ABSTRAK
Tita Dian Wulansari (2008). Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja, mengetahui pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan metode yang mereka gunakan dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak mereka. Selain itu penelitian ini juga berusaha memaparkan masalah-masalah yang dihadapi orang tua dalam memberikan pendidikan tersebut.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yang merupakan orang tua dari individu autistik remaja yang berumur antara empat belas tahun sampai dua puluh tahun. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Wawancara dilakukan kepada salah satu orang tua yang memiliki peran lebih besar dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas anak dan metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas tersebut. Observasi dilakukan pada individu autistik untuk melihat gangguan dan perilaku mereka yang berkaitan dengan seksualitas.
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan melakukan organisasi data dan koding yang dianggap paling efektif oleh peneliti. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa individu autistik remaja memiliki perkembangan fisik yang sama seperti remaja lainnya yang normal. Mereka juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang diekspresikan dengan cara yang mencerminkan adanya ketidakmatangan perkembangan emosi, sosial dan kognitif mereka. Metode yang digunakan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas sangat bervariasi tergantung pada gangguan yang dialami anak, perkembangan mereka dan perilaku seksual yang nampak. Hal ini juga membuat masalah yang dihadapi orang tua menjadi sangat beragam dan membutuhkan penanganan yang harus disesuaikan dengan kebiasaan anak.
Setiap individu autistik memiliki manifestasi gangguan, perkembangan dan perilaku seksual yang berbeda-beda, untuk itu diperlukan penanganan khusus bagi masing-masing anak. Setiap orang tua menggunakan metode tersendiri untuk anak mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sulit menyamaratakan metode-metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja.
Kata kunci: pendidikan seksualitas, individu autistik remaja
ABSTRACT
Tita Dian Wulansari ( 2008 ). The Descriptive Study of Sexual Education for the Autistic Teenagers by Their Parents. Yogyakarta, Psychology Faculty of Sanata Dharma University.
This study is led to accomplish the sexual development to the autistic teenagers, how their parents apply their understanding in the sexual education to their children. This study is also led to observe parents’ problems in giving that education.
There are three autistic teenager’s parents whom their children are between fourteen to twenty ages that had been interviewed and observed to collect the data during this study. The interview is only done to one of the parent who has bigger role in giving the sexual education to the child. This interview is led to examine the teenagers’ sexual development and the parents’ method in giving the education to their children. While the observation is used for the autistic teenagers to examine their disorder and behavior related to their sexual attitude.
The next step is to analyzing the colleted data by organizing and coding the data which is the most effective way. It is known by the result of the analysis that the autistic teenagers have the same psychical growth like the other normal teenagers. They also have interest to the different gender expresses by their way which is shown with the immature emotional, social and cognitive development, psychical growth and their sexual attitude. These problems have leaded another various problems for the parents which need the different treatment depend on the children’s habit.
Each autistic child has different disorder manifestation, sexual attitude and development, therefore special treatment for each of them is needed. Each parent use different methods in giving the sexual education to their children. Related to that problem it is difficult to equalize the methods that are use by the parents in giving the sexual education to the autistic teenagers.
key words: sexuality education, autistic teenagers individual
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI PENDIDIKAN
SEKSUALITAS OLEH ORANG TUA PADA INDIVIDU
AUTISTIK REMAJA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Program Studi Psikologi
Oleh:
Tita Dian Wulansari NIM : 029114110
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Tita Dian Wulansari
Nomor Mahasiswa : 029114110
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja.
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 23 Januari 2008
Yang menyatakan
Motto
Rahasia sederhana untuk tetap semangat mewujudkan mimpi
“Pada titik kehidupan itu, segalan ya jelas, segalan ya m un gkin .
Tidak takut berm im pi, m en dam bakan segala yan g diin gin kan
un tuk m em buatn ya terwujud dalam hidup...
Tapi kadan g kala den gan berlalun ya waktu, ada daya m isterius
yan g m ulai m en yakin kan kita bahwa m ustahil bisa m ewujudkan
m im pi itu...
Tapi seben arn ya daya itu m en un jukkan cara m ewujudkan
m im pi. Daya in i m em persiapkan rohm u dan kehen dak, sebab
ada satu keben aran m ahabesar di plan et in i. Siapa pun dirim u,
apa pun yan g kaulakukan , kalau kam u sun gguh-sun gguh
m en gin gin kan sesuatu, itu karen a hasrat tersebut bersum ber
dari jiwa jagat raya in i.
Dan saat kam u m en gin gin kan sesuatu den gan sepen uh hati,
seluruh jagat raya akan bersatu padu un tuk m em ban tum u
m eraihn ya....”
The Alchemist – by Paulo Coelho
Aku persembahkan....
Untuk
Papi Mami tercinta....
Untuk setiap keringat dan air mata Demi sebuah kebahagian
Untuk ...Adik-adik tersayang
Uyab, Tika dan Nuel Untuk keceriaan, semangat dan rasa berharga
Untuk
Cintaku yang terhebat...
Untuk hidup, dunia dan warna baru Untuk kebahagiaan ditengah kehampaan
Untuk
Orang tua-orang tua spesial dari anak-anak berharga
Untuk tetap setia menjadi malaikat dari makhluk Tuhan yang indah
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini, saya menyatakan bahwa skrispi saya yang berjudul “Studi Deskriptif
Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik
Remaja” ini tidak memuat karya atau sebagian karya orang lain kecuali yang telah
saya sebut dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah
Yogyakarta, 23 Januari 2008
Penulis,
Tita Dian Wulansari
ABSTRAK
Tita Dian Wulansari (2008). Studi Deskriptif Mengenai Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja, mengetahui pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan metode yang mereka gunakan dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak mereka. Selain itu penelitian ini juga berusaha memaparkan masalah-masalah yang dihadapi orang tua dalam memberikan pendidikan tersebut.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yang merupakan orang tua dari individu autistik remaja yang berumur antara empat belas tahun sampai dua puluh tahun. Penelitian ini menggunakan metode wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Wawancara dilakukan kepada salah satu orang tua yang memiliki peran lebih besar dalam memberikan pendidikan seksualitas pada anak. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan seksualitas anak dan metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas tersebut. Observasi dilakukan pada individu autistik untuk melihat gangguan dan perilaku mereka yang berkaitan dengan seksualitas.
Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan melakukan organisasi data dan koding yang dianggap paling efektif oleh peneliti. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa individu autistik remaja memiliki perkembangan fisik yang sama seperti remaja lainnya yang normal. Mereka juga memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis yang diekspresikan dengan cara yang mencerminkan adanya ketidakmatangan perkembangan emosi, sosial dan kognitif mereka. Metode yang digunakan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas sangat bervariasi tergantung pada gangguan yang dialami anak, perkembangan mereka dan perilaku seksual yang nampak. Hal ini juga membuat masalah yang dihadapi orang tua menjadi sangat beragam dan membutuhkan penanganan yang harus disesuaikan dengan kebiasaan anak.
Setiap individu autistik memiliki manifestasi gangguan, perkembangan dan perilaku seksual yang berbeda-beda, untuk itu diperlukan penanganan khusus bagi masing-masing anak. Setiap orang tua menggunakan metode tersendiri untuk anak mereka dalam memberikan pendidikan seksualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, maka sulit menyamaratakan metode-metode yang digunakan orang tua dalam memberikan pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja.
Kata kunci: pendidikan seksualitas, individu autistik remaja
ABSTRACT
Tita Dian Wulansari ( 2008 ). The Descriptive Study of Sexual Education for the Autistic Teenagers by Their Parents. Yogyakarta, Psychology Faculty of Sanata Dharma University.
This study is led to accomplish the sexual development to the autistic teenagers, how their parents apply their understanding in the sexual education to their children. This study is also led to observe parents’ problems in giving that education.
There are three autistic teenager’s parents whom their children are between fourteen to twenty ages that had been interviewed and observed to collect the data during this study. The interview is only done to one of the parent who has bigger role in giving the sexual education to the child. This interview is led to examine the teenagers’ sexual development and the parents’ method in giving the education to their children. While the observation is used for the autistic teenagers to examine their disorder and behavior related to their sexual attitude.
The next step is to analyzing the colleted data by organizing and coding the data which is the most effective way. It is known by the result of the analysis that the autistic teenagers have the same psychical growth like the other normal teenagers. They also have interest to the different gender expresses by their way which is shown with the immature emotional, social and cognitive development, psychical growth and their sexual attitude. These problems have leaded another various problems for the parents which need the different treatment depend on the children’s habit.
