• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi deskriptif mengenai pendidikan seksualitas oleh orang tua pada individu autistik remaja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi deskriptif mengenai pendidikan seksualitas oleh orang tua pada individu autistik remaja."

Copied!
271
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tita Dian Wulansari (2008). Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja, mengetahui pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan metode yang mereka gunakan dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak mereka. Selain itu penelitian ini juga berusaha memaparkan masalah-masalah yang dihadapi orang tua dalam memberikan pendidikan tersebut.

Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yang merupakan orang tua dari individu autistik remaja yang berumur antara empat belas tahun sampai dua puluh tahun. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Wawancara dilakukan kepada salah satu orang tua yang memiliki peran lebih besar dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas anak dan metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas tersebut. Observasi dilakukan pada individu autistik untuk melihat gangguan dan perilaku mereka yang berkaitan dengan seksualitas.

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan melakukan organisasi data dan koding yang dianggap paling efektif oleh peneliti. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa individu autistik remaja memiliki perkembangan fisik yang sama seperti remaja lainnya yang normal. Mereka juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang diekspresikan dengan cara yang mencerminkan adanya ketidakmatangan perkembangan emosi, sosial dan kognitif mereka. Metode yang digunakan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas sangat bervariasi tergantung pada gangguan yang dialami anak, perkembangan mereka dan perilaku seksual yang nampak. Hal ini juga membuat masalah yang dihadapi orang tua menjadi sangat beragam dan membutuhkan penanganan yang harus disesuaikan dengan kebiasaan anak.

Setiap individu autistik memiliki manifestasi gangguan, perkembangan dan perilaku seksual yang berbeda-beda, untuk itu diperlukan penanganan khusus bagi masing-masing anak. Setiap orang tua menggunakan metode tersendiri untuk anak mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sulit menyamaratakan metode-metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja.

Kata kunci: pendidikan seksualitas, individu autistik remaja

(2)

ABSTRACT

Tita Dian Wulansari ( 2008 ). The Descriptive Study of Sexual Education for the Autistic Teenagers by Their Parents. Yogyakarta, Psychology Faculty of Sanata Dharma University.

This study is led to accomplish the sexual development to the autistic teenagers, how their parents apply their understanding in the sexual education to their children. This study is also led to observe parents’ problems in giving that education.

There are three autistic teenager’s parents whom their children are between fourteen to twenty ages that had been interviewed and observed to collect the data during this study. The interview is only done to one of the parent who has bigger role in giving the sexual education to the child. This interview is led to examine the teenagers’ sexual development and the parents’ method in giving the education to their children. While the observation is used for the autistic teenagers to examine their disorder and behavior related to their sexual attitude.

The next step is to analyzing the colleted data by organizing and coding the data which is the most effective way. It is known by the result of the analysis that the autistic teenagers have the same psychical growth like the other normal teenagers. They also have interest to the different gender expresses by their way which is shown with the immature emotional, social and cognitive development, psychical growth and their sexual attitude. These problems have leaded another various problems for the parents which need the different treatment depend on the children’s habit.

Each autistic child has different disorder manifestation, sexual attitude and development, therefore special treatment for each of them is needed. Each parent use different methods in giving the sexual education to their children. Related to that problem it is difficult to equalize the methods that are use by the parents in giving the sexual education to the autistic teenagers.

key words: sexuality education, autistic teenagers individual

(3)

STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PENDIDIKAN

SEKSUALITAS OLEH ORANG TUA PADA INDIVIDU

AUTISTIK REMAJA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Program Studi Psikologi

Oleh:

Tita Dian Wulansari NIM : 029114110

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Tita Dian Wulansari

Nomor Mahasiswa : 029114110

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja.

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 23 Januari 2008

Yang menyatakan

(7)

Motto

Rahasia sederhana untuk tetap semangat mewujudkan mimpi

“Pada titik kehidupan itu, segalan ya jelas, segalan ya m un gkin .

Tidak takut berm im pi, m en dam bakan segala yan g diin gin kan

un tuk m em buatn ya terwujud dalam hidup...

Tapi kadan g kala den gan berlalun ya waktu, ada daya m isterius

yan g m ulai m en yakin kan kita bahwa m ustahil bisa m ewujudkan

m im pi itu...

Tapi seben arn ya daya itu m en un jukkan cara m ewujudkan

m im pi. Daya in i m em persiapkan rohm u dan kehen dak, sebab

ada satu keben aran m ahabesar di plan et in i. Siapa pun dirim u,

apa pun yan g kaulakukan , kalau kam u sun gguh-sun gguh

m en gin gin kan sesuatu, itu karen a hasrat tersebut bersum ber

dari jiwa jagat raya in i.

Dan saat kam u m en gin gin kan sesuatu den gan sepen uh hati,

seluruh jagat raya akan bersatu padu un tuk m em ban tum u

m eraihn ya....”

The Alchemist – by Paulo Coelho

(8)

Aku persembahkan....

Untuk

Papi Mami tercinta....

Untuk setiap keringat dan air mata Demi sebuah kebahagian

Untuk ...Adik-adik tersayang

Uyab, Tika dan Nuel Untuk keceriaan, semangat dan rasa berharga

Untuk

Cintaku yang terhebat...

Untuk hidup, dunia dan warna baru Untuk kebahagiaan ditengah kehampaan

Untuk

Orang tua-orang tua spesial dari anak-anak berharga

Untuk tetap setia menjadi malaikat dari makhluk Tuhan yang indah

(9)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA  

   

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skrispi saya yang berjudul “Studi Deskriptif

Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik

Remaja” ini tidak memuat karya atau sebagian karya orang lain kecuali yang telah

saya sebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah

Yogyakarta, 23 Januari 2008

Penulis,

Tita Dian Wulansari

(10)

ABSTRAK

Tita Dian Wulansari (2008). Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja, mengetahui pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan metode yang mereka gunakan dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak mereka. Selain itu penelitian ini juga berusaha memaparkan masalah-masalah yang dihadapi orang tua dalam memberikan pendidikan tersebut.

Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yang merupakan orang tua dari individu autistik remaja yang berumur antara empat belas tahun sampai dua puluh tahun. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Wawancara dilakukan kepada salah satu orang tua yang memiliki peran lebih besar dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas anak dan metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas tersebut. Observasi dilakukan pada individu autistik untuk melihat gangguan dan perilaku mereka yang berkaitan dengan seksualitas.

Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan melakukan organisasi data dan koding yang dianggap paling efektif oleh peneliti. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa individu autistik remaja memiliki perkembangan fisik yang sama seperti remaja lainnya yang normal. Mereka juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang diekspresikan dengan cara yang mencerminkan adanya ketidakmatangan perkembangan emosi, sosial dan kognitif mereka. Metode yang digunakan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas sangat bervariasi tergantung pada gangguan yang dialami anak, perkembangan mereka dan perilaku seksual yang nampak. Hal ini juga membuat masalah yang dihadapi orang tua menjadi sangat beragam dan membutuhkan penanganan yang harus disesuaikan dengan kebiasaan anak.

Setiap individu autistik memiliki manifestasi gangguan, perkembangan dan perilaku seksual yang berbeda-beda, untuk itu diperlukan penanganan khusus bagi masing-masing anak. Setiap orang tua menggunakan metode tersendiri untuk anak mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sulit menyamaratakan metode-metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja.

Kata kunci: pendidikan seksualitas, individu autistik remaja

(11)

ABSTRACT

Tita Dian Wulansari ( 2008 ). The Descriptive Study of Sexual Education for the Autistic Teenagers by Their Parents. Yogyakarta, Psychology Faculty of Sanata Dharma University.

This study is led to accomplish the sexual development to the autistic teenagers, how their parents apply their understanding in the sexual education to their children. This study is also led to observe parents’ problems in giving that education.

There are three autistic teenager’s parents whom their children are between fourteen to twenty ages that had been interviewed and observed to collect the data during this study. The interview is only done to one of the parent who has bigger role in giving the sexual education to the child. This interview is led to examine the teenagers’ sexual development and the parents’ method in giving the education to their children. While the observation is used for the autistic teenagers to examine their disorder and behavior related to their sexual attitude.

The next step is to analyzing the colleted data by organizing and coding the data which is the most effective way. It is known by the result of the analysis that the autistic teenagers have the same psychical growth like the other normal teenagers. They also have interest to the different gender expresses by their way which is shown with the immature emotional, social and cognitive development, psychical growth and their sexual attitude. These problems have leaded another various problems for the parents which need the different treatment depend on the children’s habit.

