• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja

BAB II LANDASAN TEORI

E. Pendidikan seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja

perkembangan yang luas dan berat yang gejalanya mulai tampak pada anak sebelum mencapai usia tiga tahun. Gangguan perkembangan ini meliputi tiga karakteristik utama yaitu ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang

lain, gangguan berbahasa atau komunikasi dan gangguan perilaku ( Yuspendi, 2001:42 ).

Gangguan yang mereka alami merupakan suatu gangguan perkembangan pervasive yang secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi dan psikomotorik anak. Hal ini membuat individu autis mengalami gangguan dalam keterampilan sosial mereka. Perkembangan keterampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat

mereka dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain ( Safaria, 2005:2 ).

Puspita ( 2003:5 ) dan Yoga ( 2005:4 ) menjelaskan bahwa pada perkembangan kognisi anak autis mengalami gangguan berupa kesulitan untuk memproses data dan mereka cenderung terbatas dalam memahami common

sense atau menggunakan akal sehat atau nalar. Gangguan pada perkembangan

kognisi ini sangat mempengaruhi perkembangan sosial mereka.

Perkembangan emosi yang terjadi pada individu yang menyandang autisme, juga akan mempengaruhi perkembangan sosial mereka. Wenar dan Kerig ( 2000:90 ) menjelaskan bahwa ketidakmampuan individu autis untuk memahami perasaan orang lain, membuat mereka mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain atau bergabung dengan lingkungan sosialnya. Hal ini akan terus-menerus saling mempengaruhi sehingga individu yang mengalami autisme ini semakin kesulitan untuk membaca dan memahami simbol-simbol emosi atau perasaan yang ada di lingkungan sosialnya.

Puspita (2003: 3 ) menambahkan bahwa kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak memiliki keterampilan sosial atau sulit memahami aturan-aturan sosial. Hal ini membuat mereka melakukan sesuatu yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, seperti anak autis yang tidak malu berjalan tanpa busana, membuka celana di depan orang lain dan sebagainya ( Ujianto, 2005 ).

Pada dasarnya individu autis mengalami perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan perkembangan. Mereka juga akan memasuki usia remaja, dimana mereka akan mengalami proses pubertas yang menyebabkan perubahan pada fisik yang ditandai dengan munculnya tanda seksual sekunder dan seksual primer ( Yoga, 2005:4 ).

Hutt dan Gibby ( dalam Rusmawati, 2002:3 ) menjelaskan bahwa selain perubahan fisik seperti bertambahnya kepekaan organ-organ seksual, juga ada perubahan-perubahan psikologis yang terjadi pada masa pubertas ini. Perubahan ini ditunjukkan dengan adanya perasaan dan kebutuhan akan pemuasan dorongan seksual serta munculnya kontradiksi-kontradiksi dalam diri anak seperti kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan.

Ketika memasuki masa pubertas, individu autistik juga memiliki minat yang bertambah terhadap orang lain ( Yoga, 2005:4 ). Mereka bisa tertarik pada orang lain tapi terkadang gaya dan ekspresi mereka seringkali naïf, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya ( Dewey & Everad, dalam

Puspita, 2003:3 ). Fakta yang menunjukkan bahwa individu autis mengembangkan perilaku seksual yang tidak semestinya disebabkan karena ketidakmampuan mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena ketidakmampuan mereka berkomunikasi dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Rasa tertarik yang mereka tunjukkan dengan perilaku yang kurang sesuai dengan norma itu sebenarnya mencerminkan ketidakmatangan perkembangan sosial, kognitif dan emosional mereka.

Perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan individu lain yang tidak mengalami gangguan, membuat individu autis juga membutuhkan suatu pendidikan khusus mengenai seksualitas. Namun pendidikan seksualitas bagi anak autis bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan karena terkait dengan gangguan yang mereka alami. Gangguan komunikasi dimana individu autis tersebut tidak mampu berkomunikasi baik secara verbal maupun non verbal dengan orang lain, menyebabkan sulitnya menyampaikan suatu informasi. Kemudian gangguan interaksi sosial yang menyebabkan sulitnya menjalin hubungan atau berinteraksi secara positif dengan orang lain. Hal ini juga membuat mereka tidak mampu menerjemahkan begitu banyak pesan tersirat dan aturan sosial yang ada dalam masyarakat ( Puspita, 2003:3 ).

Pemberian pendidikan pada individu autistik juga terkait dengan ciri khas mereka dalam memproses informasi dan mempersepsi dunia. Setiap individu autis memiliki manifestasi gangguan-gangguan yang berbeda-beda. Hal ini menjadikan setiap individu autis sangat unik sehingga dalam memberikan pendidikan dibutuhkan cara yang berbeda untuk masing-masing

individu tergantung pada kemampuan mencerna informasi dan respon mereka terhadap proses pengajaran ( Puspita, 2005:3 ).

