BAB II LANDASAN TEORI
D. Pendidikan Seksualitas Pada Individu Autistik
Adams ( dalam Puspita, 2003:5 ) menjelaskan pendidikan seksualitas pada anak autis memiliki tujuan sebagai berikut:
1. Membuat anak autis memahami perbedaan mendasar antara anatomi pria dan wanita serta peran masing-masing gender dalam reproduksi manusia.
2. Mengerti perubahan fisik dan emosi yang akan dialaminya termasuk masalah seperti menstruasi, mimpi basah, perkembangan ciri seksual sekunder dan sebagainya.
3. Memahami bahwa tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk melakukan tindakan seksual terhadap diri mereka.
4. Memahami peran dan tanggung jawab dalam menjaga kesehatan diri. 5. Membantu mereka untuk menghindari pelecehan seksual dan bila terjadi
pelecahan seksual yang dilakukan oleh seseorang, mereka dapat mencari bantuan untuk mengatasi masalah tersebut.
6. Memahami makna norma masyarakat mengenai perilaku seksual yang pantas di lingkungan.
Berdasarkan pada tujuan-tujuan tersebut, maka tujuan pendidikan seksualitas untuk anak autis dapat disimpulkan menjadi empat tujuan, yaitu: 1. Membantu mereka memahami perubahan fisik dan emosi yang mereka
alami serta permasalahan yang terjadi dalam perubahan tersebut.
2. Memahami batasan antara public vs private sehingga mereka mampu mengembangkan perilaku yang pantas di lingkungan.
3. Membantu mereka untuk memahami dasar-dasar keterampilan sosial yang ada di lingkungan masyarakat.
4. Membantu mereka menghindari dan mengatasi pelecehan seksual.
Berdasarkan hasil pengumpulan pendapat yang dilakukan oleh majalah Tiara ( dalam Ikawati, 2001:67 ) pada tahun 1994 menyatakan bahwa
sekitar 50,7 % responden menyatakan setuju pendidikan seksualitas diberikan sejak dini bahkan 38, 7 % menyatakan sangat setuju. Schwier dan Hingsburger ( dalam Puspita, 2003:5-6 ) mengatakan bahwa untuk mengajarkan masalah seksualitas sesuai dengan usia mental anak yaitu antara lain:
1. Antara 3 – 9 tahun
Pada usia mental ini anak diberi pendidikan tentang beda antara laki-laki dan perempuan seperti anatomi tubuh, mengenal nama anggota badan, kebiasaan, emosi, tuntutan sosial dan sebagainya. Mereka juga diajarkan tentang tempat publik dan pribadi, mana tempat yang menjadi milik masyarakat dan tempat yang khusus untuk anak tersebut. Selain itu mereka juga perlu mengetahui dan memahami proses kelahiran bayi.
2. Antara 9 – 15 tahun
Pada usia ini anak mulai mengalami pubertas, sehingga mereka memerlukan pemahaman tentang menstruasi pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki. Selain itu mereka juga perlu mengetahui perubahan fisik yang akan terjadi pada mereka terkait dengan pubertas termasuk perasaan dan dorongan seksual yang mereka alami. Mereka mulai harus memahami proses pembuahan yang menghasilkan bayi.
3. Usia 16 tahun keatas
Pada masa ini pendidikan seksualitas mulai mengarah pada hubungan seksual dengan orang lain. Termasuk segala konsekuensinya seperti kehamilan, penularan penyakit kelamin serta tanggung jawab perkawinan
dan memiliki anak. Mereka juga seharusnya memahami hukum dan konsekuensi ketika mereka menyentuh orang lain secara seksual.
Melihat topik pendidikan seksualitas yang ada pada setiap usia mental anak, maka ada dua jenis pengarahan yang diperlukan anak autis, yaitu:
1. Anak autis harus mengetahui batasan antara hal-hal yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan dari perilakunya. Contohnya seperti tidak boleh membuka pakaian di depan orang lain, bagaiamana cara menjaga kebersihan tubuh dan mengajarkan tentang bagian tubuh mana yang masih pantas untuk disentuh oleh orang lain seperti tangan dan bahu.
2. Anak autis harus diajarkan dasar-dasar keterampilan sosial. Dasar ini akan menjadi pegangan mereka ketika memasuki tahapan yang lebih rumit lagi dari hubungan antar manusia seperti persahabatan, cinta, perkawinan sampai hubungan seks. Terkadang anak melakukan hal-hal yang kurang pantas seperti seorang anak laki-laki yang mendatangi seorang gadis dan menyentuh dada gadis itu. Sekilas perilaku tersebut nampak sebagai perilaku seksual yang tidak pantas, namun yang sebenarnya adalah mereka tidak memiliki pengetahuan tentang hukum aturan sosial yang berlaku.
Individu autis merupakan individu yang memiliki kebutuhan khusus sehingga ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan saat memberikan pendidikan seksualitas. Puspita ( 2005:2 ) menjelaskan bahwa anak autis lebih mudah untuk memahami hal konkrit sehingga sebanyak mungkin
menggunakan alat bantu visual untuk memperkenalkan seksualitas pada anak. Selain itu anak autis mengalami kesulitan untuk memproses data dan merangkai informasi verbal yang panjang sehingga perlu membagi informasi atau penjelasan yang rumit kedalam beberapa bagian yang lebih dapat dicerna. Untuk memperkuat perilaku anak yang diinginkan, pemberian reward akan
sangat membantu terutama dalam membentuk konsep publik dan pribadi ( Puspita, 2003:7 ).
Adams ( dalam Puspita, 2003:9 ) menjelaskan bahwa proses pengajaran untuk konsep-konsep keterampilan sosial, kesehatan, pendidikan seksualitas dan hubungan antar individu yang rumit, harus melalui strategi dan instruksi antara lain melalui:
1. Penjelasan singkat dan harafiah. 2. Contoh-contoh konkrit
3. Saat-saat belajar yang tidak disengaja. 4. Cerita sosial
5. Pengulangan 6. Bermain peran
7. Latihan memasangkan gambar dengan tulisan
Pengajaran tentang konsep abstrak pada anak autis seperti tentang lingkungan publik dan pribadi yang paling efektif adalah dengan menggunakan teknik modelling (memberikan contoh) dan pengulangan atau terus menerus.
Puspita mengatakan ( 2003:10 ) selain mengajarkan tentang konsep seksualitas pada anak autis, mereka juga harus dibantu untuk menyelesaikan masalah pelecehan seksual. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan rumus sederhana No-Go-Tell. Rumus tersebut mengandung pengertian sebagai berikut:
1. Mengatakan “Tidak” pada orang lain yang ingin mengambil keuntungan darinya. Anak harus paham bahwa pribadi berarti adalah miliknya dan orang lain tidak memiliki hak untuk menyentuh bagian tubuhnya.
2. “Pergi” berarti anak berusaha untuk lari dan tidak menuruti perintah- perintah seperti membuka pakaian, tidak mengatakan kepada siapa pun dan sebagainya.
3. “Tell” berarti mengatakan kepada orang lain apa yang telah terjadi padanya. Hal ini tidak mudah karena biasanya anak-anak ini dibawah tekanan dan kontrol melalui ancaman. Untuk itu anak harus paham bahwa anak harus meneruskan sendiri fakta yang dianggap rahasia dan yang bukan rahasia.
E. Pendidikan Seksualitas Oleh Orang Tua Pada Individu Autistik Remaja