Each autistic child has different disorder manifestation, sexual attitude and development, therefore special treatment for each of them is needed. Each parent use different methods in giving the sexual education to their children. Related to that problem it is difficult to equalize the methods that are use by the parents in giving the sexual education to the autistic teenagers.
key words: sexuality education, autistic teenagers individual
KATA PENGANTAR
Tidak ada kata yang bisa menggambarkan betapa penulis berterima kasih
kepada Peniup Nafas Kehidupan, Sahabat ( sangat ) Terbaik yang memberikan
jalan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Deskriptif Mengenai
Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja”. Semua
berawal dari-NYA, segala ide, pikiran dan rasa yang menjadikan karya ini ada.
Terima kasih untuk segala awal yang berharga.
Selesainya skripsi ini merupakan jalan panjang yang membuat penulis
menemukan dan bertemu dengan begitu banyak orang yang hebat. Semua
memberikan kontribusinya masing-masing sesuai dengan kapasitasnya untuk
membantu penulis menyelesaikan skripsi yang penulis sadari banyak terdapat
kekurangan. Untuk setiap jasa yang diberikan, penulis ingin mengucapkan rasa
hormat, bangga, kasih dan terima kasih kepada:
1. Ibu Sylvia CMYM S.Psi,. M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik, yang
berguna bagi penulis selama penyusunan skripsi ini. Juga yang selalu bersabar
menunggu karena butuh waktu lama untuk membimbing saya.
2. Bapak Eddy Suhartanto S.Psi, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi dan
seluruh dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah bersedia dengan
senang hati berbagi banyak ilmu kepada penulis selama penulis menempuh
kuliah.
3. Segenap staf Fakultas, mas Gandung, bu Nanik, yang memberikan kemudahan
dalam segala urusan perkuliahan, mas Doni yang bersedia melayani semua
permintaan peminjaman buku dan fotocopy, mas Muji yang memberikan
kesempatan untuk berbagi ilmu dengan teman-teman dalam praktikum serta
pak Gie untuk selalu tersenyum dan menyapa betapa pun lelahnya.
4. Bapak BR, Ibu Ss dan Ibu NF, terima kasih karena bersedia membagikan
pengalaman yang berharga demi sebuah kelulusan. Begitu banyak hal yang
saya dapat dari cerita tentang anak-anak “emas” bapak dan ibu. Membuat saya
begitu menghargai rasa cinta dan kerja keras bapak dan ibu, yang pasti begitu
berharga bagi mereka. Karena mereka pun berharga bagi bapak dan ibu.
5. Teman-teman di P2TKP Pak Priyo, Pak Toni, Bu Tiwi, terima kasih sudah
memberikan kesempatan untuk merasakan dinamika bekerja. Desta, Obeth,
Otik, mas Kobo, Ina, Elvin, Abe, Lisna, Katrin, terima kasih untuk selalu
menyemangati dan memperingatkan aku untuk segera lulus dengan cara
meninggalkanku satu per satu hehehe….thanks banget!
6. Mas Adi, special buat kamu karena mau selalu aku repotin. Makasih buat
pinjeman hp-nya ya…dan makasih mau jadi teman diskusi yang
menyenangkan.
7. Buat sahabatku, Friska, makasih untuk kasih sayang dan semangatnya…maaf
kalau aku ternyata tidak bisa menjadi yang seperti kamu harapkan, aku
memilih caraku, but i always love you. Buat Echa…lama gak ketemu ya,
terima kasih untuk tetap menganggapku adik, walaupun aku sering ngeselin.
Kapan lulus mbak!
8. Teman-teman kostku…Shinta, makasih pinjeman sepatunya ya…. Spadic,
ternyata kadang-kadang enak juga jadi orang kayak kamu, thanks ya
spongebob…. Ina, terima kasih untuk curhatnya, melegakan punya teman
seperti kamu… Clare and Vivin (duet maut), thanks buat persahabatannya,
membuatku merasa memiliki teman dan menghilangkan sepi, kapan kita gokil
bareng lagi! Buat Fani, Wulan dan Vivi…makasih udah menuhin kostku
hehehe….kita belum lama bersinggungan, tapi kalian tetap memberi arti
tersendiri buatku, makasih ya.
9. Mas Adri “Potter”…my partner…makasih ya, sudah mau berbagi ilmu dan
pengalaman. Makasih untuk semua waktu yang kita habiskan bersama untuk
berpusing-pusing mengerjakan skripsi. Untung ada kamu mas…kalau enggak
aku pasti kesepian hehehe….Sukses buat kamu ya!
10.Puthe……Comprade, sahabat tersayang, saudaraku yang cantik yang
memberiku sayap untuk mempercantik diri. Terima kasih untuk semua cerita
yang kita buat, terima kasih untuk mau terus ngingetin dan ngomelin aku biar
cepet lulus. Langkah-langkah yang kita ambil bersama membuatku kaya akan
rasa sayang terhadap sahabat, walaupun sekarang langkah kita mulai berbeda,
tapi kita tetap bisa melangkah bersama. Aku yakin kita gak akan cuma sampai
disini, kita masih punya mimpi bersama kan?
11.Buat teman-teman angkatan 2002, terima kasih untuk setiap warna indah yang
kalian berikan dalam hidup, special buat Nanut..ya ampun makasih banyak
buat recordernya. Sampai-sampai kamu pindah masih ada di aku recordernya
hehehe….
12.Papi Mami tercinta, banyak hal yang berubah dalam hidup termasuk caraku
menghargai kalian….maaf kalau selama ini aku tidak seperti apa yang kalian
harapkan, termasuk lama sekali aku baru bisa lulus….Terima kasih
memberiku jalan untuk kulalui dengan segala keindahannya, mempercayaiku
untuk meraih mimpiku. Terima kasih untuk setiap tetes air mata dan keringat.
Akhirnya aku lulus….
13.Adik-adikku tercinta…Uyab, Tika, Nuel….Hei adik-adik yang menyenangkan
walau tak jarang menjengkelkan. Terima kasih memberiku kesempatan
menjadi seorang kakak yang berbangga terhadap adiknya. Uyab, banyak hal
yang tak kumengerti darimu, tapi aku tahu kamu bahkan lebih dewasa dari
aku, sukses ya Say, thanks udah ngertiin aku!… Tika yang cantik, terima
kasih untuk semangat dan keceriaan yang menjadi senyumku, trus berprestasi
ya Tik!....Nuel “toeng”…mbak Tita selalu tertawa setiap kali ingat kamu,
makasih sudah membuatku merasa berharga, menerimaku walau apapun
kondisiku, jangan menjadi kecil walau jadi yang terkecil ok!
14.Teman-teman Aktor Studio 2 Teater Garasi, Desi, Laeli, Sita, Bahar, Gide,
Wildan, Hario, Doni, kalian adalah dunia baruku, terima kasih untuk
kebahagiaan dan keceriaannya, yang selalu memberiku semangat biar cepet
lulus supaya bisa membebaskan diri untuk menjadi apapun. Ayo berjuang,
tetap semangat dan rendah hati ya!
15.Ricky Setiawan, yang tidak malu-malu kusebut sebagai Cintaku walau orang
lain memandang sebelah mata. Aku tidak mau membatasi diri dengan kata
untuk mengucapkan terima kasih ke kamu, kalau mau ditulis gak akan cukup
satu skripsi nih cinta…. Nanti aku ngomong sendiri aja ke kamu ya,
but…terima kasih untuk tetap bertahan denganku sesulit apapun jalan yang
akan kita lalui, “mengalahkan dunia dan segala sesuatu diluar kita…” Salam
jempol, telunjuk, jari kelingking….hehehe!