Each autistic child has different disorder manifestation, sexual attitude and development, therefore special treatment for each of them is needed. Each parent use different methods in giving the sexual education to their children. Related to that problem it is difficult to equalize the methods that are use by the parents in giving the sexual education to the autistic teenagers.

key words: sexuality education, autistic teenagers individual

(12)

KATA PENGANTAR

Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa penulis berterima kasih

kepada Peniup Nafas Kehidupan, Sahabat ( sangat ) Terbaik yang memberikan

jalan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai

Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja”. Semua

berawal dari-NYA, segala ide, pikiran dan rasa yang menjadikan karya ini ada.

Terima kasih untuk segala awal yang berharga.

Selesainya skripsi ini merupakan jalan panjang yang membuat penulis

menemukan dan bertemu dengan begitu banyak orang yang hebat. Semua

memberikan kontribusinya masing-masing sesuai dengan kapasitasnya untuk

membantu penulis menyelesaikan skripsi yang penulis sadari banyak terdapat

kekurangan. Untuk setiap jasa yang diberikan, penulis ingin mengucapkan rasa

hormat, bangga, kasih dan terima kasih kepada:

1. Ibu Sylvia CMYM S.Psi,. M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik, yang

berguna bagi penulis selama penyusunan skripsi ini. Juga yang selalu bersabar

menunggu karena butuh waktu lama untuk membimbing saya.

2. Bapak Eddy Suhartanto S.Psi, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi dan

seluruh dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah bersedia dengan

senang hati berbagi banyak ilmu kepada penulis selama penulis menempuh

kuliah.

3. Segenap staf Fakultas, mas Gandung, bu Nanik, yang memberikan kemudahan

dalam segala urusan perkuliahan, mas Doni yang bersedia melayani semua

(13)

permintaan peminjaman buku dan fotocopy, mas Muji yang memberikan

kesempatan untuk berbagi ilmu dengan teman-teman dalam praktikum serta

pak Gie untuk selalu tersenyum dan menyapa betapa pun lelahnya.

4. Bapak BR, Ibu Ss dan Ibu NF, terima kasih karena bersedia membagikan

pengalaman yang berharga demi sebuah kelulusan. Begitu banyak hal yang

saya dapat dari cerita tentang anak-anak “emas” bapak dan ibu. Membuat saya

begitu menghargai rasa cinta dan kerja keras bapak dan ibu, yang pasti begitu

berharga bagi mereka. Karena mereka pun berharga bagi bapak dan ibu.

5. Teman-teman di P2TKP Pak Priyo, Pak Toni, Bu Tiwi, terima kasih sudah

memberikan kesempatan untuk merasakan dinamika bekerja. Desta, Obeth,

Otik, mas Kobo, Ina, Elvin, Abe, Lisna, Katrin, terima kasih untuk selalu

menyemangati dan memperingatkan aku untuk segera lulus dengan cara

meninggalkanku satu per satu hehehe….thanks banget!

6. Mas Adi, special buat kamu karena mau selalu aku repotin. Makasih buat

pinjeman hp-nya ya…dan makasih mau jadi teman diskusi yang

menyenangkan.

7. Buat sahabatku, Friska, makasih untuk kasih sayang dan semangatnya…maaf

kalau aku ternyata tidak bisa menjadi yang seperti kamu harapkan, aku

memilih caraku, but i always love you. Buat Echa…lama gak ketemu ya,

terima kasih untuk tetap menganggapku adik, walaupun aku sering ngeselin.

Kapan lulus mbak!

8. Teman-teman kostku…Shinta, makasih pinjeman sepatunya ya…. Spadic,

ternyata kadang-kadang enak juga jadi orang kayak kamu, thanks ya

(14)

spongebob…. Ina, terima kasih untuk curhatnya, melegakan punya teman

seperti kamu… Clare and Vivin (duet maut), thanks buat persahabatannya,

membuatku merasa memiliki teman dan menghilangkan sepi, kapan kita gokil

bareng lagi! Buat Fani, Wulan dan Vivi…makasih udah menuhin kostku

hehehe….kita belum lama bersinggungan, tapi kalian tetap memberi arti

tersendiri buatku, makasih ya.

9. Mas Adri “Potter”…my partner…makasih ya, sudah mau berbagi ilmu dan

pengalaman. Makasih untuk semua waktu yang kita habiskan bersama untuk

berpusing-pusing mengerjakan skripsi. Untung ada kamu mas…kalau enggak

aku pasti kesepian hehehe….Sukses buat kamu ya!

10.Puthe……Comprade, sahabat tersayang, saudaraku yang cantik yang

memberiku sayap untuk mempercantik diri. Terima kasih untuk semua cerita

yang kita buat, terima kasih untuk mau terus ngingetin dan ngomelin aku biar

cepet lulus. Langkah-langkah yang kita ambil bersama membuatku kaya akan

rasa sayang terhadap sahabat, walaupun sekarang langkah kita mulai berbeda,

tapi kita tetap bisa melangkah bersama. Aku yakin kita gak akan cuma sampai

disini, kita masih punya mimpi bersama kan?

11.Buat teman-teman angkatan 2002, terima kasih untuk setiap warna indah yang

kalian berikan dalam hidup, special buat Nanut..ya ampun makasih banyak

buat recordernya. Sampai-sampai kamu pindah masih ada di aku recordernya

hehehe….

12.Papi Mami tercinta, banyak hal yang berubah dalam hidup termasuk caraku

menghargai kalian….maaf kalau selama ini aku tidak seperti apa yang kalian

(15)

harapkan, termasuk lama sekali aku baru bisa lulus….Terima kasih

memberiku jalan untuk kulalui dengan segala keindahannya, mempercayaiku

untuk meraih mimpiku. Terima kasih untuk setiap tetes air mata dan keringat.

Akhirnya aku lulus….

13.Adik-adikku tercinta…Uyab, Tika, Nuel….Hei adik-adik yang menyenangkan

walau tak jarang menjengkelkan. Terima kasih memberiku kesempatan

menjadi seorang kakak yang berbangga terhadap adiknya. Uyab, banyak hal

yang tak kumengerti darimu, tapi aku tahu kamu bahkan lebih dewasa dari

aku, sukses ya Say, thanks udah ngertiin aku!… Tika yang cantik, terima

kasih untuk semangat dan keceriaan yang menjadi senyumku, trus berprestasi

ya Tik!....Nuel “toeng”…mbak Tita selalu tertawa setiap kali ingat kamu,

makasih sudah membuatku merasa berharga, menerimaku walau apapun

kondisiku, jangan menjadi kecil walau jadi yang terkecil ok!

14.Teman-teman Aktor Studio 2 Teater Garasi, Desi, Laeli, Sita, Bahar, Gide,

Wildan, Hario, Doni, kalian adalah dunia baruku, terima kasih untuk

kebahagiaan dan keceriaannya, yang selalu memberiku semangat biar cepet

lulus supaya bisa membebaskan diri untuk menjadi apapun. Ayo berjuang,

tetap semangat dan rendah hati ya!

15.Ricky Setiawan, yang tidak malu-malu kusebut sebagai Cintaku walau orang

lain memandang sebelah mata. Aku tidak mau membatasi diri dengan kata

untuk mengucapkan terima kasih ke kamu, kalau mau ditulis gak akan cukup

satu skripsi nih cinta…. Nanti aku ngomong sendiri aja ke kamu ya,

but…terima kasih untuk tetap bertahan denganku sesulit apapun jalan yang

(16)

akan kita lalui, “mengalahkan dunia dan segala sesuatu diluar kita…” Salam

jempol, telunjuk, jari kelingking….hehehe!

