• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN PUSTAKA

1. Pendidikan Politik

BAB II

LANDASAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka

1. Pendidikan Politik

Pendidikan dan politik adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Keberadaan keduanya saling mempengaruhi dan saling ketergantungan satu sama lain. Pendidikan tidak akan dapat dilaksanakan tanpa faktor politik dan politik tidak akan dapat berjalan tanpa adanya pendidikan politik. Selanjutnya, dengan dominasi keduanya akan muncul pendidikan politik yang memainkan peran yang penting untuk suatu perubahan atau transformasi sosial politik menuju sistem yang lebih demokrasi dan adil atau ke arah yang lebih baik dari sebelumnya (Fakih, et al. 1999: xi). Pendidikan politik dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh paradigma dan ideologi pendidikan yang dianut dalam mendasari kegiatan politik. Bangsa Indonesia dalam sistem pendidikannya tentusaja tidak luput dalam melaksanakan pendidikan politik dengan ideologi pancasila.

Ditinjau dari sejarah bangsa Indonesia yang melewati beberapa rezim kekuasaan, pendidikan politik ditempatkan sebagai alat untuk mensosialisasikan dan melegitimasi sistem dan struktur sosial politik yang ada. Pendidikan politik yang dilaksanakan oleh pemerintah bertanggungjawab terhadap kepahaman masyarakat terhadap politik yang dapat dibuktikan dengan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum.

Partisipasi masyarakat sebagai salah satu bentuk dari produk pendidikan politik masyarakat tersebut merupakan salah satu praktek aktualisasi diri. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kartono (2009: xvi) bahwa aktualisasi diri

11

merupakan pendidikan politik yang diarahkan pada upaya membina kemampuan mengaktualisasikan diri sebagai pribadi yang otonom bebas dan pada sosialisasi diri yang erat kaitannya dengan statusnya selaku warga negara di suatu negara. Aktualisasi diri tersebut dijelaskan sebagai segala jenis bakat dan kemampuan, sehingga pribadi bisa berkembang, lalu menjadi aktif, kreatif dan berkarya. Oleh karena itu untuk meningkatkan partisipasi rakyat dalam hal pembangunan ataupun struktur sosial yang lain diperlukan pendidikan politik.

a. Pengertian Pendidikan Politik

Konsep pendidikan politik pertama kali muncul bersamaan dengan politik dan pendidikan. Pendidikan dan politik adalah dua konsep yang sudah ada sejak keberadaan manusia dan manusia tersebut sudah mulai berpikir. Pendidikan mempunyai hubungan yang erat dengan filsafat karena pendidikan tersebut akan diselenggarakan berdasarkan filsafat dan atau pandangan hidup serta berlangsung dalam latar belakang sosial budaya masyarakat tersebut (Siswoyo, et al., 2013: 1). Selanjutnya mengenai ilmu politik yang tergolong cabang ilmu yang masih muda yang baru berkembang pada abad ke-19 bersama ilmu sosial lainnya, keduanya pendidikan dan politik akan erat berkelindan dalam berkonstribusi terhadap kemajuan peradaban manusia.

Pelaksanaan kegiatan politik banyak terdapat pandangan positif dan negatif yang disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik naluri yang baik ataupun buruk. Hal tersebut diuraikan oleh Budiarjo (2015: 16) sebagai emosi positif yang mencakup rasa cinta, benci, setia, bangga, malu, dan marah. Selanjutnya Peter Merkl (Budiarjo, 2015: 16) merumuskan bahwa perwajahan

12

politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan sendiri. Tabiat manusia yang mempengaruhi faktor kecakapan berpolitik tersebut membutuhkan suatu arahan atau rambu yang berupa pendidikan untuk mengendalikannya agar sesuai dengan tujuan yang tepat.

Menurut Rod Hague et al (Budiarjo, 2015: 17) politik adalah kegiatan yang menyangkut bagaimana cara kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan antar anggota-anggotanya. Pendidikan akan mengambil faktor penting untuk mengendalikan pengambilan keputusan kolektif tersebut untuk menjadi sarana untuk mencapai pelaksanaan kegiatan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku.

Pendidikan adalah sebuah aktivitas politik, sebagaimana bahwa politik pada intinya adalah aktivitas pendidikan (Ustman, 2000: 62). Memisahkan keduanya adalah hal yang harus dihindari. Pendidikan diharapkan dapat melakukan transformasi, mengembangkan, dan membentuk generasi sesuai dengan budaya politik yang berlaku. Karena itu, hubungan antara pendidikan dan politik merupakan hubungan yang saling mempengaruhi.