Yogyakarta, 23 Januari 2008
Hormat saya,
Tita Dian Wulansari
DAFTAR ISI
JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN ...ii
LEMBAR PENGESAHAN ...iii
MOTTO ...iv
PERSEMBAHAN ...v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi
ABSTRAK …... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ...xiv
DAFTAR SKEMA ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II LANDASAN TEORI ... 9
A. Autisme... 9
1. Pengertian Autisme ... 9
2. Gejala autisme ... 11
a. Gangguan Komunikasi ... 12
b. Gangguan Interaksi sosial ... 13
c. Gangguan Perilaku ... 14
3. Penyebab autisme ... 15
B. Perkembangan Individu Autistik ... 17
1. Perkembangan Fisik ... 17
2. Perkembangan Emosi ... 19
3. Perkembangan Kognisi ... 20
4. Perkembangan Sosial ... 20
C. Seksualitas Pada Individu Autistik ... 21
D. Pendidikan Seksualitas Pada Individu Autistik ... 22
E. Pendidikan seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 35
A. Jenis Penelitian: Penelitian Deskriptif ... 35
B. Subjek Penelitian ... 35
C. Prosedur Pengambilan Sampel ... 35
D. Metode Pengumpulan Data ... 36
1. Wawancara ... 37
2. Observasi ... 40
E. Metode Analisis Data ... 41
F. Pemeriksaan Keabsahan Data ... 43
1. Validitas ... 43
1.1. Validitas Internal ... 44
1.2. Validitas Eksternal ... 46
2. Reliabilitas ... 47
3. Objektivitas ... 48
BAB IV PENELITIAN, HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 50
A. Penelitian ... 50
1. Alur Penelitian ... 50
2. Pengambilan Data ... 51
3. Pelaksanaan Penelitian ... 54
a. Wawancara ... 54
b. Observasi ... 55
B. Hasil Penelitian ... 56
1. Hasil Wawancara ... 56
1.1. Data Demografi Subjek Penelitian ... 56
1.2. Latar Belakang Subjek Penelitian ... 56
A. Latar Belakang Subjek 1 ... 56
B. Latar Belakang Subjek 2 ... 58
C. Latar Belakang Subjek 3 ... 60
1.3. Hasil Wawancara ... 62
A. Subjek 1 ... 62
1. Penerimaan Keluarga ... 62
2. Karakteristik Utama ... 66
A. Gangguan Komunikasi ... 66
B. Gangguan Interaksi Sosial ... 67
C. Gangguan Perilaku ... 69
3. Perkembangan Anak ... 70
A. Perkembangan Fisik ... 70
B. Perkembangan Emosi ... 71
C. Perkembangan kognitif ... 72
D. Perkembangan Sosial ... 73
4. Perilaku Seks Anak ... 74
5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua ... 76
B. Subjek 2 ... 80
1. Penerimaan Keluarga ... 80
2. Karakteristik Utama ... 83
A. Gangguan Komunikasi ... 83
B. Gangguan Interaksi Sosial ... 86
C. Gangguan Perilaku ... 87
3. Perkembangan Anak ... 89
A. Perkembangan Fisik ... 89
B. Perkembangan Emosi ... 90
C. Perkembangan kognitif ... 91
D. Perkembangan Sosial ... 93
4. Perilaku Seks Anak ... 94
5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua ... 97
C. Subjek 3 ... 104
1. Penerimaan Keluarga ... 104
2. Karakteristik Utama ... 107
A. Gangguan Komunikasi ... 107
B. Gangguan Interaksi Sosial ... 108
C. Gangguan Perilaku ... 109
3. Perkembangan Anak ... 111
A. Perkembangan Fisik ... 111
B. Perkembangan Emosi ... 112
C. Perkembangan kognitif ... 113
D. Perkembangan Sosial ... 114
4. Perilaku Seks Anak ... 114
5. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua ... 115
2. Hasil Observasi Terhadap Individu Autistik ... 122
A. Hasil Observasi Terhadap Nc ... 122
B. Hasil Observasi Terhadap Os ... 126
C. Hasil Observasi Terhadap Dd ... 129
C. Dinamika Hasil Analisis dan Observasi ... 133
1. Subjek 1 ... 133
2. Subjek 2 ... 140
3. Subjek 3 ... 147
D. Pembahasan ... 153
1. Perkembangan Seksualitas Individu Autistik Remaja ... 153
1.1. Peerkembangan Individu Autistik Remaja ... 153
1.2. Perilaku Seksualitas Individu Autistik remaja ... 160
2. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik
Remaja ... 162
2.1. Pemahaman dan Cara Orang Tua Memberikan Pendidikan
Seksualitas ... 162
2.2. Masalah Yang Dihadapi Orang Tua Dalam Memberikan
Pendidikan Seksualitas ... 173
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 176
A. Kesimpulan ... 176
B. Saran ... 178
DAFTAR PUSTAKA ... 180
LAMPIRAN ... 182
DAFTAR SKEMA
1. Skema 1: Skema Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu
Autistik remaja ... 34
2. Skema 2: Skema Hasil Penelitian Subjek 1 ... 232
3. Skema 3: Skema Hasil Penelitian Subjek 2 ... 233
4. Skema 4: Skema Hasil Penelitian Subjek 3 ... 234
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1: Panduan Wawancara ... 38
2. Tabel 2: Pedoman Observasi Kondisi Individu Autistik ... 41
3. Tabel 3: Pelaksanaan Wawancara ... 54
4. Tabel 4: Pelaksaan Observasi ... 55
5. Tabel 5: Data Demografi Subjek Penelitian ... 56
DAFTAR LAMPIRAN
1. Koding hasil wawancara subjek 1 ... 182
2. Koding hasil wawancara subjek 2 ... 194
3. Koding hasil wawancara subjek 3 ... 212
4. Tabel ringkasan Analisis ... 222
5. Tabel ringkasan hasil observasi ... 232
6. Skema hasil penelitian subjek 1 ... 233
7. Skema hasil penelitian subjek 2 ... 234
8. Skema hasil penelitian subjek 3 ... 235
9. Surat Ijin Penelitian 1... 236
10. Surat Ijin Penelitian 2 ... 237
11. Surat Keterangan Penelitian dari Fredofios ... 238
12. Surat Keterangan Penelitian dari Putra Mandiri ... 239
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Membicarakan masalah seksualitas pada anak autis memang
mengundang daya tarik tersendiri, karena memang belum banyak dibahas dan
diteliti khususnya di Indonesia. Hal ini karena pengenalan terhadap individu
autistik baru mulai pada tahun 90-an yang kemudian menjadi terkenal pada
tahun 2000-an. Terlebih sebagai masyarakat Timur yang seringkali merasa
sungkan membicarakan masalah seksualitas. Perasaan malu akan muncul
ketika membicarakan masalah seksualitas ( Yoga, 2005:1 ; Puspita, 2003:1).
Individu autis adalah individu yang sudah mendapat diagnosa memiliki
gangguan perkembangan sebelum usia tiga tahun, dengan manifestasi
gangguan komunikasi, gangguan perilaku dan gangguan interaksi sosial
( Puspita, 2003:1 ). Wenar dan Kerig ( 2000:79-80 ) mendeskripsikan
gangguan autisme ini sebagai gangguan dengan tiga karakteristik utama yaitu
ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa
yang ditunjukkan dengan, ecolalia atau bahkan mutism, rute ingatan yang
kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturannya dalam
lingkungannya.
Safaria ( 2005:2 ) menambahkan bahwa autisme merupakan suatu
gangguan perkembangan pervasive yang secara menyeluruh mengganggu
mengalami gangguan dalam keterampilan sosial mereka. Perkembangan
keterampilan sosial yang tidak berimbang cenderung menghambat mereka
dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain. Gangguan
autisme yang dialami tampaknya menghambat mereka dalam memahami
tanda-tanda tersirat yang selalu ada dalam hubungan antar manusia.
Gangguan dalam keterampilan sosial terkadang membuat mereka
melakukan hal-hal yang dianggap melanggar norma sosial yang berlaku dalam
masyarakat, seperti anak autis yang tidak malu berjalan tanpa busana,
membuka celana di depan orang lain dan sebagainya ( Ujianto, 2005:1 ). Fakta
yang menunjukkan bahwa individu autis mengembangkan perilaku seksual
yang tidak semestinya disebabkan karena ketidakmampuan mereka memahami
norma dan aturan sosial, dan karena ketidakmampuan mereka berkomunikasi
dengan efektif serta membentuk hubungan timbal balik. Perilaku tersebut
sebenarnya menunjukkan ketidakmatangan perkembangan sosial, kognitif dan
emosional mereka.
Pada dasarnya individu autis mengalami perkembangan fisik yang
kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan
perkembangan. Mereka juga akan masuk dalam usia remaja, dimana pada masa
itu individu autis mengalami proses pubertas yang menyebabkan perubahan
pada fisik mereka. Perubahan fisik mereka ditandai dengan pertumbuhan
seksual sekunder yaitu pertumbuhan payudara pada wanita, pembesaran testis
pada laki-laki, tumbuhnya rambut di wajah, ketiak dan di daerah kemaluan,
Karakteristik seksual primer juga mengalami perubahan yang ditandai dengan
menstruasi yang pertama pada anak wanita (menarche) dan ejakulasi yang
pertama kali berupa mimpi basah pada anak laki-laki ( Yoga, 2005:3 ).