Yogyakarta, 23 Januari 2008

Hormat saya,

Tita Dian Wulansari

(17)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ...ii

LEMBAR PENGESAHAN ...iii

MOTTO ...iv

PERSEMBAHAN ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

ABSTRAK …... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ...xiv

DAFTAR SKEMA ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

BAB II LANDASAN TEORI ... 9

A. Autisme... 9

1. Pengertian Autisme ... 9

(18)

2. Gejala autisme ... 11

a. Gangguan Komunikasi ... 12

b. Gangguan Interaksi sosial ... 13

c. Gangguan Perilaku ... 14

3. Penyebab autisme ... 15

B. Perkembangan Individu Autistik ... 17

1. Perkembangan Fisik ... 17

2. Perkembangan Emosi ... 19

3. Perkembangan Kognisi ... 20

4. Perkembangan Sosial ... 20

C. Seksualitas Pada Individu Autistik ... 21

D. Pendidikan Seksualitas Pada Individu Autistik ... 22

E. Pendidikan seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35

A. Jenis Penelitian: Penelitian Deskriptif ... 35

B. Subjek Penelitian ... 35

C. Prosedur Pengambilan Sampel ... 35

D. Metode Pengumpulan Data ... 36

1. Wawancara ... 37

2. Observasi ... 40

E. Metode Analisis Data ... 41

F. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 43

1. Validitas ... 43

(19)

1.1. Validitas Internal ... 44

1.2. Validitas Eksternal ... 46

2. Reliabilitas ... 47

3. Objektivitas ... 48

BAB IV PENELITIAN, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50

A. Penelitian ... 50

1. Alur Penelitian ... 50

2. Pengambilan Data ... 51

3. Pelaksanaan Penelitian ... 54

a. Wawancara ... 54

b. Observasi ... 55

B. Hasil Penelitian ... 56

1. Hasil Wawancara ... 56

1.1. Data Demografi Subjek Penelitian ... 56

1.2. Latar Belakang Subjek Penelitian ... 56

A. Latar Belakang Subjek 1 ... 56

B. Latar Belakang Subjek 2 ... 58

C. Latar Belakang Subjek 3 ... 60

1.3. Hasil Wawancara ... 62

A. Subjek 1 ... 62

1. Penerimaan Keluarga ... 62

2. Karakteristik Utama ... 66

A. Gangguan Komunikasi ... 66

(20)

B. Gangguan Interaksi Sosial ... 67

C. Gangguan Perilaku ... 69

3. Perkembangan Anak ... 70

A. Perkembangan Fisik ... 70

B. Perkembangan Emosi ... 71

C. Perkembangan kognitif ... 72

D. Perkembangan Sosial ... 73

4. Perilaku Seks Anak ... 74

5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua ... 76

B. Subjek 2 ... 80

1. Penerimaan Keluarga ... 80

2. Karakteristik Utama ... 83

A. Gangguan Komunikasi ... 83

B. Gangguan Interaksi Sosial ... 86

C. Gangguan Perilaku ... 87

3. Perkembangan Anak ... 89

A. Perkembangan Fisik ... 89

B. Perkembangan Emosi ... 90

C. Perkembangan kognitif ... 91

D. Perkembangan Sosial ... 93

4. Perilaku Seks Anak ... 94

5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua ... 97

(21)

C. Subjek 3 ... 104

1. Penerimaan Keluarga ... 104

2. Karakteristik Utama ... 107

A. Gangguan Komunikasi ... 107

B. Gangguan Interaksi Sosial ... 108

C. Gangguan Perilaku ... 109

3. Perkembangan Anak ... 111

A. Perkembangan Fisik ... 111

B. Perkembangan Emosi ... 112

C. Perkembangan kognitif ... 113

D. Perkembangan Sosial ... 114

4. Perilaku Seks Anak ... 114

5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua ... 115

2. Hasil Observasi Terhadap Individu Autistik ... 122

A. Hasil Observasi Terhadap Nc ... 122

B. Hasil Observasi Terhadap Os ... 126

C. Hasil Observasi Terhadap Dd ... 129

C. Dinamika Hasil Analisis dan Observasi ... 133

1. Subjek 1 ... 133

2. Subjek 2 ... 140

3. Subjek 3 ... 147

D. Pembahasan ... 153

1. Perkembangan Seksualitas Individu Autistik Remaja ... 153

(22)

1.1. Peerkembangan Individu Autistik Remaja ... 153

1.2. Perilaku Seksualitas Individu Autistik remaja ... 160

2. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik

Remaja ... 162

2.1. Pemahaman dan Cara Orang Tua Memberikan Pendidikan

Seksualitas ... 162

2.2. Masalah Yang Dihadapi Orang Tua Dalam Memberikan

Pendidikan Seksualitas ... 173

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 176

A. Kesimpulan ... 176

B. Saran ... 178

DAFTAR PUSTAKA ... 180

LAMPIRAN ... 182

(23)

DAFTAR SKEMA

1. Skema 1: Skema Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu

Autistik remaja ... 34

2. Skema 2: Skema Hasil Penelitian Subjek 1 ... 232

3. Skema 3: Skema Hasil Penelitian Subjek 2 ... 233

4. Skema 4: Skema Hasil Penelitian Subjek 3 ... 234

(24)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1: Panduan Wawancara ... 38

2. Tabel 2: Pedoman Observasi Kondisi Individu Autistik ... 41

3. Tabel 3: Pelaksanaan Wawancara ... 54

4. Tabel 4: Pelaksaan Observasi ... 55

5. Tabel 5: Data Demografi Subjek Penelitian ... 56

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Koding hasil wawancara subjek 1 ... 182

2. Koding hasil wawancara subjek 2 ... 194

3. Koding hasil wawancara subjek 3 ... 212

4. Tabel ringkasan Analisis ... 222

5. Tabel ringkasan hasil observasi ... 232

6. Skema hasil penelitian subjek 1 ... 233

7. Skema hasil penelitian subjek 2 ... 234

8. Skema hasil penelitian subjek 3 ... 235

9. Surat Ijin Penelitian 1... 236

10. Surat Ijin Penelitian 2 ... 237

11. Surat Keterangan Penelitian dari Fredofios ... 238

12. Surat Keterangan Penelitian dari Putra Mandiri ... 239

(26)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Membicarakan masalah seksualitas pada anak autis memang

mengundang daya tarik tersendiri, karena memang belum banyak dibahas dan

diteliti khususnya di Indonesia. Hal ini karena pengenalan terhadap individu

autistik baru mulai pada tahun 90-an yang kemudian menjadi terkenal pada

tahun 2000-an. Terlebih sebagai masyarakat Timur yang seringkali merasa

sungkan membicarakan masalah seksualitas. Perasaan malu akan muncul

ketika membicarakan masalah seksualitas ( Yoga, 2005:1 ; Puspita, 2003:1).

Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa memiliki

gangguan perkembangan sebelum usia tiga tahun, dengan manifestasi

gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi sosial

( Puspita, 2003:1 ). Wenar dan Kerig ( 2000:79-80 ) mendeskripsikan

gangguan autisme ini sebagai gangguan dengan tiga karakteristik utama yaitu

ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa

yang ditunjukkan dengan, ecolalia atau bahkan mutism, rute ingatan yang

kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturannya dalam

lingkungannya.

Safaria ( 2005:2 ) menambahkan bahwa autisme merupakan suatu

gangguan perkembangan pervasive yang secara menyeluruh mengganggu

(27)

mengalami gangguan dalam keterampilan sosial mereka. Perkembangan

keterampilan sosial yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka

dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain. Gangguan

autisme yang dialami tampaknya menghambat mereka dalam memahami

tanda-tanda tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia.

Gangguan dalam keterampilan sosial terkadang membuat mereka

melakukan hal-hal yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku dalam

masyarakat, seperti anak autis yang tidak malu berjalan tanpa busana,

membuka celana di depan orang lain dan sebagainya ( Ujianto, 2005:1 ). Fakta

yang menunjukkan bahwa individu autis mengembangkan perilaku seksual

yang tidak semestinya disebabkan karena ketidakmampuan mereka memahami

norma dan aturan sosial, dan karena ketidakmampuan mereka berkomunikasi

dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Perilaku tersebut

sebenarnya menunjukkan ketidakmatangan perkembangan sosial, kognitif dan

emosional mereka.

Pada dasarnya individu autis mengalami perkembangan fisik yang

kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan

perkembangan. Mereka juga akan masuk dalam usia remaja, dimana pada masa

itu individu autis mengalami proses pubertas yang menyebabkan perubahan

pada fisik mereka. Perubahan fisik mereka ditandai dengan pertumbuhan

seksual sekunder yaitu pertumbuhan payudara pada wanita, pembesaran testis

pada laki-laki, tumbuhnya rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan,

(28)

Karakteristik seksual primer juga mengalami perubahan yang ditandai dengan

menstruasi yang pertama pada anak wanita (menarche) dan ejakulasi yang

pertama kali berupa mimpi basah pada anak laki-laki ( Yoga, 2005:3 ).

