• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.6 Pendugaan pH Air Hujan

Hasil pengukuran BMG menunjukkan bahwa pH pada musim hujan lebih rendah daripada pH pada musim kering (Tabel 6). Hal ini kemungkinan disebabkan pada musim hujan polutan di udara akan tercuci dan jatuh sebagai asam, namun frekuensi hujan yang besar akan menyebabkan polutan tercuci secara terus menerus dan konsentrasinya akan menurun sehingga lama kelamaan pH air hujan akan mendekati pH normal. Pada musim kering frekuensi kejadian hujan sangat sedikit atau bahkan tidak terjadi hujan sama sekali sehingga sampel air hujan yang terukur sangat sedikit. Frekuensi hujan yang sedikit pada musim kering menyebabkan elektrokonduktivitas menjadi tinggi. Pada bulan kering konsentrasi ion basa seperti natrium, kalsium dan amonium menjadi tinggi sehingga dapat menetralkan ion sulfat yang konsentrasinya melonjak pada musim kering. Penetralan ini menyebabkan pH air hujan terukur pada musim kering menjadi normal bahkan cenderung tinggi.

Tabel 6. pH Terukur Tahun 2003 BULAN PHrata 1 4.8782 2 4.586 3 5.83 4 5.1087 5 3.6551 6 6.03 8 6.4433 9 4.4035 10 5.1165 11 4.5955 12 3.6429 (Sumber : BMG, 2003)

Hasil pendugaan pH dengan menggunakan pendekatan Hukum Henry untuk kelima stasiun pengamatan menunjukkan bahwa pH air hujan di Kota Bandung masih normal bahkan sebagian stasiun (Ariagraha dan Tirtalega) mengarah ke basa (Tabel 7 dan 8). Selain itu pH pada musim kering cenderung lebih rendah daripada pH pada musim hujan, kecuali stasiun Tirtalega dan Batununggal. Hal ini disebabkan konsentrasi SO2 pada musim kering cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi SO2 pada musim hujan. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitian Budiwati et al (2005) yang menyatakan bahwa kisaran air hujan Bandung pada tahun 2003 adalah 4,5 - 5,0 dengan persentase frekuensi kejadian sebanyak 24% dan 27% dengan kejadian hujan asam dengan pH < 5,6 cukup tinggi yaitu 74% dari total kejadian hujan sejak tahun 1989-2004.

Perbandingan nilai pH antara musim hujan dan musim kering di setiap stasiun tidak terlalu besar, kecuali untuk stasiun Cisaranten karena konsentrasi SO2 pada musim kering di stasiun ini melonjak dengan sangat tajam (Gambar 26 dan 27). Hal ini disebabkan gas SO2 lebih mudah larut dalam air sehingga Bandung yang musim basahnya lebih banyak daripada musim kering mempunyai frekuensi pencucian SO2 di udara yang tidak begitu berbeda.

Bila dibandingkan dengan pH air hujan terukur, nilai pH dugaan jauh lebih besar daripada pH terukur, hal ini disebabkan pH dugaan diduga langsung dari data konsentrasi SO2 tanpa mempertimbangkan kontribusi dari gas lainnya sementara pH terukur didapatkan dengan analisa ion dari polutan-polutan yang terkandung dalam sampel air hujan terukur secara keseluruhan, namun karena

kelarutannya dalam air cukup besar maka pengaruh SO2 dalam pengasaman air hujan juga cukup besar. Hal ini terbukti dari hasil perhitungan yang menunjukkan konsentrasi SO2 yang rendah sekalipun menyebabkan penurunan pH yang cukup signifikan.

Tabel 7. pH Dugaan Mingguan Musim Hujan 2003

pH Musim Hujan

Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5

1 5.53 5.90 5.35 5.52 5.65

2 5.52 5.82 5.72 5.53 5.62

3 5.52 5.94 5.75 5.46 5.54

4 − 5.89 5.78 5.50 5.48

Tabel 8. pH Dugaan Mingguan Musim Kering 2003

pH Musim Kering

Minggu BAF1 BAF2 BAF3 BAF4 BAF5

1 5.49 5.87 5.76 5.79 5.43 2 5.51 5.88 5.75 5.57 5.52 3 5.49 5.95 5.76 5.82 5.21 4 5.48 5.86 5.69 5.76 5.33 4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 D ay

Dago Ariagraha Tirt alega Bat ununggal Cisarant en pH normal

Gambar 26. Grafik pH Dugaan Musim Hujan

4.60 4.80 5.00 5.20 5.40 5.60 5.80 6.00 6.20 D a y

Dago Ar iagr aha Tir t alega

Bat ununggal Cisar ant en pH nor mal

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 1 7 12 16 20 24 28 32 36 40 Minggu k e - pH pH Bandung pH_Normal

Gambar 28. Grafik pH Terukur Stasiun Cuaca BMG Bandung

Pendugaan pH dengan menggunakan pendekatan hukum Henry telah lama digunakan di banyak negara karena hukum Henry membantu dalam memperkirakan jumlah tiap-tiap gas yang terlarut baik dalam air hujan, air tanah, sungai atau pelarut lainnya, seperti alkohol.

Penggunaan hukum Henry untuk melihat kelarutan gas dalam cairan telah dilakukan oleh Ross dan Elaine (1989), Krishna (1994), Davidovits et al (1997), dan yang terbaru adalah Jaffe et al (2007).

Penelitian yang menggunakan metode dan parameter seperti dalam penelitian ini adalah yang dilakukan Krishna (1994) yang melakukan penelitian tentang pengaruh kuat penipisan konsentrasi asam sulfat terhadap kelarutan SO2. Analisis yang dilakukan oleh Krishna menggunakan metode dan parameter yang sama seperti dalam penelitian ini , yaitu mempertimbangkan pengaruh tekanan parsial gas, penentuan nilai hukum Henry dan konstanta kesetimbangan hidrolisis SO2, serta pengaruh suhu terhadap nilai hukum Henry, namun tidak menghitung nilai pH melainkan menggunakan pH sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi total SO2 terlarut yang berada dalam bentuk oksidasi tingkat 4 (S(IV). Hukum Henry digunakan untuk melihat jumlah konsentrasi gas SO2 dalam larutan (dalam hal ini air). Hasil penelitian Krishna menunjukkan bahwa data hasil eksperimen hampir sama dengan data literatur.

Bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, penelitian Krishna lebih menekankan berapa jumlah konsentrasi gas SO2 yang terlarut apabila konsentrasi asam sulfur dalam larutan juga tinggi, sedangkan pada penelitian ini lebih menekankan pengaruh SO2 terhadap pH namun kedua penelitian menggunakan metode yang sama dan terlihat bahwa penelitian yang dilakukan Krishna memberikan hasil yang hampir sama dengan data literatur sedangkan pada penelitian ini

hasilnya lebih besar dan berlawanan daripada data terukur. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi data yang kurang memadai dan tidak mengelompokkan data konsentrasi gas SO2 dengan kejadian hujan sehingga sumber ion Hidrogen dalam sistem ini hanya berasal dari [HSO3-] tanpa menghitung ion Hidrogen dari air. Selain itu gas yang menyebabkan penurunan pH air hujan bukan hanya SO2 tetapi gas NOx (NO2, NH3) dan CO2 juga ikut mempengaruhi penurunan pH air hujan, sehingga gas-gas ini harus dimasukkan ke dalam perhitungan. Penggunaan satu parameter gas akan menyebabkan hasil dugaan menjadi kurang akurat.

Dokumen terkait