Tidak hanya perubahan fisik yang terjadi pada masa pubertas seperti
anak menjadi suka menyembunyikan sesuatu yang berhubungan dengan seks
dan bertambahnya kepekaan organ-organ seksual. tapi juga
perubahan-perubahan psikologis seperti adanya perasaan dan kebutuhan akan pemuasan
dorongan seksual. Selain itu juga muncul kontradiksi-kontradiksi dalam diri
anak seperti kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan ketergantungan
( Hutt & Gibby, dalam Rusmawati, 2002:3 ).
Yoga ( 2005:4 ) menjelaskan bahwa individu autistik ketika
mengalami pubertas memiliki minat yang bertambah terhadap orang lain.
Dewey dan Everad ( dalam Puspita, 2003:2 ) menegaskan bahwa individu autis
bisa merasa tertarik pada orang lain, tapi gaya dan ekspresi seksualitas mereka
seringkali naïf, tidak matang dan tidak sesuai dengan usianya. Hal ini membuat
lingkungan seringkali cenderung menentang minat mereka terhadap orang lain
termasuk terhadap lawan jenis.
Perkembangan fisik pada individu autis yang kurang lebih sama
dengan individu yang tidak mengalami gangguan, membuat individu tersebut
juga membutuhkan suatu pendidikan khusus mengenai seksualitas. Namun
pendidikan seksualitas bagi anak autis bukanlah suatu hal yang mudah
dilakukan karena terkait dengan gangguan yang mereka alami. Gangguan
secara verbal maupun non verbal dengan orang lain, menyebabkan sulitnya
menyampaikan suatu informasi. Kemudian gangguan interaksi sosial yang
menyebabkan sulitnya menjalin hubungan atau berinteraksi secara positif
dengan orang lain. Hal ini juga membuat mereka tidak mampu menerjemahkan
begitu banyak pesan tersirat dan aturan sosial dalam masyarakat ( Puspita,
2003:2,3 ). Masalah-masalah yang mereka hadapi membuat mereka sulit
beradaptasi dengan lingkungan sehingga seringkali menghambat individu autis
untuk berbaur dengan masyarakat.
Pemberian pendidikan pada individu autis juga terkait dengan ciri khas
mereka dalam memproses informasi dan mempersepsi dunia. Setiap individu
autis memiliki manifestasi gangguan-gangguan yang berbeda-beda. Hal ini
menjadikan setiap individu autis sangat unik sehingga dalam memberikan
pendidikan dibutuhkan cara yang berbeda untuk setiap individu tergantung
pada kemampuan mencerna informasi dan respon mereka terhadap proses
pengajaran ( Puspita, 2005:3 ).
Menurut Adams ( dalam Puspita, 2003:3 ) pendidikan seksualitas bagi
individu autis pada dasarnya memiliki tujuan untuk memahami ciri seksualitas
diri sendiri, menjadi mandiri dan bertanggung jawab, serta memahami norma
masyarakat mengenai perilaku seks yang pantas di lingkungannya. Puspita
( 2003:6 ) menambahkan pendidikan dan informasi mengenai seksual
memperhatikan masalah yang membuat individu tersebut cemas terutama yang
berkaitan dengan perubahan fisik dan emosi, serta membantu mereka dalam
Lingkungan keluarga merupakan tempat yang tepat untuk memberikan
pendidikan seksualitas sejak dini pada anak. Orang tua adalah pihak yang
bertanggung jawab atas proses pengajaran seksualitas pada anak. Rumah
adalah daerah ‘pribadi’ dimana anak diharapkan mengekspresikan kebutuhan
seksualitasnya. Orang tua berkesempatan memperkenalkan nama anggota
tubuh melalui kegiatan sehari-hari, orang tua bisa membentuk kebiasaan yang
secara rutin dilakukan anak sehingga anak paham konsep-konsep ‘publik’
versus ‘pribadi’. Orang tua dan saudara kandung juga bisa menjadi model bagi
perilaku anak ( Puspita, 2003:5 ).
Ketertarikan peneliti untuk melihat pendidikan seksualitas yang
diberikan oleh orang tua terhadap anak mereka yang mengalami autisme
dikarenakan banyak orang tua yang cenderung kurang memahami bahwa
pendidikan seksualitas bagi anak autis yang memerlukan penanganan khusus
juga penting. Puspita ( 2003:6 ) menjelaskan ada kecenderungan dari orang tua
untuk menunda memberikan pendidikan seksualitas hingga anak tersebut
menghadapi masalah. Padahal peran orang tua sangat menentukan dalam
mempersiapkan anak-anak autis ini menghadapi masa remaja dan dewasa
mereka yang penuh dengan problematika seksualitas. Tanpa persiapan dalam
diri individu autis tersebut, maka akan muncul kecemasan dalam menghadapi
perubahan fisik dalam dirinya. Selain itu berdasarkan keterangan dari beberapa
orang tua yang memiliki anak dengan gangguan autisme, ternyata banyak
perilaku dari anak mereka yang kurang sesuai dengan norma dalam
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa pendidikan
seksualitas bagi anak autis merupakan bagian penting dalam pendidikan untuk
masa depan mereka. Orang tua yang banyak menghabiskan waktu bersama
anak memiliki kesempatan besar untuk mengajarkan anak tentang pendidikan
seksualitas. Mereka dapat membantu anak agar mampu mengembangkan
tingkah laku seksual yang sehat sehingga mereka dapat diterima dalam
lingkungan masyarakat. Hal ini akan bermanfaat bagi mereka ketika mereka
menginjak dewasa ( Rusmawati, 2002:6-7 ).
Hal lain yang juga membuat peneliti merasa tertarik untuk melakukan
penelitian ini adalah belum adanya penelitian yang membahas tentang
pendidikan seksualitas bagi individu autistik remaja. Hingga saat ini,
berdasarkan survey yang dilakukan peneliti, penelitian tentang individu autistik
yang ada lebih banyak tentang deteksi dini ( Haryanti, 2006 ), peranan orang
tua dalam penanganan anak penyandang autisme ( Haniman, 2001 ) dan
berbagai terapi untuk mengurangi gejela-gejala autisme ( Nugraheni, 2006;
Kuwanto dan Natalia, 2001 ).
Pendidikan seksualitas yang diberikan pada individu autis mencakup
beberapa hal yaitu, batasan tentang public vs private, dasar-dasar keterampilan
sosial dan membantu mereka mengatasi masalah pelecehan seksual. Selain itu
pihak orang tua sebaiknya memperhatikan masalah yang berkaitan dengan
perubahan aspek fisik dan emosi yang terjadi pada mereka sehingga mampu
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini berusaha untuk
mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja ?
2. Bagaimana pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan
metode yang digunakan untuk memberikan pendidikan seksualitas pada
individu autistik remaja ?
3. Masalah-masalah apa yang dihadapi oleh orang tua dalam mengarahkan
anak autisnya terutama yang berhubungan dengan seksualitas ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui perkembangan seksualitas pada individu autistik remaja.
2. Mengetahui pemahaman orang tua tentang pendidikan seksualitas dan
metode yang digunakan untuk memberikan pendidikan seksualitas pada
individu autistik remaja.
3. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi oleh orang tua dalam
mengarahkan anak autisnya terutama yang berhubungan dengan
seksualitas.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun secara
ilmu pengetahuan khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai pendidikan
seksualitas yang diberikan orang tua pada anak autisnya dengan berbagai
permasalahan yang menyertai.
Sedangkan manfaat praktis penelitian ini adalah menambah referensi
bagi orang tua dalam mendampingi anak mereka yang autis sehingga mereka
lebih mampu memberikan pendidikan yang lebih baik bagi anak mereka.
Selain itu juga menambah pengetahuan bagi orang tua dan masyarakat tentang
pentingnya pendidikan seksualitas bagi anak autis sehingga masyarakat tidak
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Autisme
1. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari kata Yunani yang terdiri dari kata “autos” yang
berarti tiada-kepunyaan, tidak boleh berinteraksi sosial. Autisme adalah
perkataan yang digunakan untuk menerangkan suatu jenis penyakit ( Setia,
2001:8 ).