Tidak hanya perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas seperti

anak menjadi suka menyembunyikan sesuatu yang berhubungan dengan seks

dan bertambahnya kepekaan organ-organ seksual. tapi juga

perubahan-perubahan psikologis seperti adanya perasaan dan kebutuhan akan pemuasan

dorongan seksual. Selain itu juga muncul kontradiksi-kontradiksi dalam diri

anak seperti kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan

( Hutt & Gibby, dalam Rusmawati, 2002:3 ).

Yoga ( 2005:4 ) menjelaskan bahwa individu autistik ketika

mengalami pubertas memiliki minat yang bertambah terhadap orang lain.

Dewey dan Everad ( dalam Puspita, 2003:2 ) menegaskan bahwa individu autis

bisa merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya dan ekspresi seksualitas mereka

seringkali naïf, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Hal ini membuat

lingkungan seringkali cenderung menentang minat mereka terhadap orang lain

termasuk terhadap lawan jenis.

Perkembangan fisik pada individu autis yang kurang lebih sama

dengan individu yang tidak mengalami gangguan, membuat individu tersebut

juga membutuhkan suatu pendidikan khusus mengenai seksualitas. Namun

pendidikan seksualitas bagi anak autis bukanlah suatu hal yang mudah

dilakukan karena terkait dengan gangguan yang mereka alami. Gangguan

(29)

secara verbal maupun non verbal dengan orang lain, menyebabkan sulitnya

menyampaikan suatu informasi. Kemudian gangguan interaksi sosial yang

menyebabkan sulitnya menjalin hubungan atau berinteraksi secara positif

dengan orang lain. Hal ini juga membuat mereka tidak mampu menerjemahkan

begitu banyak pesan tersirat dan aturan sosial dalam masyarakat ( Puspita,

2003:2,3 ). Masalah-masalah yang mereka hadapi membuat mereka sulit

beradaptasi dengan lingkungan sehingga seringkali menghambat individu autis

untuk berbaur dengan masyarakat.

Pemberian pendidikan pada individu autis juga terkait dengan ciri khas

mereka dalam memproses informasi dan mempersepsi dunia. Setiap individu

autis memiliki manifestasi gangguan-gangguan yang berbeda-beda. Hal ini

menjadikan setiap individu autis sangat unik sehingga dalam memberikan

pendidikan dibutuhkan cara yang berbeda untuk setiap individu tergantung

pada kemampuan mencerna informasi dan respon mereka terhadap proses

pengajaran ( Puspita, 2005:3 ).

Menurut Adams ( dalam Puspita, 2003:3 ) pendidikan seksualitas bagi

individu autis pada dasarnya memiliki tujuan untuk memahami ciri seksualitas

diri sendiri, menjadi mandiri dan bertanggung jawab, serta memahami norma

masyarakat mengenai perilaku seks yang pantas di lingkungannya. Puspita

( 2003:6 ) menambahkan pendidikan dan informasi mengenai seksual

memperhatikan masalah yang membuat individu tersebut cemas terutama yang

berkaitan dengan perubahan fisik dan emosi, serta membantu mereka dalam

(30)

Lingkungan keluarga merupakan tempat yang tepat untuk memberikan

pendidikan seksualitas sejak dini pada anak. Orang tua adalah pihak yang

bertanggung jawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Rumah

adalah daerah ‘pribadi’ dimana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan

seksualitasnya. Orang tua berkesempatan memperkenalkan nama anggota

tubuh melalui kegiatan sehari-hari, orang tua bisa membentuk kebiasaan yang

secara rutin dilakukan anak sehingga anak paham konsep-konsep ‘publik’

versus ‘pribadi’. Orang tua dan saudara kandung juga bisa menjadi model bagi

perilaku anak ( Puspita, 2003:5 ).

Ketertarikan peneliti untuk melihat pendidikan seksualitas yang

diberikan oleh orang tua terhadap anak mereka yang mengalami autisme

dikarenakan banyak orang tua yang cenderung kurang memahami bahwa

pendidikan seksualitas bagi anak autis yang memerlukan penanganan khusus

juga penting. Puspita ( 2003:6 ) menjelaskan ada kecenderungan dari orang tua

untuk menunda memberikan pendidikan seksualitas hingga anak tersebut

menghadapi masalah. Padahal peran orang tua sangat menentukan dalam

mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa remaja dan dewasa

mereka yang penuh dengan problematika seksualitas. Tanpa persiapan dalam

diri individu autis tersebut, maka akan muncul kecemasan dalam menghadapi

perubahan fisik dalam dirinya. Selain itu berdasarkan keterangan dari beberapa

orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme, ternyata banyak

perilaku dari anak mereka yang kurang sesuai dengan norma dalam

(31)

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pendidikan

seksualitas bagi anak autis merupakan bagian penting dalam pendidikan untuk

masa depan mereka. Orang tua yang banyak menghabiskan waktu bersama

anak memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan anak tentang pendidikan

seksualitas. Mereka dapat membantu anak agar mampu mengembangkan

tingkah laku seksual yang sehat sehingga mereka dapat diterima dalam

lingkungan masyarakat. Hal ini akan bermanfaat bagi mereka ketika mereka

menginjak dewasa ( Rusmawati, 2002:6-7 ).

Hal lain yang juga membuat peneliti merasa tertarik untuk melakukan

penelitian ini adalah belum adanya penelitian yang membahas tentang

pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja. Hingga saat ini,

berdasarkan survey yang dilakukan peneliti, penelitian tentang individu autistik

yang ada lebih banyak tentang deteksi dini ( Haryanti, 2006 ), peranan orang

tua dalam penanganan anak penyandang autisme ( Haniman, 2001 ) dan

berbagai terapi untuk mengurangi gejela-gejala autisme ( Nugraheni, 2006;

Kuwanto dan Natalia, 2001 ).

Pendidikan seksualitas yang diberikan pada individu autis mencakup

beberapa hal yaitu, batasan tentang public vs private, dasar-dasar keterampilan

sosial dan membantu mereka mengatasi masalah pelecehan seksual. Selain itu

pihak orang tua sebaiknya memperhatikan masalah yang berkaitan dengan

perubahan aspek fisik dan emosi yang terjadi pada mereka sehingga mampu

(32)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini berusaha untuk

mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja ?

2. Bagaimana pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan

metode yang digunakan untuk memberikan pendidikan seksualitas pada

individu autistik remaja ?

3. Masalah-masalah apa yang dihadapi oleh orang tua dalam mengarahkan

anak autisnya terutama yang berhubungan dengan seksualitas ?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja.

2. Mengetahui pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan

metode yang digunakan untuk memberikan pendidikan seksualitas pada

individu autistik remaja.

3. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tua dalam

mengarahkan anak autisnya terutama yang berhubungan dengan

seksualitas.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara

(33)

ilmu pengetahuan khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai pendidikan

seksualitas yang diberikan orang tua pada anak autisnya dengan berbagai

permasalahan yang menyertai.

Sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah menambah referensi

bagi orang tua dalam mendampingi anak mereka yang autis sehingga mereka

lebih mampu memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak mereka.

Selain itu juga menambah pengetahuan bagi orang tua dan masyarakat tentang

pentingnya pendidikan seksualitas bagi anak autis sehingga masyarakat tidak

(34)

BAB II

LANDASAN TEORI

A.Autisme

1. Pengertian Autisme

Autisme berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata “autos” yang

berarti tiada-kepunyaan, tidak boleh berinteraksi sosial. Autisme adalah

perkataan yang digunakan untuk menerangkan suatu jenis penyakit ( Setia,

2001:8 ).

Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Kanner pada tahun

1943. Kanner menjelaskan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk

menjalin relasi dengan orang lain, gangguan komunikasi seperti mutism,

echolalia dan gangguan perilaku yang ditunjukkan dengan gerakan yang

repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, keinginan untuk selalu

mempertahankan keteraturan dalam lingkungan ( Safaria, 2005:1 ).

Dalam kamus psikologi ( Chaplin, 2005:46 ) autisme dijelaskan

sebagai cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh

diri sendiri. Selain itu autisme juga dijelaskan sebagai keasyikan ekstrim

dengan pikiran dan fantasi sendiri. Individu dengan autisme menanggapi

dunia berdasarkan penglihatan dan harapannya sendiri serta menolak

realitas.