Yoga ( 2005:4 ) menambahkan bahwa karakteristik yang mungkin akan muncul pada anak penyandang autisme ketika mereka memasuki masa pubertas sangat tergantung pada ciri-ciri tertentu yang ada pada masing- masing individu tersebut. Hal ini juga membuat individu autis sangat unik sehingga pemberian pendidikan seksualitas pada individu autis menjadi tidak bisa disamaratakan dan tidak bisa memberikan penanganan yang seragam bagi sekelompok anak.

Menurut Adams ( dalam Puspita, 2003:5 ) pendidikan seksualitas bagi individu autis pada dasarnya memiliki tujuan untuk memahami ciri seksualitas diri sendiri, menjadi mandiri dan bertanggung jawab, serta memahami norma masyarakat mengenai perilaku seks yang pantas di lingkungannya. Puspita ( 2003:10 ) menambahkan pendidikan dan informasi mengenai seksualitas juga harus memperhatikan masalah yang membuat individu tersebut cemas terutama yang berkaitan dengan perubahan fisik dan emosi, serta membantu mereka dalam menghindari dan menyelesaikan masalah pelecehan seksual.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada empat tujuan utama dari memberikan pendidikan seksualitas untuk anak autis yaitu; membantu mereka memahami perubahan fisik dan emosi yang mereka alami serta permasalahan yang terjadi dalam perubahan tersebut, memahami batasan public vs private,

membantu mereka memahami dasar-dasar keterampilan sosial dan membantu mereka menghindari dan mengatasi pelecehan seksual.

Pendidikan seksualitas untuk anak sebaiknya dilakukan sejak usia anak masih dini. Schwier dan Hingsburger ( dalam Puspita, 2003:5-6 ) menambahkan bahwa untuk mengajarkan masalah seksualitas pada anak harus sesuai dengan usia mental anak. Setiap tahap usia mental anak memiliki topik pendidikan seksualitas tersendiri, dan berdasarkan topik tersebut ada dua jenis pengarahan yang diperlukan anak autis, yaitu mengetahui batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan serta mempelajari dasar-dasar keterampilan sosial.

Individu autis merupakan individu yang memiliki kebutuhan khusus dalam menerima pendidikan sehingga ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan seperti kesulitan mereka memproses informasi dan memahami konsep yang abstrak sehingga diperlukan cara-cara khusus untuk memberikan pendidikan seksualitas ( Puspita, 2003:9 ).

Sejak kecil anak dibesarkan dalam keluarga dan sebagian besar waktunya ada dalam keluarga. Oleh sebab itu pendidikan seks pada anak sebaiknya diberikan oleh orang tua, karena orang tualah yang paling mengerti kebutuhan anak ( Laily & Matulessy, 2004:196 ). Orang tua adalah pihak yang bertanggung jawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Rumah adalah tempat yang paling pribadi untuk anak dimana anak diharapkan mampu mengekspresikan kebutuhan seksualitasnya ( Puspita, 2003:8 ).

Rusmawati ( 2002:7 ) menambahkan bahwa orang tua yang banyak menghabiskan waktu bersama anak memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan anak tentang pendidikan seksualitas. Mereka dapat membantu anak agar mampu mengembangkan tingkah laku seksual yang sehat sehingga mereka dapat diterima dalam lingkungan masyarakat.

Skema 1. Skema Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja

Individu Autis

Karakteristik utama 1. gangguan komunikasi 2. gangguan perilaku 3. gangguan interaksi sosial

Perkembangan fisik normal seperti individu lain yang tidak mengalami gangguan, juga mengalami pubertas

Perkembangan emosi

1. Kurang memiliki kemampuan empati.

2. kesulitan untuk membaca dan memahami simbol-simbol emosi atau perasaan yang ada di lingkungan sosialnya.

Perkembangan kognitif 1.kesulitan memproses data 2. terbatas dalam memahami

common sense dan menggunakan akal sehat atau nalar

Perkembangan sosial 1. menarik diri dari pergaulan 2. tidak mampu memahami aturan

sosial dan pesan tersirat dari orang lain

3. gangguan dalam keterampilan sosial

Memungkinkan terbentuk perilaku seksual yang tidak sesuai norma sosial.

● Membuka pakaian didepan umum

● Menyentuh bagian tubuh orang lain yang terlarang ● Masturbasi ditempat

3. dasar-dasar

keterampilan sosial. 4. mengatasi masalah

pelecehan seksual.

Membutuhkan strategi dan instruksi khusus sesuai dengan kemampuan memproses informasi dan tipe anak autis tersebut

Orang tua:

1. pihak yang bertanggung jawab atas proses

pengajaran seksualitas 2. paling mengerti

kebutuhan anak.

3. memiliki banyak waktu bersama anak

34 Akhirnya diharapkan anak

autis mampu

mengembangkan tingkah laku seksual yang sehat dan dapat diterima dalam masyarakat.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Dokumen terkait