• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kajian Pustaka

4. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda. Pendidikan Matematika Realistik dikembangkan oleh Hans Freudenthal sejak tahun 1970an. Hans Frudenthal (Wijaya, 2012) menyatakan bahwa matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia yang melandasi pengembangan Pendidikan Matematika Realistik (Realistic Mathematics Educations). Freudenthal

mengenalkan istilah “guided reinvention” sebagai proses yang dilakukan siswa secara aktif untuk menemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan guru. Selain itu, (Freudenthal,1991) tidak menempatkan matematika sekolah sebagai suatu sistem tertutup (closed system) melainkan sebagai suatu aktivitas yang disebut matematisasi.

Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari Pendidikan Matematika Realistik. Proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan (knowledge) yang dipelajari bermakna bagi siswa (Freudenthal, 1991). Suatu masalah disebut “realistik” jika masalah tersebut hanya dapat dibayangkan atau nyata (real) dalam pikiran siswa. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, permasalahan realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau disebut juga sebagai sumber untuk pembelajaran. Sedangkan dalam pendekatan mekanistik, permasalahan realistik ditempatkan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep matematika sehingga sering juga disebut sebagai kesimpulan atau penutup dari proses pembelajaran.

Pendidikan Matematika Realistik mulai diterapkan di Indonesia dengan nama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) sejak tahun 2001. PMRI dikembangkan oleh Institut Pengembangan PMRI dengan melibatkan empat universitas di Indonesia, yaitu Universitas Pendidikan Indonesia–Bandung, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma–Yogyakarta, dan Universitas Negeri Surabaya (Wijaya, 2012).

b. Pengertian PMRI

Wijaya (2012: 20) Pendidikan Matematika Realistik adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika yang harus selalu menggunakan masalah sehari-hari. Penggunaan kata “realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti “untuk dibayangkan” atau “to imagine”. Van Den Heuvel Panhuizen (Wijaya, 2012), penggunaan kata “realistik” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa.

Soedjadi (2001:2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik. Selain itu Soedjadi juga menjelaskan bahwa realita adalah hal-hal nyata yang kongkrit yang dapat diamati dan dipahami siswa dengan cara membayangkan. Sedangkan lingkungan adalah tempat di mana peserta didik berada baik dilingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat.

Terkait dengan pendekatan pembelajaran matematika, pendekatan matematika realistik saat ini sedang dikembangkan di Indonesia, maka selanjutnya dikenal dengan sebutan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendekatan ini merupakan adaptasi dari pendekatan

matematika realistik yang dikembangkan di Belanda oleh Freudenthal. PMRI merupakan pembelajaran yang menekankan aktivitas insan, dalam pembelajarannya digunakan konteks yang sesuai dengan keadaan di Indonesia.

Dasar filosofi yang digunakan dalam PMRI ini adalah kontrukstivisme yaitu dalam memahami suatu konsep matematika siswa diharapkan membangun dan menemukan sendiri pemahamnnya. Karakteristik dari pendekatan ini adalah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk membangun pemahaman tentang konsep yang baru dipelajarinya.

Perhatian pada pengetahuan informal (informal knowledge) dan pengetahuan awal (pre knowledge) yang dimiliki siswa menjadi hal yang sangat mendasar dalam mengembangkan permasalahan yang realistik. Pengetahuan informal siswa dapat berkembang menjadi suatu pengetahuan formal (matematika) melalui proses pemodelan.

Secara umum, dalam Pendidikan Matematika Realistik di kenal dua macam model yaitu model “of” dan model “for”. Ketika bekerja dalam permasalahan realistik, siswa akan mengembangkan alat dan pemahaman matematis yang masih memiliki keterkaitan dengan konteks masalah. Alat matematis tersebut bisa berupa strategi atau prosedur penyelesaian. Pemahaman matematis terbentuk ketika suatu strategi bersifat general dan tidak terkait pada konteks situasi masalah realistik (Wijaya, 2012).

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, konteks yang digunakan di awal pembelajaran ditujukan untuk titik awal pembangunan konsep matematika dan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan eksplorasi strategi penyelesaian masalah. Selain bermanfaat untuk mendukung kegiatan eksplorasi, penggunaan konteks diawal pembelajaran juga akan bisa meningkatkan minat dan motivasi siswa dalam belajar (Wijaya, 2012).

c. Karakteristik PMRI

Treffers dalam Wijaya (1987) merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik, diantaranya :

1) Penggunaan Konteks. Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa digunakan. Manfaat lain penggunaan

konteks diawal pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika.

2) Penggunaan model untuk matematisasi progresif. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model yang digunakan dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan dan matematika tingkat konkrit menuju pengetahuan matematika tingkat formal. Hal yang perlu dipahami dari kata “model” adalah bahwa model tidak merujuk pada alat peraga. Model merupakan suatu alat vertikal dalam matematika yang tidak bisa dilepaskan dari proses matematisasi karena model merupakan tahapan proses transisi level informal menuju level matematika formal. Secara umum ada dua macam model dalam Pendidikan Matematika Realistik yaitu model “of” dan model “for”. 3) Pemanfaatan hasil konstruksi siswa. Siswa memiliki kebebasan untuk

mengembangkan strategi pemecahan masalah sehingga diharapkan akan diperoleh strategi yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika. Karakteristik ketiga dari Pendidikan Matematika Realistik ini tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan kreativitas siswa.

4) Interaktivitas. Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses

sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka. Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif siswa secara simultan. Kata pendidikan memiliki implikasi bahwa proses yang berlangsung tidak hanya mengajarkan pengetahuan yang bersifat kognitif, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai untuk mengembangkan potensi alamiah afektif siswa.

5) Keterkaitan. Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan kepada siswa secara terpisah atau terisolasi satu sama lain. Pendidikan Matematika Realistik menempatkan keterkaitan (intertwinement) antar konsep matematika sebgai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan.

Dokumen terkait