Chaplin ( 2005:46 ) juga menjelaskan istilah autistic child atau anak

(35)

autistik yaitu anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang

ekstrim. Individu ini bisa duduk dan bermain-main dengan jari-jarinya

sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Mereka itu seakan tenggelam

dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri.

Dalam PPDGJ ( 1993: 328 ), autisme digolongkan dalam gangguan

perkembangan pervasive. Kelompok gangguan ini ditandai oleh

abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi, dan

kecenderungan minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik dan berulang.

Autisme sendiri adalah gangguan perkembangan pervasive yang ditandai

adanya kelainan dan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia

tiga tahun dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang yaitu interaksi

sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang. Biasanya gejala

autisme mulai tampak pada usia 18 bulan tapi baru bisa terdeteksi pada usia

36 bulan.

Autisme merupakan “ketidakmampuan” dalam perkembangan yang

kompleks dengan gejala-gejala yang biasanya nampak pada tiga tahun

pertama masa kanak-kanak dan berlanjut seumur hidup. Autisme termasuk

dalam gangguan perkembangan yang diistilahkan dengan Autism Spectrum

Disorders (ASDs) atau Pervasive Developmental Disorders (PDDs)

( www.healthline.com ). Autism Society of America menjelaskan bahwa

individu autis tidak bisa keluar dari autismenya, namun gejala-gejalanya

dapat dikurangi dengan memberikan treatment dan pendidikan ( www.

(36)

Safaria ( 2005:2 ) menerangkan bahwa autisme digolongkan ke

dalam gangguan perkembangan pervasive dan bukan gangguan

perkembangan spesifik karena dua alasan, yaitu :

1. Pada gangguan perkembangan spesifik hanya satu fungsi spesifik saja

yang terkena, sedangkan pada gangguan perkembangan pervasive

beberapa fungsi psikologis dasarnya terganggu.

2. Dalam gangguan perkembangan spesifik seorang anak seperti

mengalami gangguan yaitu keterlambatan perkembangan sedangkan

gangguan perkembangan pervasive anak menunjukkan gangguan

kualitatif yang berat dan tidak normal pada setiap tahap perkembangan.

2. Gejala Autisme

Yuspendi ( 2001:42 ) dan Puspita ( 2005:1 ) menyatakan bahwa

gejala-gejala autisme mulai timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun.

Hal ini juga ditegaskan oleh Safaria ( 2005:7 ) yang mengungkapkan

bahwa sebelum tiga puluh bulan timbulnya autisme sudah dapat diketahui.

Walaupun demikian sering sulit dipastikan usia kemunculan gangguan ini

untuk pertama kalinya bila dilihat mundur ke masa lalu anak (retrospektif).

Beberapa sumber mengungkapkan kesamaan dalam menjelaskan

gejala-gejala autisme. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat

(37)

a. Gangguan komunikasi

Yuspendi ( 2001:45 ) menerangkan bahwa anak yang

mengalami gangguan autisme menunjukkan kelainan pada kemampuan

komunikasinya baik komunikasi secara verbal maupun nonverbal.

Bahkan terkadang anak tidak mampu berbahasa sama sekali atau tidak

mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kondisi ini dikenal dengan

istilah mutism ( Wenar&Kerig, 2000:80 ). Gangguan komunikasi yang

terjadi ini menyebabkan anak autis mengalami kesulitan untuk

mengekspresikan dirinya ( Puspita, 2005:1 ).

Puspita ( 2005:1 ) dan Safaria ( 2005:5-6 ) juga menambahkan

bentuk gangguan komunikasi lain pada anak autis yang mengalami

perkembangan bahasa yaitu seperti sering membeo ucapan orang lain

atau bunyi-bunyian (echolalia), mengucapkan kata-kata yang tidak

memiliki arti, menggunakan struktur bahasa yang tidak teratur dan

pemutarbalikan kata ganti orang, misalnya mengucapkan “kamu”

padahal yang dimaksud adalah “saya”. Hal ini menyebabkan kesulitan

untuk bertanya jawab yang sesuai dengan pembicaraan.

Setiap individu dengan autisme akan menunjukkan manifestasi

gangguan yang berbeda-beda. Dua orang yang didiagnosis mengalami

gangguan autisme akan menunjukkan variasi gangguan yang berbeda

antara satu orang dengan orang yang lain. Hal ini juga nampak dalam

gangguan komunikasinya, tidak semua individu autis menunjukkan

(38)

America menjelaskan bahwa ada juga individu autis yang mampu

mengembangkan dengan baik kemampuan berbahasanya. Beberapa

individu autis dapat mengembangkan berbagai tipe dalam kemampuan

komunikasi seperti dengan menggunakan simbol atau gambar

( www.Autism-Society.org )

b. Gangguan interaksi sosial

Secara umum anak autis seperti memiliki keengganan untuk

menjalin hubungan dengan orang lain atau mengalami gangguan untuk

menjalin hubungan interpersonal. Gangguan ini ditandai dengan

kurangnya respon terhadap orang lain atau lingkungan disekitarnya.

Anak autis kurang memiliki minat terhadap anak-anak yang bermain

didekatnya, ia lebih senang menyendiri atau bermain sendiri. Individu

autistik biasanya asyik dengan dirinya sendiri, dan perhatiannya hanya

tertuju pada satu objek yang sedang dimainkannya tanpa

memperdulikan kejadian disekitarnya. Safaria ( 2005:4 ) menjelaskan

bahwa sebenarnya gejala ini dapat terlihat ketika masa bayi, anak

biasanya tidak memiliki kelekatan (attachment behavior) dengan orang

lain terutama ibunya seperti kebanyakan anak.

Bentuk gangguan interaksi sosial lainnya adalah tidak mampu

melakukan kontak mata atau tidak mampu melihat orang ketika diajak

bicara, tidak menyahut jika dipanggil dan tidak bisa menunjukkan

ekspresi yang wajar seperti tertawa atau tersenyum jika diajak bercanda

(39)

atau mengabaikan apabila diberi kontak fisik atau disayang. Hal ini

terjadi karena anak dengan autisme akan menganggap manusia bukan

sebagai seseorang tetapi sebagai sesuatu ( Wenar&Kerig, 2000:79 ).

c. Gangguan perilaku

Gangguan perilaku ini ditandai oleh pola perilaku, minat dan

kegiatan yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk

kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan

sehari-hari. Gangguan perilaku ini ditunjukkan dengan perilaku yang

aneh atau tidak wajar dilakukan oleh anak seusianya seperti

mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada

benda yang berputar atau memutar-mutar benda, rocking

(berputar-putar), berlari-lari tanpa tujuan, berteriak dan sebagainya. Bahkan ada

kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self injury) seperti

menggigit anggota tubuhnya, memukul kepalanya atau membenturkan

ke dinding, dan menggaruk badannya hingga luka. Setiap anak akan

menunjukkan perilaku yang beragam sehingga variasi gangguan

perilakunya banyak ( Safaria, 2005:11 ).

Selain gangguan diatas, karena autisme merupakan gangguan

perkembangan yang menyeluruh maka gangguan juga terjadi pada

neurobiologis. Masalah pada neorubiologis seperti autoimunitas, gangguan

pencernaan, dysbiosis pada usus, gangguan integrasi sensori dan

(40)

menambahkan beberapa masalah lain seperti gangguan makan dan tidur.

Dalam hal ini anak sangat pemilih untuk menu makanannya, gangguan

pada pencernaan atau sangat terbatas asupannya. Pada gangguan tidur,

anak sering sulit tidur atau terbangun di tengah malam.