Istilah autisme pertama kali diperkenalkan oleh Kanner pada tahun
1943. Kanner menjelaskan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk
menjalin relasi dengan orang lain, gangguan komunikasi seperti mutism,
echolalia dan gangguan perilaku yang ditunjukkan dengan gerakan yang
repetitive dan stereotipik, rute ingatan yang kuat, keinginan untuk selalu
mempertahankan keteraturan dalam lingkungan ( Safaria, 2005:1 ).
Dalam kamus psikologi ( Chaplin, 2005:46 ) autisme dijelaskan
sebagai cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh
diri sendiri. Selain itu autisme juga dijelaskan sebagai keasyikan ekstrim
dengan pikiran dan fantasi sendiri. Individu dengan autisme menanggapi
dunia berdasarkan penglihatan dan harapannya sendiri serta menolak
realitas.
Chaplin ( 2005:46 ) juga menjelaskan istilah autistic child atau anak
autistik yaitu anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang
ekstrim. Individu ini bisa duduk dan bermain-main dengan jari-jarinya
sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Mereka itu seakan tenggelam
dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri.
Dalam PPDGJ ( 1993: 328 ), autisme digolongkan dalam gangguan
perkembangan pervasive. Kelompok gangguan ini ditandai oleh
abnormalitas kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi, dan
kecenderungan minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik dan berulang.
Autisme sendiri adalah gangguan perkembangan pervasive yang ditandai
adanya kelainan dan atau hendaya perkembangan yang muncul sebelum usia
tiga tahun dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang yaitu interaksi
sosial, komunikasi dan perilaku yang terbatas dan berulang. Biasanya gejala
autisme mulai tampak pada usia 18 bulan tapi baru bisa terdeteksi pada usia
36 bulan.
Autisme merupakan “ketidakmampuan” dalam perkembangan yang
kompleks dengan gejala-gejala yang biasanya nampak pada tiga tahun
pertama masa kanak-kanak dan berlanjut seumur hidup. Autisme termasuk
dalam gangguan perkembangan yang diistilahkan dengan Autism Spectrum
Disorders (ASDs) atau Pervasive Developmental Disorders (PDDs)
( www.healthline.com ). Autism Society of America menjelaskan bahwa
individu autis tidak bisa keluar dari autismenya, namun gejala-gejalanya
dapat dikurangi dengan memberikan treatment dan pendidikan ( www.
Safaria ( 2005:2 ) menerangkan bahwa autisme digolongkan ke
dalam gangguan perkembangan pervasive dan bukan gangguan
perkembangan spesifik karena dua alasan, yaitu :
1. Pada gangguan perkembangan spesifik hanya satu fungsi spesifik saja
yang terkena, sedangkan pada gangguan perkembangan pervasive
beberapa fungsi psikologis dasarnya terganggu.
2. Dalam gangguan perkembangan spesifik seorang anak seperti
mengalami gangguan yaitu keterlambatan perkembangan sedangkan
gangguan perkembangan pervasive anak menunjukkan gangguan
kualitatif yang berat dan tidak normal pada setiap tahap perkembangan.
2. Gejala Autisme
Yuspendi ( 2001:42 ) dan Puspita ( 2005:1 ) menyatakan bahwa
gejala-gejala autisme mulai timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun.
Hal ini juga ditegaskan oleh Safaria ( 2005:7 ) yang mengungkapkan
bahwa sebelum tiga puluh bulan timbulnya autisme sudah dapat diketahui.
Walaupun demikian sering sulit dipastikan usia kemunculan gangguan ini
untuk pertama kalinya bila dilihat mundur ke masa lalu anak (retrospektif).
Beberapa sumber mengungkapkan kesamaan dalam menjelaskan
gejala-gejala autisme. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat
a. Gangguan komunikasi
Yuspendi ( 2001:45 ) menerangkan bahwa anak yang
mengalami gangguan autisme menunjukkan kelainan pada kemampuan
komunikasinya baik komunikasi secara verbal maupun nonverbal.
Bahkan terkadang anak tidak mampu berbahasa sama sekali atau tidak
mampu mengucapkan sepatah kata pun. Kondisi ini dikenal dengan
istilah mutism ( Wenar&Kerig, 2000:80 ). Gangguan komunikasi yang
terjadi ini menyebabkan anak autis mengalami kesulitan untuk
mengekspresikan dirinya ( Puspita, 2005:1 ).
Puspita ( 2005:1 ) dan Safaria ( 2005:5-6 ) juga menambahkan
bentuk gangguan komunikasi lain pada anak autis yang mengalami
perkembangan bahasa yaitu seperti sering membeo ucapan orang lain
atau bunyi-bunyian (echolalia), mengucapkan kata-kata yang tidak
memiliki arti, menggunakan struktur bahasa yang tidak teratur dan
pemutarbalikan kata ganti orang, misalnya mengucapkan “kamu”
padahal yang dimaksud adalah “saya”. Hal ini menyebabkan kesulitan
untuk bertanya jawab yang sesuai dengan pembicaraan.
Setiap individu dengan autisme akan menunjukkan manifestasi
gangguan yang berbeda-beda. Dua orang yang didiagnosis mengalami
gangguan autisme akan menunjukkan variasi gangguan yang berbeda
antara satu orang dengan orang yang lain. Hal ini juga nampak dalam
gangguan komunikasinya, tidak semua individu autis menunjukkan
America menjelaskan bahwa ada juga individu autis yang mampu
mengembangkan dengan baik kemampuan berbahasanya. Beberapa
individu autis dapat mengembangkan berbagai tipe dalam kemampuan
komunikasi seperti dengan menggunakan simbol atau gambar
( www.Autism-Society.org )
b. Gangguan interaksi sosial
Secara umum anak autis seperti memiliki keengganan untuk
menjalin hubungan dengan orang lain atau mengalami gangguan untuk
menjalin hubungan interpersonal. Gangguan ini ditandai dengan
kurangnya respon terhadap orang lain atau lingkungan disekitarnya.
Anak autis kurang memiliki minat terhadap anak-anak yang bermain
didekatnya, ia lebih senang menyendiri atau bermain sendiri. Individu
autistik biasanya asyik dengan dirinya sendiri, dan perhatiannya hanya
tertuju pada satu objek yang sedang dimainkannya tanpa
memperdulikan kejadian disekitarnya. Safaria ( 2005:4 ) menjelaskan
bahwa sebenarnya gejala ini dapat terlihat ketika masa bayi, anak
biasanya tidak memiliki kelekatan (attachment behavior) dengan orang
lain terutama ibunya seperti kebanyakan anak.
Bentuk gangguan interaksi sosial lainnya adalah tidak mampu
melakukan kontak mata atau tidak mampu melihat orang ketika diajak
bicara, tidak menyahut jika dipanggil dan tidak bisa menunjukkan
ekspresi yang wajar seperti tertawa atau tersenyum jika diajak bercanda
atau mengabaikan apabila diberi kontak fisik atau disayang. Hal ini
terjadi karena anak dengan autisme akan menganggap manusia bukan
sebagai seseorang tetapi sebagai sesuatu ( Wenar&Kerig, 2000:79 ).
c. Gangguan perilaku
Gangguan perilaku ini ditandai oleh pola perilaku, minat dan
kegiatan yang terbatas, pengulangan dan stereotipik. Ini berbentuk
kecenderungan untuk bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan
sehari-hari. Gangguan perilaku ini ditunjukkan dengan perilaku yang
aneh atau tidak wajar dilakukan oleh anak seusianya seperti
mengepakkan tangan, melompat-lompat, berjalan jinjit, senang pada
benda yang berputar atau memutar-mutar benda, rocking
(berputar-putar), berlari-lari tanpa tujuan, berteriak dan sebagainya. Bahkan ada
kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self injury) seperti
menggigit anggota tubuhnya, memukul kepalanya atau membenturkan
ke dinding, dan menggaruk badannya hingga luka. Setiap anak akan
menunjukkan perilaku yang beragam sehingga variasi gangguan
perilakunya banyak ( Safaria, 2005:11 ).
Selain gangguan diatas, karena autisme merupakan gangguan
perkembangan yang menyeluruh maka gangguan juga terjadi pada
neurobiologis. Masalah pada neorubiologis seperti autoimunitas, gangguan
pencernaan, dysbiosis pada usus, gangguan integrasi sensori dan
menambahkan beberapa masalah lain seperti gangguan makan dan tidur.