Eratnya hubungan pendidikan dan politik tersebut oleh Ustman (2000: 63) dapat ditinjau dari sisi-sisi berikut:

1) hubungan antara pendidikan dan pengajaran dengan sistem politik, 2) objek pendidikan, yakni manusia,

3) fungsi-fungsi politik pendidikan, dan

4) peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang.

Hubungan pengajaran dengan sistem politik tidak dapat dipisahkan dari kajian-kajian sosial yang berpengaruh terhadap proses pengajaran. Kajian-kajian

13

dan sistem sosial tersebut akan berpengaruh secara nyata terhadap praktek pengajaran yang terjadi. Manusia sebagai objek pendidikan dan pelaku pendidikan itu sendiri tidak dapat lepas dari sifat khas manusia yang akan mempengaruhi presepsi dan eksistensinya dalam kontestasi politik. Pengokohan fungsi-fungsi politik sebagai usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dari sistem politik yang sedang berlaku mengharuskan pendidikan untuk melakukannya. Hal terakhir mengenai peran pendidikan di dunia ketiga yang terbelakang merupakan contoh dari pada aspek politik yang secara langsung berkaitan dengan pendidikan pada suatu negara. Oleh karena itu, praktek pendidikan politik tidak dapat dianggap remeh untuk dilakukan dalam sistem pendidikan di Indonesia.

Pendidikan politik menurut Edgar Fore (Ustman, 2000 : 215) didefinisikan sebagai upaya penyiapan generasi untuk berpikir merdeka seputar esensi kekuasaan dan pilar-pilarnya, seputar faktor-faktor yang berpengaruh dalam lembaga-lembaga atau berpengaruh dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga tersebut. Penyiapan tersebut bukan hanya berupa doktrin untuk mengikuti suatu hal, tetapi merupakan usaha untuk menyiapkan gemerasi supaya dapat memahami struktur-struktur dunia tempat mereka akan hidup di dalamnya, untuk menunaikan berbagai tanggung jawab yang benar dalam kehidupannya, agar mereka mampu membaca kejadian-kejadian sosial. Pendidikan politik dalam hal ini pada intinya adalah mengaitkan aktivitas pendidikan dengan praktek kekuasaan secara simbang, berguna, dan demokratis.

Ustman (2000: 87) mendefinisikan pendidikan politik sebagai upaya-upaya yang dicurahkan oleh lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non

14

formal, yang berusaha membentuk dan menumbuhkan kepribadian politik yang sejalan dengan kultur politik orang-orang yang bergerak di lembaga-lembaga tersebut seperti pada warga negara, membentuk dan menumbuhkan kesadaran politik dengan segala tingkatannya, yang warga negara menjadi sadar dan mampu memperoleh sendri kesadarannya, membentuk dan menumbuhkan kemampuan partisipasi politik yang ia mampu dan senang berpartisipasi politik secara aktif, dalam ikut memecahkan persoalan-persoalan umum masyarakatnya dengan segala bentuk partisipasi yang memungkinkan, dan yang mengantarkan kepada perubahan menuju yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut, dapat diketahui bahwa pendidikan yang dimaksud adalah sebuah usaha pencerdasan terhadap seorang individu untuk mampu berperan aktif dalam sebuah sistem politik dari yang sederhana maupun yang kompleks sekalipun seperti negara ataupun dunia internasional.

Pengertian pendidikan politik menurut Kartono (2009: 64) yang merupakan upaya edukatif yang intensional membentuk individu sadar politik, dan mampu menjadi pelaku politik yang bertanggungjawab secara etis/moril dalam mencapai tujuan-tujuan politik. Upaya edukatif tersebut membawa individu ke arah yang lebih maju untuk mengembangkan perilaku terdidiknya untuk berinteraksi sosial dengan yang lainnya. Kartono menyebutkan bahwa sebuah proses pendidikan politik tidak dimaksudkan untuk membentuk pribadi intelektual yang terisolasi dari lingkungan sosialnya, melainkan individu yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dalam konteks politik ataupun mengenai aspek lingkungan budayanya.