Anak autis juga mengalami masalah dengan integrasi sensori

mereka dan hal ini adalah gangguan yang biasa terjadi pada individu

dengan autisme. Indera mereka bisa menjadi sangat sensitive atau malah

kurang aktif. Beberapa anak autis menunjukkan masalah berupa

sensitivitas yang tinggi terhadap suara. Mereka bisa sangat terganggu

terhadap suara-suara tertentu atau bahkan suara yang dianggap biasa dalam

kehidupan sehari-hari ( www.Autism-Society.org ). Sebagian dari mereka

juga terkadang memiliki touch sensitivity yaitu anak yang memiliki

kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sentuhan dalam. Bila anak peka

terhadap sentuhan maka pelukan atau sentuhan fisik dapat menjadi

hukuman yang menyakitkan bagi mereka ( Siegel, dalam Puspita, 2005:2 )

3. Penyebab Autisme

Safaria ( 2005:3 ) menyebutkan beberapa penyebab dari autisme

ini antara lain keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan seperti

timbal, merkuri, kadnium, spasma infantile, rubella congenital, skelerosis

tuberose, lpidosis serebral dan anomaly kromosom X rapuh. Yuspendi

( 2001:44 ) juga menambahkan beberapa hal yang menjadi penyebab

(41)

1. Gangguan fungsi susunan saraf pusat. Hal ini terjadi akibat adanya

kelainan struktur otak yang mungkin terjadi pada saat janin berusia

dibawah tiga bulan. Hal ini disebabkan karena ketika hamil muda,

ibu mengidap virus taksoplasmosis, rubella, cytomegali dan herpes

(jamur candida), mengkonsumsi makanan yang mengandung zat

kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan sel otak, menghirup

udara yang beracun, mengalami pendarahan dan sebagainya.

2. Faktor genetik. Zat kimia yang secara tidak sengaja dikonsumsi

manusia karena banyaknya makanan atau barang yang menggunakan

zat kimia pada kehidupan masa ini. Zat kimia yang beracun ini dapat

menyebabkan terjadinya mutasi genetika.

3. Penyebab organik. Ini terjadi ketika anak sudah lahir. Ia mengalami

gangguan fungsi otak karena mengalami alergik atau

immunodefiensi yang menimbulkan penurunan sel-sel yang

membuat manusia lebih kebal terhadap penyakit.

4. Faktor pencernaan. Pemberian antibiotic yang terlalu banyak pada

saat anak dapat memicu pertumbuhan jamur candida di dalam usus.

Jamur ini menyebabkan gangguan pencernaan dalam usus sehingga

menghambat sekresi enzim. Akibat kekurangan enzim ini beberapa

protein tidak dapat dicerna dengan sempurna dan berubah menjadi

zat yang disebut opioid yang mempunyai efek seperti opium

(42)

keperedaran darah otak maka akan menimbulkan gejala-gejala yang

mirip dengan autisme.

B. Perkembangan Individu Autistik

Pada dasarnya perkembangan individu autistik meliputi empat aspek,

yaitu aspek perkembangan fisik, perkembangan emosi, perkembangan kognisi

dan perkembangan sosial ( Yoga, 2005:4 ). Masing-masing aspek akan

dijelaskan sebagai berikut :

1. Perkembangan fisik

Secara umum anak autis mengalami perkembangan fisik yang

kurang lebih sama dengan anak yang tidak mengalami gangguan

perkembangan. Mereka juga mengalami perkembangan fisik yang normal

dari seorang anak menjadi seorang remaja, hanya saja masa remaja autis

dimulai pada usia yang berbeda-beda tergantung individu masing-masing.

Ada anak autis yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan

seksual sejak usia delapan tahun, dan yang lainnya berlangsung mulai

sekitar usia tiga belas sampai delapan belas tahun. Bahkan ada yang

hingga usia dua puluh tahun belum menunjukkan perubahan yang berarti

( Puspita, 2003:1 ). Namun proses pubertas pada anak penyandang

autisme biasanya sama dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.

Bila autismenya berkembang dengan sindrom lain, biasanya pubertasnya

(43)

Santrock ( 2002:8 ) lebih jelas lagi memaparkan bahwa perubahan

hormonal dan perubahan tubuh ini terjadi lebih cepat pada perempuan

lebih kurang dua tahun daripada laki-laki. Perempuan dapat mengalami

menstruasi pertama kali pada usia sepuluh tahun sedangkan pada laki-laki

perubahan tubuh terjadi pada usia dua belas tahun. Proses ini terjadi secara

berangsur-angsur hingga mereka mencapai usia delapan belas tahun. Pada

anak autis perubahan ini dapat terus berlangsung hingga usia dua puluh

tahun, karena mereka kemungkinan belum menunjukkan perubahan yang

berarti hingga usia dua puluh tahun ( Puspita, 2003:1 ).

Secara fisik, masa pubertas ditandai dengan adanya tanda seksual

sekunder yaitu mulai tumbuh rambut di daerah kemaluan (pubic), wajah

dan ketiak. Selain itu pada wanita terjadi pertumbuhan payudara

sedangkan pada laki-laki terjadi pembesaran testis. Selama pubertas,

sistem reproduksi menjadi matang. Karakteristik seksual primer

mengalami perubahan yang ditandai dengan menstruasi yang pertama

pada wanita (menarche) dan ejakulasi yang pertama dengan mimpi basah

pada laki-laki ( Yoga, 2005:3 ).

Santrock ( 2002:8 ) juga menjelaskan bahwa perubahan tubuh yang

menonjol pada perempuan adalah pertambahan tinggi badan yang cepat,

pertumbuhan buah dada, pertumbuhan rambut kemaluan dan menarche.

Pada laki-laki perubahan tubuh yang menonjol ialah pertambahan tinggi

badan yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis dan

(44)

2. Perkembangan emosi

Para ahli klinis menggambarkan individu dengan autisme sebagai

individu yang kurang memiliki kemampuan empati, yaitu suatu proses

dimana seseorang memberikan respon secara afeksi kepada orang lain

dalam situasi seolah-olah merasakan sendiri apa yang dirasakan orang lain.

Dalam perkembangan anak yang normal, biasanya kemampuan empati

akan mulai terlihat ketika anak memasuki masa pra sekolah atau

kemungkinan akan terlihat lebih awal ( Wenar&Kerig, 2000:86 )

Yirmaya ( dalam Wenar&Kerig, 2000:86 ) menemukan bahwa

individu dengan autisme yang berumur antara sembilan sampai enam belas

tahun memiliki kemampuan empati yang kurang atau di bawah normal,

diukur dari kemampuan empati yang seharusnya ditunjukkan individu

dalam rentang usia tersebut. Studi kasus yang dilakukan pada individu

autis dewasa, menunjukkan bahwa kemampuan yang kurang dalam empati

ini sifatnya menetap dan tetap bertahan meskipun gejala-gejala autisme

yang dialami sudah berkurang. Individu yang mengalami autisme ini

mengalami kebingungan ketika mereka mencoba untuk memahami

perasaan orang lain.

Wenar dan Kerig ( 2000:90 ) menjelaskan bahwa ketidakmampuan

individu autis untuk memahami perasaan orang lain, membuat mereka

mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain atau

bergabung dengan lingkungan sosialnya. Hal ini akan terus-menerus saling

(45)

kesulitan untuk membaca dan memahami simbol-simbol emosi atau

perasaan yang ada di lingkungan sosialnya.

3. Perkembangan kognisi

Perkembangan kognisi pada anak autis biasanya mengalami

gangguan, yaitu kesulitan untuk memproses data. Mereka cenderung

terbatas dalam memahami common sense dan menggunakan akal sehat

atau nalar. Hal ini membuat mereka tidak mampu membayangkan

perasaan dan pikiran orang lain ( Puspita, 2003:5 ;Yoga, 2005:4 ). Anak

autis ini mengalami kesulitan untuk merangkai informasi verbal yang

panjang (rangkaian instruksi), sulit mengingat sesuatu bila sambil

mengerjakan hal lain dan sulit memahami bahasa lisan.

Sussman ( dalam, Puspita 2005:4 ) menjelaskan bahwa beberapa

individu autistik juga memiliki kecenderungan untuk menghafal informasi

apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka hafalkan. Cara

mempelajari sesuatu seperti ini dikenal dengan istilah Rote leraner. Cara

lain juga sering muncul pada individu autistik yaitu visual learner. Anak

dengan gaya seperti ini lebih mudah mencerna informasi yang mereka

lihat daripada yang mereka dengar. Individu dengan autisme memiliki

kecenderungan lebih mudah mencerna hal yang mereka lihat dan pegang

(hand-on learner) daripada hal yang abstrak.

4. Perkembangan sosial

Pada individu autistik ketika mengalami pubertas, minat mereka

(46)

minat untuk berhubungan dengan orang lain. Selain itu Puspita (

2003:1-2 ) menambahkan bahwa perubahan emosional yang menyertai perubahan

fisik pada anak autis prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka

untuk berhubungan dengan lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan.

Mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak

mampu memahami aturan-aturan sosial atau pesan yang tersirat dari orang

lain. Hal ini juga dikarenakan gangguan pada kognisi mereka yang sulit

untuk memproses informasi dan menggunakan akal sehat mereka.

C. Seksualitas Pada Individu Autistik

Dalam hubungannya dengan seksualitas, masalah dalam membentuk

interaksi dengan orang lain adalah hal yang membuat anak autis mengalami

gangguan pada seksualitas mereka. Masalah interaksi ini terwujud dalam

bentuk:

1. Kesulitan dalam menggunakan perilaku nonverbal seperti kontak mata,

ekspresi wajah, dan isyarat untuk mengatur hubungan sosial.

2. Kesulitan membentuk hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan

tahap perkembangannya.

3. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari orang lain untuk tujuan

berbagi kesenangan, minat atau keberhasilan.

4. Ketidakmampuan membentuk hubungan sosio-emosional yang timbal

(47)

Dewey dan Everad ( dalam Puspita, 2003:3 ) menjelaskan bahwa

anak autis dapat merasa tertarik dengan orang lain, namun kadangkala gaya

ekspresi seksualitas yang nampak ialah naïf, tidak matang dan tidak sesuai

dengan umur mereka. Gangguan yang mereka alami menghambat mereka

untuk menangkap sinyal-sinyal tersirat yang selalu muncul dalam hubungan

antar manusia. Walaupun secara fisik perkembangan mereka normal, namun

perkembangan emosional, kognitif dan sosial yang kurang memadai membuat

mereka kesulitan untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang

lain.

Perilaku seksual anak autis, dalam hal ini rasa tertarik mereka

terhadap lawan jenis sebenarnya tidak mengalami gangguan, hanya saja

ekspresi mereka yang mencerminkan adanya ketidakmatangan perkembangan

emosi, kognitif dan sosial mereka. Anak autis mengembangkan perilaku sosial

yang tidak seharusnya karena ketidakmampuan mereka berkomunikasi secara

efektif serta membentuk hubungan timbal balik ( Puspita, 2003:3 ).

D. Pendidikan Seksualitas Pada Individu Autistik

Adams ( dalam Puspita, 2003:5 ) menjelaskan pendidikan seksualitas

pada anak autis memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Membuat anak autis memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria

(48)

2. Mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya termasuk

masalah seperti menstruasi, mimpi basah, perkembangan ciri seksual

sekunder dan sebagainya.

3. Memahami bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk

melakukan tindakan seksual terhadap diri mereka.

4. Memahami peran dan tanggung jawab dalam menjaga kesehatan diri.

5. Membantu mereka untuk menghindari pelecehan seksual dan bila terjadi

pelecahan seksual yang dilakukan oleh seseorang, mereka dapat mencari

bantuan untuk mengatasi masalah tersebut.

6. Memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang

pantas di lingkungan.

Berdasarkan pada tujuan-tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan

seksualitas untuk anak autis dapat disimpulkan menjadi empat tujuan, yaitu:

1. Membantu mereka memahami perubahan fisik dan emosi yang mereka

alami serta permasalahan yang terjadi dalam perubahan tersebut.

2. Memahami batasan antara public vs private sehingga mereka mampu

mengembangkan perilaku yang pantas di lingkungan.

3. Membantu mereka untuk memahami dasar-dasar keterampilan sosial yang

ada di lingkungan masyarakat.

4. Membantu mereka menghindari dan mengatasi pelecehan seksual.

Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh

(49)

sekitar 50,7 % responden menyatakan setuju pendidikan seksualitas diberikan

sejak dini bahkan 38, 7 % menyatakan sangat setuju. Schwier dan Hingsburger

( dalam Puspita, 2003:5-6 ) mengatakan bahwa untuk mengajarkan masalah

seksualitas sesuai dengan usia mental anak yaitu antara lain:

1. Antara 3 – 9 tahun

Pada usia mental ini anak diberi pendidikan tentang beda antara laki-laki

dan perempuan seperti anatomi tubuh, mengenal nama anggota badan,

kebiasaan, emosi, tuntutan sosial dan sebagainya. Mereka juga diajarkan

tentang tempat publik dan pribadi, mana tempat yang menjadi milik

masyarakat dan tempat yang khusus untuk anak tersebut. Selain itu mereka

juga perlu mengetahui dan memahami proses kelahiran bayi.

2. Antara 9 – 15 tahun

Pada usia ini anak mulai mengalami pubertas, sehingga mereka

memerlukan pemahaman tentang menstruasi pada wanita dan mimpi basah

pada laki-laki. Selain itu mereka juga perlu mengetahui perubahan fisik

yang akan terjadi pada mereka terkait dengan pubertas termasuk perasaan

dan dorongan seksual yang mereka alami. Mereka mulai harus memahami

proses pembuahan yang menghasilkan bayi.

3. Usia 16 tahun keatas

Pada masa ini pendidikan seksualitas mulai mengarah pada hubungan

seksual dengan orang lain. Termasuk segala konsekuensinya seperti

(50)

dan memiliki anak. Mereka juga seharusnya memahami hukum dan

konsekuensi ketika mereka menyentuh orang lain secara seksual.

Melihat topik pendidikan seksualitas yang ada pada setiap usia mental

anak, maka ada dua jenis pengarahan yang diperlukan anak autis, yaitu:

1. Anak autis harus mengetahui batasan antara hal-hal yang boleh dilakukan

dan yang tidak boleh dilakukan dari perilakunya. Contohnya seperti tidak

boleh membuka pakaian di depan orang lain, bagaiamana cara menjaga

kebersihan tubuh dan mengajarkan tentang bagian tubuh mana yang masih

pantas untuk disentuh oleh orang lain seperti tangan dan bahu.

2. Anak autis harus diajarkan dasar-dasar keterampilan sosial. Dasar ini akan

menjadi pegangan mereka ketika memasuki tahapan yang lebih rumit lagi

dari hubungan antar manusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan

sampai hubungan seks. Terkadang anak melakukan hal-hal yang kurang

pantas seperti seorang anak laki-laki yang mendatangi seorang gadis dan

menyentuh dada gadis itu. Sekilas perilaku tersebut nampak sebagai

perilaku seksual yang tidak pantas, namun yang sebenarnya adalah mereka

tidak memiliki pengetahuan tentang hukum aturan sosial yang berlaku.

Individu autis merupakan individu yang memiliki kebutuhan khusus

sehingga ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberikan

pendidikan seksualitas. Puspita ( 2005:2 ) menjelaskan bahwa anak autis lebih

(51)

menggunakan alat bantu visual untuk memperkenalkan seksualitas pada anak.

Selain itu anak autis mengalami kesulitan untuk memproses data dan

merangkai informasi verbal yang panjang sehingga perlu membagi informasi

atau penjelasan yang rumit kedalam beberapa bagian yang lebih dapat dicerna.

Untuk memperkuat perilaku anak yang diinginkan, pemberian reward akan

sangat membantu terutama dalam membentuk konsep publik dan pribadi

( Puspita, 2003:7 ).

Adams ( dalam Puspita, 2003:9 ) menjelaskan bahwa proses

pengajaran untuk konsep-konsep keterampilan sosial, kesehatan, pendidikan

seksualitas dan hubungan antar individu yang rumit, harus melalui strategi dan

instruksi antara lain melalui:

1. Penjelasan singkat dan harafiah.

2. Contoh-contoh konkrit

3. Saat-saat belajar yang tidak disengaja.

4. Cerita sosial

5. Pengulangan

6. Bermain peran

7. Latihan memasangkan gambar dengan tulisan

Pengajaran tentang konsep abstrak pada anak autis seperti tentang

lingkungan publik dan pribadi yang paling efektif adalah dengan

menggunakan teknik modelling (memberikan contoh) dan pengulangan atau

(52)

Puspita mengatakan ( 2003:10 ) selain mengajarkan tentang konsep

seksualitas pada anak autis, mereka juga harus dibantu untuk menyelesaikan

masalah pelecehan seksual. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi

masalah ini adalah dengan rumus sederhana No-Go-Tell. Rumus tersebut

mengandung pengertian sebagai berikut:

1. Mengatakan “Tidak” pada orang lain yang ingin mengambil keuntungan

darinya. Anak harus paham bahwa pribadi berarti adalah miliknya dan

orang lain tidak memiliki hak untuk menyentuh bagian tubuhnya.