Dalam hal ini anak sangat pemilih untuk menu makanannya, gangguan
pada pencernaan atau sangat terbatas asupannya. Pada gangguan tidur,
anak sering sulit tidur atau terbangun di tengah malam.
Anak autis juga mengalami masalah dengan integrasi sensori
mereka dan hal ini adalah gangguan yang biasa terjadi pada individu
dengan autisme. Indera mereka bisa menjadi sangat sensitive atau malah
kurang aktif. Beberapa anak autis menunjukkan masalah berupa
sensitivitas yang tinggi terhadap suara. Mereka bisa sangat terganggu
terhadap suara-suara tertentu atau bahkan suara yang dianggap biasa dalam
kehidupan sehari-hari ( www.Autism-Society.org ). Sebagian dari mereka
juga terkadang memiliki touch sensitivity yaitu anak yang memiliki
kepekaan terhadap sentuhan ringan atau sentuhan dalam. Bila anak peka
terhadap sentuhan maka pelukan atau sentuhan fisik dapat menjadi
hukuman yang menyakitkan bagi mereka ( Siegel, dalam Puspita, 2005:2 )
3. Penyebab Autisme
Safaria ( 2005:3 ) menyebutkan beberapa penyebab dari autisme
ini antara lain keracunan logam berat ketika anak dalam kandungan seperti
timbal, merkuri, kadnium, spasma infantile, rubella congenital, skelerosis
tuberose, lpidosis serebral dan anomaly kromosom X rapuh. Yuspendi
( 2001:44 ) juga menambahkan beberapa hal yang menjadi penyebab
1. Gangguan fungsi susunan saraf pusat. Hal ini terjadi akibat adanya
kelainan struktur otak yang mungkin terjadi pada saat janin berusia
dibawah tiga bulan. Hal ini disebabkan karena ketika hamil muda,
ibu mengidap virus taksoplasmosis, rubella, cytomegali dan herpes
(jamur candida), mengkonsumsi makanan yang mengandung zat
kimia yang dapat mengganggu pertumbuhan sel otak, menghirup
udara yang beracun, mengalami pendarahan dan sebagainya.
2. Faktor genetik. Zat kimia yang secara tidak sengaja dikonsumsi
manusia karena banyaknya makanan atau barang yang menggunakan
zat kimia pada kehidupan masa ini. Zat kimia yang beracun ini dapat
menyebabkan terjadinya mutasi genetika.
3. Penyebab organik. Ini terjadi ketika anak sudah lahir. Ia mengalami
gangguan fungsi otak karena mengalami alergik atau
immunodefiensi yang menimbulkan penurunan sel-sel yang
membuat manusia lebih kebal terhadap penyakit.
4. Faktor pencernaan. Pemberian antibiotic yang terlalu banyak pada
saat anak dapat memicu pertumbuhan jamur candida di dalam usus.
Jamur ini menyebabkan gangguan pencernaan dalam usus sehingga
menghambat sekresi enzim. Akibat kekurangan enzim ini beberapa
protein tidak dapat dicerna dengan sempurna dan berubah menjadi
zat yang disebut opioid yang mempunyai efek seperti opium
keperedaran darah otak maka akan menimbulkan gejala-gejala yang
mirip dengan autisme.
B. Perkembangan Individu Autistik
Pada dasarnya perkembangan individu autistik meliputi empat aspek,
yaitu aspek perkembangan fisik, perkembangan emosi, perkembangan kognisi
dan perkembangan sosial ( Yoga, 2005:4 ). Masing-masing aspek akan
dijelaskan sebagai berikut :
1. Perkembangan fisik
Secara umum anak autis mengalami perkembangan fisik yang
kurang lebih sama dengan anak yang tidak mengalami gangguan
perkembangan. Mereka juga mengalami perkembangan fisik yang normal
dari seorang anak menjadi seorang remaja, hanya saja masa remaja autis
dimulai pada usia yang berbeda-beda tergantung individu masing-masing.
Ada anak autis yang sudah mengalami perubahan fisik dan dorongan
seksual sejak usia delapan tahun, dan yang lainnya berlangsung mulai
sekitar usia tiga belas sampai delapan belas tahun. Bahkan ada yang
hingga usia dua puluh tahun belum menunjukkan perubahan yang berarti
( Puspita, 2003:1 ). Namun proses pubertas pada anak penyandang
autisme biasanya sama dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
Bila autismenya berkembang dengan sindrom lain, biasanya pubertasnya
Santrock ( 2002:8 ) lebih jelas lagi memaparkan bahwa perubahan
hormonal dan perubahan tubuh ini terjadi lebih cepat pada perempuan
lebih kurang dua tahun daripada laki-laki. Perempuan dapat mengalami
menstruasi pertama kali pada usia sepuluh tahun sedangkan pada laki-laki
perubahan tubuh terjadi pada usia dua belas tahun. Proses ini terjadi secara
berangsur-angsur hingga mereka mencapai usia delapan belas tahun. Pada
anak autis perubahan ini dapat terus berlangsung hingga usia dua puluh
tahun, karena mereka kemungkinan belum menunjukkan perubahan yang
berarti hingga usia dua puluh tahun ( Puspita, 2003:1 ).
Secara fisik, masa pubertas ditandai dengan adanya tanda seksual
sekunder yaitu mulai tumbuh rambut di daerah kemaluan (pubic), wajah
dan ketiak. Selain itu pada wanita terjadi pertumbuhan payudara
sedangkan pada laki-laki terjadi pembesaran testis. Selama pubertas,
sistem reproduksi menjadi matang. Karakteristik seksual primer
mengalami perubahan yang ditandai dengan menstruasi yang pertama
pada wanita (menarche) dan ejakulasi yang pertama dengan mimpi basah
pada laki-laki ( Yoga, 2005:3 ).
Santrock ( 2002:8 ) juga menjelaskan bahwa perubahan tubuh yang
menonjol pada perempuan adalah pertambahan tinggi badan yang cepat,
pertumbuhan buah dada, pertumbuhan rambut kemaluan dan menarche.
Pada laki-laki perubahan tubuh yang menonjol ialah pertambahan tinggi
badan yang cepat, pertumbuhan penis, pertumbuhan testis dan
2. Perkembangan emosi
Para ahli klinis menggambarkan individu dengan autisme sebagai
individu yang kurang memiliki kemampuan empati, yaitu suatu proses
dimana seseorang memberikan respon secara afeksi kepada orang lain
dalam situasi seolah-olah merasakan sendiri apa yang dirasakan orang lain.
Dalam perkembangan anak yang normal, biasanya kemampuan empati
akan mulai terlihat ketika anak memasuki masa pra sekolah atau
kemungkinan akan terlihat lebih awal ( Wenar&Kerig, 2000:86 )
Yirmaya ( dalam Wenar&Kerig, 2000:86 ) menemukan bahwa
individu dengan autisme yang berumur antara sembilan sampai enam belas
tahun memiliki kemampuan empati yang kurang atau di bawah normal,
diukur dari kemampuan empati yang seharusnya ditunjukkan individu
dalam rentang usia tersebut. Studi kasus yang dilakukan pada individu
autis dewasa, menunjukkan bahwa kemampuan yang kurang dalam empati
ini sifatnya menetap dan tetap bertahan meskipun gejala-gejala autisme
yang dialami sudah berkurang. Individu yang mengalami autisme ini
mengalami kebingungan ketika mereka mencoba untuk memahami
perasaan orang lain.
Wenar dan Kerig ( 2000:90 ) menjelaskan bahwa ketidakmampuan
individu autis untuk memahami perasaan orang lain, membuat mereka
mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan orang lain atau
bergabung dengan lingkungan sosialnya. Hal ini akan terus-menerus saling
kesulitan untuk membaca dan memahami simbol-simbol emosi atau
perasaan yang ada di lingkungan sosialnya.
3. Perkembangan kognisi
Perkembangan kognisi pada anak autis biasanya mengalami
gangguan, yaitu kesulitan untuk memproses data. Mereka cenderung
terbatas dalam memahami common sense dan menggunakan akal sehat
atau nalar. Hal ini membuat mereka tidak mampu membayangkan
perasaan dan pikiran orang lain ( Puspita, 2003:5 ;Yoga, 2005:4 ). Anak
autis ini mengalami kesulitan untuk merangkai informasi verbal yang
panjang (rangkaian instruksi), sulit mengingat sesuatu bila sambil
mengerjakan hal lain dan sulit memahami bahasa lisan.