15

Suatu proses pendidikan politik adalah dialog antara peserta didik, pendidik, warga sekolah, pemerintah, ataupun partai politik. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Surbakti (1992: 117) bahwa pendidikan politik dapat diartikan sebagai proses dialog antara pendidik, seperti pemerintah, sekolah, partai politik, dan peserta didik, dalam rangka pemahaman, penghayatan, dan pengamalan nilai-nilai, norma-norma, simbol-simbol politik negaranya yang dianggap ideal dan baik.

Ditinjau dari pendekatan pendidikan andragogi dan pedagogi pendidikan politik menempati posisi yang strategis. Berdasarkan penjelasan yang diuraikan oleh Fakih, et al., (1999: xvii) pedagogi sebagai “seni mendidik anak” mempunyai mengertian yang lebih luas dimana suatu proses pendidikan yang mendapatkan objek pendidikannya sebagai anak-anak, meskipun secara biologis mereka sudah memasuki usia dewasa. Peserta didik dalam hal ini ditempatkan pada objek yang pasif dengan guru sebagai inti terpenting dalam kegiatan belajar. Sebaliknya, andragogi atau pendekatan pendidikan orang dewasa merupakan pendekatan yang menepatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Murid ditempatkan sebagai orang dewasa yang memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk memikirkan cara terbaik untuk menganalisis dan menyimpulkan serta mengambil manfaat pendidikan. Guru dalam hal ini ditempatkan sebagai fasilitator dengan hubungan relasi dengan peserta didik bersifat multikomunikasi.

Pendidikan politik difungsikan sebagai pendidikan andragogi melalui pendekatan tersebut, dimana peserta didik ditempatkan sebagai subyek yang dapat

16

bersikap kritis dalam menerima muatan politik yang disampaikan dalam pendidikan politik, disamping itu masih terdapat banyak praktek pendidikan yang ditujukan untuk membangun kesadaran kritis tetapi dilakukan secara pedagogi ataupun indoktrinasi. Meskipun materi pendidikan sesungguhnya menyangkut persoalan mendasar tentang struktur dan sistem masyarakat, apabila materi tersebut disampaikan dengan cara indoktrinasi, maka disinyalir bahwa proses pendidikan tersebut akan membunuh sikap kritis peserta didik sehingga hasil dari pendidikan tersebut bertentangan dengan tujuan pendidikan kritis.

Pendidikan politik pada intinya merupakan upaya pencerdasan dan penyadaran yang mencakup aktivitas pendidikan diri yang terus berproses sehingga seseorang dapat memahami dirinya sendiri dalam kondisi lingkungan sekitarnya. Selanjutnya setelah melalui proses tersebut seseorang akan mampu menilai segala sesuatu secara kritis dan menentukan sikap-sikap dan cara penanganan permasalahan yang ada di lingkungan hidupnya. Pendidika politik bukan hanya upaya untuk menambah informasi tetapi juga menekankan kepada kemampuan menentukan sikap, menganalisis situasi, dan kecakapan dalam berbuat. Seseorang tidak dapat bekerja secara sendiri dan bebas karena akan selalu terikat ke dalam keberadaan individu-individu lain yang sama-sama memperjuangkan kebutuhannya untuk hidup.

b. Tujuan Pendidikan Politik

Tujuan pendidikan politik yaitu untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya. Sesuai dengan paham kedaulatan rakyat atau demokrasi, rakyat harus

17

menjalankan tugas partisipasi (Kantaprawira, 2006: 55). Melalui masyarakat yang sadar akan pentingnya partisipasi, sistem politik suatu wilayah akan berjalan dinamis, dimana keterlibatan semua komponen akan bertemu dan menentukan kesepakatan untuk kebaikan bersama.

Tujuan pendidikan politik menurut Kartono (2009: xvii) adalah sebagai berikut:

1) membuat rakyat menjadi melek-politik/sadar politik,

2) dan lebih kreatif dalam partisipasi sosial politik di era pembangunan, 3) sekaligus juga menghumanisasikan masyarakat, agar menjadi “leefbaar”,

yaitu lebih nyaman dan sejahtera untuk dihuni oleh semua warga masyarakat Indonesia.

