akan menimbulkan pribadi yang terpecah, tidak integratif, berwawasan sempit, tidak bebas, karena tidak melihat banyak pilihan.

d. Sikap solider dan toleran

Solider dan toleran adalah sikap yang tepat untuk dikembangkan dalam membangun kepribadian karena dalam sikap ini tidak ada tuntutan untuk melebur dan kehilangan eksis, tanpa kehilangan identitas.

e. Menjadi pribadi yang menolak kekerasan

Untuk tujuan apa pun kekerasan tetap bukan cara yang tepat untuk mendobrak perubahan atau menyelesaikan masalah. Penyelesaian konflik dengan kekerasan hanyalah menimbulkan mata rantai kekerasan baru yang berujung pada kehancuran. Sehingga sikap dan cara non-kekerasanlah yang akan memutuskan mata rantai dendam yang bisa terus meningkatkan kekerasan.67

4. Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sejarah

Dokumen terkait