Sussman ( dalam, Puspita 2005:4 ) menjelaskan bahwa beberapa
individu autistik juga memiliki kecenderungan untuk menghafal informasi
apa adanya, tanpa memahami arti simbol yang mereka hafalkan. Cara
mempelajari sesuatu seperti ini dikenal dengan istilah Rote leraner. Cara
lain juga sering muncul pada individu autistik yaitu visual learner. Anak
dengan gaya seperti ini lebih mudah mencerna informasi yang mereka
lihat daripada yang mereka dengar. Individu dengan autisme memiliki
kecenderungan lebih mudah mencerna hal yang mereka lihat dan pegang
(hand-on learner) daripada hal yang abstrak.
4. Perkembangan sosial
Pada individu autistik ketika mengalami pubertas, minat mereka
minat untuk berhubungan dengan orang lain. Selain itu Puspita (
2003:1-2 ) menambahkan bahwa perubahan emosional yang menyertai perubahan
fisik pada anak autis prosesnya cenderung lebih sulit karena minat mereka
untuk berhubungan dengan lawan jenis sering ditentang oleh lingkungan.
Mereka justru menarik diri sama sekali dari pergaulan karena tidak
mampu memahami aturan-aturan sosial atau pesan yang tersirat dari orang
lain. Hal ini juga dikarenakan gangguan pada kognisi mereka yang sulit
untuk memproses informasi dan menggunakan akal sehat mereka.
C. Seksualitas Pada Individu Autistik
Dalam hubungannya dengan seksualitas, masalah dalam membentuk
interaksi dengan orang lain adalah hal yang membuat anak autis mengalami
gangguan pada seksualitas mereka. Masalah interaksi ini terwujud dalam
bentuk:
1. Kesulitan dalam menggunakan perilaku nonverbal seperti kontak mata,
ekspresi wajah, dan isyarat untuk mengatur hubungan sosial.
2. Kesulitan membentuk hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan
tahap perkembangannya.
3. Ketidakmampuan untuk secara spontan mencari orang lain untuk tujuan
berbagi kesenangan, minat atau keberhasilan.
4. Ketidakmampuan membentuk hubungan sosio-emosional yang timbal
Dewey dan Everad ( dalam Puspita, 2003:3 ) menjelaskan bahwa
anak autis dapat merasa tertarik dengan orang lain, namun kadangkala gaya
ekspresi seksualitas yang nampak ialah naïf, tidak matang dan tidak sesuai
dengan umur mereka. Gangguan yang mereka alami menghambat mereka
untuk menangkap sinyal-sinyal tersirat yang selalu muncul dalam hubungan
antar manusia. Walaupun secara fisik perkembangan mereka normal, namun
perkembangan emosional, kognitif dan sosial yang kurang memadai membuat
mereka kesulitan untuk berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang
lain.
Perilaku seksual anak autis, dalam hal ini rasa tertarik mereka
terhadap lawan jenis sebenarnya tidak mengalami gangguan, hanya saja
ekspresi mereka yang mencerminkan adanya ketidakmatangan perkembangan
emosi, kognitif dan sosial mereka. Anak autis mengembangkan perilaku sosial
yang tidak seharusnya karena ketidakmampuan mereka berkomunikasi secara
efektif serta membentuk hubungan timbal balik ( Puspita, 2003:3 ).
D. Pendidikan Seksualitas Pada Individu Autistik
Adams ( dalam Puspita, 2003:5 ) menjelaskan pendidikan seksualitas
pada anak autis memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Membuat anak autis memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria
2. Mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya termasuk
masalah seperti menstruasi, mimpi basah, perkembangan ciri seksual
sekunder dan sebagainya.
3. Memahami bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk
melakukan tindakan seksual terhadap diri mereka.
4. Memahami peran dan tanggung jawab dalam menjaga kesehatan diri.
5. Membantu mereka untuk menghindari pelecehan seksual dan bila terjadi
pelecahan seksual yang dilakukan oleh seseorang, mereka dapat mencari
bantuan untuk mengatasi masalah tersebut.
6. Memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang
pantas di lingkungan.
Berdasarkan pada tujuan-tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan
seksualitas untuk anak autis dapat disimpulkan menjadi empat tujuan, yaitu:
1. Membantu mereka memahami perubahan fisik dan emosi yang mereka
alami serta permasalahan yang terjadi dalam perubahan tersebut.
2. Memahami batasan antara public vs private sehingga mereka mampu
mengembangkan perilaku yang pantas di lingkungan.
3. Membantu mereka untuk memahami dasar-dasar keterampilan sosial yang
ada di lingkungan masyarakat.
4. Membantu mereka menghindari dan mengatasi pelecehan seksual.
Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh
sekitar 50,7 % responden menyatakan setuju pendidikan seksualitas diberikan
sejak dini bahkan 38, 7 % menyatakan sangat setuju. Schwier dan Hingsburger
( dalam Puspita, 2003:5-6 ) mengatakan bahwa untuk mengajarkan masalah
seksualitas sesuai dengan usia mental anak yaitu antara lain:
1. Antara 3 – 9 tahun
Pada usia mental ini anak diberi pendidikan tentang beda antara laki-laki
dan perempuan seperti anatomi tubuh, mengenal nama anggota badan,
kebiasaan, emosi, tuntutan sosial dan sebagainya. Mereka juga diajarkan
tentang tempat publik dan pribadi, mana tempat yang menjadi milik
masyarakat dan tempat yang khusus untuk anak tersebut. Selain itu mereka
juga perlu mengetahui dan memahami proses kelahiran bayi.
2. Antara 9 – 15 tahun
Pada usia ini anak mulai mengalami pubertas, sehingga mereka
memerlukan pemahaman tentang menstruasi pada wanita dan mimpi basah
pada laki-laki. Selain itu mereka juga perlu mengetahui perubahan fisik
yang akan terjadi pada mereka terkait dengan pubertas termasuk perasaan
dan dorongan seksual yang mereka alami. Mereka mulai harus memahami
proses pembuahan yang menghasilkan bayi.
3. Usia 16 tahun keatas
Pada masa ini pendidikan seksualitas mulai mengarah pada hubungan
seksual dengan orang lain. Termasuk segala konsekuensinya seperti
dan memiliki anak. Mereka juga seharusnya memahami hukum dan
konsekuensi ketika mereka menyentuh orang lain secara seksual.
Melihat topik pendidikan seksualitas yang ada pada setiap usia mental
anak, maka ada dua jenis pengarahan yang diperlukan anak autis, yaitu:
1. Anak autis harus mengetahui batasan antara hal-hal yang boleh dilakukan
dan yang tidak boleh dilakukan dari perilakunya. Contohnya seperti tidak
boleh membuka pakaian di depan orang lain, bagaiamana cara menjaga
kebersihan tubuh dan mengajarkan tentang bagian tubuh mana yang masih
pantas untuk disentuh oleh orang lain seperti tangan dan bahu.
2. Anak autis harus diajarkan dasar-dasar keterampilan sosial. Dasar ini akan
menjadi pegangan mereka ketika memasuki tahapan yang lebih rumit lagi
dari hubungan antar manusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan
sampai hubungan seks. Terkadang anak melakukan hal-hal yang kurang
pantas seperti seorang anak laki-laki yang mendatangi seorang gadis dan
menyentuh dada gadis itu. Sekilas perilaku tersebut nampak sebagai
perilaku seksual yang tidak pantas, namun yang sebenarnya adalah mereka
tidak memiliki pengetahuan tentang hukum aturan sosial yang berlaku.
Individu autis merupakan individu yang memiliki kebutuhan khusus
sehingga ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberikan
pendidikan seksualitas. Puspita ( 2005:2 ) menjelaskan bahwa anak autis lebih
menggunakan alat bantu visual untuk memperkenalkan seksualitas pada anak.
Selain itu anak autis mengalami kesulitan untuk memproses data dan
merangkai informasi verbal yang panjang sehingga perlu membagi informasi
atau penjelasan yang rumit kedalam beberapa bagian yang lebih dapat dicerna.
Untuk memperkuat perilaku anak yang diinginkan, pemberian reward akan
sangat membantu terutama dalam membentuk konsep publik dan pribadi
( Puspita, 2003:7 ).