Pendidikan politik bertujuan untuk membangun masyarakat yang sadar politik dimaksudkan agar masyarakat paham bahwa segala sesuatu yang menyangkut kesejahteraannya ditentukan melalui politik. Tanpa mereka ketahui harga barang-barang dipasar dapat dikendalikan melalui kekuasaan politik. Apabila masyarakat telah terbuka dan paham terhadap dominasi politik terhadap kesejahteraan hidupnya, masyarakat akan melakukan partisipasi politik untuk dapat berkonstribusi terhadap pembangunan tanah air. Masyarakat juga akan lebih kreatif dalam menanggapi isu-isu politis ataupun non politis yang menyangkut kesejahteraan orang banyak. Kesadaran dan partisipasi masyarakat yang aktif dalam politik makan akan membentuk budaya politik yang kondusif, dimana masyarakat dapat untuk mewujudkan ketahanan negara yang baik dan sejahtera dan nyaman untuk dihuni oleh semua warga masyarakat di Indonesia.

Pendidikan politik tidak hanya bertujuan untuk membangun tetapi juga mengembangkan pengetahuan politik tertentu pada manusia, tetapi juga bertujuan untuk membentuk dan mengembangkan orientasi-orientasi politik yang meliputi

18

nilai-nilai, keyakinan, arah, dan perasaan politik, yang menjadikan individu memiliki kesdaran terhadap berbagai situasi politik, persoalan-persoalan regional, nasional, maupun internasional, dan menjadikannya mampu secara sadar dan aktif, berpartisipasi dalam kehidupan politik masyarakat dan sosial.

Berikut adalah uraian tujuan pendidikan politik yang dijelaskan oleh Ustman (2000: 91 s.d 106).

1) Kepribadian Politik

Kepribadian politik merupakan tujuan utama dari proses pendidikan politik, kesadaran dan partisipasi politik tidak akan tercapai tanpa adanya kepribadian politik dalam diri seorang individu. Sejumlah orientasi yang terbentuk dalam diri individu untuk dapat berperan serta dalam politik juga merupakan kepribadian politik yang diantaranya mencakup informasi dan presepsi, pandangan-pandangan yang dimiliki individu untuk berinteraksi dengan politik. Kepribadian politik dapat meliputi: 1) nilai-nilai dan keyakinan dasar yang bermakna atau bermuatan politik baik langsung maupun tak langsung; 2) perasaan, orientasi, dan kecenderunga perilaku yang memiliki arah politik; 3) pengetahuan, wawasan, dan evaluasi politik.

2) Kesadaran Politik

Menurut Syari’ati (Ustman, 2000: 95) manusia yang sadar adalah manusia yang memiliki pandanan ideologis yang kritis, rasa keterikatan dengan masyarakat tertentu, rasa tanggung jawab individu dalam menghadapi problematikanya dan rasa kebermilikan kolektif dalam lingkungannya. Mendukung pendapat tersebut Paulo Ferayeri mengemukakan bahwa kesadaran adalah pengetahuan yang kritis,

19

pandangan yang benar terhadap realitas, dan pemahaman yang baik terhadap dunia di mana manusia itu hidup, kemudian berusaha mengubahnya. Kesadaran politik tersebut mencakup: 1) pandangan yang komprehesif; 2) wawasan yang kritis; 3) rasa tanggung jawab; 4) keinginan untuk mengubah, dalam rangka mewujudkan kebebasan atau menghadapi berbagai problematika sosial.

Kesadaran politik dapat dicapai dan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Arahan politik secara langsung, baik melalui jalur formal maupun nonformal, melalui penjelasan-penjelasan politik, usaha-usaha bimbingan, dan pengajaran politik langsung, yang dilakukan oleh para pemikir dan pemimpin-pemimpin politik, pengalaman masa lalu, ataupun kesadaran yang muncul karena kajian dialog kritis, ataupun kesadaran yang muncul dari belajar mandiri akan membentuk kesadaran politik bagi seseorang. Jenis kultur yang terdapat pada suatu wilayah, perubahan budaya yang terjadi di masyarakat, tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat tertentu akan mempengaruhi kesadaran politik pribadi seseorang.

3) Partisipasi Politik

Partisipasi politik didefinisikan sebagai aktivitas dimana individu dapat melaksanakan peranannya dalam kehidupan politik masyarakatnya, sehingga ia mempunyai kesempatan untuk memberi andil dalam menentukan dan mencapai tujuan-tujuan umum kehidupan masyarakat tersebut, dan dalam menentukan sarana terbaik untuk mewujudkannya. Hasrat kuat individu untuk melakukan peran politik secara aktif merupakan dorongan utama partisipasi politik yang nantinya akan dapat dicapai melalui pendidikan politik.