2. “Pergi” berarti anak berusaha untuk lari dan tidak menuruti

perintah-perintah seperti membuka pakaian, tidak mengatakan kepada siapa pun dan

sebagainya.

3. “Tell” berarti mengatakan kepada orang lain apa yang telah terjadi

padanya. Hal ini tidak mudah karena biasanya anak-anak ini dibawah

tekanan dan kontrol melalui ancaman. Untuk itu anak harus paham bahwa

anak harus meneruskan sendiri fakta yang dianggap rahasia dan yang

bukan rahasia.

E. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja Individu autistik adalah individu yang mengalami gangguan

perkembangan yang luas dan berat yang gejalanya mulai tampak pada anak

sebelum mencapai usia tiga tahun. Gangguan perkembangan ini meliputi tiga

(53)

lain, gangguan berbahasa atau komunikasi dan gangguan perilaku ( Yuspendi,

2001:42 ).

Gangguan yang mereka alami merupakan suatu gangguan

perkembangan pervasive yang secara menyeluruh mengganggu fungsi

kognitif, emosi dan psikomotorik anak. Hal ini membuat individu autis

mengalami gangguan dalam keterampilan sosial mereka. Perkembangan

keterampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat

mereka dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain

( Safaria, 2005:2 ).

Puspita ( 2003:5 ) dan Yoga ( 2005:4 ) menjelaskan bahwa pada

perkembangan kognisi anak autis mengalami gangguan berupa kesulitan untuk

memproses data dan mereka cenderung terbatas dalam memahami common

sense atau menggunakan akal sehat atau nalar. Gangguan pada perkembangan

kognisi ini sangat mempengaruhi perkembangan sosial mereka.

Perkembangan emosi yang terjadi pada individu yang menyandang

autisme, juga akan mempengaruhi perkembangan sosial mereka. Wenar dan

Kerig ( 2000:90 ) menjelaskan bahwa ketidakmampuan individu autis untuk

memahami perasaan orang lain, membuat mereka mengalami kesulitan dalam

menjalin hubungan dengan orang lain atau bergabung dengan lingkungan

sosialnya. Hal ini akan terus-menerus saling mempengaruhi sehingga individu

yang mengalami autisme ini semakin kesulitan untuk membaca dan

memahami simbol-simbol emosi atau perasaan yang ada di lingkungan

(54)

Puspita (2003: 3 ) menambahkan bahwa kesulitan-kesulitan tersebut

membuat mereka tidak memiliki keterampilan sosial atau sulit memahami

aturan-aturan sosial. Hal ini membuat mereka melakukan sesuatu yang

dianggap melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, seperti

anak autis yang tidak malu berjalan tanpa busana, membuka celana di depan

orang lain dan sebagainya ( Ujianto, 2005 ).

Pada dasarnya individu autis mengalami perkembangan fisik yang

kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan

perkembangan. Mereka juga akan memasuki usia remaja, dimana mereka akan

mengalami proses pubertas yang menyebabkan perubahan pada fisik yang

ditandai dengan munculnya tanda seksual sekunder dan seksual primer ( Yoga,

2005:4 ).

Hutt dan Gibby ( dalam Rusmawati, 2002:3 ) menjelaskan bahwa

selain perubahan fisik seperti bertambahnya kepekaan organ-organ seksual,

juga ada perubahan-perubahan psikologis yang terjadi pada masa pubertas ini.

Perubahan ini ditunjukkan dengan adanya perasaan dan kebutuhan akan

pemuasan dorongan seksual serta munculnya kontradiksi-kontradiksi dalam

diri anak seperti kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan

ketergantungan.

Ketika memasuki masa pubertas, individu autistik juga memiliki

minat yang bertambah terhadap orang lain ( Yoga, 2005:4 ). Mereka bisa

tertarik pada orang lain tapi terkadang gaya dan ekspresi mereka seringkali

(55)

Puspita, 2003:3 ). Fakta yang menunjukkan bahwa individu autis

mengembangkan perilaku seksual yang tidak semestinya disebabkan karena

ketidakmampuan mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena

ketidakmampuan mereka berkomunikasi dengan efektif serta membentuk

hubungan timbal balik. Rasa tertarik yang mereka tunjukkan dengan perilaku

yang kurang sesuai dengan norma itu sebenarnya mencerminkan

ketidakmatangan perkembangan sosial, kognitif dan emosional mereka.

Perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan individu lain

yang tidak mengalami gangguan, membuat individu autis juga membutuhkan

suatu pendidikan khusus mengenai seksualitas. Namun pendidikan seksualitas

bagi anak autis bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan karena terkait

dengan gangguan yang mereka alami. Gangguan komunikasi dimana individu

autis tersebut tidak mampu berkomunikasi baik secara verbal maupun non

verbal dengan orang lain, menyebabkan sulitnya menyampaikan suatu

informasi. Kemudian gangguan interaksi sosial yang menyebabkan sulitnya

menjalin hubungan atau berinteraksi secara positif dengan orang lain. Hal ini

juga membuat mereka tidak mampu menerjemahkan begitu banyak pesan

tersirat dan aturan sosial yang ada dalam masyarakat ( Puspita, 2003:3 ).

Pemberian pendidikan pada individu autistik juga terkait dengan ciri

khas mereka dalam memproses informasi dan mempersepsi dunia. Setiap

individu autis memiliki manifestasi gangguan-gangguan yang berbeda-beda.

Hal ini menjadikan setiap individu autis sangat unik sehingga dalam

(56)

individu tergantung pada kemampuan mencerna informasi dan respon mereka

terhadap proses pengajaran ( Puspita, 2005:3 ).

Yoga ( 2005:4 ) menambahkan bahwa karakteristik yang mungkin

akan muncul pada anak penyandang autisme ketika mereka memasuki masa

pubertas sangat tergantung pada ciri-ciri tertentu yang ada pada

masing-masing individu tersebut. Hal ini juga membuat individu autis sangat unik

sehingga pemberian pendidikan seksualitas pada individu autis menjadi tidak

bisa disamaratakan dan tidak bisa memberikan penanganan yang seragam bagi

sekelompok anak.

Menurut Adams ( dalam Puspita, 2003:5 ) pendidikan seksualitas

bagi individu autis pada dasarnya memiliki tujuan untuk memahami ciri

seksualitas diri sendiri, menjadi mandiri dan bertanggung jawab, serta

memahami norma masyarakat mengenai perilaku seks yang pantas di

lingkungannya. Puspita ( 2003:10 ) menambahkan pendidikan dan informasi

mengenai seksualitas juga harus memperhatikan masalah yang membuat

individu tersebut cemas terutama yang berkaitan dengan perubahan fisik dan

emosi, serta membantu mereka dalam menghindari dan menyelesaikan

masalah pelecehan seksual.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada empat tujuan utama dari

memberikan pendidikan seksualitas untuk anak autis yaitu; membantu mereka

memahami perubahan fisik dan emosi yang mereka alami serta permasalahan

Gambar

Tabel ringkasan Analisis ................................................................
Tabel I Panduan wawancara
Tabel II Pedoman Observasi Kondisi Individu Autistik
Tabel III Pelaksanaan Wawancara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Demikian pengumuman disampaikan untuk dapat diketahui, dan atas perhatiannya disampaikan terima kasih. Polewali, 14

Suatu penelitian telah dilakukan yang bertujuan 1) mengetahui kontribusi usaha babi terhadap pendapatan rumah tangga nelayan tradisional di Kabupaten Rote Ndao dan

[r]

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di setiap Badan Publik wajib melakukan pengujian tentang konsekuensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dengan seksama dan penuh

Spektrum IR dalam pellet KBR Penentuan struktur senyawa 1 dilanjutkan dengan menggunakan data spektrum 1 H-NMR seperti yang terlihat pada Tabel 3.1, yang menunjukkan

Apabila tidak terdapat wakil penawar yang hadir pada saat pembukaan, panitia menunda pembukaan kotak/tempat pemasukan dokumen penawaran sampai dengan batas

Mikrofilaria hidup di dalam aliran darah dan saluran pembuluh limfe, dan sampai saat ini belum jelas sumber nutrisi cacing mikrofilaria, apakah cacing mikrofilria

Tabel 2 menunjukkan bahwa masih ada beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara yang memiliki potensi daerah bidang komunikasi dan informatika yang rendah, ditunjukkan