Adams ( dalam Puspita, 2003:9 ) menjelaskan bahwa proses
pengajaran untuk konsep-konsep keterampilan sosial, kesehatan, pendidikan
seksualitas dan hubungan antar individu yang rumit, harus melalui strategi dan
instruksi antara lain melalui:
1. Penjelasan singkat dan harafiah.
2. Contoh-contoh konkrit
3. Saat-saat belajar yang tidak disengaja.
4. Cerita sosial
5. Pengulangan
6. Bermain peran
7. Latihan memasangkan gambar dengan tulisan
Pengajaran tentang konsep abstrak pada anak autis seperti tentang
lingkungan publik dan pribadi yang paling efektif adalah dengan
menggunakan teknik modelling (memberikan contoh) dan pengulangan atau
Puspita mengatakan ( 2003:10 ) selain mengajarkan tentang konsep
seksualitas pada anak autis, mereka juga harus dibantu untuk menyelesaikan
masalah pelecehan seksual. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah ini adalah dengan rumus sederhana No-Go-Tell. Rumus tersebut
mengandung pengertian sebagai berikut:
1. Mengatakan “Tidak” pada orang lain yang ingin mengambil keuntungan
darinya. Anak harus paham bahwa pribadi berarti adalah miliknya dan
orang lain tidak memiliki hak untuk menyentuh bagian tubuhnya.
2. “Pergi” berarti anak berusaha untuk lari dan tidak menuruti
perintah-perintah seperti membuka pakaian, tidak mengatakan kepada siapa pun dan
sebagainya.
3. “Tell” berarti mengatakan kepada orang lain apa yang telah terjadi
padanya. Hal ini tidak mudah karena biasanya anak-anak ini dibawah
tekanan dan kontrol melalui ancaman. Untuk itu anak harus paham bahwa
anak harus meneruskan sendiri fakta yang dianggap rahasia dan yang
bukan rahasia.
E. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja Individu autistik adalah individu yang mengalami gangguan
perkembangan yang luas dan berat yang gejalanya mulai tampak pada anak
sebelum mencapai usia tiga tahun. Gangguan perkembangan ini meliputi tiga
lain, gangguan berbahasa atau komunikasi dan gangguan perilaku ( Yuspendi,
2001:42 ).
Gangguan yang mereka alami merupakan suatu gangguan
perkembangan pervasive yang secara menyeluruh mengganggu fungsi
kognitif, emosi dan psikomotorik anak. Hal ini membuat individu autis
mengalami gangguan dalam keterampilan sosial mereka. Perkembangan
keterampilan sosial mereka yang tidak berimbang cenderung menghambat
mereka dalam berinteraksi secara positif dan efektif dengan orang lain
( Safaria, 2005:2 ).
Puspita ( 2003:5 ) dan Yoga ( 2005:4 ) menjelaskan bahwa pada
perkembangan kognisi anak autis mengalami gangguan berupa kesulitan untuk
memproses data dan mereka cenderung terbatas dalam memahami common
sense atau menggunakan akal sehat atau nalar. Gangguan pada perkembangan
kognisi ini sangat mempengaruhi perkembangan sosial mereka.
Perkembangan emosi yang terjadi pada individu yang menyandang
autisme, juga akan mempengaruhi perkembangan sosial mereka. Wenar dan
Kerig ( 2000:90 ) menjelaskan bahwa ketidakmampuan individu autis untuk
memahami perasaan orang lain, membuat mereka mengalami kesulitan dalam
menjalin hubungan dengan orang lain atau bergabung dengan lingkungan
sosialnya. Hal ini akan terus-menerus saling mempengaruhi sehingga individu
yang mengalami autisme ini semakin kesulitan untuk membaca dan
memahami simbol-simbol emosi atau perasaan yang ada di lingkungan
Puspita (2003: 3 ) menambahkan bahwa kesulitan-kesulitan tersebut
membuat mereka tidak memiliki keterampilan sosial atau sulit memahami
aturan-aturan sosial. Hal ini membuat mereka melakukan sesuatu yang
dianggap melanggar norma sosial yang berlaku dalam masyarakat, seperti
anak autis yang tidak malu berjalan tanpa busana, membuka celana di depan
orang lain dan sebagainya ( Ujianto, 2005 ).
Pada dasarnya individu autis mengalami perkembangan fisik yang
kurang lebih sama dengan individu yang tidak mengalami gangguan
perkembangan. Mereka juga akan memasuki usia remaja, dimana mereka akan
mengalami proses pubertas yang menyebabkan perubahan pada fisik yang
ditandai dengan munculnya tanda seksual sekunder dan seksual primer ( Yoga,
2005:4 ).
Hutt dan Gibby ( dalam Rusmawati, 2002:3 ) menjelaskan bahwa
selain perubahan fisik seperti bertambahnya kepekaan organ-organ seksual,
juga ada perubahan-perubahan psikologis yang terjadi pada masa pubertas ini.
Perubahan ini ditunjukkan dengan adanya perasaan dan kebutuhan akan
pemuasan dorongan seksual serta munculnya kontradiksi-kontradiksi dalam
diri anak seperti kebutuhan akan kebebasan dan kebutuhan akan
ketergantungan.
Ketika memasuki masa pubertas, individu autistik juga memiliki
minat yang bertambah terhadap orang lain ( Yoga, 2005:4 ). Mereka bisa
tertarik pada orang lain tapi terkadang gaya dan ekspresi mereka seringkali
Puspita, 2003:3 ). Fakta yang menunjukkan bahwa individu autis
mengembangkan perilaku seksual yang tidak semestinya disebabkan karena
ketidakmampuan mereka memahami norma dan aturan sosial, dan karena
ketidakmampuan mereka berkomunikasi dengan efektif serta membentuk
hubungan timbal balik. Rasa tertarik yang mereka tunjukkan dengan perilaku
yang kurang sesuai dengan norma itu sebenarnya mencerminkan
ketidakmatangan perkembangan sosial, kognitif dan emosional mereka.
Perkembangan fisik yang kurang lebih sama dengan individu lain
yang tidak mengalami gangguan, membuat individu autis juga membutuhkan
suatu pendidikan khusus mengenai seksualitas. Namun pendidikan seksualitas
bagi anak autis bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan karena terkait
dengan gangguan yang mereka alami. Gangguan komunikasi dimana individu
autis tersebut tidak mampu berkomunikasi baik secara verbal maupun non
verbal dengan orang lain, menyebabkan sulitnya menyampaikan suatu
informasi. Kemudian gangguan interaksi sosial yang menyebabkan sulitnya
menjalin hubungan atau berinteraksi secara positif dengan orang lain. Hal ini
juga membuat mereka tidak mampu menerjemahkan begitu banyak pesan
tersirat dan aturan sosial yang ada dalam masyarakat ( Puspita, 2003:3 ).
Pemberian pendidikan pada individu autistik juga terkait dengan ciri
khas mereka dalam memproses informasi dan mempersepsi dunia. Setiap
individu autis memiliki manifestasi gangguan-gangguan yang berbeda-beda.
Hal ini menjadikan setiap individu autis sangat unik sehingga dalam
individu tergantung pada kemampuan mencerna informasi dan respon mereka
terhadap proses pengajaran ( Puspita, 2005:3 ).
Yoga ( 2005:4 ) menambahkan bahwa karakteristik yang mungkin
akan muncul pada anak penyandang autisme ketika mereka memasuki masa
pubertas sangat tergantung pada ciri-ciri tertentu yang ada pada
masing-masing individu tersebut. Hal ini juga membuat individu autis sangat unik
sehingga pemberian pendidikan seksualitas pada individu autis menjadi tidak
bisa disamaratakan dan tidak bisa memberikan penanganan yang seragam bagi
sekelompok anak.
Menurut Adams ( dalam Puspita, 2003:5 ) pendidikan seksualitas
bagi individu autis pada dasarnya memiliki tujuan untuk memahami ciri
seksualitas diri sendiri, menjadi mandiri dan bertanggung jawab, serta
memahami norma masyarakat mengenai perilaku seks yang pantas di
lingkungannya. Puspita ( 2003:10 ) menambahkan pendidikan dan informasi
mengenai seksualitas juga harus memperhatikan masalah yang membuat
individu tersebut cemas terutama yang berkaitan dengan perubahan fisik dan
emosi, serta membantu mereka dalam menghindari dan menyelesaikan
masalah pelecehan seksual.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada empat tujuan utama dari
memberikan pendidikan seksualitas untuk anak autis yaitu; membantu mereka
memahami perubahan fisik dan emosi yang mereka alami serta permasalahan