20

Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi partisipasi politik diantaranya adalah jeni kultur politik, karakter lingkungan politik dan faktor-faktor pembentukan partisipasi politik secara personal seperti aktivitas politik yang berwujud media-media komunikasi, propaganda politik ataupan kecapakan yang dimiliki oleh pribadi individu tersebut. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam hal ini seperti mengikuti berita-berita politik melalui berbagai media, ikut serta dalam agenda-agenda politik seperti kampanye, pemilihan umum, dan lain sebagainya. Terdapat pula tingkat-tingkat partisipasi politik, Ustman (2000: 104) mengklasifikasikan tingkat partisipasi politik menjadi tiga. Pertama kelompok vokalis yang memiliki kegiatan politik dengan melakuka lebih dari satu bentuk partisipasi politik aktif. Kelompok keua adalah kelompok pemikir yang memberikan perhatian kepada penelitian dan bergulan dengan informasi politik. Ketiga adalah kelompok apatais yang tidak pernah mengikuti kegiatan politik. c. Sosialisasi Politik dan Agen Pendidikan Politik

Pendidikan politik dalam penyampaiannya kepada peserta didik akan erat kaitannya dengan sosialisasi politik. Sosialisasi politik dalam menyampaikan muatan pendidikan politik mempunyai berbagai macam agen-agen pendidikan politik, namun sebelumnya sebelum membahas mengenai agen-agen pendidikan politik perlu diketahui makna dari sosialisasi politik pada umumnya.

Sosialisasi adalah proses yang dialami oleh seseorang sepanjang hidupnya, Gabriel Almond (Darmawan, 2015: 108) mendefinisikan sosialisasi politik sebagai bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik, yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat

21

berpartisipasi dalam sistem politiknya. Memasyarakatkan nilai-nilai politik merupakan tujuan utama dalam proses sosialisasi politik tersebut. Sosialisasi politik mencakup pemeriksaan mengenai lingkungan kultural, lingkungan politik, dan lingkungan sosial dalam masyarakat individu yang bersangkutan, serta mempelajari sikap-sikap politik serta penilaian terhadap politik. Maka sosialisasi politik itu merupakan mata rantai paling penting diantara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik, namun satu sistem bisa berbeda sekali dengan sistem yang lainnya.

Prewit dan Dawson (Cholisin, 2000: 6.4-6.5) mengajukan adanya teori sosialisasi politik yang melihat dari aspek pola belajar politik yang terkait dengan perkembangan sosial dan pribadi, yaitu sebagai berikut:

1) Teori Psikodinamik

Teori ini berasumsi bahwa kebutuhan dan pengalaman pribadi yang terbentuk pada masa awal kanak-kanak akan menentukan orientasi politik seseorang. 2) Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial menekankan pada faktor eksternal, yaitu penerimaan stimulus dan penguatan dari lingkungan. Pesan-pesan yang diterima individu dari lingkungan merupakan faktor yang krusial dalam menentukan pandangan yang akan diadopsi seeorang.

3) Teori Perkembangan Kognitif

Teori ini menekankan pada interaksi antara lingkungan dan perkembangan kapasitas berpikir individu. Menurut teori ini kemampuan respon dan

22

pemahanan individu tentang sesuatu dalam lingkungannya sangat ditentukan oleh kapasitas/kemampuan dasar pemikirannya.

Sosialisasi politik dalam pelaksanaannya tentu saja akan melibatkan pendidikan politik sebagai tujuan instruksional. Prewit dan Dawson juga berpendapat bahwa teori sosialisasi politik memiliki tugas untuk menemukan dan menjelaskan keterkaitan proses dan hasil sosialisasi politik dengan stabilitas politik, demokrasi, kompetensi partai politik, keadilan dan persamaan.

Sosialisasi politik dalam arti luas merupakan pendidikan politik yang berlaku di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Melalui proses tersebut pribadi seseorang dapat belajar politik dalam situasi formal maupun informal. Menurut Cholisin (2000: 6.7-6.8) cara belajar politik yang termasuk tipe sosialisasi politik langsung antara lain:

1) Imitation (Meniru)

Belajar politik dengan metode meniru ini banya dilakukan baik oleh orang tua, muda, pandai, dan bodoh. Hal yang ditiru dapat berupa tingkah laku politik, keterampilan politik, harapan-harapan politik, dan sikap politik. Model dasar untuk dapat melakukan belajar politik dengan metode meniru adalah adanya mobilisasi dan komunikasi, tanpa kedua hal ini sulit untuk dilaksanaan. Contohnya, anak-anak pada umumnya memilih partai politik meniru pilihan orang tua.

2) Anticipatory Socialization (Sosialisasi Antisipatori)

Metode belajar politik dengan metode ini pada dasarnya dengan cara menyiapkan diri tentang peranan politik yang diinginkan. Misalnya orang tua dan

23

guru baik di lingkungan keluarga ataupun lingkungan sekolah dapat mendefinisikan peranan warga negara yang baik, sehingga anak dapat mengantisipasi peran yang dituntut oleh sistem politik nasional dalam proses pembelajarannya

3) Political Education (Pendidikan Politik)

Dalam belajar politik dengan metode pendidikan politik bersifat dialogis, terbuka, rasional atau penyadaran. Di sekolah pada pendidikan Kewarganegaraan arahnya pada menumbuhkan “Good Citizenship” atau agar anak menjadi efektif bagi bangsanya. Kegiatan yang dilakukan terutama terletak pada berpartisipasi memperoleh informasi-informasi politik, misalnya dengan membaca buku-buku teks, mengikuti perkembangan lewat media massa elektronik dan non-elektronik, membuat paper, melakukan diskusi-diskusi tentang lembaga-lembaga politik dan sebagainya. Pendidikan politik jelas berbeda dengan indoktrinasi politik, yang merupakan belajar politik yang bersifat monolog bukan dialog, dan lebih merupakan pengarahan politik mengutamakan pembangkitan emosi, dan lebih mengarahkan politik untuk dukungan kekuatan politik (mobilisasi politik) dari pada peningkatan partisipasi politik. Indoktrinasi ini pada umumnya dilakukan oleh rezim otoriter atau totaliter untuk mempertahankan status quo. Partai politik pada umumnya juga lebih banyak menggunakan indoktrinasi politik pada pendidikan politik.

4) Political Experience (Pengalaman Politik)

Metode ini serin ditafsirkan secara tumpang tindih dengan konsep pendidikan politik. Pada pengalaman politik penekanannya pada orang yang

24

sedang belajar politik (disosialisasikan), sedangkan pada pendidikan politik pada orang yang sedang mensosialisasikan (Socializer). Pengalaman politik tidak mesti politik, misalnya pengalaman pahit melakukan kontak dengan penjabat yang terlibat dalam pembuatan otoriter dapat menyebabkan partisipan menjadi frustasi, bermusuhan dan mengasingkan diri dari proses politik

Selain itu, pelaksanaan sosialisasi politik yang diterima oleh peserta didik dapat melalui berbagai macam sarana. Cholisin (2000: 6.7-6.8) juga mengajukan bentuk sosilalisasi politik secara langsung yang meliputi:

1) Interpersonal Transference (pengalihan hubungan pribadi)

Menurut tipe ini, pengalaman hubungan pribadi sebagai anak dalam keluarga dan sebagai pelajar di sekolah, akan dikembangkan dalam hubungannya dengan figur penguasa.

2) Apprenticeship (magang)

Menurut tipe ini, aktivitas-aktivitas non politik dipandang sebagai praktek atau magang untuk aktivitas politik. Contohnya organisasi pembentuk pribadi seperti Pramuka, organisasi siswa adalah bentuk yang penting dalam pembelajaran politik.

3) Generalization

Menurut tipe ini, kepercayaan dasar dan pola-pola nilai budaya yang merupakan nilai umum (general value), bukan sebagai referensi kearah obyek politik tertentu, biasanya memainkan peranan yang besar dalam menentukan struktur atau pola-pola budaya politik.

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa proses sosialisasi politik sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya melingkupi keluarga, lembaga masyarakat, atau budaya sosial dengan nilai dan normanya yang mengikat. Pengaruh-pengaruh dalam proses sosialisasi tersebut juga secara langsung berperan aktif terhadap sosialisasi politik dan pendidikan politik itu sendiri. Untuk dapat mensosialisasikan nilai politik, maka agen politik harus menggunakan metode penyampaian pesan yang tepat. Surbakti (1992: 117-118) menyatakan metode penyampaian pesan tersebut sebagai berikut:

25

1) Berdasarkan segi metode penyampaian pesan sosialisasi politik dibagi menjadi dua, yakni:

a) Pendidikan Politik yaitu suatu proses dialogis diantara pemberi dan penerima

Dokumen terkait